Tubuh Aminah yang lemah, ambruk seketika di pangkuan Bapaknya. Semua orang yang ada di ruang tamu serentak berdiri mendekati Aminah. Zul menawarkan diri mengangkat Aminah untuk dibawa ke dalam, namun Bapak menampiknya. Bapak dengan tubuh rentanya segera membopong putrinya dengan susah payah ke dalam kamarnya. Simak dan Hafsah mengekor di belakang Bapak.
“Nduk, kamu kenapa?” Raut wajah Simak terlihat cemas melihat Aminah yang tiba-tiba pingsan. Hafsah merangkul Simak sambil mengusap – usap punggungnya.
Bapak menidurkan Aminah di ranjangnya. Bapak menyuruh Hafsah mengambil minyak kayu putih. Rum dari luar sambil menggendong Azam yang menangis, diiringi Dul dan Zain menghambur ke dalam kamar.
“Mbak Am, kenopo Mak?” Tanya Rum sambil melepaskan gendongan Azam diserahkan ke Simaknya.
“Ndak tahu Rum, Mbakmu tiba-tiba pingsan.” Simak mengelap matanya yang sudah basah dengan selendang gendongan Azam.
“Mbak Am, bangun mbaaak!” Rum mendekati tubuh kakaknya dan mengguncang – guncang tubuhnya.
“Rum, kasih minyak kayu putih ini di dekat hidungnya!” Perintah Hafsah kepada Rum.
“Kalian urus Aminah dulu! Tak nemoni Pak Kyai di depan. “ Bapak berdiri dan keluar dari kamar.
***
Pak Kyai Abdullah beserta keluarganya terlihat tidak nyaman. Mereka terlihat kikuk berada di ruang tamu. Zul terlihat mondar mandir mencemaskan Aminah.
“Pak, sebaiknya kita pulang saja?” Pinta Bu Nyai.
“Sebentar, tunggu dulu! Masak kita mau nyelonong gitu aja, Bu.” Cegah Pak Kyai.
Sejurus kemudian, Pak Sugeng keluar. Zul tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Gimana kondisi Aminah, Pak?’ Tanya Zul penuh kekhawatiran.
“Belum siuman, Nak. Kami masih berusaha menyadarkan Aminah.” Jawab Pak Sugeng setengah putus asa.
“Di bawa ke puskesmas saja pak, saya akan membawa Aminah kesana.” Sambung Zul menawarkan bantuan.
“Ya betul Pak Sugeng, benar kata Zul. Biar segera ditangani sama Dokter disana. Siapa tahu Aminah ada sakit apa gitu.” Timpal Pak Kyai.
“Nggih, Pak Kyai. Mekaten mawon.” (Baik Pak Kyai, begitu saja). Pak Sugeng mengangguk, menyetujui saran yang diberikan Pak Kyai.
Ketika mereka sudah mulai bersiap-siap, dari dalam kamar, Simak setengah berlari ke ruang tamu.
“Pak’e…! Aminah wis siuman.”
“Alhamdulillah.” Jawab semua orang di ruangan itu kompak.
“Ya wis, berhubung Aminah wis siuman. Kulo sakeluargo pamit rumiyin. Pak Sugeng, mengenai lamaran ini, kita bicarakan lagi nanti kalau Aminah sudah benar-benar membaik.” Pak Kyai menyunggingkan senyum sambil bersalaman dengan Pak Sugeng.
“Nggih Pak Kyai, Saya sekeluarga nyuwun pangapunten atas kejadian yang tidak mengenakkan ini.” Pak Sugeng menahan tangan Pak Kyai cukup lama ketika bersalaman.
“Ndak apa-apa.” Pak Kyai, mengelus pundak pak Sugeng.
“Pak, Kalau ada apa-apa sama Aminah, jangan segan-segan kasih tahu saya, nggih. “ Pinta Zul kepada Pak Sugeng.
“Baik, Nak Zul.” Jawab Pak Sugeng.
Satu demi satu keluarga Pak Kyai Abdullah berpamitan. Pak Sugeng dan istrinya menghantarkan mereka sampai halaman rumah. Setelah memastikan semua tamunya pergi, suami istri ini kembali ke dalam rumah.
Pak Sugeng masuk ke dalam kamar putrinya. Beliau duduk disamping tubuh anaknya yang masih lemas terbaring di tempat tidur.
“Apa kamu sudah mendingan, Nduk?” Pak Sugeng membelai rambut bagian atas putrinya dengan lembut, sembari memijit-mijit keningnya.
Mendengar suara bapaknya, Aminah membuka mata pelan-pelan.
“Pak’e…! Aminah langsung memeluk tubuh Bapaknya dan menumpahkan seluruh air matanya di pangkuan sang ayah.
Pak Sugeng membiarkan anaknya menangis. Dia memahami apa yang dirasakan Aminah saat ini. Hatinya pasti berat menerima lamaran dari Zul.
Simak membuka tirai, membawa air putih untuk putrinya.
“Am, kapan maneh kowe entuk kesempatan dilamar karo wong gede. Kowe beruntung banget, dilamar karo Nak lurah Zul . Yen kowe nikah karo Zul, iso njunjung drajat mu lan keluargamu iki, Nduk.” Bapak mengelus punggung putrinya pelan – pelan.
Mendengar kata-kata Bapaknya, makin kencang tangisan Aminah.
“Emoh, Pak’e aku emoh nikah!” Aminah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Air matanya deras membasahi pangkuan Pak Sugeng.
Melihat putrinya semakin tak terkendali. Simak bersimpuh dan memeluk putrinya.
“Wis, Pak’e…! ojo pekso anakmu. Ojo dibahas dhisik. Ben Aminah tenang.” Simak turut menangis sesenggukan.
Bapak menghela nafas panjang dan suasana menjadi hening. Hanya sesekali terdengar isakan Aminah yang menyayat hati.
Simak menyeka air matanya dengan ujung kebayanya yang lusuh. Setelah Aminah sudah cukup tenang. Bapak melepaskan dekapan putrinya.
“Ya wis, tenangno pikirmu dhisik, Nduk. Bapak tak sholat Ashar.” Bapak berdiri seraya menyeka air mata putrinya.
Bapak dan Simak keluar bersamaan. Mereka membiarkan Aminah seorang diri di kamar untuk menenangkan diri.
***
“Nduk, bawa ini ke kamar adikmu! kasihan dia dari tadi belum makan.” Simak menyerahkan sepiring nasi, sayur dan tempe goreng kepada Hafsah.
“Nggih, Mak.” Hafsah berdiri dan membawa piring tersebut menuju kamar.
Hafsah berjalan menuju kamar. Namun ketika dia menyibakkan tirai, alangkah terkejutnya ia, karena adiknya sudah tidak lagi terbaring di tempat tidurnya. Hafsah memanggil-manggil nama adiknya, seraya mencari Aminah dari sudut ke sudut ruangan. Bahkan sampai kolong tempat tidur pun keberadaan Aminah tidak ditemukan.
“Bapaaaaak!”
“Simaaaaaak!’’
“Aminah gak ono neng kamar! Aminah ilang!”
Hafsah berteriak kencang dari dalam kamar adiknya, setelah berusaha mencari keberadaan Aminah.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tak Semanis “Madu” Chapter 4 “Hilangnya Aminah”
Sorry, comment are closed for this post.