KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Tampar

    Tampar

    BY 05 Nov 2024 Dilihat: 133 kali
    Tampar_alineaku

    Aku punya seorang sahabat, Lily namanya. Perempuan paruh baya yang sedang sakit keras. Lily diserang autoimun langka yang membuatnya lumpuh total, tersisa mata, tulang, kulit, otak, dan nafas. Maaf Ly, di pandanganku ia terlihat seperti alien yang sedang cosplay jadi manusia. Melihat keadaan Lily aku tidak berani berharap banyak. Aku nyaris yakin bahwa yang terbaik untuk Lily adalah pulang saja pada damai-Nya. Tapi betapa mustahil pun keadaan nya, Lily masih bernafas, melihat, dan masih sangat mampu berpikir. Di ranjang rumah sakit tempat nya berbaring diam, aku tahu, Lily terus berpikir keras.

    Memikirkan penyebab penyakit langkanya itu, memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya tanpa dirinya, memikirkan segala kemungkinan dari situasi dan kondisi nya yang sedang sangat sakit. Aku cukup tahu bagaimana selama ini, Lily lah tulang punggung keluarga kecil nya. Anak-anak tentu bergantung padanya. Bahkan suaminya, yang sekarang sudah mantan, juga bergantung padanya, di sepanjang masa pernikahan mereka, delapan belas tahun lebih beberapa bulan itu. 

    Sejak tahun lalu, Lily yang sakit keras itu, harus terpaksa kehilangan kendali atas anak-anak nya. Bagai induk ayam yang selalu melindungi anak-anak nya, Lily dipaksa oleh keadaan untuk tidak berdaya sama sekali, membiarkan anak-anak nya tersebut dari nya. Dalam lumpuh nya, Lily dipaksa melihat rumah tangga sederhana nya yang tenteram, porak-poranda hanya dalam hitungan bulan. 

    Dengan alasan standar yang bodoh, mantan suami Lily bersikeras mengambil hak asuh anak-anak yang seharusnya menurut putusan sidang diberikan pada Lily, yang masih punya adik dan sang adik bersedia mengasuh mereka sementara lily sakit. Si sulung, putri Lily, terpaksa menunda kuliah dan mulai bekerja berbekal ijazah SMA nya. Ibu tirinya, tante Dian, yang mencarikannya pekerjaan administrasi dengan gaji jauh dibawah UMR. Si bungsu baru naik kelas tiga SMP, masih terserah bagaimana dia diatur dan diurus. Anak-anak itu benar-benar seperti anak ayam yang tiba-tiba terpisah dari induk nya karena mendadak hujan deras, bahkan badai menerpa kandang mereka. 

    Tempat tinggal mereka tidak mewah, tetapi hangat, aman, dan nyaman. Bukan karena ada barang-barang mewah, tapi karena ada Lily dan suami yang selalu mengusahakan yang terbaik, semampu mereka, untuk anak-anak nya. Makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan rekreasi mereka sediakan secukupnya. Tidak mewah berlimpah, tapi setidaknya sederhana dan cukup. 

    Segalanya berubah seketika, tatkala Lily jatuh sakit, sangat parah, Lily lumpuh, tidak lama setelah suami Lily pergi meninggalkan rumah mungil mereka untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya menghamili istri orang, mengkhianati Lily dan putra putrinya.

    Dari anak remaja yang harusnya mulai kuliah, Kakak terpaksa harus bekerja, cari uang, karena Lily sahabat ku, yang selama ini membiayai keluarga ini, sedang sakit keras. Lily lumpuh karena autoimun langka yang menyerang tubuhnya. Karena berbagai sebab, Lily dititipkan di sebuah panti jompo, cukup jauh dari anak-anaknya.

    Mantan suami Lily bilang, kalau sudah sewajarnya Si Sulung yang biasa dipanggil Kakak dalam keluarga kecil Lily, kerja saja dulu. Maka Kakak pun bekerja, sebagai tenaga administrasi di supplier sayur mayur begitu. Karena belum ada pengalaman kerja,  dan Cuma lulusan SMA, Kakak bersyukur bisa dapat kerja. 

    Tante Dian, istri baru mantan suami Lily, yang mencarikannya pekerjaan itu. Begitu bangganya Tante Dian, bisa mencarikan Kakak pekerjaan. Karena itu, dia sangat setuju waktu sang suami bilang Kakak harus kasih sebagian gajinya ke Ayahnya. Kakak juga tidak keberatan, kami memang senaif itu soal uang. 

    Kakak yang masih berpenghasilan sedikit itu, juga harus ikut menanggung biaya penitipan Lily di panti jompo. Jumlah yang relatif besar itu, terpaksa ditanggung beberapa pihak. Pihak yayasan tempat Lily selama ini bekerja sampingan, pihak keluarga diwakili Kakak dan adik kandung Lily, juga seorang yang dulu adalah sahabat Lily menanggung kebutuhan dasar bulanan Lily, seperti popok, tisu basah dan kering, sabun mandi, odol, dan lainnya. 

     

    Dengan gajinya yang masih sedikit, Kakak yang baru tujuh belas tahun itu, dipaksa keadaan untuk menanggung beban yang belum bisa dia pahami. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi ikut menanggung sebagian biaya panti jompo untuk Lily ibunya. Dalam ketidakpahamannya pada situasi dan kondisi keuangan nya, Kakak menyanggupi jumlah biaya bagiannya. Lily tidak sanggup membayangkan, dengan gaji sedikit itu, Kakak harus mencukupi biaya hidup harian, biaya untuk ibunya, dan biaya untuk membantu keluarga baru Ayahnya.

    Tidakkah hati sang Ayah tergugah, melihat gadis kecil dengan wajah berbentuk hati yang mirip wajahnya itu, sudah harus berhadapan dengan kerasnya kebutuhan hidup yang begitu besar? Tidakkah ada pilu dihatinya melihat anaknya perempuan yang mestinya sedang sibuk mulai kuliah, malahan harus jungkir balik menghadapi pekerjaan administrasi yang sulit dia pahami tetapi harus ditanganinya? Kakak masih gadis kecil naif, yang belum memahami sangat banyak hal. Ataukah dia memang lelaki, Ayah, yang tidak punya hati? Lily hanya mampu menangis pilu dalam ceritanya padaku. 

    Dengan gaji kecil itu, Kakak yang naif, berusaha bertahan hidup. Pedih hati Lily membayangkan betapa bingung gadis kecil nya mengatur uang sedikit itu, nyaris untuk segalanya. Keuangan bukan hal yang sudah Lily ajarkan dengan baik. Yang dia tahu untuk masalah uang, hanya bilang sama Ibu, beres.

    Tekanan ekonomi yang makin berat, mantan suami Lily, meminjam uang Kakak, yang ternyata berhasil menjual dan menggadaikan beberapa barang berharga Lily. Uang sejuta dua juta itu relatif sedikit untuk kehidupan Jakarta, tetapi besar untuk Kakak. Tanpa argumen, dipinjamkannya uang itu pada Ayahnya. Dengan pemikiran akan dikembalikan, saat nanti Kakak membutuhkannya.

    Dua bulan berselang, waktu itu pun tiba. Kakak harus membayar biaya panti Lily, ibunya. Uang yang dipinjam Ayah lah harapan satu-satunya. Kakak tidak pandai meminjam, maka menagih hutang Ayah lah satu-satunya cara yang melintas di pikirannya. 

     

    Pihak panti, tanpa ampun menagih pembayaran itu, walaupun memang dengan kalimat baik melalui pesan WA. Sehari sebelum tanggal lima sampai bukti transfer dikirim, barulah pesan itu berhenti. Begitupun kali ini. Pesan harian itu masuk lagi.

    Sepulang bekerja malam itu, Kakak bicara pada Ayah nya. Dengan baik-baik, disampaikan bahwa Kakak perlu uang itu untuk membayar panti Ibu. Tidak lama, emosi Ayah naik. Sebenarnya Kakak sudah menduga, tetapi memang Cuma uang yang dipinjam Ayah inilah harapan satu-satunya. 

    Alih-alih bicara tenang, Ayah malah marah besar. Dia bilang Kakak tidak pengertian pada keadaannya dsb, dsb. Kakak bertahan pada kenyataan bahwa dia sangat membutuhkan uang itu.

    Sulit ku bayangkan pedih perih nya hati Lily menyimak cerita Kakak padanya dalam deraian air mata.

    “Aku ditampar Ayah,  Bu,” disela tangisnya kak berkisah, “Tiga kali, Bu, sakit…”

    Lily paham, lebih sakit lagi hati gadis kecil ini. Tak pernah ada keributan besar di keluarga Lily saat mereka bersama dulu. 

    Adek, panggilan untuk si bungsu di keluarga kecil Lily, remaja lelaki empat belas tahun, yang sejak awal sudah ada dalam ruangan itu, baru tersadar dari kaget nya ketika tamparan ketiga melayang. Sontak dia bangkit, berdiri diantara sang kakak dan Ayahnya, melindungi kakak perempuan nya di belakangnya, sekaligus menghadap Ayahnya, sigap dia tangkap tangan Ayah nya yang siap menampar lagi. Adek, anak lelaki empat belas tahun itu, ternyata sudah sedikit lebih tinggi dari Ayahnya yang juga cukup tinggi. 

    “Mau Ayah tampar juga kamu?!” gelegar suara Ayah memenuhi ruang kecil itu.

    “Iya…” dengan suara bergetar menahan marah yang sangat, Adek menjawab.

    Dan, sang Ayah seperti baru tersadar, anak lelaki nya sudah sebesar itu sekarang. Dan terlihat siap menghadapi apapun demi melindungi kakak perempuan nya. Tangan kanannya masih memegang tangan Ayahnya, sementara tangan kirinya terkepal kuat, sangat kuat. 

    Dengan gusar Ayah menarik lengannya dari genggaman Adek, berbalik badan, pergi meninggalkan ruangan itu. 

     

    Seperti tergugu, kakak beradik itu berdiri terdiam beberapa detik, sang kakak masih sesenggukkan berusaha menghentikan tangisan nya, membenamkan wajah di punggung sang adik.

    “Udah, Kak, tenang…” ujarnya seraya menggenggam tangan kakaknya yang melingkar erat di pinggangnya. Tangan itu gemetar,  pasti karena ketakutan. 

    Mereka duduk lelah di sofa yang ada. Mencoba mencerna yang baru saja terjadi. “Tenang, aku janji, ini gak akan terjadi lagi.” Lirih tapi tegas Adek berjanji menjaga kakaknya.

    Keesokan harinya, dengan tabah, Kakak tetap bersiap berangkat kerja. Mengerjakan semua tanggung jawab pagi nya baik di rumah juga di tempat kerja. Sebelum kesibukan mulai di jam sepuluhan, Kakak masih punya cukup waktu untuk ngobrol dengan ibunya, via WA tentunya. Dengan kepolosan remaja nya, Kakak menceritakan semua peristiwa semalam. Di seberang sana, Ibu, dengan segala ketabahan nya, berusaha mengendalikan intonasi dan suaranya, agar tidak terdengar menderita dan remuk nya hati dengan keadaan yang sedang diceritakan putrinya. 

    Berusaha berpikir keras dengan tenang, sambil berdoa dalam batin, Lily mulai mengarahkan putrinya untuk bertindak. Menurut Lily, ini sudah mulai melampaui batas. Lembut tapi tegas, Lily pun memberi instruksi. Agar putrinya pergi saja dari tempat tinggal Ayahnya segera. Lily tidak mau menyesal nanti, kalau sampai hal yang dikhawatirkan terjadi. 

     

    Ketika putrinya bingung harus pergi kemana, Lily pun tanpa berpikir panjang  menjawab, “Kesini, Nak, ke tempat Ibu. Hanya di sini, dekat Ibu, Ayahmu tidak bisa mengambilmu kembali padanya. Ibu yakin, dia harus menerima, Kakak ikut Ibu.”

    Padahal saat itu Lily tidak tahu, apakah pengelola panti akan mengijinkan putrinya menginap. Itu satu-satunya ide yang melintas di kepala Lily. Kepala yang belum sepenuhnya pulih dari depresi. 

    “Tapi Bu, gimana adek?” tanya putri Lily.

    “Kakak sudah janji, bahwa apapun yang terjadi, kakak gak akan ninggalin adek…”

    Lily dengar suara putrinya yang bergetar. Dengan tenang dan sabar, Lily mengarahkan putrinya.

    “Di awal, adek pasti kecewa bahkan marah,” ujar Lily.

    “Tapi nanti, adek pasti akan paham. Bilang Ibu yang paksa kakak. Ibu juga akan bicarakan ini dengan adek.” Lily berusaha meyakinkan.

    Setelah beberapa kalimat meyakinkan berikutnya, Lily berhasil meyakinkan putrinya. 

    “Nanti pulang kerja, kakak akan berkemas. Kalau tidak nanti malam, besok pagi kakak berangkat ke Ibu.”

     

    Selesai chat, Lily kembali menangis dalam doa-doanya. Mempercayakan segalanya dalam tangan sayang dan belas kasih-Nya, Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa…

    Lepas lelah menangis, dengan tenang, Lily mengucapkan syukur, apapun dan bagaimanapun yang akan terjadi nanti, masih ada yakin di sudut batin Lily, bahwa dia tidak sendirian menghadapi ini. Dalam berserah yang menentramkan jiwa, Lily tertidur cukup lama. Dan itu membuatnya siap menghadapi apapun lagi nanti. Apapun itu, yang harus dihadapi, Lily tahu, pasti bisa dilewati, selama masih ada sepasang lengan Sang Maha Kasih, yang mendekap erat jiwanya…

     

     

    Kreator : E.B. Mustafa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Tampar

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021