“Bangunan berwarna jingga itu menjadi tempat hunianku dengan yang lainnya. Kisah cinta pun dimulai ketika temanku mengajak aku ke hospital untuk membesuk kakak angkatnya. Aku tak menyadari bahwa ada yang memperhatikanku di ruangan itu. Ku dengar suara berat mencoba untuk berbicara. “Hallo, el…ini aku.” “Iya, ada apa?” “Mungkin, Anna sudah menyampaikan padamu, bukan?” “oh, itu…lantas mau mu apa?” maaf el, aku mau jawaban dari kamu!”
Pukul 04.00 am waktu yang menunjukkan untuk bergegas bangun, aturan a dormitory yang mengharuskan para penghuninya berlarian menuju tempat pembersihan diri.
“Bangun, bangun…. Ayo siapkan diri kalian untuk mengikuti misa. Hitungan ketiga, tidak ada lagi yang berada di tempat pembaringan.” kata wanita berjubah putih yang menjadi ibu asrama penghuni bangunan berwarna jingga itu.
Sulit bagiku sebab kedua mata ini terasa berat, masih ingin menikmati hangatnya bawah selimut tebal yang menjadi kulit pelindung pada tubuhku yang rentan. Namun, apa daya ini adalah sebuah tuntutan. Tuntutan yang memaknai rutinitas perjalanan masa depan itu sendiri. Dalam menapaki kerikil, orang tuaku memintaku untuk bersekolah di salah satu SMA swasta dengan mengharuskan aku menjadi penghuni bangunan orange yang merupakan saksi bisu perjalanan asmara dan pertemanan. Kemudian, aku dan penghuni lainnya mengantri di lorong kecil untuk menunggu giliran mandi.
“El, mandi bareng yuk.” tanya seorang gadis yang berdiri di sebelahku.
“Bolehlah, daripada per orang kan lama juga!” jawabku singkat.
Setelah semua siap, bersamaan kami berjalan menuju ke lapangan yang menjadi keseharian di pagi hari sebelum memasuki area sekolah yang tak jauh dari a dormitory. Iringan lagu rohani menyejukkan hati, tanpa sadar mata ini mengubah konsentrasi. Perih ku rasakan…ingin berbaring di bangku panjang itu. Menahan menjadi beban tersendiri, namun seiring waktu aku pun mulai terbiasa. Kembalinya dari lapang Tuhan kami langsung menuju ruangan yang telah disediakan untuk sarapan pagi.
Teng, teng, teng, teng.
Lonceng sekolah mulai berbunyi, membisingkan telinga yang artinya lekas mengangkatkan kaki untuk cepat berlari.
“Sebelum pergi, jangan lupa cuci tempat makanan kalian masing-masing ya.” kata wanita yang berdiri memantau kami dari pojok bilik makan. Seorang karyawati dengan tanggung jawabnya sebagai pemasak dalam tiga kali sehari. Hal yang menyenangkan, bukan? Semua diatur oleh perputaran waktu.
“Selamat pagi, Suster.” sapa kami terhadap wanita paruh baya pemimpin sekolah tersebut.
Tak pernah membayangkan hal lain datang padaku, sebab yang dipikirkan hanyalah belajar, belajar, dan disiplin. Namun, takdir berkata lain. Jam istirahat pertama tiba dan teman sekelas mengajakku ke sebuah hospital. Tanpa basa-basi aku mengikuti ajakannya. Yah, hanya sekedar menemaninya.
“Siapa yang sakit, An?” tanyaku.
“Ada deh. Nanti baru tahu sendiri!”
“Siapa sih? Orang spesial ya?” tanyaku penasaran.
“Bukan juga. Dia kakakku, anak STM.”
“Kamu punya kakak di STM? Oh, aku baru tahu! Sakit apa sih?”
“Demam berdarah, dan bukan cuma dia. Beberapa temannya juga terkena DBD.”
“Ohh… kasian… Hm, sama-sama anak asrama juga ya?”
“Iyaa.”
Perjalanan yang diiringi dengan perbincangan singkat itu berakhir, ketika kami memasuki ruang inap Kakak Anna. Aku dikenalkan kepada kakaknya dan beberapa orang yang ada di sana. Tanpa disadari, perkenalan ini menjadi awal berlabuh dengan seseorang yang sedang mencuri pandang, dan ingin sekali diperhatikan.
Sebenarnya aku dapat melihat gerak-gerik yang menunjukkan perasaan ingin tahu yang berlebih. Akan tetapi, aku sengaja tak memperdulikannya. Sampai dimana kami harus berpamitan kembali ke sekolah dengan keraguan dan tanda tanya yang mendalam. Sungguh ironis, permainan dunia menjadi pijakan manusia untuk menikmati keindahan di dalamnya. Rasa penasaranku mulai berkecamuk.
“An, sebenarnya siapa si dia?”
“Siapa?”
“Jangan pura-pura deh.”
“Yang baju putih?” tanya Anna.
“Bukan! Maksudku orang yang barusan kita jenguk. Pacarmu, kan? Jujur saja deh!” Kataku memaksa.
“Sembarangan kamu, El! Dia itu kakak angkatku. Memang sih, dia suka sama aku, tapi aku memilih untuk jadi saudara saja lah!”
“Ohhh..”
Usai sudah pelajaran hari ini, rasa lelah pikiran lebih berat daripada rasa lelah tubuh. Pulang kembali ke tempat pelindung sementara merupakan hal yang menyenangkan, rebahan menjadi pilihan untuk membalas aktivitas seharian. Tapi, aku tidak menikmati itu. Aku memilih untuk mengerjakan tugas sekolah dengan aturan yang kubuat agar malam mengalihkan perhatian pada mata pelajaran lainnya.
Saat hampir menyelesaikan tugas, Anna menghampiri dengan senyuman lebar dan mengganggu dengan kata-kata yang tak biasa. Aku belum menyadarinya, karena terlalu fokus dengan tugas. Kemudian itu, dia menyodorkan sebuah pesan rahasia untuk kubaca dari ponsel yang ada di genggamannya.
“Apa sih, An?” tanyaku kesal.
Dia tetap memaksaku untuk membacanya, akhirnya menyerah dan menuruti keinginannya. Tak pernah menyangka, pesan itu adalah titipan “salam” yang tentu saja ada perasaan berbunga-bunga dan rasa tak percaya.
“Kok bisa, An? Kita kan baru kenalan, dan dari sisi apa dia menyukaiku?”
“Ya bisa saja, kan. Mungkin dia punya pandangan sendiri sampai bisa menyukaimu.” jawab Anna.
Tetapi, aku memberikan pernyataan kepada Anna bahwa aku tak mau memikirkan cinta dan menolak pesan romantis itu. Cinta itu menyakitkan. Cinta itu hanya sandiwara yang dipenuhi dengan kebohongan belaka.
“Bagaimana kamu tahu padahal kamu saja belum masuk di lingkaran cinta itu. Cinta tak selamanya begitu!” bantah Anna.
“Ayolah, El. Jangan menggantung perasaan yang dia ungkapkan padamu. Dia betul-betul menyukaimu. Buanglah keraguan itu. Dia laki-laki yang baik.” bujuk Anna.
“Berikan aku waktu untuk berpikir, An.” ucapku.
Ruangan sekejap menjadi sunyi. Dinding dan benda di sekitar hanya membisu untuk mendengarkan apa yang terjadi.
Keesokan harinya, gadis berwajah oval itu mengajakku lagi ke hospital. Dia mengatakan bahwa hari ini kakak angkatnya dan beberapa orang di ruangan tersebut termasuk “Si Dia” sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Aku menolak, lalu dia mengajak teman kami yang lain yang bernama Winna.
“El, ada yang titip salam lagi untukmu!”
Aku hanya terdiam, tidak melontarkan sepatah kata pun. Tiba-tiba, ada panggilan dari nomor yang tidak dikenali. Tanpa berpikir panjang, sebuah sapaan meluncur di udara. Selang beberapa menit, ku dengar suara berat yang mencoba untuk berbicara.
“Halo, El. Ini aku Ando.”
“Iya, ada apa?”
“Mungkin Anna sudah menyampaikan padamu, bukan?”
“Oh, itu. Lantas maumu apa?”
“Sebelumnya, maaf. Tapi, sejujurnya juga aku mau jawaban dari kamu, El.”
“Maaf, Kak. Bisa berikan aku waktu? Dalam tiga hari akan aku berikan jawaban kepada kamu.”
“Oke. Maaf ya, El. Sudah mengganggu waktumu.”
“Tak apa kok, Kak.”
Dengan suara hangat, aku matikan teleponnya. Suddenly, hati ini bergejolak seperti kerasukan dan detak jantung pun berdenyut kencang. Aku berjalan kesana kesini tanpa arah yang jelas di ruangan rebahan penghuni dormitory.
“Oh Tuhan, apa yang harus ku jawab. Haruskah menerima atau kah menolak saja? Ah, ada apa el, mengapa kau jadi aneh seperti ini?”
“El… El… el…” terdengar suara lembut memanggilku.
“Ada apa sayang??”
”El, minta tugas Bahasa Jerman dong.”
“Ah.. Enak saja, kerja lah!”
“Justru itu, aku tak paham sama sekali.” seru Winna.
“Sini, aku jelaskan.”
“Kamu kenapa, El. Kok agak beda sih?”
“Beda apanya? Aneh-aneh saja kamu.”
“Hm, jujur deh.” sontak Winna dengan rasa keingintahuannya.
“Rahasia dong. Ini privasi aku. Haha.” jawabku dengan senyum tipis.
Some of the activities began as usual, pikiran kosong dengan hati yang masih was-was. Teringat bahwa penentuan selama tiga hari telah berlalu. Berjalan menuju kelas dan letakkan tas di tempat duduk sambil merenung.
“Ya atau tidak.”
Seketika ada yang mengagetkan ku dengan sentuhan pada pundak yang lemah.
“El…!!! Ada apa sih??”
“Bagaimana?” tanya Anna.
“Bagaimana apanya??”
“Kamu terima Kak Ando atau?? Dia itu laki-laki yang baik dan sopan, El. Kamu menyesal kalau sampai menolaknya.”
Aku hanya menyimak ucapannya dia untuk meyakinkan tanpa berkata-kata.
“Guten Morgen, Studenten!!” wanita anggun berparas manis yang merupakan guru Bahasa Jerman memasuki kelas dan para siswa dengan sigapnya berputar haluan serta pandangan ke depan.
Kemudian, jam sekolah pun usai dengan wajah lesu semua siswa-siswi bergegas pulang dan aku termasuk diantara mereka. Namun, tak pernah ku sangka bahwa diseberang jalan ada yang telah menunggu kepastian.
“Kak Ando? Loh, kenapa Kakak kesini?”
“Hai, El. Apa kabar? sekolahnya aman?” tanyanya dengan harapan akan sebuah penantian.
“Aman kok, Kak.” jawabku singkat dengan wajah tersipu malu.
Tanpa basa-basi aku langsung mengutarakan jawaban yang ditunggu.
“Kak, sejujurnya aku…aku….” teka-teki dengan rasa penasaran akan jawaban yang diberikan menjadi tanda tanya besar yang ku lihat dari cara dia menatapku tanpa berpaling.
“Apa, El…Hmm…”
“Aku terima, Kak!”
“Aku mau, Kakak Ando jadi pacarku!”
“Benar, El?”
“Iya, Kak.”
Senyuman lebar memenuhi wajahnya yang memancarkan kesenangan. Terlihat jelas pada detik tersebut aku dan dia hanya bisa saling pandang dengan napas panjang tanpa bersuara.
Perjalanan cinta dimulai, hubungan kami menjadi momen yang indah dan tak terlupakan. Selama dua tahun terakhir kami menjalin hubungan romantis. Hari Minggu merupakan waktu antara kami untuk selalu bertemu dimana dia berkunjung ke asrama. Seizin suster, aku dan dia menghabiskan waktu di lopo, tempat ternyaman kami untuk bercerita, berbagi pengalaman, meluapkan segala emosional, dan tertawa terbahak-bahak. Sampai akhirnya, penentuan kelulusan serentak diumumkan. Ando yang merupakan siswa kelas 3 di sekolah kejuruan yakni STM dan aku yang beranjak untuk duduk di kelas 2 SMA. Semua bersuka cita atas hasil hari baik itu.
“Selamat atas kelulusannya ya, sayang.” pesan singkat kutulis untuknya.
“Thank you dear, I love you.” Balasnya.
Setelah itu, aku menyempatkan diri untuk berbicara dengan dia melalui telepon seluler. perbincangan kami cukup lama. Dengan berat hati, dia mengungkapkan bahwa akan kembali ke Timor Leste dan aku hanya terdiam.
“Mungkinkah kamu akan menghubungi aku ketika sudah berada di sana??” dengan nada sedih bertanya padanya.
“Pasti!!” jawab Ando.
Hari berkesan pun tiba, aku menerima telepon kesekian kalinya dari orang spesial yang akan pergi meninggalkan kota yang telah mempertemukan dan menjadi teropong atas cinta kami.
“Hallo, sayang.”
“Pukul 09.00 WITA aku berangkat ke Timor ya, jaga diri dan fokus untuk sekolahmu. Okay? Aku akan tetap menghubungimu, dear.”
Tangisku pun pecah. Aku tak bisa menahan kesedihan atas ucapan yang mengalir di telingaku.
“Iya, sayang.” jawabku dengan suara berat.
“Kamu juga begitu, ya. Jaga diri dan harapan aku. Semoga kamu bisa setia.”
Seketika semuanya terdiam, entah apa lagi yang ingin disampaikan, hanya pasrah dengan penentuan takdir. Di sudut kamar tidur, aku hanya duduk dengan menatap keluar jendela tak tahu bagaimana dengannya. Aku akui rasa rindu ini meluap dan meronta-ronta tak henti. Terngiang wajahnya tak menepis dari benakku.
Hampa. sungguh hampa, jarak telah membodohi pikiranku. Haruskah aku berdiri di perbukitan untuk meluapkan bahwa aku merindukannya? Bahkan pepohonan hanya bisa merunduk, diterpa angin. Apakah itu menggambarkan duka hati yang dalam? Entahlah.
Kreator : Leny Fios
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Tepisan Rindu Yang Membendung
Sorry, comment are closed for this post.