Penulis : Andan Prayoga (Member KMO Alineaku)
Suara kipas di ruangan ini begitu berisik. Ini disebabkan dari banyak hal, kutahu semua hal tersebut. Dan apakah aku terganggu dengan keberisikan itu? Justru aku malah bersyukur. Aku masih bisa merasakan apa itu yang namanya berisik, bagaima memekakannya bising knalpot motor, atau mungkin sumbangnya suara pengamen jalan. Aku mensyukuri itu semua. Aku masih diberi indra pendengaran dengan sempurna. Berbeda sekali dengan Mbah Turiyem. Dengan Ketuna-runguannya itu, ia harus melewati berbagai peristiwa kehidupan ini dengan sebatang kara.
Apakah beliau menderita? Entahlah. Kita tak bisa menilai kehidupan orang lain. Masing-masing orang memiliki definisi kebahagiaan sendiri. Termasuk dengan Mbah Turiyem.
Namun hari ini, aku rasanya air mataku tak bisa kubendung ketika kudengar kabar bahwa beliau telah wafat. Beliau telah mendahuluiku menemui Sang Pencipta. Sungguh, rasanya belum pantas gelar Alm. Itu tersemat di depan namamu yang hanya satu kata itu.
Aku memang tak tahu pasti makna nama singkatnya itu. Aku pun tak pernah menanyakan hal itu padanya. Entah. Aku lebih asyik menyimak rupa-rupa pengalaman yang ia alami. Bagiku, semua pengalaman yang ia alami memberikanku sudut pandang tentang perjuangan hidup. Terutama perjuangan hidup dari seorang perempuan yang tunarungu serta tuna-anak seperti beliau.
Obrolan-obrolan ketika dirinya membuatkan lotek dan saya menunggu lotek itu jadi. Meskipun singkat, obrolan-obrolan itu mengena sekali bagi diriku. Ya. Beliau adalah seorang penjual lotek di desaku. Meskipun memiliki kekurangan pendengaran, ia tetap mampu melayani kami dengan penuh semangat. Satu hal yang tak pernah kami lupakan adalah senyumannya ketika melayani pembeli. Senyuman ramahnya tak pernah luput dalam melayani para pembeli seperti aku.
Dulu, ketika aku kecil, menangkap makna ucapanya memanglah sulit. Lambat laun, baru ku mengerti mengapa demikian. Ternyata tunarungu itu sedikit banyak mempengaruhi ucapan yang terlontar dari bibirnya. Aku yang masih kecil saat itu, mau tidak mau harus lebih bersabar ketika berbincang-bincang dengan dirinya.
Aku masih mengingat jelas peristiwa itu. Entah, apakah kata “Peristiwa” tepat untuk mewakili kejadian itu. Yang jelas, mungkin ketika dirinya membaca tulisan ini, ia pun akan teringat langsung peristiwa itu. Namun, agar lebih banyak orang yang mendapatkan makna dari peristiwa itu, saya rasa tak jadi soal jika ku ceritakan kembali peristiwa itu di sini.
Peristiwa itu terjadi kurang lebih sekitar H+2 lebaran. Ketika beberapa toko dan penjual makanan masih tutup, dirinya sudah mulai berjualan lotek seperti biasa. Dan aku salut juga dengan kegigihannya itu.
Entah apa yang merasuki Bu Parnis waktu itu. Namun, entahlah, mungkin dirinya dengan beliau memiliki permasalahan atau apa, yang jelas, ketika peristiwa itu terjadi, aku berada langsung dan menyimak perdebatan kalian. Dari segala perdebatan itu, yang paling mengena di sanubariku adalah obrolan ini:
“Oalah, Tur.. cepat sekali sudah mulai berjualan. Ini kan masih suasana lebaran. Kok ya udah jualan lagi. Emang duit banyak-banyak untuk apa sih? Toh dirimu juga tidak ada keturunan. Cuman ada kamu dan Saimun. Buat apa cari duit banyak-banyak? Duit ngga dibawa mati, Tur!” Ucap Bu Parnis, yang aku masih ingat betul ekspresi wajahnya.
Aku masih ingat betul reaksi yang ia berikan terhadap pertanyaan itu. Ia diam dan tetap fokus membuatkan lotek untuku saat itu. Aku semakin terkejut ketika Bu Parnis mengulang pertanyaan. Kali ini dengan nada yang lebih keras.
Dan untuk pertanyaan yang kedua ini, baru ia merespon pertanyaan beliau. Ia merespon dengan hanya satu kata “Madang”, yang dalam bahasa indonesia diartikan sebagai makan.
Mbah..
Maaf dalam tulisan ini kupanggil dirimu tetap “Mbah” tanpa embel-embel gelar Alm di depannya. Bagiku, dirimu tetap abadi. Dirimu tetap ada dalam hidupku. Aku berhutang budi pada dirimu. Melalui dirimu, aku belajar tentang harapan, tentang perjuangan juga tentang makna “Berserah pada yang Maha Kuasa”.
Ketika yang lain sibuk menimang anak-cucu, kutahu betul dirimu dan Mbah Saimun justru menyibukan diri menunaikan kewajiban terhadap Allah. Rasanya, kalian berdua tak pernah absen dari mushola untuk menunaikan salat. Aku tahu hal ini karena rumahku persis di samping mushola. Jadi aku tahu betul, siapa yang sering ke mushola dan siapa yang tidak pernah. Pagi, siang, sore, juga malam, sepertinya dirimu tak pernah absen dari mushola. Dari tindakan kalian, aku jadi tersadarkan, bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah pemberianNya. Kita sebagai umatNya, diwajibkan untuk berserah diri. Kita bisa memohon dan berusaha semampu kita, namun jika Yang Maha Kuasa belum berkenaan, maka kita tak boleh kecewa. Kita hanya bisa berserah diri dan tetap berusaha, dibarengi dengan bersabar.
Mbah..
Peristiwa saat itu, ketika dirimu ditanyai Bu Parnis dan kau hanya menjawab “Makan”. Aku jadi tersadar, bahwa sejatinya hidup adalah hidup. Pepatah jawa mengatakan, “Urip iku Urup”, yang diartikan dalam bahasa indonesia menjadi “Hidup itu harus bermanfaat”. Waktu itu, memang kau tak menjawab pertanyaan Bu Parnis dengan kata-kata “Untuk memberikan manfaat kepada orang lain”. Kau hanya menjawab pertanyaan itu dengan satu kata “Madang”. Namun, dari situ justru aku menangkap makna. Sebelum kita bermanfaat bagi orang lain, yang lebih dulu kita utamakan adalah diri kita sendiri. Kita tak bisa membantu orang lain jika diri kita sendiri menderita. Diri ini kelaparan dan sebagainya.
Mbah..
Meskipun sekarang ragamu sudah tak ada. Namun pesan-pesan moral itu tetap abadi dalam benakku. Aku sungguh berterima kasih kepada dirimu. Aku bahkan merasa berhutang budi pada dirimu. Meskipun di dukuh ini dirimu dipandang rendah, namun bagiku, dirimu adalah guruku tentang kehidupan.
Mbah..
Semoga dirimu tenang di sana. Semoga tuhan menempatkan dirimu di tempat yang paling indah. Tempat di mana tidak ditemukan celaan, hinaan, maupun umpatan kasar tentang ketidaksempurnaan. Kuberharap dirimu bahagia di sana. Bersama suamimu, Mbah Saimun, Aku berdoa agar kalian berbahagia selamanya. Amin.
Tuhan Memberkati.
Tabik.
*Tulisan ini ditulis tepat di hari kepergian Mbah Turiyem, 22 Mei 2022.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Tak Ada Yang Hampa Dalam Kehampaan Itu Sendiri
Sorry, comment are closed for this post.