Mendengar teriakan Hafsah, tubuh Simak langsung luruh di lantai. Lututnya bergetar tidak kuasa berdiri. Matanya mulai dibanjiri butiran-butiran air.
“Aminah…kowe neng ndi, Nduk.” (Aminah…kamu Dimana, Nak?)
Rintih Simak menangisi Aminah yang hilang entah kemana.
Bapak segera bangkit dari kursi, meninggalkan nasi yang masih separuh di piringnya. Mencuci tangan dan bergegas menyisir rumah mencari keberadaan Aminah.
“Hafsah, pergi ke Pak Lik Ranto, kasih tahu Aminah hilang.” Perintah Bapak kepada anak Perempuan tertuanya.
“Nggih, Pak.” Aminah berpamitan dan buru-buru memakai sandal menuju rumah pamannya.
Rumah pamannya tidak terlalu jauh dari kediaman mereka, hanya berbeda satu gang saja. Sehingga tidak butuh waktu yang lama, Hafsah sudah sampai di kediaman Pak Liknya, Ranto.
Di Kediaman Pak Lik Ranto terlihat ramai, kebetulan jika masa panen padi tiba, bisa dipastikan banyak bapak – bapak di sana menjadi kuli panggul dadakan menurunkan gabah – gabah dari truk pengangkut hasil panen.
Keluarga Pak Lik Ranto terbilang kaya dan berkecukupan berbanding terbalik dengan mereka. Ranto beruntung memiliki sawah yang cukup luas sehingga dia tidak perlu bersusah payah seperti mereka menjadi buruh tani di ladang orang lain.
Hafsah langsung menyeruak di kerumunan, mencari keberadaan pamannya.
“Lik Ranto…!” Hafsah memanggil pamannya berulang kali dan berusaha mendekat ke pamannya.
Ranto yang mendengar Namanya disebut langsung menoleh ke sumber suara.
“Eh kowe to, ono opo?” (Eh..kamu to, ada apa?) Ranto menoleh sebentar ke Hafsah, tapi matanya kembali tertuju pada buku catatan lusuh yang ada di tangannya. Sambil terus mencatat hasil panennya yang sudah ditimbang.
“Pak Lik, kulo diutus Bapak, ken mriki. Mau ngasih tahu, Aminah ilang.” Nafas Hafsah terengah – engah menjelaskan maksud kedatangannya.
“Opo…? Aminah ilang!” Mata Ranto terbelalak. Tanpa banyak kata, dia langsung menutup buku dan segera memerintahkan orang – orang disana untuk membantu mencari Aminah.
“Bapak – Bapak, ponakan kulo, Aminah ilang. Ayo dibantu golek saiki. Teriak Pak Lik meminta bantuan.
Bapak-Bapak yang dari sibuk mengangkat gabah – gabah dari truk, seketika berhenti mendengar informasi dari Ranto. Mereka pun saling bertatap – tatapan satu sama lain. Ada salah satu Bapak yang bertanya.
“ Mau nyari kemana, hari sudah sore begini.”
“Iya, mau dicari kemana, memang hilangnya kapan to?” Timpal Bapak yang lain.
Suasana di depan rumah Pak Lik makin riuh. Kemudian Pak Lik menginterupsi mengangkat kedua tangannya.
“Bapak – Bapak, tolong dengarkan dulu! Mending kita ke rumah Pak Sugeng, guna mencari tahu dan menanyakan hal ini secara langsung kepada Pak Sugeng.
“Lha pekerjaan kita disini gimana Pak Ranto? Celetuk Pak Sholeh.
“Sementara ditinggal dulu saja, kita harus segera menemukan Aminah, hari sudah semakin sore ini!” Ujar Ranto tegas.
Bapak – Bapak yang berjumlah sekitar sebelas orang itu pun berduyun – duyun mendatangi rumah Pak Sugeng.
Melihat bala bantuan yang cukup banyak, Pak Sugeng terlihat gembira dan segera menyambut mereka di halaman rumahnya. Tetangga – tetangga samping rumah pun ikut nimbrung keramaian tersebut.
“Bapak-Bapak, terima kasih sudah datang.” Ucap Pak Sugeng.
“Ayo, Kang jangan lama-lama sekarang kita cari Aminah.” Ranto menyeruak dari keramaian dan mengajak seluruh Bapak – Bapak mencari Aminah.
***
Berita tentang hilangnya Aminah menyebar dan sampai ke telinga Zul. Dia bergegas menuju rumah Aminah dengan mengendarai motor yang terparkir di depan rumahnya. Dia pun tidak sadar masih memakai pakaian dinas lurahnya.
Sesampai di rumah Aminah, Zul melihat kerumunan ibu-ibu disana. Selagi Bapak – Bapak mencari Aminah, ibu – ibu di sana membantu menenangkan Simak yang sedari tadi masih menangisi kehilangan putrinya.
“Assalamualaikum.” Zul mengucap salam.
“Waalaikumsalam.” Jawab ibu-ibu berbarengan.
“Eh..ada Pak Lurah. Monggo pinarak Pak! Yu Siti, ini lho ada Pak Lurah Zul datang.” Ujar seorang ibu.
Melihat kedatangan Zul, Simak berdiri tergopoh – gopoh sambil mengelap netranya yang basah.
“Silahkan, Nak Zul, duduk dulu.”
“Gak usah, Bu Siti!” Saya datang hendak membantu mencari Dik Am, kira-kira arah mana Bapak-Bapak tadi mencarinya?” Tanya Zul seraya menyibakkan rambut yang menutupi keningnya.
“Ke arah sana, Nak!” Simak menuding ke arah timur. Tempat yang terkenal angker karena banyak ditumbuhi pepohonan besar. Konon katanya tempat tersebut merupakan kerajaan makhluk gaib yang berpusat di Gumuk Si Ronggeng. Di siang hari orang desa tidak berani memasukinya, apalagi kalau sudah malam hari. Tempat tersebut jarang terjamah oleh manusia. Selain setan dan para sekutunya, disana juga banyak dihuni hewan-hewan liar yang berbisa terutama ular.
Zul menelan salivanya. Membayangkan kengerian memasuki wilayah terlarang tersebut. Tapi dia beranikan diri untuk menyusul Bapak-Bapak kesana demi rasa cinta yang demikian besar kepada Aminah.
“Saya pamit nyusul Bapak-Bapak dulu nggih, Bu Siti.” Pamit Zul kepada Simak.
“Hati-hati Nak Zul!” Roman muka Simak terlihat cemas.
“ Nggih, Bu!” Jawab Zul dari kejauhan.
***
Zul berlari menuju tempat angker yang disebut orang setempat “Gumuk Si Ronggeng.” Sebelum memasukinya, Zul membaca Surat Kursi dan 3 surat Qul (Al Ikhlas, Al Falaq dan Annas). Sebagai anak seorang Kyai, Zul sudah terbiasa melafalkan ayat – ayat suci Al Qur’an.
“Bismillahirrahmanirrahim…Allahula ila haila huwal hayyul qayum…” Bibir Zul komat kamit membaca do’a.
Selesai membaca do’a, Zul mantap mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kawasan angker tersebut. Tidak berapa lama, tubuh Zul sudah hilang tertelan rimbunnya Semak belukar.
“Kresek…kresek” Bunyi dahan kering yang terinjak oleh kaki Zul.
Nyali Zul menciut, di dalam tempat itu terasa sepi, tidak ada suara apapun. Bahkan hewan pun tidak punya nyali untuk bersuara. Tenggorokan Zul tercekat ketika di balik pepohonan dia melihat bayangan hitam.
Zul yang bersifat realistis tidak menghiraukan bayang-bayang tersebut.
“Ahh…itu hanya bayangan pohon.” Zul bergumam sendiri.
Zul mempercepat langkahnya, supaya segera menemukan rombongan Bapak – Bapak yang sedang mencari Aminah.
Dari kejauhan terdengar samar – samar suara riuh rendah. Zul makin semangat mendekati sumber suara tersebut.
“Itu pasti suara bapak – bapak yang sedang mencari Aminah.” Zul mengepalkan tangannya di dada.
Betul juga apa yang Zul yakini, suara Bapak – Bapak semakin dekat dan terdengar jelas.
“Aminah…Aminah, kamu dimana!” Suara Bapak – Bapak saling bersahutan memanggil nama Aminah.
“Nduuuuk….Aminah, cepet pulang, Simak dan saudara-saudaramu sudah menunggumu dengan cemas!” Teriak Pak Sugeng seraya tangannya membentuk corong agar suaranya lantang terdengar.
“Alhamdulillah., akhirnya saya bisa menemukan Bapak-Bapak disini!” Zul ngos – ngosan menghampiri Pak Sugeng.
“Lho, Nak Zul kesini juga!” Pak Sugeng menoleh ke arah Zul keheranan.
“Nggih, Pak begitu saya mendapat kabar Dik Am hilang dari salah satu staf kelurahan, saya segera ke rumah Bapak dan alhamdulilah bisa bergabung mencari Dik Am disini.” Ucap Zul memberi penjelasan.
“Bapak – bapak, mohon perhatiannya! Supaya Aminah cepat ditemukan, alangkah baiknya kita berpencar. Bapak berlima kearah Selatan. Yang empat ini ke arah utara, saya dan Pak Sugeng dan dua Bapak ini menuju ke barat.” Zul memberi arahan.
“Baik Pak Lurah,” Jawab Bapak – Bapak serempak mengikuti arahan dari pemimpin desanya.
Pak sugeng terlihat sedikit lega ketika Zul ikut bergabung mencari Aminah. Pak Sugeng makin optimis Aminah akan cepat ditemukan.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tak Semanis “Madu” -Chapter 5″ Pencarian Aminah”
Sorry, comment are closed for this post.