Aku tertegun melihat adik laki-lakiku
Bagas, bercerita sambil tertawa lepas, dengan seluruh keluargaku. Seakan tak
ada yang terjadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Padahal kedatangan keluarga
adalah untuk mengunjunginya, setelah mereka mengetahui bahwa Bagas, divonis
menderita gagal ginjal, dan harus melakukan cuci darah sepekan dua kali.
Dada ini terasa sesak, mataku
memanas menahan air mata yang menggenang, hendak luruh. Bergegas aku ke kamar,
kutuntaskan tangisku, agar lenyap rasa yang menghimpit dan menyiksa ini.
Akhirnya aku pun keluar
dari kamar, setelah dada terasa lapang. Kutemui keluargaku dengan senyum
secerah mungkin, seakan aku baik-baik saja. Kulihat sudut mata Bagas melirikku,
dan dia melempar senyumnya ketika mata kami bertemu.
“Bukankah tak ada beda
antara si kaya dan si miskin, si sehat dan si sakit? Di mata Allah yang paling
mulia adalah yang paling bertakwa.” Ujar Bagas di sela-sela obrolannya.
“Untuk mati, semua pasti
akan merasakan, tak menunggu usia tua, tak harus didahului dengan sakit pula,”
lanjutnya.
Begitulah Bagas, yang
hadirnya selalu membawa tawa, keberadaannya senantiasa menebarkan kebahagiaan,
bagi seluruh keluarga. Bagas yang tak pernah keluhkan deritanya, dan selalu
sembunyikan duka di hatinya. Hanya kepadaku saja Bagas terbuka, itu pun hanya sekedar
cerita, tanpa bermaksud membebaniku.
“Kakak, kalau aku
bercerita tentang masalahku, aku tak bermaksud untuk mengeluh, tapi aku sekedar
bercerita, aku yakin bahwa aku mampu mengatasinya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan tak pernah salah dalam memilih pundak mana untuk beban yang Dia berikan?” Ungkap
Bagas kepadaku.
“Bagaimana dengan kedua
buah hatimu? Mereka masih kecil dan butuh kasih sayangmu.” Ujarku lirih.
“Insya Allah mereka akan
baik-baik saja, mereka akan tumbuh menjadi anak yang lebih kuat.” Tegas Bagas.
Sejak itu, Bagas semakin mendekat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mencurahkan perhatian, cinta dan kasih
sayang kepada kedua putra putrinya. Bagas merasa usianya tidak lama lagi.
Hari demi hari berlalu,
bulan pun silih berganti, hingga tanpa terasa dua tahun berlalu, Bagas dengan
sakitnya, mampu bertahan dalam kondisinya. Kedua buah hatinya adalah
penyemangat hidup Bagas.
Hingga pada suatu hari,
Bagas mengeluh kepadaku. “Kakak, istriku minta cerai, apa yang harus aku
lakukan? Aku tak bisa jauh dari anak-anak,” Ujarnya lirih.
Bagai petir di siang
hari, berita itu aku terima. Gemuruh amarah di dada. Rasanya tak percaya, namun
ini adalah kenyataan. Akhirnya, apa yang kami khawatirkan terjadi. Selama ini
Bagas menyembunyikan sikap istrinya.
Istri yang seharusnya
berperan untuk lebih memperhatikan dan menyayangi suaminya, justru menuntut
perceraian. Rupanya Allah Subhanahu wa Ta’ala begitu mencintai Bagas. Setelah berpikir
dengan tenang, penuh kepasrahan, akhirnya Bagas jatuhkan talak satu pada
istrinya, agar sang istri tidak menanggung semakin banyak dosa, karena merasa
berat hidup bersamanya.
Delapan tahun telah
berlalu, Bagasku telah menemukan tambatan hatinya, yang siap menerima dirinya
dalam suka dan duka. Bagasku semakin terlihat sehat, bugar dan bahagia. Ketegarannya,
semangatnya adalah teladan bagi keluarga kami.
Semoga Allah Subhanahu wa Taala senantiasa
memudahkan urusannya, memberikan kesehatan dan kesempatan membersamai putra
putrinya hingga mereka dewasa. Semoga di mana pun Bagas berada, senantiasa
mendapatkan cinta untuknya, seperti dirinya yang selalu menebar kasih sayang
dan kebahagiaan bagi semua orang.
1 Komentar Pada TEGAR
http://slkjfdf.net/ – Alikenete Esidomooq ggs.msuf.sebariskata.com.fmj.be http://slkjfdf.net/