KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Singgasana Rindu (Chapter1-Naya, Si Roker Mania)

    Singgasana Rindu (Chapter1-Naya, Si Roker Mania)

    BY 24 Jun 2024 Dilihat: 159 kali
    Singgasana Rindu (Chapter1-Naya, Si Roker Mania)_alineaku

    NAYA, SI ROKER MANIA

    Fajar baru saja menuntaskan tugasnya, menampakkan cahaya kemerah-merahan di ufuk timur pada saat menjelang matahari terbit. Seperti biasa, pagi yang sibuk bagi Naya. Hingga sarapan pun dia kemas untuk bekal di perjalanan menuju tempat kerja. Tergesa-gesa Naya memasukkan bekal makanan dan tumbler-nya ke dalam ransel, seiring dengan suara klakson motor yang terdengar agak sumbang. Entah karena pengemudinya ragu-ragu menekan klakson, khawatir akan membuat gaduh di tengah keheningan pagi. Atau memang aki motornya yang sudah lemah.

    Friends, aku berangkat duluan, ya!” setengah berteriak Naya berpamitan ke penghuni kos lainnya.

    Assalamu’alaikum!” sambungnya lagi, masih dengan suara yang nyaring. 

    Sontak pengemudi ojek menutup mulutnya dengan raut muka kaget, namun tak lama kemudian dia tersenyum sambil nyeletuk, “Suaranya lebih sopan daripada suara klakson motor, Neng!”

    “Haha .. Bapak bisa saja, anggap  ini suara penyanyi gagal audisi, ya!” balas Naya dengan santai. Terdengar sahutan dari dalam rumah menjawab salam Naya, pertanda dimulainya perjalanan Naya melalui rutinitas working days.

    Perjalanan dari rumah kosan ke Stasiun Bogor ditempuh dalam waktu 20 menit dengan aman dan nyaman. Pak Karna, pengemudi ojek, bukanlah orang yang tidak dikenal, melainkan tetangga sekitar kosan yang merupakan pengemudi ojek langganan, berusia 50 tahun. Beliau seorang bapak dari tiga orang anak perempuan, yang  semuanya masih bersekolah. Pak Karena bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu gedung perkantoran yang letaknya tak jauh dari stasiun.

    Ibu kos merekomendasikan Pak Karna sebagai pengemudi ojek langganan karena karakternya yang rajin, bertanggung jawab dan santun. Ibu kos juga bercerita, bahwa Pak Karna membutuhkan penghasilan tambahan yang sifatnya harian, karena upahnya sebagai petugas keamanan dibayar setiap akhir bulan. 

    Jam kerja Naya dan Pak Karna bersesuaian, sehingga setiap hari kerja Pak Karna bisa menjemput dan mengantar Naya ke stasiun. Begitu pula saat jam pulang kerja. Jika Naya pulang agak larut karena lembur, Pak Karna biasanya kembali lagi ke stasiun untuk menjemputnya karena rasa khawatir, seperti kepada putrinya sendiri.

    Seperti hari ini, ketika Pak Karna menurunkan Naya di depan stasiun, tak lupa beliau berpesan, “Hati-hati ya, Neng! Kalau nanti lembur mendadak, kabari Bapak!”

    “Baik, Pak! Makasi, ya .. sudah anterin Naya dengan aman dan nyaman, pokoknya dapet bintang lima, deh!” balas Naya sambil mengacungkan kelima jarinya.

    Sok masuk, Neng! Biar dapat tempat duduk sampai di tujuan!” tangan Pak Karna mengisyaratkan Naya agar segera masuk dan menunggu di peron yang telah disediakan.

    “Siap 86, Pak!” hormat Naya dengan gaya jenaka. Balik kanan, tanpa disadari, bahwa bukan hanya Pak Karna saja yang tersenyum melihat tingkahnya, tapi juga security stasiun. 

    Tak lama menunggu di peron, akhirnya KRL Commuter Line tujuan Jakarta Kota siap di jalurnya. Naya, yang berdiri di tempat dekat pintu kereta, bergegas naik begitu pintu kereta terbuka. Dia langsung berjalan cepat, bahkan setengah berlari ke dalam untuk mengambil tempat duduk.

    Naya menghindari duduk di kursi prioritas, meski kursi itu kosong. Hal ini tentu saja karena kursi tersebut diperuntukkan bagi ibu hamil, ibu yang membawa balita, lansia dan penyandang disabilitas. Jika ada penumpang prioritas, besar kemungkinan dia akan diminta berdiri di tengah perjalanan. 

    Terdengar masinis membunyikan klakson kereta dengan keras, pertanda ia telah merespons peluit yang ditiup oleh kondektur, juga tanda bahwa kereta dalam keadaan siap diberangkatkan. KRL Commuter Line bergerak perlahan, kemudian menambah kecepatannya sedikit demi sedikit. Naya berdoa dalam hati, memohon keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan.

    Naya memutuskan untuk bertahan kos di Kota Hujan, meski sudah lulus kuliah, dan diterima bekerja di sebuah perusahaan komoditi sutera asal Jepang. Perusahaan tempat Naya bekerja berlokasi di gedung perkantoran daerah Tebet, Jakarta Selatan. Sebenarnya, bisa saja Naya tak harus bolak-balik, Jakarta – Bogor di setiap hari kerjanya, karena keluarga besar ayahnya berdomisili di Jakarta Selatan juga.

    Pernah mencoba untuk tinggal di rumah pamannya yang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Naya hanya mampu bertahan selama sebulan. Meski seluruh ruangan di dalam rumah sudah dilengkapi dengan air conditioner, tetap saja Naya merasa kurang nyaman. Ditambah lagi, paman dan keluarganya sering pulang larut, hingga Naya sering merasa kesepian. Yang pada akhirnya, Naya tidak bisa beristirahat karena mengalami insomnia. Dia baru bisa memejamkan mata dengan tenang, setelah yakin bahwa pamannya sudah tiba di rumah.

    Bulan berikutnya, Naya balik lagi tinggal di kosan masa kuliahnya di Bogor. Suasana dan cuacanya mendukung serta menyambut jiwa dan raga yang lelah, agar segera beristirahat. Ada penghuni kos yang menyambut dengan ceria di saat Naya pulang, terkadang makan malam bersama, bercerita keseharian dengan diselingi canda dan tawa. Sesekali menyeruput bandrek hangat saat hujan membasuh bumi. Persis seperti sebuah keluarga.

    Tak terasa, sudah hampir setahun Naya pergi-pulang bekerja ke Jakarta menggunakan moda transportasi favorit banyak orang. Ya, apalagi kalau bukan KRL Commuter Line. Selain nyaman dan terjangkau, KRL juga bisa menjadi alternatif untuk menghindari kemacetan. Perjalanan dari Stasiun Bogor ke Stasiun Tebet memakan waktu 55-60 menit, dengan harga tiket yang terjangkau, bahkan sangat murah, hanya lima ribu rupiah. Kemudian dari Stasiun Tebet, Naya melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan berjalan kaki, sekitar 10 menitan. Bonusnya, dapat vitamin D gratis dari segarnya sinar mentari pagi, dan sehat dengan berkeringat.

    Sebagai roker, Naya menikmati perjalanannya dengan santai, seperti roker lainnya. “Roker? Apaan tuh? Penyanyi rock?” Widi, teman sekamar Naya di kosan, memberondongnya dengan beberapa pertanyaan, ketika suatu hari ia bercerita tentang roker.

    Eitss, bukan roker, tapi roker!” jawab Naya. 

    “Memang, kita enggak akan menemukan kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.”

    “Roker tuh, singkatan dari rombongan kereta, yakni julukan yang dipakai untuk para pengguna kereta,” sambung Naya, menjelaskan. 

    “Ooh, gitu ..” mulut Widi membentuk huruf ‘O’ sambil kepalanya mengangguk-angguk kecil.

    “Se-asyik itukah jadi roker, Nay? Dari ceritamu, sepertinya kamu menikmati ber-kereta api dengan santai,” Widi langsung menyampaikan pertanyaan dan pernyataan sekaligus.

    “Gimana enggak asyik.., selain harga tiketnya murah, jadi roker itu sudah pasti nggak bakalan kena macet, gak stres di jalan, bisa santai sambil ngobrol bareng teman seperjalanan, dan terkadang dapat kenalan baru,” jawab Naya dengan jelas dan padat.

    “Fasilitas dan pelayanannya gimana, aman nggak?” tanya Widi masih penasaran.

    “Sepanjang pengalamanku, sih .. sampai saat ini, pihak KAI berusaha meningkatkan fasilitas dan pelayanannya, agar penumpang merasa aman dan nyaman.”

    “Ada penambahan petugas keamanan dan kesehatan bagi penumpang, terutama di jam sibuk. Karena aku naik dari stasiun pertama, kereta sudah kelihatan bersih, siap untuk menyambut para penumpang,” Naya menjawab pertanyaan Widi sesuai dengan pengalamannya.

    “Hihi .., kamu udah cocok jadi humasnya PT KAI, Nay!” Widi merespons penjelasan Naya dengan jenaka, tertawa kecil sambil mengacungkan ibu jarinya.

    Pagi ini Naya menikmati perjalanannya tanpa gangguan. Saat dia melepas earphone, sesekali terdengar obrolan roker-roker di sekitarnya yang berbicara satu sama lain. Biasanya mereka memang saling mengenal, seperti teman sekolah, teman kerja, atau bahkan keluarga. Topik obrolannya pun, random. Terkadang Naya tersenyum sendiri mendengarnya. Namun, ketika dirasa obrolannya sudah tak layak, Naya langsung memasang kembali earphone-nya, memutar menu playlist dengan volume paling kecil. Bukan fokus untuk mendengarkan musik atau sejenisnya, tapi hanya sekedar mengalihkan perhatian dari sekitar.

    Satu hal lagi yang suka dilakukan Naya ketika menikmati perjalanan, yakni membaca buku. Jika situasi dan kondisi di KRL tidak terlalu ramai atau berisik, Naya biasanya lebih memilih membaca buku ketimbang mendengarkan musik dari ponselnya. Buku apa saja, bisa fiksi maupun non fiksi. Seperti novel atau biografi seseorang, baik berbahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris. Asalkan jalan ceritanya ringan dan mudah dipahami. Maklumlah, senyaman-nyamannya KRL, tetap lebih nyaman membaca di kamar sendiri, atau tempat lain yang lebih memungkinkan untuk meresapi isi bacaannya.

    Naya melirik jam tangannya, pukul 06.25 WIB. Sebentar lagi KRL akan berhenti di Stasiun Pasar Minggu. Roker yang akan turun di stasiun ini mulai bersiap-siap. Yang duduk langsung berdiri, berjalan mendekati pintu keluar. Yang berdiri, bergeser sedikit demi sedikit ke arah pintu keluar, agar ketika kereta berhenti mereka tidak terdorong masuk lagi oleh roker yang hendak naik. 

    Meski aturannya sudah jelas, bahwa wajib mendahulukan penumpang yang hendak turun, terkadang masih ada saja penumpang yang hendak naik, menerobos masuk terlebih dahulu. Kalau sudah begini, tidak aneh jika terdengar suara roker saling menggerutu, bahkan setengah berteriak. Apalagi alasannya, kalau bukan karena badannya yang terjepit, mungkin juga karena kakinya yang terinjak. Hmm… gambaran umum transportasi rakyat, dengan akumulasi berbagai macam karakter manusia.

    Akhirnya, rute favorit Naya tiba, Pasar Minggu – Pasar Minggu Baru. Sepanjang perjalanan antar stasiun ini merupakan jalur kenangan masa kecil Naya saat tinggal di Ibu Kota. Hingga usia 6 tahun, Naya tinggal bersama keluarganya di wilayah Jakarta Selatan. Ayahnya asli orang Betawi, dan keluarga besarnya tinggal di daerah sepanjang jalur yang dilalui oleh rute tadi. Ketika memasuki usia 7 tahun, Ayah Naya pindah tugas ke Kota Kembang, memboyong keluarga kecilnya, termasuk Naya.

    Naya menikmati rute favorit ini dengan waktu yang sangat singkat. Ya, hanya berlangsung sekitar 2 sampai 3 menit saja. Namun, waktu yang sangat singkat itu tetap membuatnya melamun sejenak, membayangkan keistimewaan rumah induk, istilah yang biasa dipakai keluarga ayahnya, untuk menggambarkan rumah kakek-nenek Naya.

    Kembali ke masa kecil Naya. Bayangan rumah induk yang besar, dengan undakan tangga yang tidak terlalu tinggi di depan pintu masuk rumah. Halaman yang luas, yang batasnya berupa pagar hidup, seperti pohon sawo, pohon rambutan, pohon saga rambat dan pohon mangga. Kemudian ada sebuah mobil pribadi dan mikrolet, sejenis angkot, yang juga terparkir di bawah kanopi.

    Lamunan Naya buyar seketika, saat roker yang duduk di sebelahnya tiba-tiba berdiri sambil berkata, “Udah dulu ya, sampe Kalibata, nih! Nanti gue telpon lagi!”

    “Wah, tinggal satu stasiun lagi, nyaris saja terlewat,” gumam Naya dalam hati. Ia segera berdiri, lalu berjalan mendekati pintu keluar, bersiap-siap untuk turun di stasiun berikutnya. 

    Alhamdulillah, akhirnya terbebas juga dari kepadatan di dalam kereta,” puji syukur Naya pelan, sambil melanjutkan berjalan kaki ke kantornya, PT. Rimbana Mukti, yang berjarak sekitar 800 meter dari Stasiun Tebet.

    Baru beberapa langkah berjalan, terdengar sebuah suara memanggil namanya.

    “Naya, tunggu!” panggil seorang lelaki, yang setengah berlari sambil melambaikan tangannya, segera menghampiri Naya.

    Mendengar namanya dipanggil, spontan Naya berhenti dan menoleh ke belakang. 

    Assalamu’alaikum, selamat pagi, Nay.”

    Wa’alaikumussalam, selamat pagi, Adam.”

    “Aku lihat kamu waktu turun dari kereta tadi, rupanya gerbongku ada di belakangmu.”

    “Pas banget di gerbong belakang?”

    “Yup, satu gerbong di belakangmu, tapi kita turun di waktu yang sama, kan?” gurau Adam.

    “Ya iya lah, gerbongnya saling tersambung, koq,” balas Naya.

    Mereka berdua tertawa menanggapi ucapan Naya yang polos, menjawab sesuatu yang sudah jelas maksudnya. 

    Adam itu teman kerja Naya, tapi beda departemen. Naya bekerja di bagian analisa data, sedangkan Adam di bagian personalia. Adam alumni fakultas psikologi dari sebuah perguruan tinggi swasta ternama di daerah Depok. Maka tak aneh jika ia juga bagian dari roker mania, penumpang setia KRL Commuter Line.

    Dengan berjalan kaki sambil mengobrol, waktu sepuluh menit tak terasa dilalui oleh mereka berdua. Setibanya di kantor, mereka beristirahat sejenak sebelum memulai aktivitas.

    “Sarapan, Dam!” Naya mengajak Adam untuk mencicipi bekal makanan yang tidak sempat disantapnya dalam perjalanan. Ada dua potong sandwich isi sayur dan ayam fillet, sebuah pisang dan sebungkus kecil biskuit.

    “Boleh, .. aku ambil ini, ya,” Adam mengambil sepotong sandwich. Naya mengangguk, mempersilahkan.

    “Makasih banyak, Nay,” sambung Adam.

    “Pisangnya bagi dua, kalau mau .., biskuitnya juga lumayan banyak, koq,” Naya bersiap memotong pisang, namun segera dicegah oleh Adam.

    “Udah, cukup, Nay! Nanti kalau kekenyangan malah nggak bisa kerja,” Adam menolak halus tawaran Naya.

    Tepat pukul 7.30 semua karyawan yang sudah masuk, berdiri di depan meja kerjanya masing-masing. Merapikan kursi dengan mendorongnya masuk ke dalam meja. Bersiap untuk melakukan senam kecil, menggerakkan tangan dan kepala secara bergantian, lalu jalan di tempat. Cukup 5 menit. Kemudian berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, dipimpin oleh kepala kantor. Aktivitas ini rutin dilaksanakan setiap pagi menjelang permulaan bekerja. Persis seperti kebiasaan orang-orang Jepang, ditambah dengan doa, ciri khas masyarakat Indonesia.

    Perusahaan tempat Naya dan Adam bekerja, bergerak di bidang ekspor impor komoditi sutra. Pembudidayaan kokon atau kepompong ulat sutranya dikerjakan secara tersebar di beberapa wilayah di luar Ibu Kota, seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.

    Jam kerja Naya dan Adam selesai pukul 15.30. Biasanya sebelum keluar, mereka menyempatkan sholat ashar dulu di musala kantor, karena lebih nyaman dan bersih daripada di stasiun. Setelah shalat ashar, mereka siap untuk menjadi roker mania lagi, berjibaku dengan roker mania lainnya yang seperjuangan, menyusuri jalan pulang ke rumah dengan menumpang Commuter Line.

    Naya dan Adam berjalan kaki menuju stasiun dengan kecepatan penuh, layaknya supir angkot yang kejar setoran. Mereka sengaja mempercepat langkah yang setengah berlari, karena memilih beristirahat sebentar di dalam peron sambil menunggu kereta datang. Peluh yang menganak sungai tak mereka rasakan, hingga pakaian pun terasa lengket dan basah.

    Lima belas menit sebelum Commuter Line tujuan Bogor tiba, mereka sudah berada di dalam peron. Cuaca sore menjelang petang hari itu agak bersahabat, angin berhembus sepoi-sepoi menerpa wajah yang panas kemerahan akibat jalan setengah berlari. 

    Mereka memperhatikan tingkah polah roker lain di sekitarnya. Ada yang tergesa-gesa mengejar kereta di jalur lain, ada yang menunggu kereta sambil duduk di kursi tunggu stasiun, dan tak sedikit pula yang menunggu kereta sambil berdiri dengan sigap. Mengambil sikap kuda-kuda, bersiap, agar saat kereta datang lalu pintu terbuka, mereka bisa langsung masuk.

    Naya dan Adam termasuk roker yang menunggu kereta datang dengan berdiri, namun tetap tenang dan waspada. Tidak terburu-buru, tetapi tetap gesit. Tetap menjaga ketertiban dengan mempersilahkan penumpang yang hendak turun, untuk keluar terlebih dahulu. Memang tidak mudah, anggap saja ini semua untuk melatih kesabaran. ‘Menjadi roker adalah perjuangan’, itu kata-kata penyemangat mereka.

    Mereka paham, bahwa naik Commuter Line bukan di stasiun awal akan mustahil mendapatkan tempat duduk, apalagi di jam sibuk. Jadi mereka tak berharap untuk bisa duduk nyaman selama perjalanan. 

    Klakson keras terdengar dari arah Manggarai, pertanda Commuter Line tujuan Bogor akan segera tiba di Stasiun Tebet. Naya dan Adam bergegas mendekati jalur kereta. Karena tubuh Adam lebih tinggi, dia bisa melihat dengan leluasa gerbong mana yang tidak terlalu sumpek, dan antrian mana yang tidak terlalu padat.

    “Ikuti aku, Nay!” ujar Adam setengah memerintah, menoleh ke arah Naya, mengisyaratkan tangan agar mengikuti arah geraknya. 

    “Oke, siap, Pak!” balas Naya setengah bercanda, agar ketegangan antrian dan naik kereta sedikit mencair. Benar saja, Adam sekali lagi menoleh ke arah Naya sambil tersenyum.

    “Hihi, kukira nggak kedengaran,” tawa kecil Naya dalam hati.

    Naya mengikuti Adam yang berjalan masuk lebih dahulu ke dalam kereta, mencari tempat yang agak nyaman untuk berdiri, dimana mereka bisa berpijak dengan kuat. Adam mengerti kalau Naya lebih memilih berpegangan pada tiang, daripada berpegangan padanya. Akhirnya Adam mengajak Naya berdiri dekat tiang, yang biasanya terpasang sebagai pembatas tempat duduk paling akhir, tak jauh dari pintu.

    Adam berdiri di sebelah Naya, berjaga-jaga jika suatu waktu Naya terdorong oleh orang-orang yang keluar masuk di dalam kereta. Tidak seperti saat berangkat kerja, Naya tidak bisa santai mendengarkan musik atau membaca buku. Ia harus waspada dan fokus terhadap sekitar, serta tak lupa banyak berdzikir.

    “Nay, siap-siap duduk! Kayaknya ibu di depan kamu mau turun di Lenteng Agung,” ujar Adam ketika melihat ibu di depan Naya merapikan totebag besar bawaannya.

    “Permisi!” ujar ibu itu meminta Naya agar membuka jalan.

    Naya membalas dengan anggukan sambil tersenyum. Ia bergeser sedikit ke kanan, agar si ibu bisa lewat. Lalu Naya maju, menempati tempat duduk yang telah kosong. 

    Alhamdulillah,” gumam Naya sambil duduk.

    Melihat Naya sudah dapat tempat duduk, Adam segera bergeser, berdiri tepat di depan Naya. 

    “Titip ranselku, ya,” Adam berkata sambil meletakkan ranselnya di bawah, di hadapan kaki Naya. “Kalau di belakang takut kecopetan, di depan khawatir mendarat indah di wajahmu,” sambungnya lagi sambil bergurau. Mereka sama-sama tersenyum.

    Perjalanan pulang kerja bersama roker lain yang Naya kenal, membuat waktu berlalu terasa singkat, tidak membosankan. Apalagi roker yang Naya kenal ini sekaligus adalah teman kerjanya. 

    Adam seorang teman yang baik, usianya dua tahun lebih tua dari Naya. Meski ia juga senior di kantornya, karena menjadi karyawan lebih dulu, ia tidak menuntut senioritas dari juniornya. Justru, karena sifat membaur dan mengayomi juniornya itulah, yang membuat Adam disegani dan berwibawa.

    Saat pertama kali bertemu sebagai sesama roker mania di Stasiun Tebet dalam perjalanan pulang, Adam langsung mengajak Naya untuk pulang bareng. Rupanya Adam mengenali Naya lebih dahulu sebagai teman kantornya. Jelas saja, dia kan bagian personalia. Namun, karena Naya belum terlalu kenal, dia masih menjaga jarak. 

    Seiring berjalannya waktu, pertemanan Naya dan Adam menjadi semakin dekat. Apalagi keduanya dijuluki roker mania oleh teman-teman kantornya. Karena, kebanyakan dari mereka menggunakan moda transportasi transjakarta atau gojek untuk bekerja. Tidak ada yang spesial dari pertemanan mereka, kecuali, sekali lagi, karena mereka adalah sesama pejuang Commuter Line, si roker mania.

    Adam melirik TAG Heuer-nya. Lalu tanpa melepas tangan kirinya dari hand strap, ia menurunkan tubuhnya sedikit membungkuk, “Aku duluan, ya, .. sebentar lagi Depok,” pamit Adam sambil meraih ransel di hadapan kaki Naya dengan tangan kanannya.

    “Kamu hati-hati, Nay! Sampai ketemu besok,” 

    “Oke, Dam, Insyaallah.”

    Assalamu’alaikum.”

    Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

    Sesama roker saling berpamitan. Berpisah di pemberhentian Stasiun Depok. Adam turun dari kereta sambil melambaikan tangan dengan wajah tersenyum. Naya melanjutkan perjalanan menuju Bogor sambil memandang ke luar jendela. Tampak cahaya jingga kemerahan di langit sebelah timur, pertanda petang siap menyambut datangnya malam.

    Setengah jam perjalanan dari Stasiun Depok ke Stasiun Bogor dilalui Naya dengan memejamkan mata sambil berdzikir. Mengistirahatkan jiwa dan raga sebentar saja. Saat Commuter Line berhenti di Stasiun Bojonggede, Naya mengambil ponselnya, mengirim pesan pada Pak Karna agar bersiap-siap menjemputnya di Stasiun Bogor.

    Sebelum magrib, Naya sudah menumpang ojek Pak Karna menuju kos-kosannya di Dramaga. Menikmati semilir angin petang, yang menampar halus bagian wajahnya yang tak tertutup helm. Bau udara seperti akan turun hujan mulai tercium, Pak Karna menambah kecepatan motornya dengan hati-hati.

    Pak Karna berterimakasih atas ongkos ojek yang biasa diberikan setiap kali selesai menjemput Naya. Naya pun berterimakasih atas jasa antar jemput yang Pak Karna sediakan. Tukang ojek dan si roker saling berterima kasih.

    Mangga, Neng Roker, besok Bapak jemput seperti biasa,.. hatur nuhun,” Pak Karna berpamitan.

    “Haha.., Kang Ojek satu ini emang keren, salam roker, Pak! Sami-sami hatur nuhun,” sahut Naya sedikit terbahak, dan segera tersadar bahwa waktu maghrib telah tiba.

    Di lantai dua kamar kosnya, Naya, si roker mania, berdiri menghampiri jendela, membuka tirai secukupnya dan memandang keluar. Tampak langit sepi tak berbintang. Bulan pun sembunyi dibalik awan tebal. Seiring dengan suara air hujan yang menderas perlahan membasahi bumi, Naya kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut yang memeluknya dalam kehangatan.

     

     

    Kreator : Salvy Ali

    Bagikan ke

    Comment Closed: Singgasana Rindu (Chapter1-Naya, Si Roker Mania)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021