KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Tak Semanis “Madu” Chapter 3 “ Lamaran Tak Terduga”

    Tak Semanis “Madu” Chapter 3 “ Lamaran Tak Terduga”

    BY 07 Jul 2024 Dilihat: 137 kali
    Tak Semanis Madu -Chapter 3 Lamaran Tak Terduga_alineaku

    Aminah terdiam mematung menatap pria yang berada di depannya. Sampai – sampai dia tidak sadar kalau tamu pria yang ditatapnya itu menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.

    “Eheem.” Bapak berdehem sambil memberikan isyarat kepada Aminah untuk menyambut tangan si pria, namun Aminah tampak enggan mengangkat tangannya. 

    Tamu misterius yang ingin bertemu Aminah tak lain dan tak bukan adalah Pak Lurah Zulkarnain. Pak Zul, begitu orang desa memanggilnya. Beliau adalah anak Pak Kyai Abdullah yang cukup terkenal di desa tersebut. Pak Kyai memiliki pondok pesantren yang berdiri megah bernama Darul Mubtadien. Santrinya datang dari berbagai pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah, bahkan beberapa ada yang datang dari pulau Sumatera. Konon kekayaan Pak Kyai Abdullah sangat melimpah, sawahnya luas berhektar-hektar. Memiliki peternakan sapi dan kerbau yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari. Jika masa panen padi tiba, para wanita baik itu tua maupun muda menjadi buruh nutu (penumbuk padi) di rumahnya. 

    Termasuk Simak dan Hafsah menjadi buruh nutu di tempat Pak Kyai Abdullah. Aminah yang kala itu masih duduk di kelas 5 SD datang membantu Simak dan Mbakyunya jika istirahat sekolah. Kalau waktu istirahat sudah selesai, Aminah kembali lagi ke sekolah. Bagi Aminah waktu istirahat sangat berharga dan sayang kalau dihabiskan hanya untuk bermain atau membeli jajan seperti teman-temannya. Di dalam pikiran gadis kecil ini hanya satu ingin membantu Simaknya mencari nafkah, walaupun dengan kekuatan tangan kecilnya yang lemah.

    Pikiran Aminah menerawang jauh ke belakang, saat dia menumbuk padi di rumah Kyai Abdullah. Masih melekat betul di kepala gadis itu, betapa galaknya kakak perempuan Pak Zul yang bernama Bu Sa’adah. Jika  bibirnya sudah mencebik, Aminah ketakutan bukan main. Bu Sa’adah adalah kakak Perempuan tertua Pak Zul yang diberi tugas ayahnya untuk mengawasi pekerjaan perempuan buruh nutu di rumahnya. 

    Lamunan Aminah buyar ketika Bapak menjawil lengannya. 

    “Nduk, sini duduk samping Bapak.” Aminah menurut duduk disamping kiri Bapaknya, tepat berhadap – hadapan dengan Pak Zul.  

    Pak Zul ternyata tidak datang sendiri. Beliau ditemani ayah dan ibu serta kakak Perempuannya. Perasaan Aminah mulai tidak enak. Pasti mereka mempunyai rencana besar, hingga keluarga terpandang di desanya itu mau datang ke gubug tempat tinggal mereka yang reyot dan beralaskan tanah.

    “Monggo Pak Kyai, menika Aminah.” Empat jemari Bapak merapat ke dalam telapak tangan, sedangkan jari jempol mengacung keatas yang artinya “mempersilakan” seseorang yang dihormati.  

    “Nggih matur suwun, Pak Sugeng, maksud kedatangan kami kesini mau melamar putri Bapak, Aminah buat anak saya, Zulkarnain.” Pak Kyai Abdullah berucap serius.

    Bapak terkesan mendengar ucapan Pak Kyai.

    “Apa Pak Kyai mboten salah mau meminang putri kami?”

    “Kami ini orang ndak punya Pak Kyai, gak selevel sama jenengan. Apa kiranya Aminah diterima di keluarga jenengan?” raut muka Bapak tampak ragu.

    “Yaaah…mau gimana lagi Pak Sugeng, Zulnya yang mau sama Aminah, betul kan Zul?” Pak Kyai Abdullah menoleh ke Zul.

    “Nggih leres Pak Sugeng, saya sudah jatuh cinta sama dik Am sejak lama. Kami tak sengaja berpapasan saat mengaji sore, sejak saat itulah saya jatuh hati kepada Dik Am dan bertekad menikahinya.” Zul membeberkan awal mula dia jatuh cinta kepada Aminah dengan penuh percaya diri.

    Sebenarnya Aminah ingin sekali bisa mondok di Darul Mubtadien, namun karena tidak ada biaya, dia hanya bisa mengaji sore di tempatnya Pak Kyai Abdullah. Mengaji sore menjadi pilihan yang tepat untuk golongan tidak mampu seperti Aminah karena tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis. 

    Selain gratis, ada satu keuntungan luar biasa, yaitu bisa bertemu secara langsung sosok Bu Nyai pemilik pondok pesantren Darul Mubtadien, karena beliau adalah pengampu langsung mengaji sore, dibantu dua adik perempuan Pak Zul. Hal ini menjadi kesempatan langka bagi Aminah, bisa diajar langsung oleh orang sekelas Bu Nyai. Untuk remaja putra diajar oleh Pak Zul dan beberapa santri putra yang sudah lulus dari pondok.

    Aminah kembali teringat kejadian dia berpapasan dengan Pak Zul. Ketika itu, dia buru-buru mau masuk kelas mengaji. Karena tergesa-gesa, dia menabrak badan Pak Zul yang tepat berada di depannya. Aminah terjatuh. Melihat Aminah jatuh, sontak Pak Zul memegang tangan Aminah, menolongnya bangun. Pak Zul terus menatap gadis yang ada didepannya. Tak berkedip. Bagaikan tersihir oleh kecantikan setaraf bidadari. 

    “Astagfirullah!” Teriakan Aminah membuyarkan tatapannya. Refleks, Pak Zul melepaskan tangannya. Pak Zul juga turut beristighfar. Selama ini, dia belum pernah menyentuh gadis yang bukan mahramnya.

    ***

    “Tuh Pak Sugeng, sudah dengar sendiri kan? Zul maunya sama Aminah. Padahal sudah banyak ditawari putrinya kyai-kyai gede Kediri, Eh..malah milihnya gadis macam Aminah.” Bu Sa’adah yang sedari tadi diam, menyela pembicaraan seraya mulutnya mencebik.

    “Astaghfirullah!” Bapak geleng-geleng kepala dan menghela nafas. Rasa pedih mendengar cibiran dari Sa’adah.

    “Dah, kowe menengo!” (Dah, kamu diam saja!). Bentak Pak Kyai kepada anak Perempuan tertuanya. Bu Sa’adah melengos. Suasana menjadi tidak nyaman satu sama lain.

    Untuk mencairkan suasana, Bapak mempersilahkan para tamu mencicipi teh hangat dan singkong goreng di meja. 

    Pak Kyai kemudian membuka kata lagi,”Pripun, Pak Sugeng? Ojo suwe – suwe! Anak saya sudah ngebet pengen nikah.” Pak Kyai terkekeh sambil sikunya menyenggol Zul, anaknya. Zul pun tersipu malu. 

    “Kita tanya langsung sama anaknya saja. Kan yang menjalani pernikahan mereka to pak? Bukan kita.” Bapak berucap bijak.

    “Gimana, nduk? Kamu terima lamaran Nak Zul?” Bapak bertanya dengan lembut dan hati – hati kepada putri keduanya.

    Bagaikan petir menyambar di siang hari. Begitulah yang dirasakan Aminah sekarang. Aminah tidak mampu memberikan jawaban ya maupun tidak. Dia diam seribu Bahasa, kepalanya terasa berat. Bulir-bulir air keluar dari netranya. Aminah tak mengira jika dia akan dilamar oleh Pak Zul yang umurnya terpaut 15 tahun dengannya. Dia juga belum siap jika harus menikah di usianya yang masih belia, 14 tahun. Walaupun sudah menjadi hal wajar di desanya, gadis yang sudah lulus SD pasti akan cepat-cepat dinikahkan oleh orang tuanya. Aminah tidak mau bernasib sama dengan teman-temannya. Dadanya bergemuruh, ada perasaan kecewa, marah dan sedih bercampur aduk jadi satu dalam benaknya. Dia masih mempunyai cita – cita melanjutkan sekolah. 

    “Akan tetapi…! Ah…sudahlah.” Dunia di sekelilingnya menjadi gelap seketika. Aminah ambruk.

     

     

    Kreator : Roro Nawang Wulan

    Bagikan ke

    Comment Closed: Tak Semanis “Madu” Chapter 3 “ Lamaran Tak Terduga”

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021