Salju pertama selalu membuatku teringat pada rumah. Butiran putih yang jatuh pelan dari langit sering terasa indah, tapi sekaligus dingin yang menggerogoti. Aku berjalan pulang dari kampus, melewati jalan berbatu yang sepi, dan mendapati diriku sering merindukan hal-hal sederhana: bau nasi hangat, suara motor berisik di jalanan Jakarta, bahkan panas terik yang sering membuatku mengeluh dulu.
Aku anak rantau. Di sini aku dikelilingi banyak orang, tapi kadang merasa benar-benar sendiri. Kelas, tugas, pesta mahasiswa, semua itu hingar-bingar, tapi hatiku sering sunyi. Hingga suatu hari, temanku mengenalkanku pada seseorang di Jakarta. Katanya, “Dia sepupuku. Kamu pasti senang ngobrol sama dia.”
Awalnya aku tak berharap apa-apa. Tapi saat membaca balasan pertamanya, singkat, sederhana ada sesuatu yang terasa berbeda. Seolah ada suara lembut dari jauh yang mengisi ruang kosongku. Maka aku menulis lebih panjang lagi, menceritakan musim, perjalanan, obrolan ringan. Dia jarang bercerita banyak, tapi entah kenapa, aku selalu ingin menulis lagi.
Ia menjadi seperti rumah dalam bentuk surat elektronik.
Ketika akhirnya kami bertemu, aku gugup. Bagaimana jika aku kecewa? Bagaimana jika dia berbeda dari bayanganku?
Hari pertama, kami berjalan berkeliling kota. Aku memandang gedung-gedung tinggi, jalanan macet, dan wajah-wajah lelah. Jakarta kacau, tapi di sampingnya, semuanya terasa lebih ringan. Ia berjalan di sisiku dengan langkah yang tenang, senyumnya seperti menenangkan kebisingan kota.
Hari kedua, di bioskop. Lampu padam, film mulai. Aku menoleh sekilas, melihat matanya yang terpantul cahaya layar. Ada momen singkat ketika aku ingin menggenggam tangannya, tapi kutahan. Takut merusak sesuatu yang masih rapuh.
Hari ketiga, café kecil jadi saksi. Ia tertawa, dan aku berpikir: “Seandainya waktu bisa berhenti di sini.”
Hari keempat, rumahnya. Aku duduk di ruang tamu, bercakap dengan keluarganya. Ada kehangatan aneh di sana, seakan aku diterima. Saat pulang, aku menatap pintu rumah yang perlahan menutup, merasa seperti ada sesuatu yang ikut tertutup di dalam diriku.
Lalu aku kembali ke Belanda. Dan hidup berjalan lagi, dengan ritme yang sama: tugas, kelas, kerja, salju, dan sepi. Bedanya, kali ini aku menyimpan satu kenangan: empat hari yang tidak akan pernah bisa kuulang.
Awalnya, aku memang sangat sibuk sehingga beberapa bulan tidak mengirimkan email. Beberapa bulan sesudahnya, aku mengirim email seperti biasa. Tapi balasan darinya mulai tak muncul. Hari berganti minggu, minggu jadi bulan, bulan jadi tahun.
Tahun-tahun berlalu. Aku mencoba menjalin hubungan lain, tapi selalu ada ruang kosong yang tak bisa terisi. Sampai aku melihat temanku, sepupunya, di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Aku bertanya tentangnya. Jawaban yang kuterima membuatku terhenti: “Dia sudah menikah.”
Rasanya seperti ada kaca pecah di dalam dada. Aku tahu aku tidak berhak marah, tidak berhak kecewa. Tapi hati bukan benda logis. Malam itu, aku menulis pesan panjang. Bukan untuk mengubah takdir, tapi untuk melepaskan yang selama ini menggumpal.
Saat ia membalas, aku membacanya berulang kali. Kata-katanya sederhana, tapi jujur. Ia tidak pernah menganggapku remeh, hanya hidup yang membawa kami pada jalan berbeda.
Hatiku tersentuh saat membaca kalimat terakhirnya: “Mungkin kita bukanlah takdir, tapi kita adalah jejak yang saling menguatkan di masa lalu. Dan untuk itu, aku berterima kasih.”
Aku memejamkan mata. Rasa sakit masih ada, tapi kini bercampur dengan lega.
Aku menulis balasan terakhir:
“Terima kasih karena pernah hadir, meski sebentar. Kau mungkin tidak tahu, tapi kehadiranmu pernah menyelamatkanku dari sepi yang panjang di negeri orang.
Kini aku belajar, mencintai tidak selalu berarti menggenggam. Kadang mencintai berarti mendoakan, bahkan dari jauh. Meski tak bisa menatapmu setiap hari, aku tahu kau bahagia. Dan itu cukup bagiku.”
Aku mengirimkannya, lalu menutup laptop. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa bebas.
Kreator : Rosita Taher
Comment Closed: Singgah, Lalu Menghilang
Sorry, comment are closed for this post.