Bab 3: Kepercayaan yang Rentan
Di pagi yang cerah, Rafiq tiba di sekolah sedikit lebih awal dari biasanya. Hari itu ia melihat Bu Lina, rekan kerja sekaligus teman yang cukup dekat, duduk di bangku depan ruang guru dengan wajah penuh kecemasan. Bu Lina adalah guru yang dikenal teliti dan penuh perhatian, terutama dalam mengajar anak-anak. Namun, belakangan ini Rafiq menyadari bahwa guratan kekhawatiran sering muncul di wajah Bu Lina, seolah-olah ada masalah besar yang terus menghantuinya.
Saat itu, keingintahuannya memuncak, dan tanpa sengaja pikirannya mulai menangkap serpihan-serpihan pikiran Bu Lina.
“Bagaimana kalau Nilam benar-benar berhenti belajar? Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi…”
Suara batin Bu Lina terdengar lemah, hampir putus asa. Rafiq merasakan kegelisahan itu seolah-olah menjadi miliknya.
Interaksi yang Emosional
Rafiq menghampiri Bu Lina dengan langkah hati-hati. Ia tahu bahwa kekhawatiran seorang ibu adalah hal yang sangat sensitif, terutama jika menyangkut pendidikan dan masa depan anaknya. Sebelum sempat mengatakan apapun, Bu Lina tiba-tiba berbicara.
“Rafiq, pernahkah kau merasa… seolah tak mampu membantu orang yang paling kau sayangi?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Rafiq duduk di sampingnya dan mengangguk dengan lembut.
“Kadang-kadang kita memang merasa begitu, Bu. Tapi, mungkin ada sesuatu yang bisa dibantu. Jika ada yang ingin Ibu ceritakan, saya di sini siap mendengarkan.”
Bu Lina terlihat ragu sejenak, namun akhirnya ia mulai bercerita.
“Anak saya, Nilam, sepertinya kehilangan semangat belajarnya. Dia dulu sangat antusias, tapi akhir-akhir ini… Dia menjadi pendiam, sering bolos dari bimbingan belajar, dan sepertinya tidak punya tujuan lagi. Saya khawatir ia menyerah pada impiannya.”
Rafiq mendengarkan dengan sabar, namun di dalam dirinya berkecamuk perasaan yang sulit dijelaskan. Ia bisa saja menggunakan kemampuannya untuk menggali lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dengan Nilam, tapi itu terasa seperti mengkhianati kepercayaan Bu Lina. Bagaimanapun juga, Bu Lina telah membuka diri padanya dengan tulus, dan Rafiq merasa bahwa mengandalkan kemampuan itu dalam situasi ini akan melanggar batas kepercayaan di antara mereka.
Pertentangan Batin
Sepanjang percakapan mereka, Rafiq terus mendengar serpihan pikiran dari Bu Lina yang menunjukkan betapa mendalam rasa cemasnya sebagai seorang ibu.
“Mungkin aku yang salah… Apa aku terlalu menuntutnya? Atau apakah aku tidak mendengarkannya dengan baik?”
Kecemasan itu mengingatkan Rafiq pada batas-batas yang harus ia jaga, bahwa meski ia bisa mendengar, bukan berarti ia harus selalu tahu atau bertindak atas apa yang ia dengar.
“Apa yang menurut Ibu bisa membantu Nilam?” tanya Rafiq hati-hati, mencoba untuk tetap mendukung tanpa menyentuh hal-hal yang tidak seharusnya ia ketahui.
Bu Lina terdiam sejenak.
“Entahlah, mungkin ia hanya butuh waktu. Saya ingin mendekatinya, tapi saya takut akan merusak hubungan kami. Kadang, sebagai orang tua, kita merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Sedikit saja salah langkah, kita bisa kehilangan kepercayaan mereka.”
Rafiq mengangguk, memahami beratnya posisi Bu Lina. Ia merasakan beban yang sama: sebuah kepercayaan yang rapuh. Kemampuannya yang dahulu ia anggap sebagai anugerah kini semakin terasa sebagai beban, karena selalu ada dilema antara mendengarkan dan menghormati privasi.
Menghadapi Beban Kemampuan
Sepulang dari sekolah, Rafiq merasakan pikiran Bu Lina terus membayang di kepalanya. Setiap kalimat dan pikiran yang sempat ia tangkap membuat hatinya sesak. Ia bertanya-tanya apakah benar kemampuannya ini adalah sebuah anugerah. Bagaimana jika, alih-alih membantu, kemampuan ini justru memberinya beban yang tak mampu ia pikul?
Di kamar tidurnya, Rafiq merenung panjang. Ia memikirkan Hasan, Bu Lina, dan semua orang di sekitarnya yang diam-diam ia dengarkan, baik sengaja maupun tidak. Kelelahan mental mulai merayap, seolah ia menanggung masalah orang lain tanpa bisa benar-benar menyelesaikannya.
Dalam keheningan malam, ia mulai memahami bahwa kepercayaan dan rahasia adalah sesuatu yang sangat berharga dan rentan. Meskipun ia memiliki kekuatan untuk mendengar, ia mulai mempertanyakan apakah ia layak untuk mengetahui semua hal itu. Jika ia terlalu sering mendengarkan, mungkin ia akan merusak kepercayaan orang-orang di sekitarnya, bahkan tanpa disadari.
Keharusan untuk Menjaga Batas
Keesokan harinya di sekolah, Rafiq berusaha menghindari tatapan penuh harap dari Bu Lina. Ia tahu bahwa Bu Lina mungkin membutuhkan teman untuk berbagi, tapi ia sadar ia harus menjaga batas antara mendengar dan ikut campur. Di kelas, ia melihat Hasan tersenyum kecil padanya, mungkin berkat percakapan ringan mereka kemarin. Saat itu, Rafiq merasakan sedikit kedamaian di hatinya.
Di tengah semua dilema yang ia hadapi, Rafiq mulai menetapkan prinsip: meski ia bisa mendengar, ia tidak harus mengetahui segalanya. Ia harus menjaga batas-batas kepercayaan dengan bijak, agar kemampuannya tetap menjadi anugerah dan bukan beban yang merusak hubungan.
Bab ini menjadi titik balik bagi Rafiq, di mana ia mulai menyadari bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada apa yang ia ketahui, tetapi pada seberapa bijak ia menjaga batas-batas kepercayaan.
Kreator : Wandi
Comment Closed: Telinga Rafiq Dan Hati Yang Berbisik Bab 3
Sorry, comment are closed for this post.