“Arghhhh” Aminah menjerit, ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Tangan itu langsung membekap mulut Aminah.
“Sssttt! iki aku Mbak Am.” Telunjuk orang tersebut berada di hidung, mengisyaratkan Aminah untuk diam.
Aminah memutar lehernya ke belakang. Betapa lega hati Aminah, ternyata orang yang sedari tadi membuatnya takut adalah Rum, adik perempuannya.
“Wuuu..!kowe to Rum. Jantungku arep copot iki. Tak kiro Mandor Tarno.” (Wuu..!kamu to Rum. Jantungku mau jatuh ini. Aku kira Mandor Tarno).
Rum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menggamit lengan kanan Mbakyunya.
“Eits…mengko sik Rum, kondisi opo wis aman?” (Eits…Nanti dulu Rum, kondisi apa sudah aman?) Tanya Aminah penuh selidik kepada Rum.
“Aman..mbak Am! Mandor Tarno wis lungo.” (Mandor Tarno sudah pergi). Aminah menghela nafas panjang dan mereka berdua berjalan santai.
“Mbak, mpean kon mulih Bapak!” (Mbak, kamu disuruh pulang sama Bapak).
“Aku mau arep nyusul mpean neng sawahe Juragan Nyoto. Jebul mpean malah dolanan petak umpet neng kene karo Mandor Tarno.” (Aku tadinya mau nyusul kamu ke sawahnya Juragan Nyoto, ternyata malah main petak umpet disini sama mandor Tarno). Rum menahan tawanya yang hampir meledak, akan tetapi pinggangnya langsung dicubit Aminah dengan gemas.
“Aduhhh…loro mbaaak!” (Aduhhh…sakit mbaaak!). Rum meringis kesakitan.
“Rasakno kowe, makane ojo mbedo mbakmu!” (Rasakan kamu, makanya jangan suka mengejek kakakmu!). Aminah lagi – lagi gemas dengan adiknya dan langsung menggelitiki Rum tanpa ampun. Rum lari tunggang langgang untuk menghindari gelitikan maut kakaknya.
***
Mandor Tarno terengah – engah dengan muka yang merah padam menahan amarah karena tidak berhasil meringkus Aminah. Amarah pun dia lampiaskan kepada ibu – ibu yang sedang istirahat dan asyik kasak kusuk membicarakan nasib Aminah setelah dikejar oleh Mandor Tarno.
”heh! Kowe – kowe neng kene kerjo, dudu kon ngobrol ngalor ngidul.” (Heh! Kamu kamu disini tuh kerja, bukan disuruh ngobrol gak jelas).
Hayo! Ndang kerjo, tak lapor ke Juragan Nyoto yen kowe podo males.” (Ayo! Kerja cepat, saya laporkan ke Juragan Nyoto, kalau kamu semua malas). Mandor Tarno berkacak pinggang dan menuding ibu-ibu buruh tani.
Begitulah perlakuan kasar Mandor Tarno pada mereka. Lalai sedikit saja sudah terkena amarah dan ancaman dari si Mandor.Terkadang upah mereka juga dikurangi tanpa sepengetahuan Juragan Nyoto. Tiap kali protes kepada yang punya sawah, jawabannya selalu sama,”Aku lebih percaya Tarno daripada kowe!”
Bagi kaum buruh seperti mereka, sudah menjadi makanan sehari -hari diperlakukan semena-mena oleh orang – orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan seperti mandor Tarno dan Juragan Sunyoto. Mereka hanya bisa pasrah melihat ketidakadilan itu. Dalam pikiran mereka cuma satu, yang penting mereka pulang membawa satu ikat gabah dan beberapa uang receh hasil pergelutan mereka di sawah seharian untuk sekedar membeli beras dan lauk pauk seadanya.
***
Aminah dan Rum sudah sampai di depan rumah dan mendapati adik-adiknya sedang bermain di halaman. Dul dan Zain yang masing – masing berumur 8 dan 5 tahun sedang asyik bermain gundukan pasir. Sedangkan si kecil Azam yang masih berusia 2 tahun, tertidur di ayunan teras rumah.
Aminah mencium Azam yang terlelap dalam mimpi. Dua orang adiknya, Dul dan Zain langsung berlarian memeluk pinggangnya.
“Hore! Mbak Am wis mulih.”(Hore! Mbak Am sudah pulang). Aminah menyambut pelukan adik -adiknya, berjongkok dan menciumi adiknya satu persatu.
Melihat hanya Aminah yang dicium Dul dan Zain, Rum menyodorkan pipi kepada dua adiknya.
‘Mba Rum dicium juga to!” Dul dan Zain langsung menurut dan mencium Rum secara bergantian.
Sungguh indah kebersamaan dan kerukunan kakak beradik itu. Walaupun hidup mereka pas pas-an, namun tidak terlihat mereka muram dan bersedih meratapi nasib. Mereka juga tidak pernah menuntut kedua orang tuanya untuk memenuhi keinginan mereka, karena mereka paham kondisi Bapak dan Simak yang sudah sepuh.
Di keluarga ini hanya Rum satu – satunya yang masih bisa bersekolah. Keterbatasan biaya membuat Dul yang sudah berusia 8 tahun belum disekolahkan oleh orang tuanya. Aminah sendiri sudah lulus Sekolah Dasar (SD) sejak 2 tahun yang lalu. Hingga sekarang Aminah belum bisa melanjutkan ke SMP/MTS. Sedangkan kakak Perempuan tertuanya, Hafsah sebentar lagi akan segera menikah. Dia sudah dilamar seorang pemuda dari Desa Jeruklegi.
Terdengar suara Bapak sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang di ruang tamu. Mendengar riuh rendah suara anak-anaknya di halaman, Bapak kemudian keluar menghampiri mereka. Mata Bapak langsung tertuju kepada Aminah. Tangan Bapak melambai kepada Aminah, menyuruhnya mendekati Bapak.
“Nduk, mreneo!” (Nak, kesini!).
“Nggih, Pak.” Aminah bergegas melangkahkan kakinya mendekati Bapak.
“Nduk, bersih-bersih dulu yo!” ganti klambi sing resik, ono sing arep ketemu kowe.” (Nak, bersihkan dirimu! Ganti baju yang bersih, ada yang mau bertemu kamu).
“Sinten, Pak?” (Siapa pak?). Raut muka Aminah penuh dengan tanda tanya.
“Mengko kowe ngerti dewe.” (Nanti kamu tahu sendiri). Bapak mencubit dagu Aminah dan kembali menemui tamu misterius tadi.
Aminah berjalan memutar ke belakang dan membuka pintu belakang rumahnya yang terbuat dari bambu. Sebelum masuk, dia melepaskan keranjang dari gendongannya, serta mengeluarkan seikat gabah dari keranjang tersebut. Gabah dia tenteng dengan tangan kirinya dan tangan kanannya membuka pintu yang terbuat dari bambu. .
“kreet,” bunyi pintu yang sudah mulai tua dimakan usia.
Aminah masuk ke dalam dan mencantolkan gabah di dekat rak piring yang terbuat dari kayu.
“Byurrr” Air mengguyur badan Aminah yang penuh dengan peluh dan lumpur sawah.
Kesegaran terlihat di wajah Aminah setelah tersapu dengan air dingin yang bersumber langsung dari Gunung Kelud. Desa Gurah, tempat lahir Aminah merupakan salah satu desa yang berada di di dekat Gunung Kelud. Desa yang subur karena limpahan abu vulkanik yang dimuntahkan oleh Sang Giri. Hamparan sawah nan hijau menjadi pemandangan yang menyejukkan terutama di pagi hari. Air sungai mengalir sangat jernih bersumber langsung dari mata air Gunung Kelud, menjadikan desa ini gemah ripah loh jinawi.
Aminah masih berpagut di depan cermin, menyisir rambut coklatnya yang panjang. Dia bertanya-tanya mengenai tamu misterius yang sedang bercakap-cakap dengan Bapaknya. Terkadang gelak tawa terdengar di tengah obrolan mereka.
Sejurus kemudian, Aminah memantapkan langkahnya untuk bertemu dengan tamu tersebut. Beberapa kali dia menghela nafas panjang untuk mengurangi degup jantungnya seakan – akan mau loncat dari rongga dadanya. Deru nafasnya semakin cepat, ketika langkahnya makin mendekati keberadaan si tamu misterius.
Tubuh Aminah seketika membeku. Setelah dia tahu tamu misterius yang ingin bertemu dengannya.
“Ternyata Dia….!”
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tak Semanis “Madu” Chapter 2 “Tamu Misterius”
Sorry, comment are closed for this post.