Gundukan tanah berwarna merah bertabur aneka bunga mawar, melati dan kenanga yang sudah melayu dalam kesunyian sore itu menjadi pemandangan yang tersisa di balik cahaya sinar matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. Di sanalah pula terbenam sejuta mimpi, janji, dan kenangan indah.
Jalan aspal kasar ini biasa menjadi jalur utama yang disusuri para pekerja sekolah menuju tempat kerjanya. Berangkat menyambut matahari pagi dan di sore hari kembali pulang dimana keluarga menunggu dalam setia.
Pohon-pohon mahoni, cassia, tanjung berdiri berjajar di pinggir jalan itu , memberi kesejukan dan keindahan dengan daun yang rindang, dan bunga-bunga yang bermekaran. Karenanya, kedamaian surga sungguh terasa menyelinap di relung hati orang-orang yang tinggal di sepanjang jalan itu, terutama di gedung tua, asrama para pekerja sekolah, sekalipun terik matahari dan suhu panas tepian pantai menyerbu.
Gedung tua asrama para pekerja sekolah itu kini telah mengalami kematian. Tapi kata para pemimpin doa, saat membacakan doa menjelang pemakaman, sering mengatakannya hanyalah diubah hidupnya. Dan memang gedung tua itu telah diubah keberadaannya menjadi gedung bisnis yang mewah yang mengundang selera makan dan minum para penyuka ayam goreng tepung.
Gedung berlantai dua, dengan tembok-tembok penyangga dan sudut-sudut bangunan bercat merah darah dengan desain minimalis tapi megah telah berdiri di pinggir jalan itu tempat gedung tua dahulu berdiri. Di atas tembok gedung itu bertengger siluet wajah seorang tua berkumis tebal. Yang konon di usia 65 tahun di bawah pohon ia pernah menuliskan niatnya ingin bunuh diri di secarik surat. Namun dia urungkan dan sebaliknya dia menulis ,” apa yang mau dicapai di sisa hidupnya yang sudah senja.” Dia sadar bahwa masih punya keahlian memasak. Dengan uang pinjaman sebesar 87 dolar dia membeli ayam kemudian memasak dengan resepnya lalu berjualan dari rumah ke rumah dengan ribuan kali penolakan di Kota Kentucky. Tapi nasib berkata lain, akhirnya di usia 88 tahun ia menjadi pengusaha billioner dari usaha Fried Chicken di Kota Kentucky.
Sekalipun gedung itu tampak megah dan mewah tempat penyuka ayam goreng tepung berlisensi Amerika, bagiku, gedung tua itu jauh lebih indah, karena sejuta kenangan terukir padanya. Karena, di sanalah awal benih cintaku bersemi. Suhu udara panas, jendela-jendela kamar, serumpun pohon pisang , bau burung peliharaan dan bau air selokan di antara semak-semak di tepian tembok dinding pemisah, semuanya menjadi saksi kenangan indah perjumpaan dengan gadis itu.
Cintaku tertambat pada seorang gadis secantik Lin Ching Hsia. Yang suatu kali seorang lurah pernah tertipu oleh matanya yang sipit. Pak Lurah tidak mau terburu-buru menandatangani KTP. Ia memastikan berkali-kali keturunan atau asli pribumi. Gadis itu datang ke rantau untuk bekerja mencari kehidupan buat dirinya dan membiayai adik-adiknya.
Namun, dari kecantikannya, mungkin dia juga datang untuk menjemput takdir, menemukan jodoh idaman setiap wanita normal untuk membangun rumah tangga dengan kesejahteraan yang ideal. Rumah dengan fasilitasnya yang serba ada dan kekayaannya berlimpah.
Hari-hari indah menguntai janji, saling mengerti dan percaya, akhirnya mempertemukan kedua keluarga yang kemudian mengantarkannya ke depan altar untuk mengucap janji sehidup semati, di hari bahagia. “ Saya, Syukur Sudarmono di hadapan imam, keluarga, dan para sahabat, memilih Darmini sebagai istri dan berjanji setia dalam untung dan malang, dalam susah dan senang, dalam sakit dan sehat, dan berjanji akan setia sampai ajal menjemput. Dan, saya berjanji akan membahagiakannya sepanjang hayat. ” Yang diamini oleh sekalian jemaat yang hadir menjadi saksi janji nikah.
Kebahagiaan itu semakin bertambah dengan kelahiran bayi mungil yang kunamai Dewi. Agar menjadi gadis cantik secantik para dewi di kayangan. Dan, sukses di masa depan.
“Bahagiakah dia…? Benarkah…?” Satu pertanyaan itu yang terus menerus menggantung di benakku. Di saat-saat ingat dengan apa yang aku serahkan setiap bulannya.
Dengan upah yang kuperoleh, seorang guru muda, golongan rendah, tergolong cukup. Cukup untuk membayar kebutuhan dasar dan sedikit menabung setelah dipotong pinjaman, dan angsuran rumah. Boleh dikata, dengan yang diterimanya itu, istriku tidak punya kesempatan untuk membeli barang-barang bermerk. Misalnya, baju, tas, sepatu, “ Mana mungkinlah,” hatiku berujar. Yang mencukupkan semua penghasilanku hanyalah rasa syukur istriku.
Kadangkala, televisi tabung merk nasional mengaduk-aduk pikiran ku dengan tawaran-tawaran perlengkapan dapur bermerk dan lux yang ditampilkan pada saat acara-acara memasak. Atau tempat-tempat wisata yang menawarkan keindahan alam, atau promosi-promosi sepeda motor atau mobil. Atau tawaran-tawaran kulineran.
Seringkali kujumpai wajah serius sang istri , yang kadang kala menciutkan hatiku sebagai seorang suami, setiap sore , di tanggal muda. Sambil menggendong si kecil, yang baru empat lima bulan, sang istri memilah-milah lembaran uang kertas untuk masing-masing keperluan. “ Terima kasih , Bu sudah mengatur keuangan dengan baik,” pujiku suatu kali selesai mendistribusikan keuangan yang diterimanya.
Tak disangka, rupanya instingnya membaca raut kegalauan hatiku di saat itu, kemudian ia menyahut, “ Kita cukup-cukupkan uang ini.Sekalipun demikian, kita syukuri segala rezeki yang kita dapat.”
“ Amiin…,” ujarku serta merta kuanggukan dengan rasa hormat. Perasan hatiku terasa sejuk dan adem.
Seiring waktu, istriku bersyukur, karena bisa ikut membantu menambah pendapatan dengan memberikan pelajaran tambahan. Walaupun, hatiku terasa berat kalau istriku harus ikut bekerja keras mencari tambahan pendapatan. Namun, bagaimana lagi, kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Terutama kebutuhan primer.
Sepeda tua, tas buku, adalah sarana yang digunakan untuk mengais rezeki dari orang-orang yang membutuhkan bantuan belajar untuk anaknya. Aku yang menjaga Dewi di rumah. Sebenarnya, dalam hati kecilku ada perasaan ketar-ketir memikirkan keselamatan di jalan. Terbayang, padatnya arus lalu lintas karena volume kendaraan sepeda motor, dan cara mengendarai orang-orang menjadi bayangan yang mengkhawatirkan.
Dari kelelahannya saat pulang ke rumah, wajahnya yang bersimbah keringat tergambar sebuah pesan, betapa melelahkan pekerjaan itu. Akan tetapi tampaknya, ia jalani dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Bak wanita perkasa yang terlukis dalam puisi Hartojo Andangdjaja
Maka, setiap malam, tiada henti aku memanjatkan doa-doa untuk membuka pintu rezeki kehidupan. Harapannya mendapatkan jalan lepas dari kegetiran hidup. Dan Tuhan Maha Baik, rezeki itu pun datang. Istriku diterima bekerja menjadi guru di sebuah sekolah baru.
Hari-hari setelahnya, istriku semakin sibuk dengan pekerjaan. Kami bahkan jarang sekali dalam kebersamaan. Yang membuat kami kadang merasa kering dalam komunikasi. Rutinitas semakin memasung pola komunikasi . Relasi kami datar-datar saja. Apa yang dipikirkan dan dirasakan istri , aku merasa tidak tahu. Demikian sebaliknya.
Hingga di suatu hari kami bergabung dalam suatu kegiatan malam kebersamaan. Tempatnya, di luar kota, di daerah berhawa pegunungan yang sejuk dan penuh kesunyian. Tempat yang jauh dari keramaian dan kesibukan masyarakat. Materinya, soal pola komunikasi dan relasi. Di mana emosi, psikologi relasi kami dibedah untuk mendapatkan pengetahuan model komunikasi yang ideal.
Masing-masing peserta diajak untuk merefleksikan pola komunikasi dengan pasangan selama ini. Kemudian dengan bimbingan mentor, kami diajak untuk berbagi perasaan dalam bentuk surat cinta. Di bagian akhir, surat cinta itu diberikan kepada pasangan masing-masing dan kemudian dibaca dan membalasnya dalam sharing.
Di saat tiba menuliskan pesan cinta, beban perasaan yang menggantung, serasa hutang yang sangat besar, membuat sulit berpikir untuk menuliskan apa yang ada dalam hati. Ada kegundahan di hatiku. Apalagi saat mengingat istriku harus ikut bekerja keras mencari tambahan pendapatan. Pagi-pagi harus mengurus rumah tangga. Siang pergi mencari tambahan. Dan, sore pulang kembali ke tugas pokoknya, mengurus anak dan suami. Malam, menyiapkan segala keperluan untuk besok harinya. Jadi, istriku hari-hari padat dengan tugas rumah tangga. Itukah yang namanya membahagiakan…? Pertanyaan itu kembali menyeruak, menghantui setiap waktu.
Hingga malam menjelang saatnya saling berbagi. Aku paksakan menulis ungkapan hatiku ke dalam surat cinta pada sehelai kertas.
Untuk istriku tersayang,
Peluk hangat penuh cinta,
Istriku, tidak terasa kita sudah sepuluh tahun merajut relasi dalam rumah tangga. Betapa berharganya waktu yang telah kita lalui bersama dalam perjalanan hidup itu. Pasang surut , suka duka, manis pahit, susah senang adalah dinamika perjalanan telah memberi pelajaran yang sangat berharga. Kekuatan dalam dinamika perjalanan panjang itu adalah kekuatan cinta dan kesetiaan pada janji pernikahan yang telah memastikan pilihan teman hidupmu adalah aku.
Namun dalam sekian waktu yang sudah berlalu, masih ada terasa dalam dada sepenggal janji yang tertunda yang belum juga aku lakukan sejak awal yaitu janji membahagiakanmu lahir batin.
Engkau bagai mawar indah keluarga, namun keindahannya itu menjadi luntur karena harus berjibaku dalam kesibukan mengurus rumah tangga. Betapa dengan segala keikhlasanmu, engkau korbankan kepentingan diri demi anak-anak dan aku. Sementara aku tidak bisa membelikan keperluanmu yang pakean, sepatu atau tas bagus. Atau pula kosmetik yang dapat mempercantik wajah dan penampilanmu.
Waktu, tenaga, pikiran mengurus rumah tangga telah banyak kau korbankan untuk tumbuh kembang anakanak yang dipercayakan Tuhan. Dengan setulus ikhlas hatimu, engkau rela berlelah-lelah membantu aku mencari tambahan pendapatan dengan mengayuh sepeda di terik matahari. Bak wanita perkasa yang tersimpan dalam puisi Hartojo Andangdjaja.
Aku minta maaf dalam segala ketulusan. Mungkin aku bukan suami yang pantas memiliki engkau sebagai istri karena hanya mampu mengumbar janji. Mungkin juga engkau telah salah memilih aku menjadi teman hidupmu. Mungkin aku juga bukan tipe suami yang bertanggung jawab.
Dulu aku berjanji akan membahagiakan engkau lahir batin, ketika kita memutuskan hidup berumah tangga. “ Apakah hal itu sudah terjadi…? Ternyata sekalipun perjalanan panjang telah kita lalui, menurutku, Jawabnya “belum !” Namun engkau tetap setia mengarungi waktu bersamaku. Engkau tetap dalam tabah, sukacita, dan tegar menjalaninya.
Istriku tersayang, sebenarnya aku menahan malu dan kecil hati ketika aku harus mengungkapkan ini. Keraguan hatiku sungguh sangat besar menyelimuti pikiranku . Akankah Istriku yang penuh setia, akan menerima segala ungkapan hati ini. Tapi kuberanikan dengan seluruh jiwa untuk mengungkapkannya demi masa depan hidup rumah tangga kita.
Hanya satu yang dapat kuberikan kepadamu hingga saat ini yaitu sepenggal doa. Aku hanya bisa mendoakanmu agar engkau diberi kesehatan yang baik, panjang usia dan tetap berjalan bersamaku dalam biduk rumah tangga.
Maafkan aku atas segala kekurangan dan kelemahan. Aku belum bisa membahagiakanmu.
Peluk hangat,
Suamimu
Malam itu, aku tidak berani memandang wajah istriku yang dalam sunyi membaca suratku. Aku terdiam. Hanya sunyi senyap yang menemani kami yang dihiasi suara-suara serangga malam. Demikian juga aku tidak berani bertanya hanya bisa menunggu bagaimana respon istriku.
Akan tetapi terasa kesunyian itu semakin panjang karena selesai membaca suratku, istriku juga seperti terdiam seribu Bahasa. Kecamuk sejuta pertanyaan dalam benakku menyeruak bertubi-tubi memenuhi ruang pikiranku. “ Istriku kecewa? Istriku marah. Istriku menyesal telah menikah bersamaku?” Istriku hanya terdiam. Namun yang kulihat matanya berlinang, berkaca-kaca. Hingga akhirnya istriku menangis sejadinya. Lalu memelukku.
Kubelai rambutnya yang hitam mulus. Kutepuk-tepuk pundaknya. Sementara aku masih bingung dengan apa yang terjadi pada istriku. Mungkinkah dia sangat marah dan sangat kesal tapi tidak berdaya mengungkapkannya. Hanya tangis yang keluar.
Selang waktu dalam kesedihan istriku tiada tertahankan, aku ikut meneteskan air mata, hanyut dalam kesedihannya. Udara dingin terasa menusuk-nusuk tubuhku semakin membuat kesedihan itu menjadi-jadi.
Dengan lirih istriku berkata. “ Suamiku, aku merasa bahagia hidup bersamamu…, “ . Tiba-tiba nafasnya tersengal-sengal. “ Aku ingin pulang.” Kata istriku lirih.
“ Ingin pulang…? Tanyaku dalam diam. Spontan aku menjawab, “ Acara kita belum selesai. Baru besok sore kita akan pulang, “ ujarku dengan suara parau. Selebihnya, kembali suasana menjadi sepi dan sunyi. Hanya tangis istriku disertai nafas tersengal-sengal seperti berat menghirup udara.
Dua bulan terakhir, memang istriku sering mengalami kambuh asma kronisnya dan keadaan itu diperparah dengan gert yang juga menggerogoti kesehatan fisiknya. Hari-hari, harus bolak balik rumah sakit untuk perawatan. Kadang bisa seminggu istriku harus terbaring di rumah sakit.
Tidak lama, kurasa pegangan tangannya melemah, wajahnya kini menengadah dengan mata terpejam. Nafasnya terputus-putus. “ Kenapa istriku…” sambil kutepuk-tepuk pundaknya.
Kini seluruh tubuhnya melemah, tidak ada daya dalam pelukanku. Aku segera memanggil rekan-rekan dan panitia yang mungkin sedang beristirahat . Segera pertolongan diberikan, kebetulan ada dokter yang ikut serta. Dokter memberikan pertolongan seperlunya. Selanjutnya, minta segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lanjutan.
Suara sirine ambulan rumah sakit malam-malam menambah kegentaran hati dan jiwaku. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain sesegera mungkin mengupayakan perawatan untuk istriku. Aku duduk menyertai di sampingnya dalam kekalutan hati sambil berdoa sebisanya.
Kutatap wajah istriku yang bermasker selang oksigen. Mata terpejam. Nafas tersengal seperti berat menarik oksigen. Sekali-sekali aku mengecek tabung oksigen. Gelembung-gelembung pada tabung kecil penyambung selang oksigen masih membuih pertanda oksigen aktif terhirup. “ Istri bapak mengalami kambuh asma kronis dan asam lambungnya naik. Hawa dingin memperparah keadaan,” jelas dokter yang jaga malam itu setelah memeriksa kondisi istriku.
Segera obat-obatan diberikan perawat untuk meredakan sakitnya. Namun, selang beberapa jam, nafas istriku semakin memburu, dan seperti gelisah. Aku hanya bisa kembali memanggil-manggil perawat, minta pertolongan darurat.
Pecah tangis pedihku malam itu . Istriku harus menghembuskan nafas terakhir di pembaringan rumah sakit karena penyakitnya yang mendera. Ia pulang ke pangkuan Ilahi meninggalkan duka mendalam di hatiku dan anak-anak.
Sore itu kembali aku berziarah. Kutatap dalam khusuk gundukan tanah merah tempat istriku disemayamkan. Air mataku pelan-pelan hampir tak terasa, belinang, menetes di pipiku dan menetes di atas pusara istriku. Tak sadar, aku menangis sendirian di pemakaman itu. Sambil tertunduk lesu di atas pusara itu aku lantunkan doa-doa untuk kebahagiaan istriku di surga. Sisa-sisa bunga yang mengering dan layu menjadi saksi kepedihan hatiku. Kayu nisan bertliskan RIP Darmini, yang membisu, kubersihkan dengan tangan telanjang dari percikan tanah yang menempel, yang terpental oleh hujan yang jatuh tadi malam.
Matahari semakin dalam tenggelam di ufuk barat. Doaku hari itu katanya sudah cukup. Besok lagi. “ Selamat tinggal istriku. Bahagialah engkau di sisi Yang Mahakuasa. Doakan kami yang masih dalam peziarahan di dunia. Semoga aku dan anak-anak selalu mengenangmu, sekalipun hanya dalam bayangan masa lalu. Peluk cium, suamimu.”
Aku beringsut meninggalkan pusara istriku, berjalan terhuyung dalam beban berat terpikul di pundakku sejuta kepiluan yang menghimpit.
Kreator : Hanya
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Surat Cinta Berbingkai Sepenggal doa
Sorry, comment are closed for this post.