Setiap pagi di sekolah filial, barisan murid-murid kecil itu selalu jadi pemandangan yang kurindukan. Di balik kesederhanaan bangunan sekolah tanpa jendela itu, ada tawa, ada harapan, dan ada kisah-kisah kecil yang tak pernah kutemui di tempat lain. Tapi pagi itu, mataku tertumbuk pada sosok mungil yang berbeda dari biasanya.
Ada satu hal yang membuatku terkesima dan begitu tersentuh saat mengajar di Sekolah Filial Tiying Tali. Pagi itu, seperti biasa, para siswa berkumpul di halaman sekolah untuk berbaris sebelum pelajaran dimulai. Di antara deretan anak-anak itu, pandanganku tertumbuk pada seorang anak kecil, kira-kira berumur tiga tahun, yang ikut berdiri rapi di barisan bersama kakak-kakak kelasnya.
Tubuhnya masih mungil dan langkahnya pun belum terlalu seimbang. Tapi wajahnya penuh semangat. Ia mengikuti aba-aba dengan serius, menirukan gerakan hormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara kecilnya yang tak kalah lantang. Pemandangan itu membuat dadaku hangat, mataku berkaca-kaca.
Di usia yang masih sangat belia, anak itu seolah ingin menunjukkan bahwa ia pun ingin merasakan sekolah, ingin menjadi bagian dari barisan kecil para pemimpi di pelosok desa ini. Di sekolah sederhana tanpa jendela, tanpa lantai yang layak, tanpa pintu yang kokoh, harapan tetap hidup, bahkan di dada anak sekecil itu.
Aku memperhatikan anak kecil itu cukup lama, mataku tak lepas dari sosok mungil yang berdiri di barisan paling depan. Dalam hati, aku bertanya-tanya, siapakah anak ini? Apakah dia anak Bu Wirat, guru kelas lima? Atau mungkin putra Bu Irma, guru kelas enam? Atau barangkali anak Bu Wayan?
Rasa penasaran itu semakin besar karena anak itu begitu percaya diri. Seakan dia memang sudah terbiasa berada di situ, di antara para murid, ikut menyanyikan lagu wajib dan meneriakkan yel-yel semangat pagi. Di usianya yang masih sangat kecil, kehadirannya di barisan itu terasa begitu istimewa.
Lalu, perlahan aku dekati bocah kecil itu.
“Adik, namanya siapa?” tanyaku sambil berjongkok, mencoba menyamai tinggi badannya. Tapi, bukannya menjawab, anak itu malah buru-buru bersembunyi di balik badan seorang murid laki-laki, anak kelas empat. Aku mengenali anak itu, namanya Ada. Melihat tingkah adiknya yang pemalu, Ada tersenyum kecil.
Dari situ, aku baru tahu cerita sebenarnya. Ternyata, bocah kecil itu adalah adiknya. Ia sering diajak ke sekolah karena neneknya sakit-sakitan, sementara ayah dan ibunya merantau ke kota untuk menyambung hidup. Mereka tinggal di desa bersama kakek dan nenek. Sayangnya, kakek mereka pun sudah tua renta, sehingga tak sanggup lagi menjaga keaktifan anak sekecil itu yang tak bisa diam.
Daripada ditinggal di rumah, Ada memilih membawa adiknya ke sekolah filial ini. Tempat yang meski sederhana, tanpa jendela dan lantai rabat, tapi menjadi ruang aman bagi anak-anak desa ini untuk tetap dekat dengan keluarga, meski dalam segala keterbatasan.
Dadaku terasa sesak, namun hangat. Ada rasa haru yang sulit kutahan, seolah-olah ada butiran air yang ingin segera terjun bebas dari sudut mataku. Anak sekecil ini harus tinggal berjauhan dengan orang tuanya, meniti hari-hari bersama kakek dan nenek yang sudah renta.
Lebih hebat lagi, si kakak. Di usianya yang masih belia, ia berjuang di tengah kehidupan yang sering kali tak mudah. Menuntut ilmu sambil mengasuh adiknya, berjalan kaki menembus bukit dan lembah, hanya demi bisa tetap sekolah.
Pemandangan sederhana di pagi itu terasa seperti pelajaran paling berharga bagiku. Momen yang tak ternilai dengan uang, tak tergantikan oleh apapun. Sebuah pengingat bahwa di balik segala keterbatasan, ada kekuatan cinta keluarga dan keteguhan hati yang luar biasa.
Kata Bu Wayan, pemandangan seperti itu sudah menjadi hal biasa di sini. Tak ada guru yang mempermasalahkan. Justru, sekolah filial ini terbuka untuk siapa saja, termasuk adik-adik kecil yang ikut menemani kakaknya belajar.
Daripada si kakak harus bolos sekolah demi menjaga adiknya di rumah, lebih baik sang adik dibawa ke sekolah. Di sini, setidaknya mereka tetap bisa bersama, dan si kakak tetap bisa menimba ilmu tanpa meninggalkan tanggung jawab keluarga.
Aku tersenyum kecil mendengar penjelasan itu. Betapa sederhananya cara sekolah ini merangkul anak-anak desa, mengerti situasi mereka tanpa banyak aturan kaku. Di tengah segala keterbatasan, justru di sinilah aku belajar tentang arti fleksibilitas, empati, dan keberpihakan yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan.
Sejak hari itu, aku semakin sadar bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar membaca, menulis, dan berhitung. Di sekolah filial ini, aku menyaksikan bagaimana pendidikan menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk tetap dekat dengan keluarga, di tengah hidup yang tak selalu mudah.
Di sinilah aku belajar bahwa pengabdian bukan soal besar kecilnya fasilitas, tapi tentang hati yang rela hadir di tengah keterbatasan. Dan di balik dinding sekolah tanpa jendela ini, aku menemukan banyak cerita kecil yang mengajarkanku tentang arti ketulusan, kekuatan, dan harapan. Aku tidak tahu, entah sampai kapan perjalananku di sini. Tapi aku yakin masih banyak masih banyak kisah lain yang menungguku di balik bukit dan lembah kampung halamanku ini.
Kisah bocah kecil itu mungkin hanya sekelumit cerita di sekolah filial ini, tapi bagiku, ia adalah potret kecil tentang ketangguhan dan kasih sayang. Di balik seragam lusuh dan sekolah tanpa jendela, mereka terus belajar, tak sekadar mengeja huruf, tapi juga merawat harapan, bahkan dalam segala keterbatasan.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Sosok Kecil di Barisan Pagi (Chapter 6)
Sorry, comment are closed for this post.