Tersebutlah tiga nama, Siti, Rina dan Yogi. Siti adalah wanita paruh baya, berwatak keras kepala dan ambisius. Rina adalah Putri Siti, seorang mahasiswi yang diperalat sang ibu. Yogi adalah sosok pengkritik Siti yang berperawakan tinggi kurus.
Siang itu, di ruang tamu rumah, Siti dengan rambut putihnya yang rapi dan pakaian berkelas, duduk di sofa, bak seorang ratu penguasa. Di hadapannya, Rina terlihat pucat dan lemas, duduk dengan tatapan kosong. Yogi, berpakaian sederhana namun rapi, berdiri di dekat pintu.
“Sungguh memalukan! Bagaimana bisa Ibu tega memperlakukan putri Ibu seperti ini? Membayar setengah juta untuk enam makalah ilmiah dalam waktu seminggu? Apakah Ibu tidak sadar itu menuntut Rina bekerja siang malam, mengorbankan kuliahnya, hanya demi ambisi Ibu semata?”Yogi berkata dengan nada tinggi.
Dengan senyum tipis, Siti berujar”Ah, Pak Yogi, jangan terlalu serius. Rina kan anak saya sendiri. Dia pasti senang membantu ibunya.”
Rina menundukkan kepala,”Bu, ini salah. Aku tidak sanggup…”
Siti mengangkat tangan Rina dengan paksa,”Diam! Ini demi masa depanmu, Rina! Ibu ingin kamu sukses, memiliki gelar yang mentereng. Ibu yakin kamu bisa melakukannya.”
Yogi,”Sukses dengan cara yang curang? Dengan mengorbankan pendidikan dan kesehatan Rina? Ibu tidak berhak menentukan masa depan putri Ibu sesuka hati!”
Siti,”Cukup! Saya tidak perlu masukan dari orang seperti Anda! Saya tahu apa yang terbaik untuk anak saya!”
Yogi menggelengkan kepala,”Sungguh menyedihkan. Ibu telah dibutakan oleh ambisi dan kesombongan. Ibu telah kehilangan esensi menjadi orang tua. Saya harap Ibu sadar sebelum terlambat.” Yogi membungkuk hormat pada Rina, kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan.
Siti menatap Rina dengan tajam,”Rina, kamu dengar sendiri kan? Orang seperti dia hanya iri dengan kesuksesan kita. Jangan dengarkan dia!”
Rina berdiri dengan berani,”Bu, ini bukan tentang kesuksesan. Ini tentang kejujuran dan integritas. Ibu tidak bisa mencapai semuanya dengan cara yang curang. Aku tidak mau seperti Ibu. Hina!”
Siti terkejut dan marah,”Apa maksudmu?! Berani-beraninya kau melawan Ibu?! Kamu mau jadi anak durhaka?!”
Rina menahan air mata,”Aku tidak melawan Ibu, Bu. Aku hanya ingin Ibu melihat kesalahannya. Aku ingin Ibu menjadi ibu yang benar-benar menyayangi anaknya, bukan ibu yang hanya mementingkan ambisi sendiri. Sadar, Bu! Sadar!”
Siti terdiam, terpaku oleh kata-kata Rina. Wajahnya memerah, air mata mulai mengalir di pipinya.
Dengan suara bergetar,”Rina… Ibu… Ibu minta maaf…” Siti memeluk Rina.
Sayang, Rina tak membalas erat pelukan Siti. Rupanya ini bukan kali pertama Siti mengeksploitasinya, dan bukan pertama kalinya Siti meminta maaf. Berkali-kali sudah, Siti berderai air mata seraya meminta maaf untuk kemudian diulangnya kembali. Kali ini Rina sudah kebal. Sejak saat itu Rina tak lagi berharap Siti, ibunya benar-benar sadar. Rina berpikir,”Air mata hanyalah air mata. Tak lebih.”
Siti dan Rina duduk berdampingan di sofa, masih dalam pelukan ketika Rina memutuskan untuk pindah duduk ke arah yang berseberangan. Sesaat, seraya mengamati Siti, Rina masuk ke dalam dunianya sendiri, menyusun skenario dramanya sendiri:
Dikisahkan di sebuah kompleks perumahan, terdapat dua orang dewasa yang sedang terlibat perseteruan hebat tanpa kontak fisik.
Salah satu di antara mereka bersosok tinggi besar cenderung obesitas, sementara yang satu lagi berperawakan jangkung kurus.
Rupanya perseteruan di antara mereka cukup panas. Sosok berambut hitam panjang itu tampak mendominasi pembicaraan. Ia terdengar memaki,“Gak penting banget lu pajang foto gede-gede di dinding buat nakut-nakutin tamu, pamer ke tetangga. Gak mutu banget! Mending kamu pasang pose berdiri pakai baju pocong trus difoto lalu lu pajang fotomu di situ (telunjuknya mengarah ke tembok teras), baru tuh betulan kepake buat nakut-nakutin tamu! Jadi orang, sombong amat! Gak mutu! Gak penting kamu hidup juga! Masih banyak manusia di luar sana yang bisa ketemu manusia yang jauh lebih dari kamu! Lebih mulia dari kamu yang cuma sanggup mikir soal duit dan harkat!” Sosok berambut mirip turis asing itu dimakinya habis-habisan kemudian ditinggalkannya pergi setelah membanting pintu ruang tamu dengan sangat keras.
Siti, sosok tinggi besar berambut putih itu adalah seseorang yang berwatak keras kepala dan ambisius. Dia rela membayar berapapun banyaknya uang sogokan demi meloloskan proposalnya dari IIIA ke IVB. Sayangnya, ia tak sadar telah melakukan kesalahan, memperalat putrinya, membayarnya setengah juta untuk dibuatkan enam buah makalah ilmiah dalam tenggat waktu satu minggu sebagai persyaratan mutlak kenaikan pangkatnya akibat nilai kreditnya dari jam mengajar, dipertimbangkan masih kurang memenuhi syarat.
Makian pedas tadi, sama sekali tak digubrisnya. Dengan gaya naif, ia mengantar orang berperawakan kurus tadi ke ujung pintu dengan tatapan sangat lugu. Ia tak merasa bersalah, setidaknya merasa pernah melakukan kesalahan yang berdampak menyakitkan bagi orang lain. Pikirannya gelap, tak mampu melihat perihal apapun secara bersih dan jelas. Tampangnya yang layak dituakan, ternyata sangat mengecewakan. Dia sama sekali tak memberi respon.
“Bukan hanya pikirannya yang buta, ternyata hatinya juga tuli. Pantas saja ia tak tampak sakit hati. Seandainya saja dia mau mendengar, dan pikirannya mau membaca juga memahami, dia pasti sudah menjadi orang suci.”gumam Rina dalam khayalannya seraya menyisakan tatapan tajamnya ke arah Siti.
Pesan Moral:
Ambisi dan kesombongan dapat membutakan hati dan pikiran. Menjadi orang tua yang baik bukan berarti harus memaksakan kehendak pada anak. Kejujuran dan integritas adalah nilai yang jauh lebih penting daripada kesuksesan yang diraih dengan cara yang curang.
Tidak sepatutnya mengusung niat pamer prestasi, pamer rejeki, pamer pangkat, pamer jabatan dan sejenisnya, karena niat semacam itu bersifat pamrih. Pamrih artinya tidak tulus dan ketidaktulusan biasanya akan selalu berakhir dengan hasil mengecewakan.
Kreator : Adwanthi
Comment Closed: SUCI TULI
Sorry, comment are closed for this post.