Aminah terdiam mematung menatap pria yang berada di depannya. Sampai – sampai dia tidak sadar kalau tamu pria yang ditatapnya itu menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.
“Eheem.” Bapak berdehem sambil memberikan isyarat kepada Aminah untuk menyambut tangan si pria, namun Aminah tampak enggan mengangkat tangannya.
Tamu misterius yang ingin bertemu Aminah tak lain dan tak bukan adalah Pak Lurah Zulkarnain. Pak Zul, begitu orang desa memanggilnya. Beliau adalah anak Pak Kyai Abdullah yang cukup terkenal di desa tersebut. Pak Kyai memiliki pondok pesantren yang berdiri megah bernama Darul Mubtadien. Santrinya datang dari berbagai pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah, bahkan beberapa ada yang datang dari pulau Sumatera. Konon kekayaan Pak Kyai Abdullah sangat melimpah, sawahnya luas berhektar-hektar. Memiliki peternakan sapi dan kerbau yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari. Jika masa panen padi tiba, para wanita baik itu tua maupun muda menjadi buruh nutu (penumbuk padi) di rumahnya.
Termasuk Simak dan Hafsah menjadi buruh nutu di tempat Pak Kyai Abdullah. Aminah yang kala itu masih duduk di kelas 5 SD datang membantu Simak dan Mbakyunya jika istirahat sekolah. Kalau waktu istirahat sudah selesai, Aminah kembali lagi ke sekolah. Bagi Aminah waktu istirahat sangat berharga dan sayang kalau dihabiskan hanya untuk bermain atau membeli jajan seperti teman-temannya. Di dalam pikiran gadis kecil ini hanya satu ingin membantu Simaknya mencari nafkah, walaupun dengan kekuatan tangan kecilnya yang lemah.
Pikiran Aminah menerawang jauh ke belakang, saat dia menumbuk padi di rumah Kyai Abdullah. Masih melekat betul di kepala gadis itu, betapa galaknya kakak perempuan Pak Zul yang bernama Bu Sa’adah. Jika bibirnya sudah mencebik, Aminah ketakutan bukan main. Bu Sa’adah adalah kakak Perempuan tertua Pak Zul yang diberi tugas ayahnya untuk mengawasi pekerjaan perempuan buruh nutu di rumahnya.
Lamunan Aminah buyar ketika Bapak menjawil lengannya.
“Nduk, sini duduk samping Bapak.” Aminah menurut duduk disamping kiri Bapaknya, tepat berhadap – hadapan dengan Pak Zul.
Pak Zul ternyata tidak datang sendiri. Beliau ditemani ayah dan ibu serta kakak Perempuannya. Perasaan Aminah mulai tidak enak. Pasti mereka mempunyai rencana besar, hingga keluarga terpandang di desanya itu mau datang ke gubug tempat tinggal mereka yang reyot dan beralaskan tanah.
“Monggo Pak Kyai, menika Aminah.” Empat jemari Bapak merapat ke dalam telapak tangan, sedangkan jari jempol mengacung keatas yang artinya “mempersilakan” seseorang yang dihormati.
“Nggih matur suwun, Pak Sugeng, maksud kedatangan kami kesini mau melamar putri Bapak, Aminah buat anak saya, Zulkarnain.” Pak Kyai Abdullah berucap serius.
Bapak terkesan mendengar ucapan Pak Kyai.
“Apa Pak Kyai mboten salah mau meminang putri kami?”
“Kami ini orang ndak punya Pak Kyai, gak selevel sama jenengan. Apa kiranya Aminah diterima di keluarga jenengan?” raut muka Bapak tampak ragu.
“Yaaah…mau gimana lagi Pak Sugeng, Zulnya yang mau sama Aminah, betul kan Zul?” Pak Kyai Abdullah menoleh ke Zul.
“Nggih leres Pak Sugeng, saya sudah jatuh cinta sama dik Am sejak lama. Kami tak sengaja berpapasan saat mengaji sore, sejak saat itulah saya jatuh hati kepada Dik Am dan bertekad menikahinya.” Zul membeberkan awal mula dia jatuh cinta kepada Aminah dengan penuh percaya diri.
Sebenarnya Aminah ingin sekali bisa mondok di Darul Mubtadien, namun karena tidak ada biaya, dia hanya bisa mengaji sore di tempatnya Pak Kyai Abdullah. Mengaji sore menjadi pilihan yang tepat untuk golongan tidak mampu seperti Aminah karena tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis.
Selain gratis, ada satu keuntungan luar biasa, yaitu bisa bertemu secara langsung sosok Bu Nyai pemilik pondok pesantren Darul Mubtadien, karena beliau adalah pengampu langsung mengaji sore, dibantu dua adik perempuan Pak Zul. Hal ini menjadi kesempatan langka bagi Aminah, bisa diajar langsung oleh orang sekelas Bu Nyai. Untuk remaja putra diajar oleh Pak Zul dan beberapa santri putra yang sudah lulus dari pondok.
Aminah kembali teringat kejadian dia berpapasan dengan Pak Zul. Ketika itu, dia buru-buru mau masuk kelas mengaji. Karena tergesa-gesa, dia menabrak badan Pak Zul yang tepat berada di depannya. Aminah terjatuh. Melihat Aminah jatuh, sontak Pak Zul memegang tangan Aminah, menolongnya bangun. Pak Zul terus menatap gadis yang ada didepannya. Tak berkedip. Bagaikan tersihir oleh kecantikan setaraf bidadari.
“Astagfirullah!” Teriakan Aminah membuyarkan tatapannya. Refleks, Pak Zul melepaskan tangannya. Pak Zul juga turut beristighfar. Selama ini, dia belum pernah menyentuh gadis yang bukan mahramnya.
***
“Tuh Pak Sugeng, sudah dengar sendiri kan? Zul maunya sama Aminah. Padahal sudah banyak ditawari putrinya kyai-kyai gede Kediri, Eh..malah milihnya gadis macam Aminah.” Bu Sa’adah yang sedari tadi diam, menyela pembicaraan seraya mulutnya mencebik.
“Astaghfirullah!” Bapak geleng-geleng kepala dan menghela nafas. Rasa pedih mendengar cibiran dari Sa’adah.
“Dah, kowe menengo!” (Dah, kamu diam saja!). Bentak Pak Kyai kepada anak Perempuan tertuanya. Bu Sa’adah melengos. Suasana menjadi tidak nyaman satu sama lain.
Untuk mencairkan suasana, Bapak mempersilahkan para tamu mencicipi teh hangat dan singkong goreng di meja.
Pak Kyai kemudian membuka kata lagi,”Pripun, Pak Sugeng? Ojo suwe – suwe! Anak saya sudah ngebet pengen nikah.” Pak Kyai terkekeh sambil sikunya menyenggol Zul, anaknya. Zul pun tersipu malu.
“Kita tanya langsung sama anaknya saja. Kan yang menjalani pernikahan mereka to pak? Bukan kita.” Bapak berucap bijak.
“Gimana, nduk? Kamu terima lamaran Nak Zul?” Bapak bertanya dengan lembut dan hati – hati kepada putri keduanya.
Bagaikan petir menyambar di siang hari. Begitulah yang dirasakan Aminah sekarang. Aminah tidak mampu memberikan jawaban ya maupun tidak. Dia diam seribu Bahasa, kepalanya terasa berat. Bulir-bulir air keluar dari netranya. Aminah tak mengira jika dia akan dilamar oleh Pak Zul yang umurnya terpaut 15 tahun dengannya. Dia juga belum siap jika harus menikah di usianya yang masih belia, 14 tahun. Walaupun sudah menjadi hal wajar di desanya, gadis yang sudah lulus SD pasti akan cepat-cepat dinikahkan oleh orang tuanya. Aminah tidak mau bernasib sama dengan teman-temannya. Dadanya bergemuruh, ada perasaan kecewa, marah dan sedih bercampur aduk jadi satu dalam benaknya. Dia masih mempunyai cita – cita melanjutkan sekolah.
“Akan tetapi…! Ah…sudahlah.” Dunia di sekelilingnya menjadi gelap seketika. Aminah ambruk.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tak Semanis “Madu” Chapter 3 “ Lamaran Tak Terduga”
Sorry, comment are closed for this post.