Perjuanganku hampir sampai pada ujungnya. Setelah hampir lebih dari Enam Bulan berjibaku dengan urusan skripsi. Beberapa langkah lagi finish dengan perjuangan yang tak mudah. Bahkan, di bab terakhir Aku sampai meluangkan waktu menginap beberapa kali di kosan sahabatku, Mars Nurhidayati. Gadis bersahaja Satu Angkatan yang sangat pintar Matematika.
Ia memberikan waktu luangnya mengajariku statistik satu – satunya mata kuliah yang sebenarnya tak ku minati. Saat pembelajaran di kelas walau aku menyimak dengan seksama tetapi, tetap saja materinya tak memberi pemahaman maksimal. Selalu terasa ada yang kurang paham ini itunya, mungkin karena matematika SD ku yang tak tuntas dan berimbas begini terus- menerus .
Jujur saja, nilai Matematika-ku memang tak bagus di setiap jenjang pendidikanku. Minatku tidak di sana memang, tapi menyelesaikan skripsi kuantitatif, tetap saja menggunakan statistik dan data numerik berbasis fakta yang memaksaku harus belajar statistik lebih gigih dan mati – matian agar skripsiku selesai tepat waktu.
Skripsi adalah hal yang paling ditakuti di awal saat akan memasuki jenjang kuliah. Belum apa – apa memang sudah ciut duluan. Kata orang begitu menyulitkan, butuh totalitas, ketekunan, manajemen waktu, serta motivasi yang kuat untuk memulai dan juga menyelesaikannya. Hal ini memang terbukti nyata begitu menyulitkan dan dirasakan sendiri. Proses demi proses itu ku lalui. Sebuah akhir dari rangkaian panjang yang menuntutku untuk fokus dan konsentrasi penuh. Butuh tenaga pikiran dan finansial yang tak sedikit untuk perjuangan ini sampai selesai. Memang benar tidak mudah. Mentalnya harus kuat stock sabarnya harus berlimpah dan Ikhlas itu harus menyertai. Mau tidak mau enak tidak enak Skripsiku harus segera selesai, agar tidak memberatkan biaya yang ditanggung Ayah jika harus menambah semester. Tahun ini Aku harus benar – benar kerja keras agar bisa memastikan lulus tanpa menambah harus menambah Semester.
Untungnya, gadis manis berdarah Jawa itu begitu terbuka berbagi ilmu. Menuntunku jika ada kesalahan, memastikan aku menyelesaikan revisinya dengan benar saat kuajukan kembali pada dosen pembimbingku. Jika terdapat kesalahan maka Aku akan kembali bolak – balik menemui Mars tanpa lelah dan ia tak kelihatan bosan mengajariku. Ia mengoreksi kembali bagian yang dinyatakan salah sampai akhirnya Bab VI skripsiku benar – benar diterima.Sungguh luar biasa rasa terima kasihku padanya. Dia memiliki andil besar membantuku hingga skripsiku selesai, tuntas sesuai harapan.
Benar memang, pejuang skripsi itu bukan siapa yang pintar, tapi siapa yang paling berusaha. Yang sungguh – sungguh, yang tak kenal lelah dan tak putus harapan, yang tekun menjalani proses demi proses tanpa ampun, yang jiwanya kuat untuk menyelesaikannya dengan sikap dan tindakan. Tidak berpangku tangan saat mentok, tidak leha – leha atau bersantai saja. Seperti halnya pejuang khitbah, bukan siapa yang paling mapan tapi siapa yang paling berani. Seperti pejuang akad, bukan siapa yang paling kaya, melainkan siapa yang paling siap berjuang.
Hal kedua yang harus aku selesaikan adalah transkrip nilai dari mata kuliah yang masih kosong. Padahal jujur saja, Aku mengikuti mata kuliah ini dengan rajin tanpa absen, menyelesaikan ujian dan menyerahkan tugas mandiri maupun kelompok. Tetapi takdir nilaiku masih saja bolong. Dosennya berada di luar kota. Dosen sebuah Perguruan Tinggi Negeri tempat kekasihku, Elan, berkuliah di sana.
Tak ada jalan lain selain meminta bantuan Elan mengantarku menemui dosen tersebut karena yakin kekasihku itu tahu persis lokasi tempat tinggalnya. Elan bersedia mengantarku ke alamat tujuan yang ternyata cukup menyulitkan. Jika Aku sendiri yang mencarinya, sudah pasti tidak akan ketemu karena bukan berada di satu komplek perumahan pada umumnya dan akses jalan yang cukup rumit untuk ukuran perkotaan.
Akhirnya, sampai juga Aku menemui dosen yang satu ini di rumahnya. Dosen yang mukanya garang, kepalanya plontos dan selalu memakai peci hitam khas Negara tercinta Indonesia.
Tak sesulit bayanganku. Dia memberiku nilai tanpa harus panjang birokrasi. Ia hanya bertanya dari mana asalku, berkuliah di mana dan apa tujuanku datang menemuinya. Ternyata, di balik wajahnya yang cukup garang dan menegangkan itu, ia termasuk dosen yang ramah dan baik hati. Sampai akhirnya nilai itu ku kantongi dengan mudah dan bahagiaku yang membuncah.
Seperti itulah perjuangan, kadang tahapan – tahapan sulit itu didapat di awal dan akhirnya Allah mudahkan di ujungnya. Sungguh, aku bersyukur dan berterima kasih sekali atas segala yang telah Allah limpahkan kepadaku.
Mungkin nilaiku didapat karena dosen ini mengiba diriku. Gadis kecil pendek yang pipinya sudah memerah seperti tomat di pasar Ujung Berung sana. Kelihatan lelah dan gerah mencari alamat rumahnya.
Atau menghargai usahaku yang jauh-jauh dari kampung menemuinya hanya karena sebuah nilai, yang menurut penjelasanku padanya sudah mengikuti kuliah tanpa absen, mengerjakan tugas pribadi dan tugas kelompok tanpa terkecuali dan mengikuti ujian sebagaimana mestinya. Dia salah satu dosen prioritasku karena dosen dari luar kota. Aku menghargainya dan tidak pernah melewatkan mata kuliahnya selama dua semester ini. Jika pun ia memberikanku nilai dengan skor yang lumayan, bukan didapatkan dengan cuma-cuma juga karena semua mekanismenya sudah kulalui sesuai prosedur yang benar dengan proses yang seharusnya. Cuma nasibku saja yang ‘kasingsal’.
Atau dosenku itu merasakan dan menghargai perjuanganku yang sungguh ia pahami tidak mudah. Karakter memahami para mahasiswa dan fleksibel seperti ini harus dimiliki oleh setiap Dosen, harusnya memang. Agar tidak menjadi drama yang terulang di tiap kampus dan tiap angkatannya. Hingga Mahasiswa stres dan frustasi karena nilai yang bolong dari dosen yang sulit dan Skripsi yang tak kunjung selesai.
Alhamdulillah, bersyukur sekali hari ini nilai dari dosenku melegakanku. Aku sudah siap menyambut kelulusanku. Kalau begini, tak bisa dipungkiri Aku begitu bahagia. Aku merasakan aura wisuda sudah di depan mata. Sebuah impian yang tahapannya sudah dilewati semester demi semester untuk mewujudkannya.
Hari telah sore. Matahari sudah hampir kemerah – merahan ketika kami keluar dari kediaman dosen baikku itu. Elan bertanya tujuanku selanjutnya. Hendak pulang atau ada tujuan lain. Teringat Aku pada sepupu Ayah yang berada di Stasiun Timur yang ingin ku kunjungi setelah aku dewasa begini. Maka, kuputuskan pergi kesana menaiki Damri sampai ke Pusat Kota Bandung, kemudian naik angkot kurang lebih sepuluh menit hingga sampai di tujuan.
Uwaku bahagia dengan kedatanganku, menyambutnya dengan girang seperti biasanya tetapi bilang malam ini ia pun hendak pulang ke Garut menuju kampung kelahirannya nun jauh di sana, kampung kelahiran Ayah juga, Cisompet. Kampung yang lebih jauh melewati kampung kelahiran Ibu dan aku. Tepatnya masih 40 kilometer lagi.
Sontak aku bahagia karena bisa pulang ikut bersamanya. Jadi, aku urung bermalam di Rumah Makan milik Uwaku ini dan ikut pulang bersamanya malam itu juga.
Inilah kali pertama aku bisa jalan bareng bersama Elan. Selama hubungan kami enam tahun. Naik Damri, naik angkot dan duduk bersebelahan. Sesuatu yang sebenarnya belum pernah Kami lakukan. Bahkan, aku merasa minder takut dia malu menemaniku dan bertemu teman-temannya tadi pagi di kampusnya karena aku janjian bertemu di sana. Tapi, dia bilang aku tidak memalukan sama sekali.
“Kamu kelihatan cantik dan anggun.” ucapnya memuji.
Sebuah kalimat yang cukup kangen aku dengar dan membuat aku merasa percaya diri seketika bersamanya. Kami bahagia dan menikmati kebersamaan ini. Bisa bersamanya hari ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan, kami merasakan hal yang sama saat ini.
Elan turun dari mobil di daerah Cibiru setelah aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya hari ini. Bantuan yang tak kan terlupakan selamanya. Bantuan yang bisa mengantarkan aku lulus kuliah dan tinggal menyongsong hari yang lebih bahagia yaitu di wisuda di hari yang telah ditetapkan. Bagi sebagian orang mungkin kata wisuda itu tak terlalu bermakna sebagaimana aku memaknainya, mengingat perjuanganku yang terasa jatuh bangun untuk meraihnya, perjuangan Ayah membiayai kuliahku sampai selesai. Tak terhitung tenaga, pikiran dan biaya yang telah ia korbankan sampai harus berhutang di setiap semesternya, menggadaikan kebun, kolam, dan seluruh perjuangan lain yang tak bisa kusebut satu per satu. Jika aku merasa bangga telah melewati semua ini begitupun Ayah dan Ibu pasti mereka bangga sekali sudah berhasil mewujudkan kata bahwa “Anakku harus lebih tinggi pendidikannya,” walau sebenarnya keilmuan Ayah jauh tidak bisa dibandingkan dengan Aku yang katanya calon sarjana.
Kami meneruskan perjalanan ke Garut menuju kampung kelahiran kami itu. Mobil melesat bak peluru menuju papan tembak, menderu kencang membelah malam.
Hampir malam buta aku sampai di Parapatan Papanggungan. Memaksa turun di sana padahal Uwaku bersikeras mengajakku ikut ke Cisompet karena khawatir terjadi apa-apa padaku, katanya.
“Seorang gadis sendirian di tengah malam naik ojek, Uwa nggak tega.” ucapnya. “Udah, ikut Uwa aja sekalian ya. Besok juga sudah kembali. Uwa khawatir terjadi apa – apa pada Nyi AnAn.” Ia bicara dengan nada khawatir sekali.
“Jangan khawatir, Uwa. Insyaa Allah tidak akan ada apa- apa. Bismillah, Wa. Doain aja saya selamat, ya.” Aku menenangkan kekhawatiran Uwaku itu.
“Kalau udah di sini mana bisa Uwa menolak. Jangan lupa berdoa, ya. Semoga Allah melindungimu.” Ia mengakhiri ucapannya sambil menyelipkan lipatan uang kertas ke saku tasku dengan cekatan.
“Ah Uwa mah kebiasaan.” Kataku.
“Terima kasih ya Wa. Maaf bila jadi merepotkan.”
Uwaku menggelengkan kepala.
Sudah tak bisa menolak lagi karena uangnya sudah masuk menyelinap ke dalam tasku. Dan, suasana begitu gelap. Hanya lampu-lampu yang temaram di warung yang sudah tutup dan beberapa lampu ojek yang menyala menghampiri saat mobil Uwa berhenti dan Aku turun darinya.
“Titip anakku ke Campaka ya. Pastikan dia selamat sampai depan rumah.” pesan Bibi ke tukang ojek.
“Siap, Bu Haji.” ucap tukang ojek itu dengan cepat membalas pesan Uwaku.
Aku menaiki ojek dan segera mobil Uwaku yang dikemudikan oleh Rio, putra keduanya, melesat meninggalkanku.
Ojek membawaku pergi. Angin malam yang begitu dingin menusuk – nusuk kulit tanganku yang tanpa bungkus. Tubuhku serasa membeku dihembus angin khas kampungku yang hampir seperti di Kutub Utara sana.
Memegang tasku yang ku gendong sambil tak henti – hentinya berdoa, melewati kebun yang gelap gulita, melewati jembatan yang hanya terdengar gemuruhnya saja sudah membuat merinding, melewati belokan kampung terakhir sebelum memasuki komplek Kostrad Yonif 303, yang kata orang di sini tempat yang angker dan banyak penampakan. Aku memejamkan kedua mataku, komat kamit dengan doa-doaku yang tak henti diucapkan yang sudah dimulai sejak naik ojek tadi. Berharap tukang ojek baik hati. Tidak ada gangguan di jalan dan Allah menyampaikanku sampai rumah tempat tinggalku dengan selamat, tanpa kurang suatu apapun.
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, aku sampai di depan rumahku yang gelap tanpa penerangan sedikitpun. Hanya temaram yang menembus celah – celah kosong dari dalam saja, itupun hanya sedikit. Turun dari ojek Aku membayarkan lebih dari tarif yang seharusnya lalu mengucapkan terima kasih. Aku turun menapaki turunan dari jalan menuju pintu rumahku. Mengetuk pintu tiga kali mengucapkan salam. Sampai menyebutkan namaku, meyakinkan seisi rumah bahwa yang datang malam – malam buta begini adalah benar – benar Aku. Bukan orang lain.
Ayah dan Ibu terbangun, membukakan pintu dan mendapati aku dengan wajah keheranan dari mereka berdua.
“Teteh, Naha wengi-wengi teuing. Langsung ti Bandung atanapi di Bibi heula?” Ibuku bertanya penasaran. Ia nampak khawatir tapi juga bahagia.
“Ti Bandung, Mah. Tadi mampir ka Uwa Itoh heula. Ternyata, Uwa bade ka Cisompet janten ngiring uih sareng sakantenan.” Jawabku.
“Ti Bandungna ge rada wengi, ngantosan supirna Rio Aya peryogi heula.”
“Alhamdulillah, atuh. Atos salamet. Sok geura istirahat ayeuna mah, Teteh pasti cape. Enjing teraskeun ngobrolna. Tos wengi teuing tuh jam 12.30.” Ibu bicara sambil menunjuk jam dinding usang yang tergantung di bilik rumahku.
Kami sama-sama beranjak menuju tempat istirahat masing – masing. Mataku sudah hampir tak tertahankan. Bahkan, langkahku hampir serasa melayang saking menahan kantuk yang begitu menderaku.
Kreator : Daniah Rijal
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Skripsi
Sorry, comment are closed for this post.