KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Tarso dan Turini

    Tarso dan Turini

    BY 15 Sep 2024 Dilihat: 10 kali
    Tarso dan Turini_alineaku

    Pagi masih terlalu buta. Seperti pada umumnya para ibu atau perempuan dewasa di kampungku, setiap ba’da subuh aku juga ikut antre atau bahkan berebut jajakan makanan dan aneka lauk di warung Bi Ijem sebagai bekal untuk sarapan, makan siang atau bahkan makan sore di sawah. Maklum, musim rendeng (musim penghujan) telah tiba, musim yang ditunggu-tunggu para juragan sawah, juga aku dan mayoritas lainnya yang merupakan buruh tani.

    Sebagaimana hari-hari sebelumnya, hari ini aku juga ikut dalam kegiatan juragan tandur, istilah yang kami gunakan untuk menyebut kegiatan menanam padi secara berkelompok (rombongan). Tugas dibagi oleh ketua rombongan. Ada yang bertugas ngarit, yaitu mencabut winih (benih padi yang disemai dan sudah tumbuh setinggi mata kaki orang dewasa). Ada juga yang bertugas ngenca, yakni mengukur jarak tanam padi. Kegiatan ini dilakukan oleh dua orang yang memegang dua ujung tali yang diberi gagang kayu atau bambu seukuran tongkat orang dewasa. Sementara yang lainnya bertugas menanam padi.

    Di kampungku, menanam padi biasanya dilakukan dengan membungkukkan setengah badan seperti orang rukuk dan berjalan mundur mengikuti teman yang bertugas memegang kenca. Semakin banyak anggota grup, semakin sedikit pula upah yang kami dapatkan, semakin luas sawah yang kami tanami, semakin besar pula upah yang kami terima dan tentunya semakin lama pula kami pulang. Sistem upah yang berlaku di sini disesuaikan dengan luas petak sawah. Setiap 700 meter persegi, juragan membayar rombongan sebesar Rp1.200.000. Upah tersebut sudah dipotong ongkos mobil dan upah calo yang mencarikan pekerjaan untuk kami. Kadang aku mendapatkan 40 ribu rupiah, kadang 70 ribu rupiah. Tak seberapa memang, tapi bagiku ini harus disyukuri, Lagi pula, bukankah perempuan harus tetap berdaya dalam keadaan apapun?

    Setelah Kang Tarso meninggalkanku dua tahun lalu, aku sebagai ibu tunggal harus bekerja lebih giat untuk kedua anakku. Meskipun mereka sudah besar dan anak pertama sudah bekerja, memastikan mereka makan dengan layak tetap menjadi kewajibanku.

    “Tur, cepat, keburu siang!” teriak Wa Si’ul, ketua rombongan. Aku pun berlari.

    Jendel (lemot) amat, ya!” teriak anggota lainnya yang sudah menunggu di mobil. Aku berlari sambil menjinjing plastik belanjaanku tadi yang belum sempat kumasukkan ke kasang (tas selempang yang dibuat dari bekas kandek/karung).

    “Tunggu dulu, Wa. Tadi nungguin kembalian, lama sekali.” kataku sambil tergopoh-gopoh saat naik ke mobil. 

    Mobil yang kami gunakan adalah mobil kol bak yang sudah dimodifikasi dengan ditambah tempat duduk di atas bak seperti ranjang bertingkat agar muat banyak orang. Ada yang duduk di bak mobil dan ada yang duduk di atas ranjang tersebut, kemudian yang lainnya berdiri di bagian belakang sambil memegang tiang ranjang bagian belakang mobil kol.

    Begitu aku duduk, Bi Sun langsung mencolekku dan mencandaiku, 

    Tur, durung wayahe mangan boled geseng tah? Ikah ki dudane Bi Aminah nglambruk bae” (Tur, belum saatnya makan singkong gosong? Boled geseng atau singkong gosong adalah bahasa kiasan menamai alat vital laki-laki yang artinya berhubungan intim, dalam hal ini menikah. itu di sana ada ki duda, bekas suaminya Bi Aminah, belum punya pasangan). Teriak Bi Sun diiringi tawa saat mobil kami melintasi depan rumah alm. Bi Aminah.

    “Atembutemen gah! (nggak tau ah!) kalau warisannya kaya Wa Kaji Catim, aku mau. Sawahnya luas, pekarangannya luas, nggak apa-apa ngurusin kakek-kakek juga.” candaku.

    “Ya nggak apa apa, boled geseng -nya sudah keriput juga ya. Itung-itung kekilli. hahahahaha!” (memasukan bulu ayam atau benda apapun ke lubang telinga untuk menggaruknya karena gatal) timpal Bi Jariah  sambil tertawa lepas. aku dan yang lainnya pun kembali terbahak.

    Masih sepagi ini, kami begitu ceria seolah bermacam masalah yang ada tertinggal semua di rumah masing-masing. Di sepanjang perjalanan sampai di tengah sawah sekalipun, apa yang kami lihat menjadi puluhan bahkan mungkin ratusan tema pembicaraan yang selalu silih berganti, apalagi bahasan yang berbau cabul seperti yang Bi Sun lontarkan tadi. Semuanya pasti komentar dan diakhiri tawa yang menggelegar.

    Juragan tandur atau pekerjaan buruh tani yang lainnya, meskipun melelahkan, selalu menjadi momen yang menguntungkan untukku. Di antara rasa kehilanganku sepeninggal Kang Tarso dan gempuran ekonomi untuk menghidupi kedua buah cintaku dan Kang Tarso, tawa dan canda mereka menjadi hiburan tersendiri bagiku, 

    ***

    Ketika itu belum musim panen, kami menyebutnya mratak untuk menamai tanaman padi yang sudah keluar bunga padinya. Para  juragan sawah semakin gelisah, setelah hama wereng, kini sawah mereka terserang hama tikus. Dalam satu malam, 80% tanaman padi dalam satu petak rusak akibat ulah hama tersebut. Sudah berbagai macam cara yang mereka lakukan; menggunakan racun tikus, perangkap tikus manual, tembakan api, bahkan mereka begadang ronda setiap malam memburu tikus-tikus sampai ke lobang-lobangnya. Meskipun sudah berkarung-karung tertangkap, tapi tetap masih ada saja yang kecolongan.

    Walaupun tidak memiliki sawah, kami yang buruh juga ikut terdampak ancaman. Kalau juragan sawahnya gagal panen, kami juga ikut gagal memanen rezeki dari sawah mereka. Dipikir-pikir, pantas saja koruptor dilambangkan dengan tikus. Kecerdasan dan kerakusan yang dimiliki hewan pengerat tersebut memang cukup mewakili. 

    Matahari baru saja pulang meninggalkan rasa hangat, kebul pawon (tungku masak  terbentuk dari susunan batu bata) yang meninggalkan jelaga di seluruh atap rumah semakin membuatku gerah. Setelah selesai mengulek sambal terasi kesukaan Kang Tarso, aku pun keluar menemuinya yang menanyakan senter.

    Nok, mana senter Kakang?” tanya Kang Tarso. 

    Usia kami memang sudah tidak muda lagi, tapi begitulah Kang Tarso. Meskipun jarang berbicara, ia selalu memanggilku dengan panggilan Nok yang umumnya memang digunakan untuk anak kecil atau pasangan muda. dengan panggilan itu aku merasakan kelembutan hati dan rasa cintanya padaku masih tetap sama seperti dulu.

    “sedang di cas, Kang.”

    “Kang, kalau masih kurang enak badan lebih baik di rumah saja, nggak usah ngobor walang.” (cari belalang di malam hari) pintaku. 

    “Malam ini Kakang tidak cari belalang, Nok. Tadi Wa Kaji Soleh memintaku menemaninya untuk mencoba alat baru pengusir tikus yang baru saja dipasang.” 

    “kenapa nggak ditolak aja, Kang? Sampeyan kan masih belum sehat.” jawabku menahan.

    “Nggak enak, Nok. kemarin kan Kakang sudah bon untuk beli sepatunya Wulan.” jawab Kang Tarso sambil siap-siap memasang senter di kepalanya. 

    “Ya ya, Kang. Alat yang dimaksud setrum listrik bukan, Kang? Soalnya, kemarin, waktu aku

     cari sayuran di warung, orang-orang lagi pada ngobrolin alat itu.”

    “Ya, Nok. Memang lagi jadi perbincangan, desa sebelah juga sudah banyak yang menggunakan. Katanya memang ampuh, padinya utuh dan banyak tikus yang kena, emang praktis, Nok.” 

    “Ya sudah ya, Nok. Kakang pergi dulu, nggak enak kalau Wa Kaji Soleh nunggu lama.” pamitnya. Setelah bersalaman Kang Tarso pergi dengan sepedanya.”

    ***

     

    Aku sangat bersyukur mempunyai suami seperti Kang Tarso. Meskipun keadaan ekonomi kami pas-pasan, bahkan mungkin kurang, aku merasa bahagia. Kehidupan rumah tangga kami selama 20 tahun ini adem ayem. Kang Tarso bekerja sebagai pawongan (buruh tani tetap pada satu majikan/juragan) pada Wa Kaji Soleh. Segala pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian ia kerjakan, mulai dari mentraktor sawah, gegaleng (merapikan pembatas tepi atau jalan setapak di tengah sawah), menebar pupuk, hingga derep (memanen padi dengan sistem catu, di mana setiap kelipatan enam kilogram berarti Kang Tarso mendapatkan 1 kilogram padi) kalau dibutuhkan kadang aku pun ikut bekerja menanam padi, menyiangi sawah dan membantu Kang Tarso memanen padi Wa Kaji Soleh.

    Upah sebagai pawongan, jika bekerja sampai sore, adalah 140 ribu rupiah berikut rokok dan kadang sarapan atau gorengan pengganjal perut. Kalau bekerja setengah hari, Kang Tarso mendapatkan upah 100 ribu rupiah. Sebetulnya, masalah upah antara pawongan dan buruh biasa sama saja. Hanya saja, pawongan biasanya boleh kasbon terlebih dahulu. Dan tentunya, karena Wa Kaji adalah majikan yang baik, setiap Lebaran Idul Fitri, Kang Tarso selalu mendapatkan THR berupa kaos dan makanan. Beruntung, majikan Kang Tarso adalah orang yang baik dan rajin beribadah. Jadi, selain mendapatkan keuntungan secara ekonomi, Kang Tarso juga mendapatkan bimbingan secara spiritual. Meskipun sejak kecil Kang Tarso tidak pernah belajar mengaji, berkat menjadi pawongan Wa Kaji Soleh, ia mulai belajar mengerjakan shalat tepat waktu.

    Saat malam tiba, kadang Kang Tarso ngolong walang (mencari belalang) dengan alat sederhana seperti caduk dan senter di pekarangan atau di tengah hutan dekat kampung kami. Satu botol air minum 600 ml berisi belalang biasanya kami jual seharga 25-30 ribu rupiah. Di kampung kami, belalang diolah dengan cara digoreng kemudian dimakan sebagai lauk. Kalau musim penghujan tiba, Kang Tarso kadang mencari rebung di tengah hutan untuk dijual sebagai sayuran. Kadang juga ia nyetrum iwak (mengambil ikan dengan cara disetrum).

    Pagi harinya, aku bertugas menawarkan hasil tangkapan Kang Tarso keliling kampung, dan biasanya barang dagangan kami selalu habis terjual. Keuletan Kang Tarso dalam bekerja dan ketulusannya dalam menyayangi kami membuatku merasa sangat beruntung memilikinya sebagai suami.

    Berkat kerja kerasnya, meskipun kami hanya buruh tani, anak-anak kami dapat bersekolah. Anak pertama kami, Siti Barokah, kini sudah kelas XII di Madrasah Aliyah. Ia adalah gadis yang cerdas dan rajin, selalu menjadi kebanggaan kami. Anak kedua kami, Rizki Wulan Barokah, baru masuk Tsanawiyah. Ia juga tak kalah rajin dan selalu menunjukkan semangat belajar yang tinggi.

    Nama anak-anak kami diberikan oleh Wa Kaji Soleh. Katanya, nama harus mengandung harapan dan doa. Oleh karena itu, Siti dan Wulan dinamai dengan harapan agar rezeki keluarga kami selalu barokah. Kami menerima nama itu dengan senang hati, karena kami percaya bahwa nama adalah doa, dan doa adalah harapan yang selalu kami pegang erat.

    ***

    Malam sudah larut, aku terbangun mendengar teriakan keras menggedor-gedor pintu rumahku. 

    “Bi Turini!!!!” 

    “Bi Turini!!!!”

     Aku bergegas keluar dan mendapati seorang tetangga terengah-engah di depan rumah.

    “Kenapa, Mang? Ada apa?” tanyaku, panik.

    “Ayo, ikut!” Tanganku langsung ditarik tanpa penjelasan lebih lanjut. Aku diminta bonceng sepeda motornya.

    Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi firasat buruk menyelimuti hatiku. 

    “Mang, kenapa Kang Tarso, Mang?!” tanyaku sambil mengguncang-guncang pundak Mang Dakul.

    “Nanti saja, Bi. Ayo, kita ke sana!” jawabnya dengan suara tegang dan tergesa-gesa.

    Dengan hati yang penuh kecemasan, aku langsung menangis. Motor Mang Dakul membelah gelapnya malam, menyusuri jalan kecil di tepi sungai di tengah hamparan luasnya sawah. Dari kejauhan, terlihat kerumunan orang dengan cahaya senter yang berkelip-kelip. Aku menjerit dan menangis, semakin kuat. 

    “Mang, ada apa, Mang?! Mang Dakul, ada apa dengan Kang Tarso?!”

    Sesampainya di tempat itu, badanku lemas, gemetar, dan mataku berkunang-kunang. Dua sosok terbaring di tengah jalan.

    “Itu istrinya datang!” seru seseorang.

    “Mang Tarso dan Wa Kaji Soleh kesetrum!!!” celetuk beberapa orang.

    “Kasihan Mang Tarso,” sahut yang lain.

    “Wa Kaji Soleh tadi maghrib masih jamaah di masjid,” kata yang lain lagi.

    “Umur itu nggak bisa ditebak, ya. Tadi aku ketemu Mang Tarso beli kopi dan lotion anti nyamuk di warung, sekarang sudah meninggal.”

    “Keluarga Wa Kaji Soleh sudah dikasih tahu belum?”

    Berbagai pertanyaan dan jawaban kudengar dengan jelas, namun suara-suara itu semakin lama semakin jauh… jauh… dan menjauh.

    Nok, Kang Tarso pamit mau pulang bertemu emak dan bapak. jaga keluarga kita, Titip Siti dan Wulan, ya. Bilang sama Siti, keinginannya untuk jadi TKI di Hong Kong urungkan saja. Susah senang lebih baik kumpul bersama keluarga. Dan untuk Wulan, dia kan selalu ngomong, ‘kenapa hanya kita yang rumahnya jelek? Yang lain pada bagus-bagus, rumahnya gedong. Kalau Yayu Siti ke Hong Kong, kan rumah kita juga nanti bakal jadi bagus.’ Katakan padanya, belajar yang pintar, jadi orang baik, dan jangan tinggalkan sholat. Jangan ikut-ikutan pengen ke luar negeri juga, kata Wa Kaji Soleh sebaik-baiknya mencari rezeki, adalah mencari di negeri sendiri. Maafkan Kakang yang belum bisa menjadi suami dan bapak yang dapat memenuhi semua keinginan anak-anak.” Kang Tarso menyalami dan mencium keningku.

    “Bi Turini pingsan!” seru seseorang.

     Suara-suara itu semakin ramai, namun terdengar semakin menjauh hingga semuanya gelap dan separuh jiwaku pun ikut  pergi bersamanya.

     

     

    Kreator : Uus Hasanah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Tarso dan Turini

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021