Balon Helium dan Tali Kehidupan
Cerita RR kala Kopi
Kadang aku curiga, Tuhan sedang menguji si ekstrovert ini dengan menjadikannya bagian dari manusia-manusia introvert seumur hidup.
Sejak kecil aku dibesarkan oleh ibu introvert.
Lalu aku menikah—kupikir dengan menikah aku akan terbang lebih tinggi, lebih jauh, lebih bebas.
Ternyata suamiku pun introvert.
Jadi, setelah menikah, hidupku bukan bertambah sayap.
Hidupku justru bertambah tali.
Lengkap dengan perlindungan hukum negara dan hukum agama.
(Tertawa dulu di sini, teman-teman—karena beginilah hidup bercanda: supaya kita selalu punya cerita.)
Lalu orang bertanya:
“Kalau di rumah ngapain saja?”
Masak bareng?
Nonton film romantis?
Atau film horor seperti di adegan-adegan manis drama keluarga?
Tentu tidak, saudaraku.
Yang ada siaran bola. Atau channel olahraga favoritnya.
Camilannya?
Tentu saja aku yang diminta menyiapkan.
Aaaargh.
Sedih.
Apakah memang seperti ini nasib perempuan menikah?
Pelan-pelan aku mulai merasa seperti balon ulang tahun yang sudah tidak lagi cantik.
Masih ada, tapi tak lagi menghiasi suasana.
Ini bukan soal tidak bersyukur, ya, gaes.
Ini soal rasa—rasa yang sering tak punya bahasa dalam diri perempuan menikah.
Tidak diajak keluar karena kondisi keuangan dianggap belum memungkinkan.
Namun juga tidak diajak menemukan aktivitas menyenangkan untuk dilakukan bersama.
Dan karena ada kalimat sakti bernama happy mom, happy kids,
aku memilih menutup kegundahanku.
Aku mengatur strategi kecil agar dua buah hatiku tidak ikut menanggung beban rasa ini.
Aku menciptakan cerita—bahwa semua ide itu datang dari Rama-nya.
Agar mereka mencintainya.
Agar imaji tentang sosok hero tetap utuh.
Aku yakin aku tidak sendiri.
Pasti banyak perempuan di luar sana yang menikah dengan lelaki baik—bertanggung jawab, tidak macam-macam—
namun berakhir lelah sendirian.
Menahan keinginan.
Menahan kreativitas.
Tidak bisa mengeluh, karena suami bekerja, pulang, dan menyerahkan gaji.
Percayalah, Tuhan itu Maha Baik.
Percayalah, pasanganmu bukan hambatan, melainkan nikmat agar hidupmu lebih teratur dan terarah.
Agar kamu tidak berhenti belajar.
Dan mungkin—hanya mungkin—
energi dan kecerdasanmu memang terlalu besar
untuk dijadikan pasangan pria-pria alfa dari keluarga bangsawan.
Dunia membutuhkan energimu.
Dan energimu perlu terus diasah.
Ada satu hal lucu yang kusadari belakangan, sebelum aku memutuskan untuk tetap menjadi diriku—agar balon helium ini tetap memberi keindahan.
Pepatah yang dipegang teguh oleh dua introvert dalam hidupku ternyata tidak berlaku bagiku:
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Mengapa tidak berlaku?
Karena aku bisa berenang.
Aku suka berenang.
Aku selalu ingin mencoba berenang.
Sementara mereka berdua…
tidak bisa berenang.
Maka aku mulai mencari jalanku sendiri.
Dan Tuhan meridai.
Dari jalanku itu, aku memperoleh cukup—lebih dari cukup—
untuk membawa dua buah hati kami, juga Tuan Introvert,
merasakan kota lain,
pulau lain,
bahkan negara lain.
Tentu saja tidak damai.
Perang kecil selalu hadir dalam setiap perjalanan.
Tapi hatiku tetap senang.
Karena aku bisa membawa anak-anakku melihat dunia.
Bagi diriku, perjalanan adalah tentang belajar.
Namun bagi dua introvert-ku, perjalanan sering dipahami sebagai pemborosan
yang sebaiknya dilakukan nanti—jika sudah mapan.
Ironisnya, masa kecilku berasal dari keluarga mapan.
Namun perjalanan tak pernah masuk daftar impian.
Sekarang, meski aku masih terikat tali,
aku tetap bisa menjadi balon helium.
Bukan balon bebas, memang.
Tapi balon explorer—yang bisa terbang sambil membawa anak-anak.
Perdebatan tetap ada.
Namun ujungnya selalu menjadi cerita.
Dan cerita-cerita itulah yang kelak kutuliskan.
Begitulah hidup.
Ada manis. Ada asam.
Ada ledakan.
Dan selalu ada air untuk mendinginkannya.
Jagalah Allah,
maka Allah akan menjagamu.
Kreator : Bunda Rika
Comment Closed: Tali Kehidupan Si Explorer
Sorry, comment are closed for this post.