Hari ke 5 , Wanita Misterius
Api unggun semangkin marak. Lidah kecilnya menjulang ingin melihat langit malam yang tanpa bintang. Asap putih bercampur hitam membumbung di udara. Menandakan kebakaran masih berlangsung. Api belum bosan juga melalap kayu kayu hutan. Kebakaran sejak siang tadi hingga kini masih terus berlanjut. Tengah malam baru beberapa menit berlalu, namun rasanya hari masih saja lama menyusul pagi. Semua berharap hari segera pagi. Menanti warna jingga di ufuk Timur jadi harapan.
Aroma asam pada asap dari gambut yang terbakar mulai menyesak kan nafas. Sementara asap putih yang berasal dari pepohonan hutan yang belum ditebang kian mendekat. Camp Alfa hotel terasa kian mencekam. Api sudah terlihat setengah lingkaran di sebelah Selatan.. sementara seluruh binatang yang ada di hutan itu juga kian merapat mencari tempat aman. Seluruh orang sudah dibagi pos pos jagaannya. Sementara yang tak dihunjuk tunggu giliran. Mereka berada di teras pondok, berkumpul. Sesekali Herman lah yang masih bergerak kesana kemari.
“Kalau di Australianya you dimana ?” Dharma menanyain Claude. Gadis itu tersenyum suka pertanyaannya. “ Perth, WA “ jawab Claude semangat
“ What WA, Doubleyou Ae “ Dharma merespon kata katanya.
“ Ya, WA, West Australia “ terang Claude. “ oh Australia Barat “
“Kampus saya di Stirling Hwy Crawley “ Claude menambahkan keterangan dirinya.
“So , bagaimana hasil peninjauan misi kalian.” Selidik Dharma. Ia hanya mendapatkan senyum yang samar samar di keremangan malam.
“ Yaaa, kalian sudah melihat lokasinya. Kalian menemukan misteri . walaupun hanya secara personel. Dan kalian juga sudah menemukan apa sebenarnya yang kalian cari.?“ desak Dharma dengan segala kesimpulannya.
“ Dan saya juga telah menemukan ayah saya, ternyata dia masih hidup , segar bugar.” Ucap claude menambahi resume misi mereka dengan semangat. Namun tidak dengan Dharma ia malah terkejut
“Apa, kau bertemu dengan ayahmu ?, Kapan , Dimana ..?” lalu lanjutnya lagi “ Dia masih hidup dan awet muda?”, Dharma merasa ada yang ia lewatkan. Sama dengan ku, terkejut juga. Namun Lelaki yang dikatakan Claude itu benar adanya, aku juga sudah berjumpa. Sehingga aku tak terkejut kalilah.
“Ya, aku telah mengetahui kenapa misi proyek pengeboran itu gagal, atau yang sebenarnya di gagalkan. Kemudian aku mengetahui cerita bunga teratai ajaib itu ada, Dan terakhir aku juga telah membawakan obat untuk kesembuhan My Mom.” Semua diungkapkan Claude dengan penuh semangat dan suasana ceria hatinya. Michel hampir sama dengan ku . kami hanya mendengarkan saja apa apa yang mereka ucapkan.
“Well, bagaimana tugas pekerjaannya bang Dharma. Apa sudah selesai ?” Claude balik bertanya. Dengan mulut terkatup sambil senyum, Dharma menjawab pertanyaan itu. “ Ya, baru sebahagian. Arealnya di sekitar lokasi yang telah kita lalui. Namun kelihatannya lokasi kebakaran nya sangat luas. Dan mungkin akan terus bertambah. “ .
“ Tapikan akibat kebakaran disengaja dan tak sengajakan pasti berbeda ?” cegat Claude.
“Iya, seharusnya. Tapi bagaimana kita bisa membedakan kebakaran dari api yang sengaja dan api yang tak disengaja.” Ungkapan Dharma datar. Lanjutnya lagi “ susah membedakan api yang bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab. Sama sama sok jagoan.” Kata kata terakhir Dharma spontan saja disambut tertawa Claude. Aku dan Michel ikut juga. Ngakak rame rame. Suara dentuman keras terdengar dari tenggara lokasi kami. Seperti sebuah meriam besar sedang memuntahkan peluru bundarnya. Asap hitam bisa kelihatan membumbung. “ itu pasti dari sumur pengeboran yang sudah mereka tutup “, komentar Claude. Suara berisik kian berderu deru . dari balik pepohonan di belakang Pondok semangkin terdengar ramai. “Semua siaga di pos masing masing “ Danru mengeluarkan Komandonya.
“Awasi di belakang pondok “Tambahan perintah Danru selanjutnya.
Bersama semilir angin malam . bendesiran beberapa anak panah. Beberapa orang dari warga menjadi sasarannya. Namun ujung ujung runcing dari silinder panjang itu hanya menancap di sisi tak jauh dari sasaran.
“ Awas serangan dari arah jalan.”
“ Bang Herman tambah kayu api unggunnya “ teriak Danru membuat semua orang semangkin mawas . semua pada merunduk. Herman dengan setengah merayap segera mendekati api unggun. Beberapa potong kayu iya lemparkan ke tengah api. Kelihatannya setelah tembakan busur pertama meleset ,kini mereka melepaskan anak anak busur kembali. Sasaranya tetap pada orang yang sama. Walau di tempat yang sudah berubah. Beberapa warga yang merasa jadi sasaran telah mengubah posisi berlindungnya.
“ Dari mana arah yang memanah ? “ Tanya Dharma pada Danru.
“Tak kelihatan pak “,
“Oke saya mau memutar, pak Danru di seni siaga. Nanti kalau saya kasih kode buat satu orang untuk umpan, agar kami bisa melihat penyerangnya “ sambil berbisik. Danru menggerakkan kepala tanda mengerti. Dharma bergerak bersama Wawan dan Edi. Menyelinap dari sisi kiri Pondok lalu menjauh beberapa meter kemudian menyeberangi jalan dan melompat parit. Bayangan mereka terus bergerak melingkar hingga hilang di balik pepohonan yang masih belum terbakar. Hujanan anak panah masih terus berlanjut. Namun kali ini ada dua warga yang telah memberi balasan. Dengan anak panah yang sama mereka dilepaskan ke arah yang tak tentu. Hanya bidikan tanpa jelas sasarannya. Hanya duga duga saja.
Dari arah jalan serangan orang orang yang tak kelihatan. Dari sisi kanan api kian mendesak. Kobarannya semangkin terasa. Sementara dari arah belakang pondok dan sisi sisi kiri. Beberapa auuamman serta lengkingan suara Harimau akar kian menjadi jadi.
“Harimau harimau itu takkan pernah melepaskan sasarannya. Orang orang yang telah bersalah kepada mereka tak pernah ia beri ampun. Selain menjadi korbannya” ungkap Herman.
“Kenapa begitu ?” Claude penasaran.
“ Yah itulah adatnya alas. Hukum alas itu, yang kuat belum tentu menjadi raja, tapi yang bersalah harus jadi korban. “ terang Herman berlanjut. Sedikit membesar mata Claude meresapi keterangan itu.
Sudah cukup lama kami menunggu ada anak panah yang melesat lagi. Sejak yang terakhir lima menit yang lalu. Anak panah itu hampir mengenai Herman yang di tepi. Sejak itu belum ada lagi yang melesat. “ huhuuuaaa “ teriak suara Wawan. Disambut Lunang dari arah pondok. Kemudian Lunang memberi aba aba untuk tidak melepaskan lagi anak panah ke arah kegelapan. Masih dengan langkah gagah Wawan dan Edi mendekati api unggun. Mereka memegang dua buah busur hasil rampasan. “ Huuuaaa..” Teriak Wawan sambil mengangkat angkat busur yang mereka pegang. Disambut meriah oleh orang orang “ yeea…” Dharma yang berjalan dibelakang mereka segera diburu Claude. Dengan semangat gadis itu menyambut mereka. Bak prajurit yang baru pulang dari medan pertempuran. Claude semangat sekali. Beberapa orang yang lain pun segera menyusul meluapkan kegembiraan . Pak Danru berniat juga mendekati mereka tapi tiba tiba Pos penjagaan sisi kiri terdengar suara jeritan “ tolong “ semua bergegas ke pos penjagaan itu. Seorang anggota satpam terjerbab di tanah. Kaki kanannya berdarah. Celana seragamnya koyak tercabik. Tampak jelas jejak cakaran binatang buas. Pria itu terus meringgis menahan sakitnya. Tubuhnya segera dibopong ke tengah teras. Kali ini Michel cepat mengambil tindakan . Ia perlebar cabikan celana itu. Ia minta air hangat pada Herman. Kaki yang terluka itu segera ia cuci kemudian ia rawat agar pendarahannya segera berhenti. Posisi penjagaan digantikan anggota satpam yang lain.
“ Yang lain tetap waspada, melekkan mata. Awasi setiap gerakan, bayang bayang “ Pak Danru memberi ultimatum. “ Hari sudah mulai subuh, bertahanlah. Ini semua akan berakhir nanti pagi “ teriaknya semangkin menggelegar agar semua yang bertugas mengawasi kegelapan tambah bersemangat.
“ Awasi Bayangan putih …” teriak pos kanan. Mereka berteriak teriak sekuatnya untuk membuat suara kegaduhan.
“ Yang lain waspada…” Pak Danru tak kalah sangar suaranya . kami melihat bayangan putih diterangin jilatan lidah lidah api. Merayap sesekali berdiam. Dia berhenti untuk memperhatikan. Sementara ringkikan dari babi hutan masih terdengar walau tak seriuh tengah malam tadi. Mungkin sebagian telah berhasil melompati parit dan mereka sudah menuju hutan yang baru. Sama seperti kera serta binatang yang lain juga sudah mulai jarang terdengar riuhnya. Mungkin mereka juga telah lebih dulu bermigrasi ke tempat yang baru. Hutan perlindungan terakhir di perbatasan Kabupaten.
“Bang, Abang yakin Kebakaran hutan ini karena Sabotase ?” Tanya Claude hampir berbisik di telinga Dharma.
“ Siapa yang percaya kebakaran ini kita bilang akibat Pengeboran Migas yang malpraktek ?. Tidak logika , disini apa ada anjungan minyak membakar dirinya sendiri “ Dharma membalikkan pertanyaan.
“ Tapi alam juga punya penjagakan ?” nyolot Bernad Tiba tiba. Semua terkejut setengah tak yakin. “ Ya sedari tadi aku selalu mendengarkan yang kalian bicarakan. “ sambung Bernad yang kelihatan sudah normal. Seakan tak pernah terjadi apa apa sebelumnya.
“ iya, betul Alam bisa menjaga dirinya sendiri juga punya penjaga yang lain. Termasuk manusia. Namun manusia selalu pamrih . Manusia siap menjaga alam jika dia mendapatkan manfaatnya, ada untungnya. Kalau tidak merasa beruntung manusia selalu abai terhadap alam, terhadap hutan” jelas Dharma.
“ Iya , aku sudah menyaksikan sendiri penjaga alam yang sangat setia. Namun mereka harus mengakui keserakahan manusia terhadap alam. Buaya buaya sakti …” Ungkap Bernad dengan sorot mata yang kuat menatap kegelapan. “ Dan Harimau harimau Perkasa…” Lirih suara Bernad menyambung kata katanya.
“ Buaya… buaya “ beberapa orang berteriak di samping pondok. Terlihat beberapa ekor binatang dengan ekor panjang merayap. Binatang itu tak memperdulikan keadaan sekitar . orang orang sudah pada ketakutan, tapi binatang itu terus saja bergerak maju dengan langkahnya yang memburu.
“ Bukan, itu biawak. . Biarkan saja dia mau ke bondar itu.” Cegar Dharma. Ada dua orang sudah siap siap untuk menyerang hewan tersebut. Akhirnya mereka memberi jalan. Dengan gesitnya hewan melata tersebut memburu tujuannya. Giginya yang bertaring terlihat siap siaga juga. Gemuruh dari arah pengeboran terdengar lagi. Walau tak sekeras tadi malam. Gelegarnya beruntun hingga tiga kali, saling ber sambung. Diikuti beberapa pohon besar dari belakang pondok rubuh juga. Ambruknya pepohonan tersebut menandakan api sudah melahap pangkal batang. Akar akarnya tak lagi mampu menyangga batang yang besar sebab tanah gambutnya telah habis terbakar. Pohon yang menjulang besar besar pasrah rubuh ketenggah kobaran api yang menyala. Kegaduhan dari arah pondok kian menjadi jadi. Rentetan gemuruh dari pengeboran, lalu robohnya pepohonan menadakan semangkin terdesaknya hewan hewan untuk mengungsi.
“ Semua di atas teras,!” seru Dharma. Ia memperhatikan ada binatang merayap di tanah yang juga akan melintas. Sementara yang berjaga jaga di halaman kebingungan. Mereka ingin meninggalkan pos jaganya.
“ Keatas batang kayu, !” suara Danru memekik. Ia mengingatkan jangan meninggalkan posisi. Sebab serangan anak panah yang baru mungkin masih ada lagi.
Ada tiga orang termasuk aku menjadi makmum subuh hari ini. Dengan sejadah seadanya kami sholat di ruangan tengah pondok. Dharma menjadi imam. Suaranya yang setengah melengking terdengar syahdu melantunkan bacaan Al Fatihah dan ayat-ayat sholat. Sebelum sujud terakhir, terdengar suara Danru tiba tiba berteriak. Sebelum salam, kian santer suara pria itu. Sehingga aku mengulangi bacaan sebelum salam, konsentrasiku buyar. Begitu selesai salam seorang satpam segera menemui Dharma. Kami pun bergegas keluar. Seorang pria tinggi sedikit kurus dengan topi capil lebar sedang di introgasi Danru . Setengah dibentak bentak, ia menanyakan sesuatu. Dharma menenangkan semua orang. Dharma memperhatikan pria yang tertangkap. Ia sedang mengendap di sisi kiri pondok. Ia bersama seorang temannya tertangkap anggota satpam yang menjaga di pos kiri. ketika ku mendekat, aku sontak. Sepertinya aku pernah melihatnya. Ingatanku bermain main sebentar. “ Bang , orang ini kenal dengan Claude,” bisikku pelan. Dengan sorot mata sedikit tajam, Dharma menatap Claude. Gadis itu hampir tak mengerti dengan tatapan itu. Namun ia memberanikan diri mendekati Dharma.” Do You Know him ?” pertanyaan itu akhirnya diucapkan Dharma. Claude menatap pria dan seorang temannya yang sedang menjadi tawanan. “ iyaa,..Jhon Locke. Dia my Father. Dia ayah saya dan itu temannya, Charlie “ Claude mendekati pria itu. “ Kamu serius ?” tanya Dharma sedikit meninggi.
“Ia yang menyelamatkan saya tadi malam “ ungkap claude. Kini gadis bule itu pasang badan di hadapan Dharma. Claude memberi rintangan badannya ajar Dharma dan pria itu berjarak. Untuk beberapa saat kami hanya menyaksikan Dharma dan Claudi saling menatap. Ada aroma saling bertanya dan kami tak mengerti apa yang sedang berlaku. Suasana sunyi semua, terdiam menunggu.
“ Oke laki laki ini bukan orang yang menyerang kita. Dia anggota rombongan Tamu saya “ Dharma memberikan kalimat pengumumannya. Setelah itu Claude tampak berbincang sejenak dengan ayahnya. Lalu Gadis itu memanggil Ramos.
“ Bang Dharma, ada teman mereka yang terluka di samping pondok “ Claude memberitahukan Dharma. Seakan ia minta izin untuk menjemput Teman Ayahnya. Dharma memberi izin . Dia pun menyuruh Lunang dan Edi untuk mengikuti Ramos.
“ Awas Panah…” teriak Herman yang lagi di dekat api unggun. Dia pun sudah mendapatkan beberapa serangan yang meleset. Semua orang merunduk mencari perlindungan. Dharma dengan senjata Busur rampasan tadi memberikan perlawanan. Beberapa warga juga yang sedari tadi sudah mawas ikut juga memberi respon . mereka melesatkan anak anak busurnya ke arah bayang bayang orang yang berada di dekat jalan. Setiap ada yang bergerak dari balik batang batang pohon busur busur itu membidik nya. Kali ini serangan anak panah semangkin banyak dan saling sambung. Kelihatannya mereka yang menyerang semangkin banyak. Warga penyerang itu juga menggunakan ketapel serta tombak tombak bambu yang dilemparkan. Desingan anak anak panah terasa sekali di telinga, mengalahkan desiran angin fajar. Danru dan anggota satpamnya tak lagi melepaskan tembakan senjata berburu mereka karena pelurunya sudah habis. Sehingga mereka hanya bisa mengutipin anak anak panah yang meleset . Penyerangan mereka terasa sangat gencar, bahkan semangkin dekat. Saling panah dengan jarak dekat membuat Claudi dan Michel sering terdengar menjerit. “ Awas Api …” suara Herman melengking. Ia melihat cahaya api kecil melayang di udara mengarah ke teras pondok. Sebuah botol kecil dengan sumbu terbakar membentur lantai teras. Botol itu tidak pecah namun minyak yang terisi penuh berserakan di lantai papan. Sebentar saja Bensin itu di sambar api dari sumbu botol. Api cepat membesar mengikuti sebaran bensin . Molotov itu diikuti yang lain .ada tiga percikan api yang menyebar di teras. Dua orang warga cepat mengambil kain yang dibasahi untuk memadamkan api. Beruntunglah Ramos dan Lunang sudah kembali. Sementara Pria yang terluka itu bernama Jack. Pria itu sudah dibawa ke Alfa hotel.. Setelah menempatkan di tempat yang aman dan terlindung, Keduanya segera ikut memadamkan api. Mereka segara mengerok gambut basah di halaman dan melemparkannya di teras. Gambut gambut basah itu mengubah api menjadi asap putih yang beraroma keasaman. Dengan sebentar saja api di teras padam . Dharma dengan Edi menghalau molotov selanjutnya dengan tameng karung sebagai senjata balistik menghalau rudal. Dengan memegang ujung karung mereka seakan menampung bom api itu namun memberi gaya kejut untuk melesatkanya kembali ke arah asal. Sehingga bom api itu pecah dan menyebarkan api di sekitar musuh. Cahaya api itu pula beberapa anggota yang sudah siap siaga dengan busurnya menyerang balik. Dan berhasil melumpuhkan mereka. Sedikit lega karena sudah tak ada lagi api api bersumbu yang melayang. Anak anak panah pun tak ada lagi melesat. Semua masih terus menunggu . Setiap orang masih mawas di posnya masing masing. Karena sudah merasa sedikit aman, Michel pun segera memberi perawatan pada teman ayah Claude.
“ Abang tahu kenapa mereka membawanya kemari ?” tanyaku pada Dharma. Dengan tatapan curiga ia ingin tahu. “ Karena orang yang terluka itu harus diobati sama Teratai putih”
“ Kenapa ?” tanya Dharma heran. “ Sebab selama ini mereka sudah tergantung dengan bunga itu untuk menyambung hidup nya. Dharma lalu melihat Michel menatap Claude. Claude terlihat sedikit protes. Ia sepertinya keberatan. Namun Ayahnya mencoba membujuk. Tak jelas apa yang mereka ucapkan. Dharma pun penasaran, ia mendekat seketika. Gadis bule itu sedikit kesal, namun ia mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Michel pun seketika mengoleskan sesuatu pada luka orang itu.
Elvi baru saja menembus kabut di kegelapan sisa malam. Setelah melewati jalan bondar, ia berbelok ke kanan. Menelusuri jalan blok. Langkahnya menjajaki tapak orang orang jalan diatas gambut. Berliuk liuk menghindari lumpur gambut yang masih lunak. Warna coklat kehitaman telah melekat di kakinya yang tanpa alas. Sedalnya ia jinjing mengapit barang bawaan. Langkahnya terus melewati kabut asap sisa bakaran gambut tadi malam. Gerakanya dipercepat setelah ia melihat bayangan rumah.
Orang orang di base camp bergerak cepat. Sejak tadi malam semua berjaga jaga. Sehingga semua kembali di posisi. Siap menyerang. Parang, ketapel , Siap siaga. Mereka mengawasi bayang bayang yang bergerak berlahan di balutan kabut bercampur asap gambut.
Dharma serta semua tim keamanan sudah dibangunkan. Mereka ikut bersiap. Detak jarum jam berasa bergerak lambat. Seperti lambatnya mentari pagi hari ini. Tahan nafas, desah berlahan. Aroma sisa bakaran gambut menyesak, karbon khas dedaunan yang gosong menandakan kebakaran hebat tadi malam. Beberapa bara api masih menyala di batang pohon yang tinggi. Menyisahkan hitam arang disekitarnya. Dingin pagi pun terus berangsut pergi. Bersama aroma arang terbakar.
“Darma,…. Bang Darma… ” suara Elvi menyusup keheningan. Orang orang tak merespon. Dua kali seruan itu berulang dan semangkin jelas. Semuanya belum bergeming. Masih siap siaga penuh kecurigaan. “Jangan jangan wanita itu belum mati”, masih seperti tadi malam.
Elvi semangkin mendekat, tentengan yang menjadi beban di tangannya terasa berat.
Bambu bambu kuning sudah bersiap untuk dilontarkan. Beberapa orang masih ingat keganasannya tadi malam. Pedang pedang kayu dari batang Tembusu serta kayu polai juga sudah diangkat. Tiga orang merayap berkelompok. Satu kelompok lagi disisi berbeda. Semua tetap membiarkan kabut bergerak lambat. Tak mengusik dingin pagi. Suara pukang di kejauhan pun tetap dibiarkan. Mengawal gelap meninggalkan malam.
Dari koridor teras depan Darma melangkah ke luar.Surya ingin beranjak, namun ditahan Darma. Tanggan Darma memberi aba aba ,jangan bergerak. Demikian juga Wawan, tangan nya sedang mengegam belati putih. Darma menuju tangga. Ia menuruni keenam anak tangga dengan berlahan.. Ia menanti wanita yang memanggil namanya.
Sudah cukup rasanya kepenatan semalam suntuk ini. Ini harus diakhiri.
Dengan keberanian yang tersisa, Darma menurunin tangga menuju halaman. Sudahlah…
Sudah banyak yang menjadi korban semalam ini.
Suara Elvi semangkin jelas terdengar. Bercampur aroma asap menembus telinga.
Semangkin mendekat sosok bayangan itu, meningkatkan detak jantung seluruh penghuni Long House. Beberapa diantara mereka menggigil menahan sakit karena terluka. Bayangan putih yang berkeliaran sepanjang malam telah merenggut korban.
Darma menanti bayangan itu. Suaranya semangkin jelas,
Di Dekat bulatan api unggun wanita itu menunggu. Kayu kayu sudah habis hanya menyisakan seonggok abu putih. Claude yang sempat tertidur tadi tiba tiba terjaga. Ia menatapku,gerak bibirnya bertanya
“Siapa itu ?” walau tanpa suara. Aku hanya mengangkat bahu. Aku benar benar tak tahu. ku sengol Wawan yang ada di sisiku.
“Itu ceweknya Pak Dharma “
“Siapa namanya ?”
“Elvi…cucu kesayangan mbah Warto “ suara Wawan masih pelan ku dengar. Tapi aku memberi isyarat dengan dua jariku saling bertemu kepada Claude .
“ Girlfriend “ masih tanpa suara. Aku tak mendengar apa yang dibicarakan mereka. Wanita itu menyerahkan serentengan rantang. Ada senyum serta mimik bicara manja. Sambil menggoyang goyang tubuhnya, tampak sedikit malu. Apalagi saat ia menunjukan kakinya tanpa alas. Sementara terompanya ia pegang. Senyumnya pun mengembang. Seperti bunga mekar di pagi hari. Kuncup yang terbasuh embun dingin. Membasahi dengan kesejukan kemudian disinari cahaya mentari. Ada tatapan malu malu saat ia melirik ke arah kami. Tatapan matanya begitu bersemangat melihat Dharma. Ada respon yang begitu romantis yang ditunjukan Dharma. Dharma tampak mengangguk pelan saat wanita itu berpamitan. Ada lambaian kecil untuk mengakhiri perpisahannya. Dharma membalas lambaian itu sejenak
“Iya, hati hati, selopnya dipakai” teriak Dharma. Wanita itu sepertinya menurut. Ia turunkan sendalnya dan membawanya melangkahi jalanan gambut. Dharma menyerahkan rentengan rantang pada Wawan. Ia menyuruh membagikan ke rekan rekan yang lain. Sementara Dharma kembali duduk di tangga teras. Ia masih berjaga jaga. Sementara di ufuk Timur sudah mulai merah. Bayangan gelap malam sudah berangsur kurang. Batang pohon pohon sudah tampak di pucuk pucuk. Dingin pagi masih tetap yang ditemani asap bercampur embun. Aroma karbon yang sudah menyesakkan pernafasan sejak malam terasa semakin pekat. Claude mendekati Dharma. Ada sedikit keraguan dari geraknya. Sedikit kikuk, tidak seperti beberapa hari ini. Kali ini ada kekakuan yang tak biasa. Sementara Lunang , Wawan dan Edi sudah bersantap Lontong mie . Herman juga menyisakan dua piring untuk Dharma dan diriku. Namun Dharma menyerahkan pada Claude. “ Came on, ayolah. “ Claude membujuk Dharma untuk menyantap makanan. cewek itu mnyuapkan lontong. Ada sedikit enggan, namun Dharma mencoba juga suguhan claude. Ada dua suapan yang telah ditelan. Namun saat suapan yang ketiga , setelah Dharma menelannya. Ia menggelengkan kepala. Menyuruh cewek itu yang menghabiskan sisa makanan.
“Its good, dia pandai memasak ya, “ puji Claude.
“Ya, itu kelebihannya”
“Lalu apa hubungannya dia dengan Mbah Warto?. Siapa Mbah Warto itu ?” Tanya Claudi sambil menyisihkan rantang di tangannya. Ia bersiap dengan keterangan Dharma. “Ya, Elvi itu cucunya mbah Warto, bisa dibilang cucu kesayangannya. Mbah Warto sudah menyiapkan kebun dan sawah untuk Elvi. Sementaara cucu beliau yang lain belum ada. Mbah Warto ini termasuk sesepuh desa. Beliau cukup disegani karena keahliannya mampu memberikan penawar sidingin. “
“ Penawar Sidingin ?” celetuk Claude tak mengerti.
“ its ,act of god , itu seperti penyakit yang tak tahu penyebabnya. Seorang cenayang “ terang Dharma sedikit ada kesulitan mencari padanan katanya. Herman mengutip rantang bekas makan Claude lalu berlalu menuju parit tempat mandi. dia ingin membersihkan rantang rantang tadi. Aku memang enggak memakan karena masih terasa kenyang. Atau bisa jadi kembung, angin malam nyesek di ulu hati. Makanan tadi kuserahkan pada warga yang sudah kelihatan lapar.
Kini benar benar hari yang cerah. Warna langit yang biru sudah terlihat. Sang matahari sudah mulai ada di titik edarnya. Cahaya ultravioletnya sudah menusuk di sela sela pohon . Mengusir embun pagi. Bayang pepohonan pun telah mengecil. Hanya masih berada di bawah bawah sekitaran hutan. Jalanan sudah tampak lurusnya dari ujung ke ujung. Lorong hutan itu tampak semraut dengan tapak Babi hutan. Jalanan gambut itu telah diacak acak binatang gemuk pendek semalam. Kali ini suara raungan sepeda motor dari arah Timur terdengar mendekat. Asap putih bercampur biru mengikuti gerakan motor itu yang meliuk liuk di jalanan. Tak butuh waktu yang lama. Sepeda motor itu sudah berada di depan kami. Ia berhenti. Cewek di boncengannya turun. Semua yang melihat jadi terdiam seperti tunggul kayu. Tak ada yang berani bicara hanya segudang tanya ada di setiap wajah orang orang. Wanita yang di bonceng itu ternyata Elvi, ia membawa serentengan Rantang. Rantang yang berbentuk sama dengan yang dibawanya tadi pagi. Masih mengunakan Baju yang sama. Dengan langkah sedikit gugup ia maju mendekati Dharma. Ada lirikan yang tak bisa diartikan ketika dia memandang Claude yang berada disamping Dharma. “ Bang ini, biar sarapan dulu ya” senyumnya. Ia menyerahkan bawaannya. Dengan sedikit keheranan, Dharma membuka penutup rantang bagian atas. Ia tertegun sejenak. “ oh iya terima kasih, kok jadi merepotkan. “ ujar Dharma menghilangkan kekagetannya. “ Enggak, Elvi sudah dengar cerita orang di desa. Abang terkurung api disini. Abang enggak apa apakan ?”ada senyum manja menyertai tanyanya. Sedikit salah tingkah. “ Bang enggak singgah dulu “ Sapa Dharma pada pria yang membawa Elvi. “ Enggak apa apa. Mau buru buru ke Ledong lagi. Kau enggak apa apakan ?. Aman aman ajakan ? .” balas Pria itu sambil melihat situasi sekeliling. “ iya enggak apa apa. Aman kok “ . Dharma mengalihkan pandangannya ke Elvi. Sedikit lekat pandangan itu. Hingga wanita itu tersipu. “Bukannya kamu tadi sudah kemari ?” ada keraguan dalam pertanyaan itu.
“Ah, enggak. Elvi aja baru siap buatkan masakan tu , langsung ke mari. Takutnya abang sudah kelaparan. Tapi kalau enggak enak jangan marah ya “ pintanya yang terakhir dengan penuh harap. Dharma tersenyum saja.
“Iya enggak apa apa, terima kasih ya “
“Iya. Elvi pamit dulu, sekalian minta izin nanti adek mau ikut ke Ledong ya bang” “Iya, enggak apa apa. Hati hati ya “ Dharma membalas senyum dan mengangguk pelan tanda ia memberi restunya. wanita itu pun melangkah mundur dengan lambaian tangannya yang tersembunyi. Dharma membalas lambaian,” Bang terima kasih ya “ teriak Dharma pada pengendara.
“Iya enggak apa apa” pria itu memutar sepeda motornya. Sebentar kemudian raungan Knalpot motor itu membisingkan pagi. Setelah Elvi Naik di boncengan, mereka segera pergi. Deru suaranya semangkin menghilang diujung jalanan. Dengan rasa yang tak di mengerti Dharma menyerahkan Rantang yang ia pegang pada Herman. Ketika menerima rantangan itu. Herman menyandingkan rantang yang baru ia basuh. Sama persis. Orang dengan baju yang sama, makanan yang sama. Keduprak , sebuah rantang terjatuh di lantai. Ia merasa kaget dan mendadak takut melanjutkan makan. Dharma tak mengacuhkan ia berlalu ke ruang mandi.
Belum ada lima menitan Dharma masuk di tempat mandi. suara gaduh terdengar dari arah jalan ke perkampungan. Herman segera memberi teriakkan. “ Orang desa datang lagiii” teriaknya . pekikan itu seperti suara sirene yang meraung sebagai alarm perang. Ada serangan, musuh terlihat datang. Dharma segera keluar dari ruang mandinya. Lalu mempersiapkan semua.
“Semuanya bawa barang barang yang perlu, kita segera pergi dari sini “ Danru pun segera mempersiapkan anggotanya . mereka sebagai tameng pertama yang menghadapi warga yang datang . sambil mengulur waktu. Tak ada yang berani melawan perintah Dharma. Semua nya segera meninggal Pondok Base Camp alfa Hotel Dua menuju jalanan keluar. Kami menembus kabut yang berbaur dengan asap asap gambut. Semua orang membalutkan kain basah di hidung dan mulutnya. Agar terhindar dari sesaknya pernafasan. Semua bergerak secepatnya menjaga jarak jauh terhadap warga yang datang. Sementara Danru dan anggotanya masih berjejer di baris paling belakang . Aku melirik ke sisi kanan jalanan di seberang bondar. Beberapa mata bersinar kecil menatap rombongan kami. Pasangan mata mata kecil itu seakan mengawal kepergian kami. Dharma menepuk lembut pundakku. “ Sudah biarkan mereka memperhatikan kita “ Dharma mensejajarkan langkahnya. Sementara Claude masih mengiringi Jhon Loucke beserta teman teman yang lain. Menembus asap serta melindasi sisa kebakaran gambut di jalanan. Sunyi tanpa suara pukang, Nyanyian Rangkok menyambut pagi tak terdengar. Apa lagi ketawa yang cekikan dari ayam ayam hutan di atas pohon . sungguh pagi ini sunyi sekali. Kami tak ada juga mengeluarkan kata kata. Semua menghemat tenaga yang tersisa. Warga kampung memang sudah tertinggal jauh . Hanya terlihat kobaran api yang meninggi melalap Alfa Hotel. Si jago merah telah merajai hingga ke atas atap nya.
Bangkai dari mobil yang menyusul kami tadi malam sudah jauh kami lewati. Rongsokan itu tinggal rangkanya yang masih berasap. Kami terus berjalan menembus dingin pagi yang sesak menelusuri jalan poros.
“ Pak Danru, Kalian lanjutkan perjalanan ke Patok tujuh ribu. Bawa rombongan hingga ke Pangkalan. Amankah kondisi orang orang “ Akhirnya Dharma memberikan arahan. Mendengar ucapan Dharma, kami semua berhenti.
“ Bang… Dhar enggak keluar dulu ?” tanyaku sedikit heran. “ Oh iya. Liburanmu sudah selesai sampai disini. Tolong urus segala sesuatu sama Claude. Saya masih ada tugas yang belum tuntas. Saya Bereskan dulu, nanti kita ketemu lagi “
“ Tapi bang..” potong cewek bule itu.
“ Iya, misi kita sudah tuntas. Nanti saya menghubungi kamu lagi. Tinggalkan emailmu sama Dee. Oke “ Pungkas Dharma .
“ Oke semua, terus berjalan hingga ke pangkalan. Tetap dalam rombongan yang diawasi Pak Danru. Jangan ada yang terpencar pencar” kata kata Dharma untuk semua orang. Semua terlihat memperhatikan dan merespon kata kata Dharma. Hendro Lunang Dan Edy beserta Herman Mengawal Dharma memasuki Jalan Rintisan Di kiri Jalan Poros. Jhon Lucke dan Charlie juga menghentikan langkah mereka. Claude menatapnya dengan gelengan kepala “ No… no”
Tak ada yang mampu diucapkan Ayah ke anaknya saat mereka harus berpisah kembali. Hanya diam. Lalu gestur tubuh mengucapkan selamat jalan. Ayah Claude pun menyusul Dharma. “ Why…” teriak Claudie dengan raut sedih. “ Why..” teriak Cladie sedikit pelan. Nadanya kian merendah. Air mata telah mengenang di pupilnya. Ayah nya tak menjawab. Pria itu hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia menghilang di bayangan hutan yang telah membara. Charlie dan Jack mengekorinya dari belakang. Walau dengan sedikit pincang, Jack tampak sudah mulai pulih. Michel menenangkan Claude. Sebuah pelukan untuk menegarkan temannya itu. “ Come on, lest go “ rayu michel sambil mendesak tubuh Claude pelan untuk terus bergerak. Dengan isakan tangis, cewek itu melangkahkan lagi kakinya. Menapaki jalanan gambut yang telah menghitam.
THE END
Kreator : Darmen Eka Susilo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA- Jum at
Sorry, comment are closed for this post.