Masih tentang Lily. Kali ini dia bercerita tentang perjalanan jauh nya demi melanjutkan hidup. Hidup Lily yang sudah laksana buluh terkulai nyaris patah, ternyata masih tersambung kembali, dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ya, hidup Lily yang laksana sumbu lentera yang sudah padam tetapi masih berasap itu, perlahan namun pasti menyala kembali, dan hidup yang masih ternyata ada itu, tentu harus Lily jalani. Autoimun langka yang berujung lumpuh total itu, ternyata tidak membunuhnya.
Sangat perlahan namun juga terlihat pasti, Lily pulih kembali. Setelah lima purnama tanpa makan minum dan tanpa bergerak, dorongan kuat yang muncul di hatinya membuatnya mulai berani makan dan minum. Masih disuapi seujung sendok teh demi seujung sendok teh, Lily berhasil menghabiskan sesendok makan nasi dan kuah sayur serta setengah gelas air putih tanpa tersedak, dan itu diterima Lily sebagai mukjizat, yang ternyata terjadi baginya, yang sudah tidak berharap apapun selain menunggu kehendakNya.
Waktu terus berjalan, dan sebelas bulan sudah Lily sakit, dan jalan delapan bulan Lily menjalani hidup di panti. Menerima perempuan setengah baya yang menjadi jompo karena sekarat, tentu membutuhkan alasan kuat bagi pihak panti untuk menampung Lily. Belakangan Lily mendapati beberapa alasan yang membuatnya diterima di panti itu, dan salah satunya adalah pembayaran yang cukup. Belas kasihan menjadi salah satu alasan tentunya, maka beberapa pihak bersedia berbagi untuk pembiayaan penitipan Lily ke panti itu. Empat pihak berpatungan membiayai. Masuk bulan kedelapan, dua pihak donatur mengundurkan diri.
Pihak panti tidak mau peduli, seperti dugaan Lily. Masih berpopok dan tentunya belum mandiri, Lily dipaksa menghadapi kenyataan betapa menekan keadaannya saat itu. Sikap pihak2 panti mulai berubah. Lily sangat sadar itu. Hanya tersenyum pedih ketika salah satu caregiver yang biasanya selalu penyayang, tiba-tiba jadi judes dan tidak peduli. Money talks anyway.
Dalam sendirinya, sulit dijelaskan, ada semacam tuntunan dihatinya. Beberapa sahabat yang dengan tulus ikut berbahagia atas pulihnya Lily, berpatungan mengusahakan sebuah telepon genggam lengkap dengan kuota tentunya. Dengan tuntunan dihatinya tadi itu, Lily mulai terhubung dengan orang-orang terdekatnya. Ironisnya, para terdekat itu adalah teman-teman nya yang notabene tidak sedarah selain kedua putra putri nya.
Pihak panti menyarankan pada Lily untuk coba minta tolong teman-teman nya, untuk mendanai, menggantikan dua donatur yang mengundurkan diri. Kasarnya, pengelola panti berpendapat, akan dimaklumi kalau Lily meminta minta karena memang belum berdaya sama sekali, tanpa peduli, atau memang tidak mengerti perasaan Lily, yang selalu berpikir bagaimana bisa segera mandiri lagi.
Mahasiswi pasca sarjana yang hanya tinggal menyelesaikan tesis, guru bahasa Inggris handal berpengalaman puluhan tahun, penyiar bersuara khas… mereka melupakan harga diri Lily, yang tentu bisa dimengerti. Realita nya sekarang Lily sakit, tak berdaya, tetapi masih hidup. Namun dalam diri Lily, harga diri itu masih tersisa, karena dia yakin, masih hidup artinya masih ada kewajibannya.
Dalam senyum tanpa kata, Lily membatin kepada Nya, “Bagaimana ini, Tuhan…?” Hanya itu yang berani Lily tanyakan. Keadaan telah mendidik Lily begitu baik, mencerna apa siapa dan bagaimana Tuhan nya.
Terlintas beberapa kemungkinan dipikiran Lily. Bagaimana pun rasanya, faktanya adalah Lily harus memutuskan, lanjut di panti sambil coba minta-minta bantuan, atau keluar panti, pindah. Otomatis dan tegas hati Lily memilih pindah. Tapi kemana? Siapa yang bersedia menampung beban, perempuan paruh baya berpopok, yang masih sangat tergantung pada pertolongan orang lain, bahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar untuk hidupnya?
Diluar dugaan Lily sama sekali, dorongan hati yang begitu kuat untuk menghubungi salah seorang kerabat nya di Solo, membawa percakapan mereka kepada kenyataan bahwa sang kerabat ternyata menyatakan sangat kehilangan Lily, dan merasa senang ternyata Lily mulai pulih, bisa merenda lagi kenangan hidup dengan Lily. Ketika menceritakan keadaannya, Lily saat itu mengalir begitu saja menyampaikan semuanya. Dan diluar perkiraan Lily, mereka, keluarga kerabat ini, menyatakan bersedia menampung Lily di rumah mereka. Dan kembali Lily menerima ini sebagai campur tangan Tuhan, sebagai mukjizat. Akan ku ceritakan lain kali ya, bagaimana kehidupan Lily di panti.
Dalam kekaguman nya akan pertolongan Tuhan melalui kesediaan keluarga kerabat di Solo yang bersedia menampung nya, Lily sadar ini bukan hal sekedar melankolis tentang siapa memperdulikan siapa, ini tentang menitipkan dirinya, yang masih berpopok, yang artinya, masih harus diurus, dirawat sepenuhnya. Dengan hati yang siap menghadapi apapun nanti, Lily menyampaikan sejelas-jelasnya kepada mereka, kondisi dan keadaannya yang sebenar-benarnya, tanpa menutupi apapun. Dan kembali, mereka pun setegas-tegasnya menyatakan bersedia menerima Lily di rumah mereka, di Solo.
Hidup Lily pun segera terarah ke Solo. Menyesuaikan segala sesuatu nya kesana. Perjalanan Bogor – Solo dengan mobil van panti, sejauh kurang lebih sepuluh jam pun ditempuh Lily dengan tabah dan bersemangat. Lily merasa bahwa inilah masa depannya pasca lumpuh. Di pikiran nya sudah tersusun hari-hari mendatang seperti apa dan bagaimana yang akan dilaluinya.
Segala sesuatu nya, mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan kepindahan Lily ke Solo, berlangsung begitu lancar di semua bagian. Kepahitan hidup telah membunuh romantika romantis kehidupan nya. Yang ada sekarang adalah kesiapan menjalani hidupnya pasca lumpuh, di tempat baru, di perantauan, dengan sebaik-baiknya.
Tumbuh harapan-harapan baru di hati Lily. Harapan akan berfungsi normal kembali. Menjadi perempuan pencari nafkah untuk dirinya dan kedua anaknya. Terlintas dalam angan nya, apa-apa yang akan dilakukan nya disana nanti.
Suaranya yang sudah pulih, mungkin akan bisa diterima mengamen di sebuah restoran milik salah satu teman nya di Solo nanti. Kerabatnya yang adalah seorang guru, tentu akan bisa membantu nya mendapatkan murid-murid untuk les bahasa Inggris pada Lily. Juga kemungkinan untuk menjadi konten kreator, bisa dimulai dengan bantuan orang-orang sehat disekitarnya nanti, bantuan yang tidak bisa Lily dapatkan selama di panti. Dan menulis. Lily bertekad menjadi penulis handal kelak. Dan mulai mencari pekerjaan daring, dan masih banyak lagi.
Sesuai rencana, persiapan, dan segala sesuatu nya yang lancar, tibalah Lily di rumah kerabat nya. Disambut penuh kasih dan perhatian. Begitu membahagiakan. Nyaris sempurna. Andai tak mempercayai Tuhan, Lily pasti berfikir, it was too good to be true. Mustahil.
Namun kenyataan datang lebih cepat dari yang diperkirakan Lily, yang ketika berangkat, mengira dia akan cukup lama di Solo, mungkin sampai kesehatan nya benar-benar pulih, yang tentunya cukup butuh waktu panjang. Mungkin setahun, dua atau tiga tahun. Atau setidaknya enam bulan. Ternyata kurang dari sebulan, segala sesuatu nya berubah.
Pemicu terbesarnya ternyata uang. Perlahan tapi pasti, mereka berubah ketika mulai tahu bahwa para donatur satu per satu mengundurkan diri. Ah, Lily jadi pilu sekali. Bagaimana ini?
Dengan berbagai dalih mereka berusaha menyampaikan bahwa Lily tidak mungkin tinggal lebih lama di rumah mereka. Depresi yang baru saja menepi, mulai bersiaga lagi. Overthinking Lily mulai memberikan ide-ide yang menakutkan. Harus pindah lagi, pasti. Tapi, kemana?
Dalam kalut dan takut yang tidak menentu, pelukan hangat di sudut hati itu kembali terasa mendekap, dan kali ini lebih erat, lebih hangat. Hingga mereka cukup terkejut ketika dengan tenang seraya tersenyum, Lily bertanya, “Kapan hari terakhir aku masih boleh tinggal disini?” Sang istri menyebutkan tanggal yang kira-kira tiga minggu dari hari itu, kurang dari sebulan. Masih dengan tenang ditanggapi Lily dengan, “Baiklah, aku akan bersiap.”
Ketika kembali sendirian, barulah Lily berusaha keras mencerna dan memahami situasi dan keadaannya. Kenyataan nya adalah, Lily masih bergantung pada pendampingan orang lain untuk beberapa kebutuhan dasarnya. Kemajuan nya saat itu adalah, bahwa Lily sudah bisa mandi sendiri dan tidak berpopok lagi, asal dituntun ke kamar mandi, disiapkan ini itu untuk mandi nya, Lily sudah mampu membersihkan diri sendiri.
Menghadapi perubahan dalam waktu yang relatif singkat itu, seharusnya adalah wajar kalau Lily kembali depresi, bahkan menjadi lebih lemah dan lebih buruk lagi. Namun, kembali, pelukan disudut hati itu mendekapnya kian erat. Memampukannya mengendalikan overthinking yang sedang berusaha kembali mengambil kendali. Menuntun Lily pada keberserahan yang seperti tak bertepi.
Dengan ketenangan yang didapat dari pelukan di sudut hati itu, Lily mulai mencari tempat baru untuk menumpang lagi. Tak mungkin ke panti, tak ada cukup uang untuk itu. Mencoba menghubungi dua tiga orang teman yang menurut Lily cukup dekat dan masih peduli, ternyata ada satu yang bersedia memberi tumpangan untuk Lily. Nama nya Tri.
Teh Tri adalah salah satu caregiver di panti dulu, yang juga memutuskan resign ketika Lily memutuskan keluar dari panti. Mereka memang cukup dekat. Menurut Teh Tri, Lily mengingatkan nya pada Mamah nya. Artinya, Lily akan pindah ke Bandung, tempat domisili Teh Tri saat itu. Sebuah kontrakan yang cukup baik dan nyaman untuk tinggal orang sakit seperti Lily. Teh Tri pun menyatakan kesediaan nya merawat dan menemani mengurus Lily.
Kebersediaan Teh Tri di Bandung menampung Lily, tentu saja cukup menenangkan. Beberapa transfer masuk di rekening bank Lily dari beberapa orang tak terduga pun juga tentu menenangkan. Itu semua membuat Lily semakin bergantung pada pelukan hangat di sudut hatinya. Sungguh dalam bimbingan tangan yang kuat, itu yang Lily rasakan.
Ketika kerabat nya bertanya, “Jadi bagaimana rencananya, Tante?” Mereka memanggil Lily Tante untuk, mewakili anak-anak mereka yang adalah keponakan Lily. Dengan tenang Lily menjawab, “Sedang aku urus, Mamah, aku sedang usahakan untuk tanggal itu.”
Mengesampingkan segala kepedihan akan kelanjutan nasib nya, Lily terus membujuk seluruh keberadaan dirinya untuk hanya bergantung dan mengandalkan-Nya. Hingga di suatu pagi, sepertinya seminggu, kalau aku tidak salah mengingat cerita lily, sebelum hari yang mereka tentukan untuk Lily angkat kaki, terasa ada dorongan kuat untuk menghubungi seseorang dari masa lalu di Jakarta. Tanpa banyak berbantah dengan pikirannya sendiri, Lily turuti dorongan itu. Tanpa sengaja, Lily menyinggung kemungkinan untuk bisa menumpang pada kenalan lama itu.
Sejak sakit keras nyaris mati itu, Lily sudah selalu memahami bahwa dirinya sebatang kara. Tak pernah terpikir olehnya untuk menghubungi orang-orang sedarah nya. Karena sungguh Lily diajar untuk hanya bergantung dan mengandalkan-Nya saja, tentu setelah ratusan pahit yang Lily telan dari tanggapan orang-orang sedarahnya.
Sebuah kemustahilan lagi terjadi pagi itu. Anak seorang sahabat dari masa lalu yang pernah Lily bantu peliharakan anak lelaki nya, yang sekarang telah berkeluarga, bersedia menampung Lily di rumah nya di Jakarta. Tentu melalui proses cerita panjang dan lengkap dengan kondisi terakhir Lily saat itu.
Ya, ternyata tidak ke Bandung, melainkan ke Jakarta, yang tentunya dari segala sisi, menjanjikan lebih banyak peluang dan kemungkinan, dan salah satunya adalah Lily jadi bisa kembali dekat dengan anak-anak nya.
Kembali semesta mendukung kepindahan Lily kali ini. Semudah dan selancar ketika Lily membawa seluruh harapan-harapan dan mimpinya ke Solo. Hanya saja, kali ini, hati Lily sudah berbeda. Lebih siap menghadapi apapun yang harus dihadapi di hari-hari mendatang di Ibukota, yang menurut banyak orang, lebih kejam dari ibu tiri.
Bagian terbaiknya adalah, bahwa Lily semakin bergantung HANYA pada-Nya, Sang Pemeluk Hati, yang bagi-Nya tidak ada yang mustahil untuk diizinkan terjadi. Kali ini Lily hanya membawa satu harapan saja, yaitu mempercayai Sang Maha Kuasa mengatur hidupnya… kiranya indah pada waktu-Nya.
Selesai…
Kreator : E.B. Mustafa
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Tempat Tinggal
Sorry, comment are closed for this post.