Keringat bercucuran sebesar biji jagung mengalir di dahi seorang gadis yang bernama Aminah. Kulitnya yang putih, seputih kulit kentang, merona merah terkena sengatan sang surya. Gadis bermata sipit ini adalah kembang desa Gurah. Namun nasibnya tidak secantik wajahnya. Setiap hari dia harus bergumul dengan lumpur dan rerimbunan padi. Sama seperti hari ini, dia sudah siap memanen padi yang menguning milik juragan Sunyoto. Bersama dengan Simak dan mbakyunya serta ibu – ibu yang lain menjadi buruh tani. Sudah menjadi hal lumrah di desanya, para perempuan menjadi buruh tani mulai dari menanam benih, menyiangi rumput di sela-sela tanaman padi dan memanennya jika sudah menguning.
Kehidupan ekonomi keluarganya yang serba kekurangan memaksa Aminah dan kakak perempuannya melakukan pekerjaan kasar di usia dini. Seringkali ibu – ibu tidak tega melihat gadis kecil nan ayu tersebut turut bekerja kasar seperti yang dilakukan oleh mereka,
“Nduk, mreneo!”(Nak, kesini!). panggil Yu Karsi kepada Aminah.
“Nggih Yu.” (Baik, Mbak). Aminah melangkah mendekati Yu Karsi.
Yu Karsi mencondongkan tubuhnya dan berbisik kepada Aminah,”Nduk, kowe mulih wae kono, iki duweke, gowonen mulih.” (Nak, kamu pulang saja sana, ini punyaku, bawa pulang saja). Tangan Yu Karsi menyodorkan satu ikat gabah kepada Aminah.
Aminah menolak dengan halus,”Ndak usah Yu, nanti kalau ketahuan Mandor Tarno, aku bakal dimarahi.” Sanggah Aminah.
Aminah takut sekali dengan Mandor Tarno. Perawakannya yang tinggi, berkulit hitam dan suaranya yang menggelegar membuat orang bergidik ngeri.
Aminah memang seringkali diberi seikat gabah oleh ibu-ibu yang bekerja disana. Kulit Aminah yang putih mulus, seputih kentang akan memerah ketika tersengat matahari. Hal inilah yang mengundang rasa kasihan ibu-ibu kepadanya. Rasanya gadis secantik dia, tidak pantas bekerja sebagai buruh tani.
”Wis to terima saja! nanti aku yang bakal ngadepi Mandor Tarno.”(Sudah diterima saja! Nanti aku yang akan menghadapi Mandor Tarno). Yu Karsi tetap kekeh memberikan satu ikat gabah, sambil memasang wajah kasihan pada Aminah.
”Aku ndak tegel lihat kamu panas-panasan nduk, kuwi kulitmu wis do abang kabeh.” (Aku tidak tega lihat kamu berpanas-panasan nak, ini kulitmu sudah merah semua). Yu Karsi memegang tangan Aminah, sambil menunjuk lengannya yang memerah.
Aminah memandang Simak dan Mbakyu yang ada disebelahnya. Simaknya mengangguk tanda setuju, kalau Aminah boleh pulang dan membawa satu ikat gabah dari Yu Karsi sebagai upahnya.
“Suwun yo Kar, kowe mesti ngono karo Aminah,” (Makasih ya Kar, kamu mesti gitu sama Aminah). Kata Simak kepada Yu Karsi.
“Rapopo Bude, aku melas ro Aminah. Cah ayu, kulite putih, kok klayabane neng sawah. sakjane ora cocok.” (Nggak apa-apa Bude, aku sayang sama Aminah). (Anak cantik, kulitnya putih, kok mainnya di sawah, nggak cocok). Yu Karsi menghela nafas panjang, berempati pada nasib Aminah.
“Lha piye maneh, wong ora duwe koyo awak’e dewe ora duwe pilihan.” (lha mau gimana lagi, orang miskin macam kita ini ndak punya pilihan). Wajah Simak terlihat muram ketika mengungkapkan kata itu kepada Yu Karsi.
“Woi, kowe mandeg!” (Woi, kamu berhenti!”
Suara teriakan Mandor Tarno yang begitu keras, membuat para pekerja terdiam tiba-tiba. Sejurus kemudian, ibu-ibu di sana mulai kasak kusuk, saling bertanya ada apa gerangan Mandor Tarno sampai berteriak marah seperti itu.
Aminah merasa bahwa dia lah orang yang diminta berhenti oleh Mandor Tarno. Lututnya mulai gemetar ketakutan, Tanpa menoleh ke belakang, Aminah mengumpulkan kekuatan dan berlari sekuat tenaga.
“Bocah edan! (Anak gila!),
“Awas kowe! Dasar Maling!” (Awas kamu! Dasar pencuri!).
Aminah lari tunggang langgang dengan membawa keranjang yang berisi gabah pemberian Yu Karsi. Mandor Tarno sepertinya tidak terima kalau Aminah membawa gabah tersebut, karena pekerjaannya belum selesai sampai sore hari. Makanya Mandor Tarno sampai semarah itu kepada Aminah.
Aminah yang masih belia, Langkah kakinya kalah lebar dengan Mandor Tarno. Hampir saja Mandor Tarno meraih keranjang yang digendong Aminah. Tapi, Aminah berhasil merebutnya Kembali. Dia berusaha lari sekencang-kencangnya dengan sisa nafas yang ada. Di tikungan dekat balai desa ada Semak-semak yang cukup rimbun. Dia pun memutuskan untuk bersembunyi disana.
Aminah langsung loncat ke dalam Semak-semak, tepat pada saat Mandor Tarno sampai di tikungan.
“Neng ndi malinge!” (Dimana pencurinya?) Mandor Tarno berkacak pinggang, menyapu pandangan di sekitar perempatan balai desa mencari – cari keberadaan Aminah.
“Asem tenan, ngilang bocahe!” (Kurang ajar betul, menghilang anaknya). Ucap Mandor Tarno ngos-ngosan.
Deru nafas Aminah memburu, dia membekap mulutnya sendiri. Badannya sudah gemetar dari tadi, takut ketahuan Mandor Tarno. Di Tengah ketakutannya yang teramat sangat, tiba-tiba pundaknya dicengkeram oleh seseorang dari belakang. Aminah pun berteriak sekencang-kencangnya.
“Ampun Pak! Kulo sanes maling!” (Ampun, pak! Saya bukan maling).
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tak Semanis “Madu” Chapter 1 “Gadis Berkulit Kentang”
Sorry, comment are closed for this post.