Debu beterbangan di udara saat truk pengangkut material konstruksi melewati jalanan berbatu. Dave, seorang staf IT di perusahaan kontraktor besar yang sedang membangun jembatan penghubung Distrik Gome dan Ilaga, menutup laptopnya. Matahari mulai condong ke barat, pertanda ia harus segera kembali ke kamp. Proyek jembatan ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Medan berat, akses komunikasi terbatas, cuaca yang tak menentu dan udara yang dinginnya menusuk sampai ke tulang, menuntutnya untuk selalu siap siaga.
Suatu hari, teman sekamar Dave di kamp mengalami demam yang sangat tinggi, sampai-sampai bicaranya pun tak seperti orang normal lagi. Ia dilarikan ke Puskesmas Gome. Di sana, Dave bertemu dengan seorang dokter muda bernama Charisa. Charisa dengan cekatan memeriksa temannya dan mendiagnosisnya dengan Malaria Tropika stadium berat (+4). Ia pun segera melakukan tindakan medis.
“Sio… Untung Bapak cepat bawa temannya. Kalau lambat sedikit saja, tong tra tau lagi apa komplikasi dan akibat yang bisa jadi e…” ujar Charisa dengan logat Papua sambil tersenyum menampakkan lesung pipitnya.
Dave terkesiap. Bukan hanya karena cekatan dan sigapnya tindakan sang dokter menangani temannya yang sakit, tetapi juga karena senyuman Charisa yang khas dengan lesung pipitnya, nampak sehangat mentari pagi di pegunungan. Pertemuan itu menjadi awal perkenalan mereka.
Di sela-sela kesibukan mereka, Dave dan Charisa sering bertemu di sebuah perkumpulan kecil di Ilaga. Mereka terlibat dalam misi kemanusiaan yang sama, dikoordinir oleh sebuah gereja di luar negeri. Dave membantu memasang Solar Panel System untuk sekolah-sekolah di distrik terpencil sebagai sumber listrik, sementara Charisa memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat.
“Kita nda sangka baku dapa deng cewek rupa ngana, ta dampar melayani di pedalaman sini,” ujar Dave suatu ketika. “Anak pejabat yang serba ada di kota, rela-rela mo datang mengabdi di tengah utang bagini.”
Charisa tersenyum. “Kita ley kage. Nda sangka sekali baku dapa orang Manado, cowok lulusan Universitas ternama kong bole mo kerja di tampa yang helekan listrik nda ada. Rupa nda nyambung dang to, orang IT di tampa nda ada listrik.”
Keduanya larut dalam perbincangan dengan logat Manado yang kental, bernostalgia dengan kampung halaman, berbagi rindu akan keluarga, serta mencurahkan asa, cita-cita dan harapan yang mendorong mereka memutuskan bekerja jauh dari daerah asal.
Namun, kebersamaan mereka yang baru saja mulai dekat harus diuji. Charisa tiba-tiba mendapat surat tugas untuk pindah ke Distrik Sinak, sebuah daerah yang terletak di balik Pegunungan Gergaji, tanpa akses darat, medan yang lebih berat, isu keamanan yang tidak kondusif dan untuk melayani 3 Distrik yang belum ada tenaga dokternya.
“Sa musti pigi, Dave.” ucap Charisa lirih, matanya berkaca-kaca.
Dave terdiam. Pegunungan Gergaji bukan hanya sekedar pembatas geografis, tetapi juga pembatas komunikasi. Sinyal telepon seluler CDMA yang mereka andalkan hanya tersedia beberapa jam dalam sehari, tergantung seberapa banyak energi matahari yang sempat tersimpan dan diubah menjadi energi listrik di tower pemancar signal.
“Sa akan pi cari ngana disana, tunggu jo. Kita pasti muncul pi jemput ngana disana,” janji Dave. “Tong tetap baku kabar ne, biar cuma berapa-berapa menit tiap hari.”
Charisa mengangguk, mencoba tegar. Ia tahu, jarak dan waktu bukanlah penghalang bagi dua hati yang telah menemukan ritme yang sama.
Sepuluh tahun berlalu. Jembatan penghubung Gome dan Ilaga telah lama berdiri kokoh, membuka akses transportasi dan perekonomian masyarakat. Dave masih setia dengan pekerjaannya, kini ia memiliki perusahaan kontraktor sendiri, walaupun masih dalam skala kecil. Ia telah menjelajahi hampir seluruh pelosok kabupaten Puncak, memasang Solar Panel System serta perangkat internet berbasis satelit di gedung-gedung sekolah, kantor, rumah dan juga Puskesmas.
Sementara itu, Charisa tetap mengabdikan dirinya sebagai dokter di Distrik Sinak. Ia menjadi sosok yang dicintai dan dihormati oleh masyarakat setempat. Puskesmas yang dulu kecil dan sederhana, kini telah berkembang menjadi Puskesmas rawat inap terakreditasi paripurna yang jauh lebih baik, berkat pengabdian dan dedikasinya.
Sinyal CDMA yang dulu menjadi satu-satunya penghubung mereka, kini telah tergantikan oleh jaringan telekomunikasi yang lebih modern, Internet berbasis satelit kini bisa memberi jangkauan lebih luas, Video Call bahkan Sekolah Online pun sudah bisa dilakukan 24 jam dari rumah saja.
Namun, kenangan akan perjuangan mereka di masa lalu, ketika harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendengar suara satu sama lain, tetap terukir indah dalam ingatan. Tak akan terlupakan selamanya.
Dave dan Charisa akhirnya bersatu. Mereka menikah dan dikaruniai sepasang anak yang lucu dan cerdas. Meskipun hidup di pedalaman Papua dengan segala keterbatasannya, mereka bahagia. Mereka telah menemukan rumah, bukan dalam artian fisik, tetapi dalam artian hati yang menyatu, dalam ritme pelayanan yang sama.
Di teras rumah mereka yang sederhana, Dave dan Charisa duduk berdampingan, menikmati ubi bakar sambil memandang langit senja yang memerah. Anak-anak mereka berlarian dengan teman-temannya di halaman, tawa riang mereka memecah kesunyian.
“Nda pernah kita bayangkan kalo tong pe kisah cinta deng perjalanan hidop mo jadi model bagini,” ucap Dave, merangkul Charisa lembut.
Charisa tersenyum. “Tong pe sinyal cinta lebe kuat dari sinyal CDMA, sedangkan Gunung Gergaji ley nda bisa mo blok,” jawab Charisa sambil bergelayut manja di lengan Dave yang kokoh dan hangat di tengah terpaan angin dingin sore hari yang khas di Sinak City.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Sinyal Cinta di Balik Gunung Gergaji
Sorry, comment are closed for this post.