Di Pulau Sumatera Tahun akhir Abad 19-an
Hari Ketiga, Kamis
Pagi sekali Dharma sudah berpakaian lengkap. Ia duduk di teras sambil menghirup kopi kentalnya. Beberapa orang yang lain juga sudah sibuk berberes beres. Ternyata bekas perkelahian harimau malam tadi begitu jelas. Jejak pergumulan malam itu tidak hanya melumatkan sejumlah belukaran, tetapi arang kayau unggun serta tanah gambut yang telah terburai burai dari tanahnya. Bekas jejak kuku pada cakarnya yang runcing membuat merinding. Sisa jejak kaki yang tergores di tanah menandakan sesuatu yang hebat telah terjadi. Lima binatang buas menunggu kami di bawah huma. Menanti mangsa sepanjang malam. Herman sudah selesai di dapur. Semua peralatan yang bisa di bawa sudah terjaring tali rotan. Barang barang itu terikat rapi tinggal di panggul saja. Hanya tersisa periuk hitam yang berisi kopi serta sebuah panci ukuran sedang. Panci tersebut masih berisi Mie Instan kuah. Sementara barang yang lain tinggal di jinjing aja.
Yang lain sudah pada ngopi, aku sendiri yang belum. “ pak semua sudah beres “ Lunang mendekat.
“ Oke tunggu, siapa lagi yang belum sarapan ?”. Dharma memberi waktu tunggu tambahan agar tidak ada yang tertinggal. Dua sampan sudah di tepi sungai dengan barang bawaan.
“Oke kita tunggu iringan kayu pak Zul, ” Dharma pun bergerak turun. Ia memeriksa secara acak lalu berdiri di tangkahan. Bernad masih terlihat linglung. Traumanya masih terlihat jelas. Wajah yang ketakutan sering berhalu. Namun mau tak mau harus juga ikut pergi. Dari arah hulu terlihat kayu glondongan hanyut. Satu kayu yang besar diapit dua kayu lempasi yang berukuran sedang.
“Kayu apa tuh, bang “
“Kayu kayu meranti sama kayu kompas untuk kilang papan “ Edi menjelaskan.
“Ayok, kita naik itu. “ sambungnya lagi.
“What ?” teriak Michel setengah heran. Biasanya dia tidak ada protes. Tapi kali ini ada rasa yang mencemaskannya. Michel melirik deretan kayu loging di sungai. Tualan kayu disusun seperti rakit. Kemudian tiap rakitan kayu itu disatukan dengan tali tambang sebesar jempol pria dewasa. Ada sembilan gandengan. Didepan ada satu seorang dengan sebuah galahnya. Pria itu bertugas untuk mengarahkan jalur yang dilewati. Sementara seorang lagi di rakitan kedua terakhir. Menjaga ekor supaya tak menyangkut dipinggiran sungai.
“Alligator..?, stupid. ?“ beberapa kali Michel mengoceh. Walau ia berbicara dengan dirinya sendiri tapi suaranya itu terdengar juga ketelingga kami. Kami hanya tersenyum kecut juga.
“Sudah, buaya itu enggak ada, kalau dia muncul berarti kalian ada pikiran jorok. Makanya jangan berpikiran yang tidak-tidak. Jangan ada otak ngeres porno. No Bugil“ Edi menanggapi. Ia seakan berbicara padaku tapi wajahnya ke arah bule bule itu. Aku santai aja. Kubersiap mencoba mendekati rakitan balok balok itu.
“The ladis di perahu. “ notice Dharma mengarahkan penumpaang ke perahunya. Dharma bersamaku di rakit ke dua dekat pengawal kayu. Bernad dipapah Ramos naiki sampan yang satunya. Celotek Michel pun telah senyap. Ia sudah sibuk mncari posisi tempat di sampanya. Setelah bersiap semua. Tanpa komentar lagi, kami segera bergerak. Rakitan yang panjang memang sedikit menghambat laju kami di setiap tekongan sungai. Tak ada satu pun dari kami yang duduk, semua berdiri dengan tegap mengatur keseimbangan. “Melatih keseimbangan tubuh yang baik itu diatas air. Dengan riak air kita bisa melatih fokus dan kosentrasi, “ Tips Dharma untukku.
Matahari terlihat baru setengah tinggi. Mungkin lepas waktu dhuha, kami baru sampai. Michel dan kawan kawan sudah lama menunggu di tangkahan simpang bondar. Kita mengulangi lagi jalur yang kemaren.
Dari sini kami menelusuri jalan setapak. Jalan itu bersisian dengan sebuah parit kecil. Bondar kayu yang dipakai oleh penebang kayu untuk mengangkut balok baloknya.. Untuk beberapa saat kami melintasi hutan kayu muda lempasi. Kayunya dimanfaatkan untuk pelampung. Ketika pembalok akan menghanyutkan balok kayu meranti maupun kayu kompas yang terbenam di air. Tanaman belukaran yang menyemak di bawah pepohonan kayu muda. Hutan tersebut nampak padat walau tak terlalu menutup. Karena sinar matahari tampak jelas menerangi arah jalan setapak itu. Seperti kemarin sejak berangkat hingga kini tak ada pembicaraan yang berarti. Semua seakan banyak diam. Dharma masih menghemat kata kata. Hanya Claude saja yang lebih aktif bertanya atau berkomentar. Hanya teriakan Lunang dan Edi sesekali melawak di depan. Atau suara parangnya membabat ranting yang menghalangi jalan. Sementara aku juga tak tahu harus berbicara apa. Satu jam berjalan kami istirahat sejenak. Dharma sibuk dengan peta dan GPS nya. Untuk mengurangi kekakuan suasana Claude selalu di sisi Dharma. Mencoba mencari sesuatu yang baru. Tapi keacuhan Dharma masih kesal rasanya. Ia benar benar menghemat suaranya.
Keluar dari jalur rintisn, menggangga hamparan luas yang menghitam. Areal pengeboran yang baru saja terbakar. Hari ini pun masih ada asap yang keluar dari beberapa rongga tanah. Masih seperti kemaren. Asap gambut yang nyengat di hidung. Aroma arang asam menyeakkan. Kali ini kami tak banyak berhenti. Kami terus saja berjalan hingga ke tenggah areal.
Tiba tiba Claude berhenti. Ia meminta Dharma untuk menunggu sebentar. ia menuju tumpukan pipa pipa lalu menatap ke bekas anjungan, beralih ke tumpukan tanah liat. Ia berjalan menuju bukit kecil itu. Hampir sepuluh langkah ia berbalik sembilan puluh derajat di belakangnya. Lalu ia maju menuju arah yang ditunjuk. Ada sebuah tunggul kayu besar yang sudah lapuk. Cewek itu mengelilinginya dengan seksama. Tak tahu apa yang dicari. Aku mencoba mendekat, ingin membantu. Tapi suara Dharma sudah kecetus duluan “ Ayo cepat, kita harus pergi dari sini “
“Iya just minute “ dari kejauhan Claude membalas sambil mengacungkan tanggannya. Aku hanya bergerak ke tumpukan pipa saja. Dari sana aku menatap ke arah rombongan.
“ itsss, sebentar. aku ingat sesuatu ,” teriakku. Pikiranku sedikit bekerja. Lalu mencari titik temu dari sebuah ingatan. Oke ku ikuti langgah Claude dari awal kemudian kuambil arah berlawanan. Aku mengarah ke tengah areal. Kakiku menyentuh sepatu both usang. Sudah terpanggang separuh. Kulihat tapaknya. Tertulis Caltex, kupukul pukulkan di kayu , tapak itu sangat kuat.” Mungkin besi di lapisi karet “ gumamku. Dengan kayu tusuk tusuk tanah di lokasi sekitar itu “Brukkk “ sebuah plat besi usang jatuh ke dalam. Kumelihat sebuah ruangan. Sepetak ruangan di dalam lobang. Ruangan itu tertutup plat besi. Tapi kini besi tersebut telah berkarat dan rapuh. Sudah banyak berlubang di tembus akar akaran. Claude cepat berlari mendekat Sementara yang lain juga mulai merapat.
“ Ramos, came on. “ pinta Claude. Ramos dimintanya untuk membantu menyingkirkan plat besi yang berkarat itu. Lunang dan Edi juga ikut membantu. Mereka menebas sisa sisa akar yang membelit besi tersebut. Ruang dua kali dua meter.semi permanen. Sebuah kotak besi tua yang di cari claude. Didalamnya ia menemukan foto ibunya. Sepasang kemeja dan sebuah buku. Juga satu kotak berukuran sebungkus rokok. Ada liontin dan sebuah amplop berisi serat tetumbuhan. Cewek itu membawa semua yang ia temukan. Barang tersebut dimasukkan ke tas ransel miliknya. Ia mencoba melompat keluar seperti dia masuk. Namun sia sia. Dharma dengan sedikit kesal menjulurkan tanggan. Ada senyum di wajah Claude, ia cepat mengapai tanggan itu. Seperti diseutas tali ia bergantungan disitu, kalau tidak di sentak naik oleh Dharma maka tubuh gadis itu tak mau keluar. Akhirnya mendarat dengan sediki hentakan.
“Terimakasih ya bang “ ucapnya kemudian. Aku mendekati Claude, ingin tanya buku apa yang ia dapatkan.
“Saya tahu, pasti kamu mau bilang , saya hanya melihatnya dalam mimpi iya kan “ Claude sok menebak. Aku jadi urung, engak nafsu lagi mengajukan pertanyaan. Dharma tak acuh ia segera memberi komando untuk segera bergerak. Meniggalkan tempat itu menuju ujung hutan muda yang berhadapan. Didepan kami jalur yang di lewati tak sesemak belukaran yang lewat. Jalurnya kebanyakan ditumbuhi pakisan kawat dan krissan. Dan lebih banyak ruang terbukanya. Kini jalur kami sudah mengarah ke Utara. Setelah menemukan sebuah bondar bekoan, kami berbelok ke Timur. Mengikuti Jalanan yang baru di gambang kayu. Kayu kayu yang disusun di timpahin lumpur gambut.
Lumpur tersebut masih basah dan lunak. Kami hanya bisa menyusuri jalan itu dari tepi kiri yang memepet ke hutan. Ada limabelas menit kami berhenti di sebuah pondok camp. Centong tiga namanya. Begitu Dharma meyebutkan. Kami beristirahat sebentar melepaskan siang hari sambil menunggu santap makan siang. Herman dan Wawan dengan cekatan membongkar stock bahan makanan. Logistic yang mereka bawa beberapa hari lalu. Bahan tersebut disimpan di Centong Tiga.
Memang ada rasa khawatir mereka. Itu terjadi ketika kami baru sampai disini. Mereka takut sebab kebakaran hutan kemarin telah merambah di centong tiga. Sebahagian belukaran hutan terlihat gosong. Tinggal kayu kayu hutan yang besar saja masih berdiri. Itu pun sudah banyak yang terlihat batang bawahnya yang telah menjadi arang. Walau hanya kulit luarnyasaja hingga mengeringkan kambium di lapisan kayunya.
Jadi keduanya segera membongkar lubang lubang perlindungan bahan makan tersebut. “Alhammdulillah, selamat selamat “ mereka mengeluarkan sebungkusan plastik di tiap tiap lobang. Dalam satu bungkus ada gula, kopi, serta teh, Ada mie instan juga tanpa kardusnya. Lalu sebungkusan lagi ada sekardus air minum gelas. Ada sorak sorai girang dan menang. Ternyata sekitaran lobang penyimpanan itu telah hangus menjadi abu.
“Dahsyat juga kebakaran kemaren “ cetusku tak sengaja.
“Iya, itu bahaya-nya kalau di daerah gambut yang tebal. Api masih bisa bertahan di dalam tanah hingga ber hari hari sampai kayu kayu lapuk yang tersembunyi hangus terbakar. Ditambah lagi jika kita tidak memiliki planing untuk tata Pengelolaan air gambut , maka kekeringan yang akan terjadi. Jika sudah kering itu gambut sangat mudah terbakar seperti gas, langsung nyambar.” Terang darma menambah wawasan sedikit.
“Tapi seharusnya Water Plan sudah dibuat “
“ Iya, kami sudah membuat pengaturan batas ambang Out put nya. Tapi sering kecolongan oleh para loging liar yang selelu merusak bendungan.”
“ Pencegahannya ?”
“ Sudah macam macam kita lakukan. Dan terakhir saya buat batrrey water bank”
“ sistem apa itu “. Dharma yanga tersenyum menjawabnya. “ Nanti kita tunjukkan”
“ oke, jadi mengapa semua binatang buasnya ngumpul di daerah ini “ tanya Claude. Sambil membuka buka buku catatan bapaknya.
“Apa yang salah dengan pengelolaan konservasi hayatinya, “ lanjut cewek itu.
“Its ringht, betul disini ada yang salah dalam managemen pegeloloaan Hutan ini “ Dharma memulai duduk santainya.
“Hutan produksi ini adalah APL atau Areal Peruntukan Lain. Bisa dikelola oleh perusaan swasta dengan catatan harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Jadi beberapa perusaan telah melakukan penggarapan areal secara besar besaran serentak. Dari arah Selatan kita mereka masuk dari Labuhan Batu mengarah ke perbatasan kabupaten. Lalu dari Kabupaten Asahan Juga melakukan hal yang sama. Dari sebelah barat ada tiga pengusaha perkebunan melakukan ekspansi. Sementara di sini adalah daerah suku melayu. Suku melayu itu terkenal adatnya dengan sungai . dimana air mengalir disitu melayu menghidupi dirinya. Dimulai dari derah Tanjung balai hingga negeri lama. Sepanjang garis pantai dan disetiap sungai maupun anak sunggai selalau menjadi tempat hunian kaum melayu. Tak terkecuali di daerah yang terdekat dengan lokasi kita ini, Tanjung Leidong, Pangkal lunang , Kampung Masjid dan daerah sekitarnya. Masyarakat tersebut juga mulai merubah pola hidupnya untuk mengelola tanah disekitar mereka. Maka masyarakat disini menanam Padi Kuku Balam. Padi yang harum sekali pulen. Termahal no dua setelah beras ramos. Penduduk lokal maksimal dua kali dalam setahun waktu panennya.. Tergantung pasang surus air laut. Air pasang ROB bisa membanjirin perkampunyan bisa sampai dua bulan.” Papar Dharma panjang lebar.
“Ketika semua bergerak , ramai ramai membuka hutan. Maka terjadilah Areal terbuka baru yang melingkar. Hingga menyisakan Hutan yang sedikit di tengah.”
“Hutan yang tersisa itu juga areal yang akan dibuka untuk perkebunan. Lokasi kehidupan baru belum terencana. Dan pusat hutan yang tersisa ada di sini, yang kita pijak ini. Ini adalah hutan terakhir, untuk bertahanya binatang binatang tersebut “cerita Dharma dengn nada rang ringan.
Terlalu panjang sih, aku sedikit ketinggalan pemahaman.
“ Jadi , apa jadinya Lima tahun kedepan atau sepuluh tahun lagi. Jika hutan ini sudah benar benar menjadi perkebunan sawit semua ?” tanyaku sambil bermain dengan pena.
“Ya itulah, binatang binatang buas itu harus bisa menghilangkan diri. Atau juga harus punah, mati dengan sia sia. Atau juga berjuang menuntut haknya, dengan menyerang manusia manusia serakah lahan tersebut..” canda Dharma sedikit mengejek.
“Apa abang tak tahu bahayanya, kok tetap melakukan pengarapan lahan ini. ?” tanya Claude. “ Kami memang tahu bahayanya. Terlebih lokasi yang tersisa adalah areal rencana HGU dari perusahaan kami. Sehingga kami melakukan sistem bergantian untuk setiap tahap peng-LC-an. Menyisir dari pinggiran rawa rawa lalu membuka lahan mengarah ke perbatasan Kabupaten yang memiliki lokasi Suaka. Kami berharap bisa mengiring mereka untuk ber-migrasi kelokasi baru tersebut. Namun kendalanya…” dharma tak meneruskan, ia berhenti sebentar menatap langit. Setelah mengambil nafas panjang. Ia mencoba menginggat apa yang telah di bicarakan.
“Lalu Apa kendalanya ,” Claude mendesak.
“Ya pihak ketiga, para perambah hutan. Mereka menebangi hutan tanpa megetahui perencanaan tersebut. Mereka membabi buta asal mereka bisa medapatkan lahan itu saja pikirannya. Padahal untuk membuat kebun sawit seluas Dua Hektar itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Investasi yang cukup besar diawal pengerjaannya. Untuk ukuran masyarakat biasa sangat sulit bisa melakukan hal tersebut. Hingga akhirnya sering diantara masyarakat itu hanya sanggup sampai pengerjaan Penumbangan saja , lalu bakar dan kemudian mereka meninggalkan lahan tersebut.” Kali ini pandangan Dharma kedepan dan datar. Sedikit ada sorot kosong seperti orang yang sedang melamun.
“Lahan lahan itu ditinggal beberapa bulan hingga menjadi semak kembali. Dan datanglah pengarap lain yang melakukan penumbangan baru dannnnnn “ Dharma mengambil nafas panjang tiba tiba.
“Huuuah “ Dharma menghembuskan nafas itu serentak dari tenggorokannya. ‘
”maka terjadilah tumpang tindih lahan. Yang mengakibatkan percekcokan di masyarakat. Yang lebih buruknya lagi jika salah satu pihak berhasil menjual kepihak lain diluar desa. Orang Orang dari luar daerah yang sudah mengerti bisnis usaha sawit. Mereeka dengan perencanaan matang langsung mengarap dan menanami areal sengketa tersebut. Sementara kita sendiri adalah pemilik HGU areal yang mereka garap. Dan perusahaan sudah mengeluarkan kopensasi untuk masyarakat setempat yang telah dan pernah membuka lahan di areal HGU kita ini. “
“Jadi kesimpulannya Masyarakat melihat hutan yang masih disisakan ini adalah HGU yang tidak dikelola, padahal itu merupakan Planing untuk menjaga agar binatang binatang hutan bisa di arahkan kearah suaka yang dilindungi. “ sebuah kesimpulan awal yang kutarik dari cerita Dharma Tadi. Kucatat dalam buku notes. Herman sudah menghidangkan kopinya. Kemudian menyusul nasi putih dan sambal ikan Kaleng sarden yang harum . “ Wah harum kali , takut nanti penghuni hutan ikut datang juga “ candaku sambil cengegesan. Herman hanya tersenyum aja. “Enggak kok pak, Cuma pakai MSG ini aja kok resepnya, lalu campur Buah Kuldi yang mantep “ gaya chef yang terkenal ia pragakan. Semua yang lain ikut tertawa dan bersemangat untuk menyenduk nasi . Santap makan siang kali ini sedikit berbeda karena tanpa mie Instan kuah. Kecuali Michel, tak menyentuh sama sekali ia hanya mengambil nasi putih dan sambal goreng terasi. “ Why…?”
“ I am no MSG “ sedikit malu cara penolakkannya.
“No , thanks “ kelihaatan wanita itu sedikit cenggap cengap menahan pedas nya sambal cabai. Seperti ikan mujair di parit. karena cabe rawit ikut juga diolah Herman sehingga pedasnya jadi seperti sambal setan. Ampun lah , mata merem melek dibuatnya. Sepertinya siang ini tak ada peristiwa yang mengejutkan. Semua berjalan apa adanya seperti perkiraan. Setelah istirahat sebentar di camp centong 3 sampai makan siang. Lalu bergerak balik kanan menuju Base Camp Alfa Hotel 2 yang terdekat sambil menunggu kederaan yang menyusul rombongan.
Setelah matahari terlihat condong, aku bersama Dharma seperti biasa melakukan sholat zhuhur berjamaah. Selesai ibadah siang ini kami mulai bersiap bergerak.
“Ayo cepat. “ suara Herman bergetar. Matanya seakan melihat setan di siang bolong. “Sudah tinggalkan aja itu, mungkin mereka lapar.” Wawan yang ingin membereskan sisa sambal sarden jadi urung. Begitu juga kuali yang sudah hitam wajannya ia tinggalkan begitu. Kami segera mengeser ke balik camp lalu masuk kebelukaran. Dari sana terus bergerak menjauh dari camp centong tiga. Ada tiga ekos harimau di seberang bondar sedang mendekat. Kami tak tahu keadaan selanjutnya. Hanya terdengar sayup sayup suara auman beberapa kali.
Kami semangkin mempercepat langkah. Setelah menemukan areal garapan masyarakt, kami mencari jalan blokan areal . Dari sana kami mengikuti jalan blok itu menuju utara. Setelah sampai pada jalan poros tengah, berhenti sejenak. Jalan yang kondisinya sudah keras. Ada kelegaan tersendiri dalam berhenti sebentar ini. Wawan dan Herman menyelinap ke belukaran sebentar. hanya butuh satu menit mereka kembali dengan muka yang cemberut.
“ Kretanya hangus “ suara Wawan kesal .
“Apa “ tanya Dharma hingga diulang tiga kali dengan nada berbeda. Dengan rasa penasaran ia mencari tempat menyimpan motornya. Belukaran sekitarnya sudah tak ada lagi. Tak tersisa tempat persembunyian. Tinggal hamparan gambut yang gosong terbaakar. Dua sepeda motornya tinggal rangka besi.
“Ya sudah, dee tolong kau fotokan ini ya” Dharma mintaku mendokumentasikan motor inventars kantornya. Dengan senang hatiku jepret dari tiga arah yang berbeda. Lalu sebentar kami semua kembali ke jalan blok dan bergegas melanjutkan perjalanan.
Jalan kaki yah, sepertinya sudah mulai terbiasa, sejak hari pertama. Dipanggang sinar matahari yang terik memang semangkin sempurna keletihanya. Memang seharusnya dengan dua sepeda motor, beban bisa di langsir duluan. Agar kami bisa lebih cepat jalannya. Namun apa daya motor yang disembunyikan Wawan dan Herman di hari pertama sudah menjadi ronsokan. Di kejauhan sudah nampak atap seng putih.
“Itu base camp kita, masih sekitar sekilo lagi “ ucap Dharma agar menambah semangat jalan kakinya. Tiba tiba terdengar suara dentuman dari arah belakang kami. Arah suara di posisi tempat ajungan pengeboran.
“What happen ?” tanya Claude pada Dharma. Lelaki itu hanya mengeleng. Ia tak tahu apa yang terjadi.
“Ayo kita percepat saja, ” setelah dua puluhan menit kami berjalan sampai pada simpang empat jalan Blok. Jalanan ini bertemu dengan jalan poros blok yang menjadi jalan utama perkebunan. Dari simpang empaat ini kami berbelok ke kanan menuju base camp yang sudah tampak utuh. Disana ternyata sudah banyak orang berkerumun. Mereka saling bertekak. Saling menuduh dengna sikap saling tuduh. Kelihatannya yang berkerumun itu terbagi dua kubu.
Dharma menghentikan langkah kami. “ Oke jangan ada yang mendekat. Kalian tunggu disini aja dulu “ perintahnya. Lunang dan Edi menyertai Dharma. Aku pun mengikuti dari belakang. Yang lain tampak mundur tiga langkah kebelakang dan stand by.
“Enggak bisa !, Kalian harus pergi, aku yang sudah buka disini duluan“
“Kami sudah beli dari pak Zul, dia punya surat dari desa. Kalau sampean mau recokin ya ke pak zulnya. Bukan ke saya “
“Aku enggak mau tahu itu. Aku dulu yang buka ini sama sama pak salim. Dan Darno. Dan ingat aku tidak pernah merasa menjualnya. ! “ pria setengah baya itu menunjuk teman sesama penggarap. Kelihatan semangkin garang. Dharma tampak menahan langkahnya untuk tidak lebih mendekat. Ia berusaha mundur juga.
“Ini bukan urusan kita, ayo kita mundur saja “ ajaknya. Kami segera balik kebelakang
“#pak ada yang mngejar kita “ teriak Lunang.
“Pak, pak” teriaknya. Akupun terkejut, itu parang dilambai lambaikannya. Semua siaga. Parang imas diacung acungkan sambil mendekati kami.
“Pak pak” teriaknya berulang.
“Iya pak” sahut Dharma tenang.
“Ayo pak, bapak kan orang Pete, soalan surat garapan itu lho pak”
“Ooh,.. iya itu parang ngapain di acungin “ sergah Dharma.
“Hee, he. Maaf , situasinya darurat pak. Ayo pak “ pria itu cengengesan. Ada rasa malu maluin. Dharma terlihat tak bisa mengelak. Ia menuruti lelaki yang memangilnya tadi. Kami pun ikut menyertainya. Kami menyusul dari belakang. Sesampai di tempat kerumunan itu Dharma lalu di suguhin pertanyaan pertanyaan. Beberapa lembar kertas juga di sodorkan kepadanya. Namun suara saling berteriak tak ada berhentinya juga. Mereka saling berjawab denngan suara yang saling meninggi. Sesekali terdengar suara makian. Hanya suara Dharma saja yang sedikir rendah. “ Bapak bapak, jadi begini. Ini surat surat keterangan bapak bapak ini sah adanya. Kedua duanya dikeluarkan atas nama desa. “
“Tuoh kan, sah. Suratnya “ potong seseorang.
“Iya kan sama juga, punya saya juga sah wong dari deso” sambar kubu sebelahnya.
“Jadi gini ya bapak bapak, karena surat ini dikeluarkan dari desa yang sama, maka harus di tanyakan, di klarifikasi ke kantor desa. Nantikan desa membukakan arsipnya mana yang sebenarnya. Dimana letak sebenarnya. Gitu lho “ suara Dharma sedikit berat namun masih lebih rendah dari suara orang orang yang saling tegang.
“Jadi sekali lagi, kita endak perlu berdebat disini, karena kita tidak ada penenggahnya. Maka sebaiknya bapak bapak konsultasi ke pihak balai desa. Ya gitu ya “ Dharma mencoba mengakhiri pembicaraannya.
Semua terdiam. Untuk sesaat memang sunyi. “Ya udah kami biar ke desa aja. Biar lebih jelas dan membawa pak zul yang menjual tanah ini sama kami “ “Ah, iya pak. Monggo itu lebih bagus biar cepat kelar ‘ Dharma menanggapinya. “ Tapi pak assisten, la wong saya enggak punya surat kayak gitu, tapi saya yang dulu nebang hutannya. Ini teman eman saya sebatasan juga tahu. kami yang nebangin hutan sama sama. Mereka sudah punya surat tapi saya tidak.”
“Nah bapak, yakin ini lokasinya ?” tanya dharma coba selidik
“Iya, ini sebatasan juga mau bersaksi . kami sama sama buka dulu “
“Ooh ya udahkan bapak buka hutannya lapor pak kades toh “
“Enggak saya enggak laporan “ jawabnya polos
“Lho jadi bapak sembarangan buka hutan ?,” suara Dharma sedikit meninggi karena keheranan.
“Tapi saya minta izin ke pak kadus, beliau yang nyarankan buka waktu itu “ “Yakin pak kadusnya masih ingat ?”
“Iya “ jawab lelaki itu cepat.
”Kalau begitu bapak minta pak kadus menjadi saksi untuk garapan bapak di kantor desa”
“Ya iya mau, wong pak kaduse mantu kok. “ ketusnya sembari berlalu.
“Oke bapak bapak ya. Jadi begitu saja . “ Dharma mohon pamit. Ia ingin segera pergi dari lokasi itu. Menghindari kerumunan. Kami pun sudah melangkah menuju tempat sisa rombongan. Orang orang tadi yang saling cek cok kelihatannya sudah mulai berkurang. Satu persatu pergi menghilang di keremangan senja yang tak lagi terang.
“Bagaimana bang ?” Claude langsung bertanya. Dharma kelihatan menarik nafas dulu. “Sudah beres nggak apa apa”
“Warga desa dengan para pengarap dari luar ya ?“
“Iya..” jawab Dharma membenarkan sambil membalikkan tubuhnya. Ia kemudian menatap ke halaman Base Camp tadi. Kini tak ramai lagi.
“Kita sudah kemalaman nanti ke Bace camp alfa hotel dua. Sebaiknya kita lanjutkan sekarang “
“Bang , maaf. Apa tidak sebaiknya kita di camp itu saja dulu “ Ramos memberi saran.
“Iya bang, “ Claude ikut mendukung.
“Tapi di sini berbahaya, kita tak tahu ada apa apa nanti “ Dharma sedikit memberi alasan.
“Ooh iya pak kalau setelah makan malam baru kita lanjut bagai mana pak?. Biar kita istirahat sebentar “ Wawan ikut memberikan saran. Dharma dengan wajah letihnya menatap Herman dan Edi. Mereka memang sudah sangat keberatan dengan beban yang di bawa.
“Oke kita istirahat sebentar , setelah makan baru kita berangkat lagi” Dharma mengakhiri keputusannya.
Bese camp Alfa Hotel satu ini adalah pondok panggung dengan enam pintu. Dinding papan sinsowan , dengan atap dari seng. Long House dengan teras memanjang di depannya. Sore ini sudah hampir gelap. Bayang bayang pohon kayu meranti dan beberapa kayu kompas yang masih berdiri menutupi jalan poros. Hanya ujung yang di seebelah barat masih tampak terang. Tapi jauh sekali. Sambil menunggu Herman dengan hidangannya. Ada beberapa foto ku ambil air bondar yang kecoklatan, walau tampak jernih. Beberapa lokasi sedang masa penumbangan .
“Apa yang kamu lakukan disini ?” tanya Claude saat mendekatiku.
“ Wah, sepertinya itu adalah pertanyaan saya buat kamu, “ ku balik bertanya. Claude sedikit tersenyum mungkin tersentuh hatinya. Sebuah pertanyaan di jawab dengan sebuah pertaanyaan.
“Saya lagi liburan saja sambil cari cari bahan untuk tulisan”
“Kamu jurnalise ?” sedikit nada menebanya.
“ No, tidak. Saya bukan wartawan. Hanya suka saja menulis, tulisan non fiksi. Real life. “
“ Wao, just fun. Apa saja yang membuat mu tertarik ?” tanya cewek itu lagi. “Everyting, yang penting tentang kehidupan nyata. Kisah hidup manusia. Peristiwa alam dan sesuatu yang nyata terjadi. “
Sesuatu Real yang mampu kita ambil hikmahnya“sambungku lagi.
“ Your konsrvative ?” tandasnya.
“ I dont know” aku mengelak sesuatu yang aku tak mengerti.
“Ini hanya untuk sekedar hobby. Menulis ya menulis saja “ menatap langil luas yang memulai proses datangnya senja.
“Kamu bagaimana, apa sudah dapat yang kalian cari. Tentang keberadaan your dad, tentang bunga teratai yang bercahaya itu ?”. tanyaku.
“Yeah, kalau tentang bapak saya itu tak membawa apa pun. Sebenarnya saya tak peduli sama sekali. Soal Pria yang tak ku kenal sejak lahir. karena saya tak pernah bertemu dengannya. Tak tahu harus apa yang saya ungkapkan. Tak memiliki sebuah kenanggan sama sekali. “ cerita Claudia dengan suara datar tanpa ada semangat. Sebuah senyum sinis ada di wajahnya.
“Merekalah yang mempengaruhiku untuk misi ini. Untuk penelitian mereka.” Ungkap Claude sambut memandang teman temaanya.
“End so aboudt the love ?” tanya ku pelan. Cewek itu memandangku tajam sedikit serius.
“ I know, you… menyembunyikan sesuatu. Cinta lokasi. Pertemuan pertamakali dan ingn mencintai sampai mati. What you translate in the engglish ?” serangku. Tatapan cewek itu begitu bersinar menutup perasaannya. Sambil tersenyum dan tawa kecil.
“Its funny. Oke i am fine. Mengapa kau bisa melihatnya ?”
“Kamu belum pernah menemukan cinta pertamamu, oh my god. Kamu hidup di dunia yang lebih merdeka untuk menyampaikan perasaan tak berani mengungkapkan perasaan. “ ku ejek dia, itu sangat lucu bagi ku.
“Why, bagai mana caranya ?” tanyanya sedikit malu. Senyumnya pun tersipu sipu, persis gadis desa yang kampungan. Lugu banget nih gadis.
“Saya tak tahu harus dari mana memulainya. Sebab ku dengar dia sudah punya pacar. Dan Kakek pacarnya selalu menjaganya. Kakek cewek itu sangat sakti. Kakeknya itu sangat sayang sama cucunya juga. “ Claude memulai ceritanya.
“Itu dari mana kau dengar “ aku ikut tertawa juga akhirnya. Terdengar lucu. “Dari orang lain yang dekat denganya”.
“Kenapa kau tak cari tahu langsung dengan orangnya?. Saya tahu lelaki itu. Saya mengenalnya sudah sejak sekolah dulu.” Kubiarkan cewek itu mengira ngira sesuatu.
“Cari tahulah. Dia datang. Ini kesempatan terakhir, tak ada momen lagi setelah hari ini” uangkapku untuk segera beranjak, sebab ku lihat Dharma sudah menuju kami.
“Hai” sapanya.
“Yaa, “ balas Claude. Aku hanya respon tersenyum. Lalu meninggalkan mereka berdua. Aku melangkah menikmati senja memerah di ufuk langit.
Lampo teplok sudah terpasang dua buah di dinding teras. Cahaya temaram itu ingin mengusir gelap malam yang mulai merambat. Malam dengan pekatnya kian menghalau merah di Barat.
Selepas makan malam, kami sudah bersiap siap. Walau hari belum masuk waktu magrib. Sekitaran kami hanya lampu teplok yang menyinari, gelap malam telah menguasai sebahagian langgit.
Beberapa cahaya api bergerak mendekati camp kami. Dari arah jalan desa sinar sinar itu kian dekat sesekali di ikuti suara riauh saling berteriak. Dharma dan Claude pun cepat bergabung dengan kami. Kami ingin segera saja meninggalkan tempat itu. Ada bau masalah yang datang kata Dharma. Tapi belum sempat kami bergerak langkah mereka sudah menyusul kami. Kami terhadang. Tampak dua orang warga di papah dengan luka luka. Mereka ternyata sedang melarikan diri.
“Bang orang orang desa lagi ngamuk bang “, suaranya sedikit ketakutan. Belum sempat mengambil keputusn , orang orang desa sudah menyusul mereka. Dengan senjata tajam dan beberapa busur sederhana. Mereka sperti orang sedang berburu rusa. Telah mempersenjatai diri.
Kami segera menyelamatkan orang orang terluka, membawanya ke camp. Kami masuk keruangan. Menghindari lemparan kayu kayu dan beberapa anak panah. Lunang mencoba membalas apa saja yang mereka lemparkan di kembalikannya. Lemparanya juga sempat mengenai beberapa orang. Suara histeris juga tak ketinggalan silih berganti dengan teriakan demi teriakan. Claudi dan michel mencari tempat yang aman. Sambil memperhatikan Dharma yang mencoba menghentikan pertikaian ini. Namun beberapa lemparan botol botol air mineral yang erisi bensin sudah berhamburan. Cepat api di sumbunya menyambar bensin yang sudah membasahi lantai pondok. “Api.. api !” teriak cewek cewek itu. Herman segera mengambil kain kain bekas untuk memadamkan api itu. Dharma semangkin keras suaranya untuk menghentikan perbuatan ini.
“Woii, hentikan “ teriak Dharma di teras. Tak didengar mereka , malah beberapa tombak kayu meluncur kearah dia. Satu satu anak panah juga datang hampir mengenainya. Dharma semangkin mengeraskan suaranya lagi. Sebuah api diatas kain sumbu melayang diudara menyasar dirinya. Clude cepat lari keteras dan menarik Dharma untuk menghindar. Sebuah botol minuman berisi bensin jatuh di teras. Botol itu membentur lantai papan dengan keras. Pecah berhamburan kesegala arah . Hanya menyisakan leher botol yang masih memiliki sumbu kain dengan api diatasnya. Api itu cepat menyambar bahan bakar. Api cepat membesar. Teras pondok seketika terang benderang. Api semangkin bergejolak. Claude menarik tubuh Dharma yang tadi terjerebab di sudut teras. Cewek itu memapahnya untuk masuk ke kedalam ruangan.
“Kita keluar dari belakang !“‘, teriak Dharma. Dia sedikit kesusahan berkjalan. Claude menyokongnya untuk terus bergerak. Satu persatu kami keluar dari pintu belakang lalu sembunyi di balik semak agar tak terlihat. Hanya tinggal Lunang saya sebagai penggalihan. Dia tetap membalas serangan orang orang yang tak kelihatan itu. Kami lurus saja di belakang bese camp itu, yang penting semangkin menjauh. Setelah yakin tak terlihat baru kami berbelok ke kanan menyeberangi jalan blok dan parit bondaran beko.
Tapi kami tetap bergerak di balik belukaran tanpa menghidupkan satu pun penerangan. Hanya berbekal bias cahaya bintang serta kunang kunang sebagai petunjuk arah. Tak lama kemudian Lunang juga sudah menyusul. Ia meninggalkan base camp yang telah terbakar. Api sudah memenuhi teras pondok itu. Dari jarak jauh itu kami melihat orang orang semangkin mendekati pondok. Mereka sudah memenuhi jalan di halamannya. Mereka sudah menghentikan lemparan lemparannya. Sebab tak lagi mereka mendapat perlawanan. Tiba tiba sebuah ledakan bergemuruh, asap hitam mengepul dari arah bekas pengeboran. Asap hitam lalu diikuti kepulan asap putih setelahnya api yang memerah setinggi pohon kompas. Api melambung ke angkasa. Cahyanya menerangi kami bergerak. Itu mengejut kami , tak sempat menghentikan langkah.
“Hai itu, orang itu. Disana !, “ teriakan itu terdengar. Kami pun segera mempercepat langkah mencapai jalan poros itu. Kami sudah beberapa ratus meter di depan mereka. Lari sekencangnya untuk menghindar. Dentuman demi dentuman dari ledakan tadi semangkin terus terdengar. Bola bola api berhamburan menhujam hutan yang sudah di imas. Seperti bintang bintang jatuh yang membawa api. Blok blok yang sudah diimas sekitarnya sekarang mulai terbakar. Awal malam ini terasa sudah mulai pagi, sebab cahaya api semangkin terang . kebakaran itu kian meluas dan merambat cepat. Sehingga segerombolan harimau juga ikut keluar dari belukaran. Kawanan binatang buas itu sekarang ada di belakang kami.
“Apa harimau.., ada harimau “ teriak Wawan dan Edi bersamaan. Kulihat binatang itu berbalik kebelakang. Mulai menghadang massa yang mengejar kami. Tiba tiba terdengar teriakan minta tolong dari beberapa orang yang mengejar itu. Mereka kocar kacir. Ada dua orang sedang bergumul dengan kawanan itu. Dua yang lain sudah tergeletak di tengah jalan. Terlihat tubuh tubuh itu tak bergerak. Dharma sempat mnghentikan langkahnya , dia ingin balik kebelakang. Namun Claude yang tengah memapahnya mengelengkan kepala memohon untuk tidak melakukan hal yang bodoh. Cewek itu mendorong tubuh Dharma untuk terus berjalan . ‘
”Kita harus mencari tempat aman. Hutaanya kebakaran lagi “
“Iya bang dhar, kita mencari tempat aman dulu “ saran ku. Kami menyusul teman teman yang sudah lebih dulu bergerak di depan. Ranting ranting kering bekas imasan hutan itu terlalap api. Membakar semua permukaan gambut. Kondisi gambut yang juga kering sangat mendukung api untuk cepat menyebar. Api api itu terus memanggang pepohonan yang belum tertumbang. Kayu kayu meranti yang paling cepat terbakar segera membara.. Warna merah keemasan cepat merambat hingga keujung dahan-dahannya. Sehingga api terlihat telah bertenger tinggi membakar hutan. Kami sudah jauh berjalan , base camp Alfa hotel dua juga sudah kami lewati. Persis sama pondok enam pintu berdinding papan itu kini kami biarkan saja. Kami tetap terus berjalan. Syukur syukur kami bisa mencapai patok tujuh ribu. Untungnya kami belum menjauh dari base camp dua itu. Karena di depan kami beberapa pepohonan sudah tumbang ke jalan. Batang batang meranti yang telah membara dengan api. Saling silang di jalanan. Ujung jalan itu telah terang sekarang. Api telah memenuhi jalur didepan kami. Tanpa ada pilihan kami harus kembali ke belakang. Yaa ke base camp alfa hotel dua. Kami segera kembali kesana dan terduduk di halaman. Wajah wajah keletihan bercampur was was menyelimuti kami. Tambah lagi warga yang ikut dengan kami tadi, mereka sesekali meraung kesakitan. Lukanya semangkin parah.
“Lunang , Edi dan Wawan. Coba kalian tutup bondar itu dengan plastik camp. Usahakan air tertahan disini. Bila perlu sampai banjir. Ketiga nya tak banyak tanya, segera bergerak. Herman juga ikut berdiri seakan menunggu perintah. “kamu pasang api, masak air utuk membersihkan luka luka mereka. Buat kopi kalau bisa sekalian,”
“Siap, pak. , tapi sudah banyak tu pak “ Herman menunjukan api yang sudah menyala disekitaran mereka. “Saya masak disana aja ya pak ?”. Dharma menarik nafas mendengar ucapan anek itu. Ia lalu melepaskn rasa dongkolnya. “ Herman yang pintar, disana apinya terlalu besar nanti kau ikut juga terbakar. Badanmu gosong hitam. Jadi kau buat apinya yang kecil aja disii ya “ kata darma dengan rasa full kesabaran.
“Kecil ya, api kecil untuk masak air “ ulang dharma lagi.
“oOh iya pak “ . ia mulai berlalu mencari panci dan segala perlengkapannya. “Pak saya harus ambil kayu untuk masaknya ya, “ herman berteriak dari tempat ia ingin membuat api dapur. Ramos segera berdiri
“Biar saya yang temani ,“ lelaki timor itu berdiri dan segeraa menemani Herman. Dharma mengiyaakan usul pria itu.
“Ayo kita ke pondok saja. Di teras kita menunggu mereka “ ajak Dharma. Tubuhnya di berdirikan lalu dibimbing ke teras. Orang orang yang lain juga mengikuti. Api benar benar sudah mengurung kami. Hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Base camp ini terkurung. Sebeb posisinya memang belum dilakukan pengimasan disekitar pondok itu. Jadi kondisi gambutnya masih basah dan tak ada kayu kayu yang kering. Jadi bakaran sekitar itu mentah. Hanya menghanguskan dedaunan saja. Tak meninggalkan bara api yang bisa menyulut kebakaran.
Kelihatan pekerjajan lunang dan kawan kawan berhasil. Parit bondar itu kini mulai tergenang. Airnya semangkin meninggi. ketiganya segera menemui Dharma yang sedang di rawat Claude. Luka darma yang mulai sembuh terlihat memar kembali. Sementara Bernad mulai menampakan membaik . sudah ada respon respon motorik terhadap ransangan geraknya. Namun sesekali masih menjerit jerit tak tahu apa sebabnya. Begitulah sejak dari rawa rawa kemarin. “Pak sudah beres “ Lunang buat laporan. Pakaiannya tampak kuyup.
“Oke terima kasih, ganti baju dulu lalu coba kau cek ada yang bisa kita pakai di barak ini apa enggak “
“Ooke pak “ ia mengarahkan pandangan juga kepada dua temannya yang lain. Bertiga mereka berlalu untuk salin pakaian. Herman pun tak mau ketinggalan . setelah tadi dia menyerahkan air hangat untuk membasuh luka ,sekarang ia menyuguhkan kopi nikmat.
“Pak ini minumnya “ ia tersenyum senang.
“Iya terima kasih ya, mantap ini kayaknya “, puji Dharma kemudian. Pria itu pun menyodorkan minuman yang sama padaku.
“‘Iya bang terima kasih ,“ ucapku saat menyambut secangkir kopi itu.
“Pak kita menemukan Aki, batrey untuk radio alingko “ Lunang memberi kabar.
“Bisa kita mengecas Hate ?”
“Bisa pak “
“Nah coba cas batreynya biar bisa kita menghubungi Pangkalan “ ujar Dharma sambil menyerahkan Radio handel talky yang tergantung di pinggangnya. Radio HT itu sudah tak digunakan lagi sejak kami mengalami kebakaran kemarin siang . Batrey nya habis harus di changer. Dua kabel yang di ikatkan kemasing masing kutub batrey. Kabel itu kemudian di sambungkan ke panel changer batery. Masing masing diikat dengan karet gelang. Kemudian di balut kertas aluminium rokok untuk penghantar listriknya. Hate itu kini sudah melakukan changer nya. Sambil menikmati kopinya, Dharma sesekali nyengir. Respon dari tingkah Claudie yang coba memeriksa luka nya. Saat Claude menyentuh lukanya dibersihkan lalu di obati. Cewek itu hanya terseyum senyum saja sesekali dia tertawa kecil.
“Jadi mengapa lokasi itu mengalami letupan seperti itu. “ tanya Dharma sedikit membuka diskusi.
“Yah bisa saja itu terjadi. Tapi itu tergantung banyak faktor “ jelas claude.
“Ada penggaruh dari dalam bumi maupun ada juga pengaruh ekstrogen, iklim tropis serta ada pengaruh lain “ terang Claude melanjutkan.
“Seperti air panas di dalam botol yang dipaksa tertutup. Sementar air yang sudah mendidih itu terus mendapat tekanan panas dari dalambumi. Maka dia akan menghantam tutup botol dengan puncak panasnya. “ cewek itu berhenti sejenak . ia mengoreksi sejenak teorinya.
“Berarti lobang itu sudah tertutup ?” selidik dharma.
“Ya, tepatnya mereka tutup lagi. Sumur yang mereka gali di tutup lagi sehingga menyakinkan pekerjaan mereka gagal “. Dharma terdiam ada yang terlintas di pikirannya. Apakah ada yang terlewatkan.
“Mengapa mereka disangka gagal ?. Why ?”
“Sebab yang mereka gali sebenarnya ada dijarak ratusan meter dari posisi itu.
”Maksudmu itu belum lokasi yang benar ?” Dharma semangkin tak mengerti. “Iya , sebenarnya lokasi itu adalah di tempat kejadian pertama kita mengalami kebakaran. Didekat itu , minyak mentah mengalir dari parit parit yang mengalir kelokasi pengeboran. Di lokasi itu adalah cekungan sehingga menampung minyak minyak itu sehingga lokasi tersebut selalu terbakar sepanjang tahun. “
“Iya aku tahu, lokasi anjungan itu adalah titik hitam di peta Jantop Militer ‘ di situ tertulis Hitam sepanjang tahun,” jelas Dharma kemudian ia merogoh tas pingangnya. Ia megeluarkan kertas ukuran A3. Sebuah copy peta yang dimaksud. Dharma menunjukan, nama tempat dan sungai yang dimaksud.
“Iya begitulah, pada peta militer kita memang menemukan hal hal khusus sepeerti itu “ Claudei melengkapi keterangan Dharma.
“Mengapa pihak pemerintah tak melakukan sendiri ?” sela ku , mengajukan pertanyaan kepada keduanya.
“Its, ini indonesia. Lokasinya sudah terbagi bagi blok sudah main jatah. Tidak semudah yang dipikirkan masyarakat umum. Siapa cepat dia dapat dan sukses “.
Dharma hanya tersenyum kecut,ia mengengkat bahu seakan membenarkan apa yang dikatakan claude.
”Its ,just, soal birokrasi “ Claude sedikit gamang.
“Mengapa pihak pemerintah mu tak mencari mereka ?” tanyaku. claude tarik nafas. “Pemerintah itu sama saja, kalau tidak ada yang menaruh kepentingan , mereka tak akan peduli. Apa lagi kalau mengandung pengaruh Politik, mereka selalu lambat. “ Claudei ingin dimaklumkan juga.
“Pernah setelah sepuluh tahun kemudian ada team yang pergi kemari. Namun mereka tak berhasil menemukan tempat ini. Peta yang di jelajahi ada disekitar, Teluk Pulai Dalam, Kampung mesjid hingga kuala Bangka.” Claude menunjukkan nama daerah disekitaran.
“Sepintas lalu bentuk sungainya sama “
Herman dan Ramos berlari tergesa gesa. Ada rasa ketakutan di mata mereka. “Pak ada Harimau yang mendekat “ ujar Herman dengan nada takut. Kami segera berdiri, melihat sekeliling arah depan. Dharma tak di kasih Calaude untuk bergerak jalan sehingga aku yang berinisitif untuk melihat sekitar. Menuju pagar halamn kelur ke jalan lalu mendekati tungku dapur Herman.. Tak ada yang terlihat dalam keremang remangan. Aku hanya mengangkat ceret air yang masih terpanggang. Airnya sudah mendidih. Kubiarkan api kecil di dalam tungku itu tetap hidup. Dengan langkah mundur teratur ku kembali ke posisi Dharma berdiri. “ tidak ada apa apa” . sebentar kemudian suara gubrak di sudut teras terdengar keras. Kami segera kearah suara itu, sementara didekatnya ada warga. Mereka hanya terpekik sangat ketakutan. Jerit kagetnya membuat yang lain berdiri dan waspada. Aku di temani Lunang menelisik dengan sorotan senter besar. Cahaya senter itu menerawang di sela sela pepohonan yang masih semak. Sementara di samping pondok juga tak menemukan apa pun tadi yang berbenturan. Tiba tiba Dharma memangil Lunang, kami pun segera mendekat.
“Cepat ambil HT tadi biar kita kontak pankalan. “ Lunang melanjutkan langkahnya ke dalam ruangan.
“Pak Baru dua titik Batreynya “ teriak pria itu dari dalam.
“Biar enggak apa apa, bawa kemari “ setelah diserahkan Lunang, Dharma menghidupkan Radio panggilnya.
“ Pangkalan, pangkalan. Pangkalan monitor ?” ucap Dharma. Ssseerrtt. Desis suara angin terdengar.
“Pangkalan monitor, Alfa Hotel panggil “ di ulangi panggilan tersebut hingga tiga kali. Namun suara sssrett-nya masih berjeda belum ada respon. Asap kebakaran mulai terasa dihidung. Angin malam menekanya hingga asap kebakaran itu sampai di tempat kami. Berlahan lahan mulai terasa pedih dimata. Entah sudah yang keeberapa kali Dharma mencoba kontak di radio panggilnya.
“Panggkalan ini darurat , Alfa Hotel Panggil. “ teriak Dharma kras. Tiba tiba “Ia, di sini Pangkalan . mana tadi yang panggil pangkalan. ?”
“Pangkalan disini Alfa hotal apa bisa di copy ?”
“Oke Alfa Hotel, frekuensi 81. Ubah posisi ,“ Dharma berjalan kesudut teras, lalu ulangi kontak. Masih Delapan satu posisnya. Akhirnya Dharma turun ke halaman. Dari sana iya coba lagi kontak .
“Sssrt, oke Alpa Hotel terdengar Delapan Dua .lanjut info ?”
“Kami sedang terkurung api . Posisi sekarang di Camp Alfa Hotel dua”
“Oke Alfa Hotel Delapan Enam “
“ Luncurkan personil dengan dua labi labi.”
“Oke Tujuh Empat segera Turun, Pangkalan stand bye “
“Oke Delapan enam, stand bye” Dharma mengakhiri komunikasi Radionya. Ia segera naik ke teras kembali.
“Bisa cas lagi Hatenya “ Lunang yang terdekat menyambar saja radio itu. Untuk beberapa saat kami menunggu.
“ Bang kenapa Datuk itu datang ketempat kita ?” tanyaku dengan rasa ragu ragu. Ada aura maklum diwajah Dharma.
“Iya, bukankah disini ada yang telah melukai sekawanan itu ?” nadanya datar. Claude yang merasa bersalah, respon mencubit pinggang Dharma. Cewek itu merasakan ketakutan.
“Enggak , saya bercanda kok, its Joke. Wajar binatang binatang itu ke sekitar kita. Sama dengan kita disini yang sedang cari aman. Pastilah Binatang binatang hutan semua ada di sekitar kita sebab hanya beberapa blok didekat kita yang masih belum di tumbang maupun diimas. Areal disekitar kita ini yang masih belum terjamah api. Dari blok kita ini , lurus ke depan kita sekitar dua blok lagi baru dapat hutan bebas yang belum kita LC “
Itulah areal yang kami rencanakan utk konservasi Hutan lindung Labuhan Batu Asahan. Itu pun masih bersifat wacana “ sambung Dharma sedikit bernada kecewa.
“Ya sudah, waspada aja. Jangan membuat gerakan tiba tiba , dan terkejut. Kalau ada yang melihat mereka , menghindar saja pelan pelan , ya “ suara
Kreator : Darmen Eka Susilo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA- Kamis bag1.
Sorry, comment are closed for this post.