Seharian ini aku menyibukkan diri didapur, dirumah sederhana di daerah transmigran pinggiran kota Gorontalo. Semenjak kematian suamiku, ku putuskan untuk kembali tinggal disini dan mengurus sawah ladang milik keluarga turun-temurun, meninggalkan rumah kecil di kota dimana aku mengasuh anak-anakku.
Rendang dan nasi bungkus resep turun temurun dari jawa adalah andalanku di setiap buka puasa terakhir bulan Ramadhan. Aroma bumbu rendang yang komplex berpadu dengan bau daun khas dari nasi bungkus yang sudah sejak subuh direbus, membangkitkan kenanganku bersama anak-anak.
Aku hanya dianugerahi seorang anak kandung, Sudarman. Ia kini sudah dewasa, bekerja di kota dan sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik. Selain Sudarman, aku punya seorang putra yang lain, yang bukan lahir dari rahimku. Tapi, aku diberkahi dengan kesempatan mengasuhnya sejak umur 3 bulan sampai ku tinggalkan, pindah ke rumah ini saat ia sudah SMA. Namanya Albert. Anak laki-laki dari keluarga Kristen, yang dipercayakan oleh orang tuanya untuk ku asuh. Dan aku sangat menyayanginya, layaknya sayangku pada Sudarman. Demikian juga A’a Darman, demikian panggilannya, ia juga menyayangi Albert layaknya mereka saudara kandung. Tidak ada batas yang menghalangi kasih sayang kami, walaupun kami berbeda Agama.
Sudarman biasanya datang mengunjungiku bersama istri dan anaknya, paling tidak sebulan sekali saat weekend. Saya maklum, mereka datang hanya bersepeda motor dan menempuh 3-4 jam untuk tiba di sini. Dan di penghujung Ramadhan ini, mereka sudah tiba sejak pagi dan masih setia menjalankan puasa walaupun menempuh perjalanan yang panjang selepas shalat subuh tadi.
Kehadiran Sudarman bersama istri dan anaknya selalu membawakan kebahagiaan dan keceriaan bagi dunia ku yang sunyi di pinggiran kota yang sunyi ini. Namun, kali ini rasanya masih ada ruang rindu yang kosong yang sudah beberapa tahun tak terisi. Walau diri ini ku sibukkan dengan segala persipan Ramadhan, namun dalam sujudku selalu ku doakan agar anakku Albert bisa berkumpul bersama dengan kami di hari raya kali ini.
Mungkin sudah ada empat tahun atau lima kali Lebaran, Albert tidak datang mengunjungiku. Aku paham, kini ia sibuk dengan pekerjaannya. Albert sibuk mengejar impiannya. Namun, beberapa waktu lalu, Mama kandung Albert meninggal dunia. Aku yang ringkih ini tak sempat pergi melayat ke kota, karena saat itu sementara dirawat di Rumah Sakit. Aku tahu, Albert pasti sangat kehilangan mamanya.
Kulihat Sudarman dan anaknya bermain di halaman, sambil memetik jeruk Bali yang sudah matang. Istri Sudarman masih berkutat menata kue kering dalam toples. Sudah hampir waktunya berbuka puasa, yan terakhir di tahun ini. Sebentar lagi kami akan merayakan Hari Kemenangan. Namun, hati ini masih gundah. Rasa rinduku pada Albert seakan membatalkan Kemenangan yang sudah di depan mata.
Kumandang adzan terdengar dari pengeras suara masjid, Sudarman bergegas mengambil sarung dan pecinya, segera mengambil wudhu. Diikuti istri dan anaknya dan juga aku, kami bergegas masuk ke kamar, menggelar sajadah masing-masing menunaikan shalat. Selesai shalat Magrib, aku masih bersimpuh diatas sajadahku. Melantunkan doa yang sama dari hari ke hari. Mendoakan kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan anak-anakku. Di sela doaku, ku dengar ketukan di pintu, namun tidak ku gubris karena tahu ada Sudarman atau istrinya yang sudah keluar kamar lebih dahulu tadi. Aku hanyut dalam permohonanku, mengutarakan besarnya rinduku pada Albert dan keinginanku untuk memeluknya. Air mata tak bisa ku bendung, isakku ku tahan sebisa mungkin, sambil mengakhiri doaku.
Lutut tuaku yang tak lagi bergerak lincah membuatku agak susah untuk berdiri. Masih sambil duduk ku buka mukenah yang ku kenakkan, dan berusaha menopang diri dengan tangan untuk berdiri. Tiba-tiba, sepasang tangan yang lebar dan hangat, merangkul dan mengangkatku, membantuku berdiri.
Dengan harapan membuncah di dadaku, kubalikkan badan dan kupeluk erat leher tinggi dan kokoh itu. Tanpa harus melihat wajahnya, aku tahu itu anakku. Albert!
Tubuh tinggi tegapnya kini ada dalam pelukannku. Sungguh hadiah Kemenangan yang indah ku terima. Sujudku di jawabNya.
“Abe pulang, Mak,” katanya lirih, penuh dengan luapan emosi.
“Welcome home, lilBro! Kira ley ngana so nintau ni rumah? Nda ilang jalang jo tadi?” sembur Sudarman sambil merangkul kami.
“Ini Mang Abe, Pak?” tanya putri kecilnya, yang hanya kenal Amangnya dari cerita bapaknya.
“Iya Neng, ini Mang Abe. Dulu torang so pernah bakudapa, mar waktu itu ngana masih bayi,” jawab Albert sambil menggendong putri Sudarman.
“Ayo, botram. Somo dingin tu rendang dengan nasi bungkus di meja, ngoni cuma da cuek akang,” kata Emak dengan logat gado-gado Sunda-Manado.
“Nda mungkin lah, Mak. Depe bobow itu yang kase tunjung jalang kamari tadi. Klo so dapa ciong ni rendang pe bobow, so nda mo nyasar kita pulang, biar so lama nda datang kamari,” kata Albert diikuti tawa riang seisi rumah.
Meja makan yang biasanya kosong, kini penuh dengan makanan dan para garis keras penikmat rendang dan nasi bungkus buatan Emak yang lezatnya tiada tandingan. Doa yang terjawab, rindu yang terobati, keluarga yang harmonis dalam perbedaan, adalah Kemenangan yang penuh kenikmatan bagiku dan keluarga kecilku ini.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Sujudku Terjawab
Sorry, comment are closed for this post.