Di Pulau Sumatera Tahun akhir Abad 19-an
“Bisa cas lagi Hatenya “ Lunang yang terdekat menyambar saja radio itu. Untuk beberapa saat kami menunggu.
“ Bang kenapa Datuk itu datang ketempat kita ?” tanyaku dengan rasa ragu ragu. Ada aura maklum diwajah Dharma.
“Iya, bukankah disini ada yang telah melukai sekawanan itu ?” nadanya datar. Claude yang merasa bersalah, respon mencubit pinggang Dharma. Cewek itu merasakan ketakutan.
“Enggak , saya bercanda kok, its Joke. Wajar binatang binatang itu ke sekitar kita. Sama dengan kita disini yang sedang cari aman. Pastilah Binatang binatang hutan semua ada di sekitar kita sebab hanya beberapa blok didekat kita yang masih belum di tumbang maupun diimas. Areal disekitar kita ini yang masih belum terjamah api. Dari blok kita ini , lurus ke depan kita sekitar dua blok lagi baru dapat hutan bebas yang belum kita LC “
Itulah areal yang kami rencanakan utk konservasi Hutan lindung Labuhan Batu Asahan. Itu pun masih bersifat wacana “ sambung Dharma sedikit bernada kecewa.
“Ya sudah, waspada aja. Jangan membuat gerakan tiba tiba , dan terkejut. Kalau ada yang melihat mereka , menghindar saja pelan pelan , ya “ suara Dharma sedikit keras . Seakan kata katanya itu untuk didengar oleh semua orang dan harus di patuhi”. Yang ada di sudut teras bergerak ketengah. Sementara beberapa orang yang beristirahat di dalam ruangan ikut juga keluar ngumpul di teras.
“Tadi bapak kenapa ?” tanya Dharma pada pria yang terluka.
“Dia mencoba memisah begadohnya orang tadi.” Jawab pria yang lebih muda. “Bang Dadang berkelahi dengan pak Marno, lah dipisahin , eh tambah yang lain ikut belain pak Marno. Terus bang Dadang semangkin kalap di bisa menangkis tangan nya pak marno terus dia …..” pria itu tak melanjutkan ceritanya.
“Terus… ?” tanya Dharma memaksa.
“Saya sempat membacoknya. “ suara pria di pingir teras menjawab tegas. “Kami terus di kejar kejar warga desa ramai ramai. Yang lain yang sudah ketangkep di pukulin di bawa kebalai desa “.pria itu bercerita.
Herman masih berlarian lagi tergesa gesa. “ Pak ada orang orang menuju kesini “ Dharma mengangguk, tanda mengerti.
“Ya sudah, untuk sementara kalian berondok dulu di dalam sana. Jangan ada yang keluar. Walau apa pun yang terjadi. Jangan ada yang terlihat semuanya “ sinar sinar bulat menembus asap . dari arah timur beberapa cahaya bulan itu menyoroti jalanan. Mereka di temani beberapa nyala api di kongkat tongkat kayu. Cepat kali rasanya mereka mendekat. Dharma menyambutnya di jalan depan Pondok. Lunang ,Edi dan Wawan menemaninya. Aku pun ikut di belakang.
“Dharma “ panggil orang yang paling dulu sampai.
“Iya Pak”
“ Mana Orang Orang itu ?” tanyanya namun suaranya masih terdengan kasar. “ Orang yang mana , yang bapak maksud ?” suranya masih datar.
“ Sudahlah serahkan sama kami orang itu. Ini urusan kami dengan mereka “ Kata orang orang yang menyusulnya. Riuh suara mereka menuntut untuk diberi tahukan orang yang mereka cari. Dari arah belakang kami, di sebelah barat terdengsr gemuruh mesin cainsaw , sorot lampu lampu mobil terang benderang . Mereka mencoba meneros jalanan yang telah tertutup tumbangan kayu yag terbakar. Kami jadi lenggah. Beberapa warga desa melompati pagar dan masuk ke pondok. Mereka sambil teriak teriak. Tak butuh waktu lama mereka telah menyeret beberapa orang dari dalam. Dari dalam gerakan tiba tiba. Beberapa lelaki yang lebih muda membuat perlawanan. Sontak saja kami pun kaget . Warga juga melakukan serangan membabibuta kepada setiap orang dari kami tak terkeculi kepada ku. Mereka melayang kan parang. Aku ikut terdesa menghindar kebelakang mepet ke pagar kayu. Penyerngan itu aku tak mungkin menangkisnya. Aku tak memegang apapun. Tanpa pikir panjang pagar kayu yang tadi copot terkena bacokan ku raih, kayu itu kujadikan tongkat untuk menghalau tebasan parang lawan. Jeritan Claude dan Michel seringkali terdengar. Dharma mencoba melindungi cewek itu. Dia harus melawan dua orang sekaligus.
Aku gagal fokus, parang yang di hunuskan melayang tepat diatas kepala. Kayu yang kupegang sempat menghadang tepat di ubun ubun. Hentakan kayu itu yang membentur kepala. Benturan itu membuat aku hilang kosentrasi. Parang itu menancap , dengan sekali hentakan kayu itu terlepas dari tangganku. Begitu juga dengan sekali kibas kayu itu terpental, penyerang itu langsung menyerang lagi. Aku belum siap , kepalaku masih terasa sakit. Tiba tiba pria yang menyerang ku sudah di depan dengan parang terhunus. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menyampaikan senjatanya. Hingga ia berteriah, melepaskan sisa energinya. Namun tangganya tak bergerak. Susah, kaku. Sadar hal itu aku punya kesempatan menghindar, aku mundur dua langkah. Tangan peyerang ku tersangkut pada sebuah tongkat kayu. Tak lama kemudian pria itu roboh. Dia tersungkur di tanah dengan menahan rasa sakit. Seorang pria tinggi lebih dua meter dengan topi capil pandan ada di depanku. Dia Menatapku sebentar, wajahnya sedikit berjambang . tanpa banyak kata pria itu berlalu. Cepat sekali ia bergerak. Tiba tiba kulihat dia sudah menyelamatkan Claude yang hampir terjerebab di tanah karena terdorong warga. Dengan dua kali pukulan saja warga yang menyerangnya tumbang. Tongkat nya jadi senjata andalan . Setelah Claudi berdiri dan aman, pria bertopi capil pandan itu bergerak kembali kelain orang. Walau sebelumnya Claude sempat mengucapkan sesuatu, namun sang penolong tetap berlalu. Sorot lampu mobil sudah semangkin dekat. Raungan raung mesin di atas jalanan gambut membuat suara gaduh. Tiga kali terdengar suara letupan. Membuat orang orang tersadar. Beberapa warga segera menghilang .
“ Dharma..!, Saya kalau tidak menghormati mbah Siji, kau sudah ku habisin” ada geram dari ucapan pria itu. Sorot matanya penuh amarah. Sesampai nya mobil mobil yang datang membuat mereka semua pada mundur. Terlihat senapan Berburu babi laras Panjang yang melepaskan tembakan.
“Bagai mana pak, enggak apa apa “ seorang komandan regu mendekati Dharma.
“Tidak apa apa, terima kasih sudah datang “
“Ooke periksa sekitarnya, semua kumpul. kita segera balik ke Pangkalan.” Dua mobil Taft Badak, putar kepala. Tak ingin menunggu terlalu lama. Yang terluka dan wanita berada di dalam. Sementara kami yang masih sehat wal afiat bergantungan di pintu belakang. Berpeganggan dengan plat plat besi Bagasi dan berpijak pada Tameng Banper belakang mobil. Jalanan Gambut membuat kami sering terasa terayun ayun mengikut gerak body mobil yang oleng kekanan dan kekiri. Kami baru mulai memasuki jalanan yang telah dipenuhi api. Kayu kayu kompas dan meranti yang tumbang tampak sudah tercincang cincang tergeletak di tepi jalanan. Tapi jalanan masih terus berasap, gambut yang mennutupi jalanan telah tersulut rupanya. Gambut yang kering itu akan terbakar walau tanpa api. Baranya yang halus sangat cepat merambat. Sangat sulit di padamkan walau asapnya telah hilang. Mobil didepan kami terdengar meraung. Ada suara jeritan dari pemumpangnya. Mobil itu oleng ke kiri ban depan sebelah kiri terperosong kelobang kawah bara. Tanah yang menutupi kayu balok gambangan sudah menjadi arang. Ternyata kayu gambanggannya sudah terbakar. Tengah kayu sudah membara. Ban yang terperosok sebentar saja meleleh. Suara dengusan dari bandalam terdengar sangat kuat dan kencang. Penumpang yang di dalam bergegas keluar kalang kabut. Semua pada panik api cepat membesar sebab ban mobil itu kini telah menyala. Bahan Karet latex mudah terbakar, menyulut api segera membesar. Bagian depan sudah di penuhi api. Tak ada yang bisa di lakukan sebab bersama body bawah sudah kandas di tanah sehingga sulit untuk bergerak. Gardan Doubelnya pun tak mampu menceker jalanan. Supir kami cepat bertindak untuk adtrek, mundur kebelakang. Menjauh dari mobil itu. Semuanya pun menjauh. Asap hitam sudah keluar dari bagian depan. Semangkin hitam seperti asap ban mobil terbakar. Tiba tiba sebuah letupan kecil dari bagian tenggah. Menghamburkan sebuah tutup lantai di bagian tengah. Berselang semenit kemudian sebuah dentuman keras. Api mendadak memenuhi seluruh bagian mobil. Ledakkan itu menghamburkan kesegala arah beberapa bagian. Serpihan yang terbakar memicu kebakaran di tempat jatuhnya material. Sisi kanan kami yang sudah terimas banyak ranting kecil yang telah kering. Ranting ranting itu sekejab saja sudah tersulut api, semangkin menjalar dan membesar.
“Ayo cepat cepat , kita balek ke barak “ Dharma seegera memberi komando. Mobil kami pun segera putar kepala kembali. Pak Supir berusaha sangat hati hati untuk tidak terjebak di gambut. Dua putaran stiur ia mundur lalu memblas dua kali putaran ke arah berlawanan. Kemudian mobil itu maju untuk beberapa meter. Setelahnya mundur lagi dengan gerakan yang sama hingga bagian depan sudah mengarah ke Timur. Sebelum maju ia berusaha mundur dulu mensejajarkan ban. Sebuah dahan kering jatuh dari atas. Setengahnya sudah berisi api. Percikan bara kecilnya menyebabka api segera menyala.
” Woiii, Api di belakang “ teriak Dharma. Aku bersama teman teman yang lain berlari cepat kebelakang. Menyingkirkan dahan yang terbakar itu. Namun mobil tak mau bergerak. Suara mesinya sudah mengalahkan gemuruh api yang membakar hutan. Deru mesin Gardan Dua sudah maksimal, namun tak juga membuat bergerak maju. “ Baang….” teriakku sambil menepuk body mobil. Bang Ban nya yangkut, ayo dorong dorong “ teriakku mengajak yang lain. Semua memenughi skeliling mobil , kami berusaha mengangkatnya.
“Ayo cepat, cepat” lecut Dharma, dengan suara dengusan nafas. Pipinya mengelembung wajahnya sangar. Dia mengeluarkan sisa tenaga yang masih ada. Dahan kering yang jatuh tadi kutarik untuk benar benar menjauh. Ku lirik keatas dari mana asalnya. Sebuah pohon meranti yang cukup besar sedang jondong .
“ Awas, “ pekik ku. Pohon meranti buaya itu ternyata telah tumbang tapi tersangkut di pohon pohon lampisi . kini pohon lampisi sudah habis terbakar. Batangnya yang rapuh tak mampu menahan beban dan gerogotan api sekaligus. Lambat laun setelah api behasil melalap pangkal batang nya , kayu kayu lunak itu patah. Sehingga kayu meranti yang besar jatuh menimpa mobil kami. Seluruh badan mobil tertutup rimbunan daun. Semua orang yang sedang disekeliling mobil , ikut tertimpa. Hanya jeritan yang terdengar. Tanpa kata kata Dharma yang sempat melompat tadi. Dengan refleks mencari orang orang. Secara bersamaan satu persatu , sudah ada yang keluar dari rerimbunan. “ Claude…claude “ teriak Ramos. Suara itu mengugah Dharma untuk segera mencari cewek itu. Ia menengelamkan dirinya di dedaunan. Ketika ia merasa menyentuh seseorang ia berusaha.menariknya. Lunang juga ikut membantu menebaskan ranting ranting yang menjepit mereka. Dharma berhasil menarik tubuh cewek itu. Dia membopong tubuh Claude yang tak bergerak.
“Ayo cepat… ayo cepat “ aku ikut menarik mereka. Kami bergegas , karena api kini sudah mulai membakar pohon pohon kecil di pinggir jalan. Api itu cepat merambat di batang yang sudah kering. Cahayanya kini sudah menerangi kami, api itu sudah marak sudah hampir setengah menutupi dahanan yang tumbang. Sementara mobil yang dihimpit tak bergerak sama sekali. Aku ingin mefotonya, “ Ooh,… kamera ku. Oh tas ransel ku “ pekik ku penuh dengan kekecewaan. Aku tak tersadar dimana barang barang bawaan ku tadi tercecer. Aku hanya memandangi dengan kemarahan pada api yang sudah marak itu. Menyaksikan ia melalap rakus pada dedaunan yang masih hijau tua. Melalap ranting kayu yang gurih. Jaga dengan sombongnya api itu melumatkan mobil kami. Semua di dorong Dharma untuk menjauh dari hawa panas. Memang tak ada rasa dingin malam ini . Tubuh kami pada basah berkeringat. Claudei tersadar dari shocknya. “ My Bag…my bag “ Ramos segera kembali lagi ke mobil yang telah mulai terbakar. Ada suara suara kesal yang ia lontarkan. Tampak pria itu ragu ragu. Dharma pun bergerak, langkahnya menuju tempat dimana dia tadi menarik Claude.
“Lunang , bawa parangmu !” teriaknya. Lunang yang di himbau tersentak . gerak Refleksnya menyegerakan berjalan cepat mendekati Dharma. Sebilah parang panjang ia serahkan.
“Tolong Kau Potong itu “ Dharma main tunjuk muncung. Ia menunjuk ke sebuah ranting yang menjepit Tas Ransel Claude. Lunang menyegerakan tugasnya. Dengan sekali hentakan, Dharma dapat menarik tas itu dari himpitan.’’ Huuah, “ sentak Dharma . dengan sisa tenaga yang ada, dia menyerahkan tas ransel itu pada Claude. Cewek itu secepatnya menyambut, kemudian dengan tergesa gesa ia memeriksa isi. Kami maklum rasanya kehilanggan tas sehingga menganggap dia cewek yang beruntung. bagai api unggun. Kami sekarang duduk bersimpuh. Menjauhi api. Mengumpulkan tenaga kembali. Sambil menunggu langkah selanjutnya. Dengan langkah gontai kami menjejakkan kaki. Langkah yang hanya diterangi bayangan api yang kian marak. Langkah yang hampir putus asa. Di langgit tampak hitam tanpa bintang. Tak ada yang jadi pedoman. Kami harus kembali ke barak Alfa Hotel Dua. Hanya satu harapan kami, sekiranya hujan bisa datang tengah malam ini. Mungkin api api itu bisa padam secara berlahan. Atau setidaknya tidak membesar lagi. Gemuruh sorak sorai api terdengar jelas di keheningan malam. Sesekali asap terbawa angain malam merata ke tanah. Lalu asap itu membumbung ke langit dicelah celah pohon yang telah pasrah. Tak banyak yang berbicara selama perjalanan kami ini. Semua meenghemat tenaga masing masing. Ketika bayangan putih yang terbias cahaya kobaran api, menandakan pondok itu sudah dekat. Halamanya gelap total. Sebahagian kami semangkin mempercepat langkahnya. Bayangan rumah papan tersebut telah jelas kelihatan.
“Tunggu, jangan dulu mendekat “ sontak Dharma mengingatkan.
“Lunang ambil kayu itu.” Dharma menunjuk sebuah dahan kayu yang sedang terbakar. Unang mengambil dua potong , lalu menyerahkan kepada Dharma. Bedua mereka mulai mendekati pagar. Secara tiba tiba. Ada beberapa pasang sorot bola bola kecil di teras. Sinar bola bola itu seakan sedang memperhatikan kami.
“Apa itu “ Lunang menyalakan kayu kayu sisa api unggun kami. Cahaya ungun itu menerangi sekitar halaman. Kelihatan beberapa ekor binatang sedang bergerak pergi. Dharma memberi aba untuk diam sejenaak.
“Biarkan mereka pergi sendiri. Jangan didesak “ Kami berdiri di jalanan diujung pagar pondok. Yang tak sangggup berdiri mereka melepoh dijalanan. Hampir menunggu belasan menit , baru kami mendapatkan aba aba untuk begrerak lagi. Wawan mencari lampu dinding yang terpasang tadi sore. Ia mulai memasangkan kembali teplok teplok itu di tempat yang sama.
“ Bagaimana Dan ? . anggota aman aman saja ?” tanya Dharma. Seorang ptia tinggi tegap tampak kekar memberi respon. Ia sedikit menggangguk.
“Iya pak, tampaknya semua baik baik saja “
“ Oke dan, ajak istirahat dulu, tapi sebahagian tolong jaga jaga. Takut yang tadi kembali lagi. “ usul Dharma sambil tersenyum . senyum itu dibalas senyuman juga. Jadi Tertawa kecil mereka . Pria gagah itu sebagai komandan Regu Security terlihat sedang atur orang orang. Setidaknya dia mengatur dua orang berjaga di arah berbeda. Herman tetap pada kegiatannya. Kali ini sang barista menyuguhkan kopinya sedikit pahit Ramuannya sedikit berbeda sebab gula pmanis tak cukup takaran. Namun malam ini terasa cukup menikmati kopi hangat. Buat melek mata. Sebab di balik blukaran ada juga sinar sinar mata yang tak mengantuk. Mereka tetap terjaga sambil menunggu waktu. “Hutan disini mungkin tak lama bisa bertahan. Sekeliling areal ini sudah terbakar.” Dharma sedang menunjuk nunjuk diatas peta kerjanya. Ada petak segi empat yang masih belum dicoret coret. Selembar kertas ukuran A3 dengan gambar petakan petakan blok . Sebelah Baratnya terlihat sudah berwarna hijau. Ada dua barisan memanjang Utara Selatan. Lalu di bagian bawah petakannya dibatasi garis meliuk liuk liuk. Berwarna biru muda, mungkin itu gambaran Sungai. Garis yang tak ada lurusnya itu melewati areal arsiran hitam, juga tanpa bentuk statis. Bentuknya tidak pula bulat atau elipse. Petakan segi empat dua baris yang melintang dari Barat ke timur. Hingga mentok lokasi persawahan masyrakat. Lokasi itu sudah di arsir menyilang. Dipusat gambar tersebut ada sepetak di bawah garis jalan poros lalu dua blok diatasnya lurus keatas hingga batas Kabupaten masih polos. Sisanya sudah di tandai dengan sudah tumbang strif imas. Dharma sudah menandainya semua areal tersebut telah terbakar serentak.
“Inilah hutan yang terssisa di kabupaten ini, Sumatera bagian timur. Wajar semua binatang itu terkoentrasi di lokasi kita. Mereka harus menyeberang untuk menemukan hutan terakhir untuk bertahanan hidupnya.”
“Setelah hutan hutan ini menjadi kebun sawit, apa yang terjadi kpada mereka?” Tanya claude. “ Entahlah, mereka mungkin harus mati denngan sia sia, mungkin juga melakukan perlawaanan. Atau bisa jadi gerilya meyebar di ladang ladang masyarakat, mungkin saja….” ungkap Dharma.
“ How knows ?”
“Pangkalan, Lapan Sera Panggil. Pangkalan… pangkalan.” Danru panggil kontak Radionya. Dharma menunjukkan tempat yang sigyalnya bagus. Dari tempat itu Danru mengulangi panggilannya.
“ Pangkalan, Lapan sera panggil “ serrtrrr. Terdengar suara anggin menderu dari perangkat. Ceeereet…ceeret ada kontak.
“ Ya Pangkalan, Sera Lapan panggil. “
“Masuk Lapan Sera, dimana posisi ?”
“ Panggkalan, ini . ganti “
“ Iya pak, bongkar info pak Sera Lapan “
“Ada Enam Lima di Alfa Hotel, Kami terisolasi di Base Camp Dua, ganti “
“Oke pak, Lapan Anam, Info di teruskan. Sekitar Patok tujuh ribu juga terjadi Enam Lima Pak, Tiga Kawanan telah di lapangan lagi cangkolan”
“Oke, bisa info kapan meluncur Tujuh Lima Tujuh anam ?”
“Iya pak nanti kita koordinasikan dipangkalan”
“ Oke, oke Terimakasih, lapan sera stand bye “
“Oke stand bye “
“ Pak Dharma, Patok 7000 juga kebakaran, tiga team sudah di sana. Kayaknya kita harus bertahan dulu disini, “ ada cemas di wajahnya.
Di keremangan cahaya unggun pria itu menyembunyikan gelisah. Dharma pun demikian, ia menatap satu persatu orang orang disekitarnya. Claude tampak erat erat memeluk tas ranselnya. Tas itu tak lagi bisa ia gendong sebab talinya telah putus. Michel masih bersama Bernad yang kadang sering mengigau histeris tak jelas.
Kelihatan malam ini terasa lebih panjang dari biasanya. Tanpa bintang , tak ada bulan karena tanggal sudah di awal bulan. Kunang kunang tak satu pun ada yang menyala. Pukang juga tak terdengar bernyanyi malam. Kodok tak lagi memangiil hujan. Benar benar malam yang panjang. Bersyukur tak begitu dinggin. Ada suara gaduh di sudut teras. Dua orang dari arah sudut teras itu berlari ke tenggah. Tergagap tak mampu mengucapkan kata kata. “ ada apa Bang Dadang ?” Tanya Dharma. Ia memberi pertanyaan ke salah seorang yang berlari ketakutan. Tergagap dengan nafas yang tersedak sedak. “ si…si.. man, bang. Si man ada yang narik tadi di samping “ bicaranya masih gagap. Semua melihat ke arah ujung teras sebelah Timur. Pagar Tanggan terasnya telah jebol. Lunang Dharma serta Pak Danru ikut Berlari kesamping pondok. Dengan sebuah obor kayu mereka memeriksa sisi Timur itu. Mereka tak menemukan apa apa. Tubuh pria yang di tarik oleh siapa.
“Oke Jaga jaga. Desah Dharma pelan pelan. Grubak. Suara benturan di sisi Barat. Suara jeritan dari Claude dan Michel melengking. Benar benar ketakutan . Semuanya kini bergerak ke sisi Barat. Tiga Orang yang berada disana tampak sedang terjerebab di lantai.
“Kalian tidak apa apa ?” tanya Danru sesampainya disana.
“Tidak pak , kami hanya kaget aja “
“ Apa tadi itu ?” Dharma penasaran. Matanya menatap kegelapan di sisi Barat yang sedikit lapang. Di kejauhan Dharma melihat dengan lekat. Melihat cara pandang yang begitu serius, kami ikut melihat kearah yang sama. Dibawah kayu yang sedikit besar. Ada dua pasang bola bersinar.
“Siapa itu ?” Tanya pak Danru.
“Entahlah, kalau Harimau bukan seperti itu. Kalau kucing akar juga bukan “ ucap Dharma lirih. Nadanya sedikit penuh penasaran. Sayang aku tak sangup mengambil gambar di malam ini. Ah, tas kutadi di mana jatuhnya ?. disebelah timur terdengar dua kali raungan beruang. Suaranya berat dan ngebass. Namun setelah di perhatikan , tak ada yang terlihat.
“Oke jaga setiap sudut , yang di jalan jangan terlalu jauh. Bang apinya kasih kayu lagi ya, jangan sampai mati. Itu yang membuat kita bertahan “ Danru mencoba kosolidasi keamanan. Bang Dadang beserta rekan rekannya menjaga bagian Timur, sementara Wawan ada di bagian Barat. Claudia ,Michel beserta rekan mereka di perintahkan agar duduk di teras bagian tengah. Herman mencoba mengumpulin sisa sisa kayu kering yang ada di sekitaran. Beberapa tombak sudah dibuat. Dengan anak anak kayu sedapatnya, dibuat menjadi tombak tombak sementara. Senjata berburu laras panjang juga di siapkan. Sudah mulai diisi ulang.
“Bang Herman tambah kopinya lagi “ cetus Dharma tiba tiba.
“Oke pak , siap.” Sang barista itu sigap segera melaksanakan tugasnya. Tengah malam ini hanya angin dingin tipis berhembus. Derikan kayu kayu yang diinjak injak api ungun. Rentak api gemerincik menari memainkan lidahnya menjilat langit yang gelap. Cahayanya remang remang membuat bayangan pepohonan bergoyang. Tapi kami tak terhipnotis untuk lengah dan terpulas ngantuk. Tarian api itu tak membuat kami merasakan letihnya hari yang telah kami lewati. Mata kami sedang awas. Terbelalak pada setiap sudut gelap. Menjaga kalau ada sinar bola yang mengintai di kegelaman malam.
Tak tersadar melangkah pelan penuh dengan perhitungan. Tak ada yang tahu derap tapak kakinya merayap. Setibanya di belakang Claudie. Ia menyeringai. Setelah mengaum yang cukup keras. Kedua wanita itu terkejud. Spontan lari dengan keterkejutan yang tak kepalang. Otot ototnya tampak berisi. Warna polos tubuhnya membuat kami tak tahu menyebutnya dia apa. Untuk sekali lagi dia mngaum, taringnya sedikit bercahaya dari pantulan sinar api unggun.
Dharma bersiap. Dia juga tak menyangka Binatang itu bisa masuk dari belakang pondok menuju ruangan. Dua orang scurity sudah membidikkan senjata berburunya. Tombak tombak yang tadi sudah disiapkan pun sudah terhunus pada binatang itu.
“Kami tak menggangu kalian, pergilah jangan ganggu kami “ suara Dharma terdengar tegas, lantang. Sekali lagi Binatang itu mengeluarkan Aumannya yang berat . Lalu matanya menatap Claude tajam. Menghadapi sorot mata tersebut , cewek itu semangkin ketakutan. Gemetar tanggannya memeluk Michel.
“Dia tidak sengaja melukai , dia terpaksa untuk membela “ Suara Dharma seakan ingin menjawab sesuatu dari keinginan binatang itu. Untuk sekian kalinya ia mengaum kembali lalu mengigit tas ransel Claude . Binatang itu mundur teratur keluar melalui jalan ia datang tadi. Melihat binatang itu dibiarkan begitu saja, Claude nekat mengejarnya. Tanggan Dharma cepat meraih pinggang Claude. Cewek itu meronta. Dharma semangkin kuat memeluknya. Dharma memberi aba aba untuk tidak ada melakukan serangan maupun gerakan apa pun. Ia membiarkan binatang putih itu menghilang didalam ruangan.
“Let me go..” teriaknya. Sementara Claude masih meronta ingin melepaskan diri dari cekalan Dharma
“Kenapa pintu belakang tidak di kunci. “ bentak Dharma. Tanpa tahu untuk siapa kemarahannya itu.
“My Bag…. my bag “ rintihnya.
“Oh my God” ia begitu menyesal.
“Oh my god, Iam so sorry..” terbit tangis panjang nya. Wawan bersama Edi menyusup ke ruangan tengah pondok. Terdengar derap kaki mreka diatas lantai papan. Sebentar saja suara gaduh langkah itu sudah kembali ke teras. “Pintunya masih terkunci “ mereka menenteng tas Ransel Claude. Sepontan Claudi memukul lengan Dharma, ia meelepaskan dirinya. Kencang mengejar tas itu. Disambat begitu saja dari tanggan wawan. Secepat kilat tanggan claude mengaduk gaduk isinya. Sebuah buku catatan bapaknya yang di ambil dari bangker tadi. Sebuah bungkusan tisu. Terlihat sekuntum bungga teratai layu. Cepat ia bungkus kaembali, lalu menyimpannya dalam balik bajunya. Beberapa orang yang melihat sedikit menarik tenggorokan seakan ada yang menelan . “ Thank you very much. “ Lirihnya pelan pada wawan yang masih terdiam . wawan hanya tersenyum merespon ucapan claude. “ Pintu masih terkunci pak “ ulang wawan sambil mendekati Dharma. “ Tolong… tolong akh “ teriak herman diarah api unggun. Dharma berlagi semampunya. Dengan sebuah tmbak ia mengejaar suara herman yang hilang di kegelapan. Arahnya masih di jalana menuju Timur. Lunang mensejajari Dharma mencari jejak herman. Tak lama Dharma dan Lunang pergi. Bang Dadang yang berada di sudut teras menjerit tubuhnya terdorong kebelakang. Ia terjungkal ke samping terdengar suara auman keras. Suara pria itu melengking . suaranga kian menjauh. Danru dan dua orang yang lain cepat pergi kesamping. Aku juga ikut bersama mereka. Hanya menemukan bekas seretan benda kasar. Suara Bang Dadang sudah tak terdengar. Kami telusuri hingga ke belakang pondok. Sebatas areal yang sudah di bersihkan untuk areal pekarangan . sisanya hanya hutan dengan belukaran. “ Dee… dee.. “ Suara Dharma memanggil kami. Kuberi tanda keberadaan kami dengnan memainkan cahaya obor yang ku pegang. “ Bagai mana, ?” tanya Dharma. “ kita memang sudah diintainya “ celetuk Danru. Wajah pria gagah itu sedikit kecewa. Ada kesal yang ingin ia tumpahkan. “ Binatang binatang itu biasabya tidak mau menyerang manusia, kalau manusia tak memberi efek buruk. Mereka sanygat sensitif”. “ Iya , Herman tadi hanya pengalihan saja. Ia diseret sampai dekaat ujung bondar. Lalu di lepaskan.” “ Jadi Herman selamat ?” tanya Danru. “iya, dia selamat. Hanya lecet karena di geret saja. Tangganya…” terang Dharma. Kami pun segera kembali ke depan. Herman sedang di olesi Minyak goreng yang di campur bawang putih. Lelaki itu sesekali meringis, tapi Wawan malah menekan kuat kuat baluran tanggannya. Ada senyum senang yang ia sembunyikan. Ia sedang menegerjain Herman rupanya. Semangkin herman menjerit, semangkin kuat ia tekan balurannya. Suara gemuruh kobaran api semangkin mengema. Derik ranting ranti kayu yang termakan api juga meriah terdengar. Cahaya kilatan api yang menyala di bawah hutan semangkin medekat. Merambah belukaran yang masih tersisa. Asap akibat kebakaran hutan itu juga sesekali sudah mulai menyesakkkan hidung. Perih terasa di mata. “ Pak Sebaiknya kita pergi saja dari sini pak “ kata seseorang warga. “ Maaf bang, kami sebaiknya bertahan disini. Tapi kalau orang abang mau pergi, saya persilahkan” Dhama memberi pilihan. “Silahkan Bapak tembus satu kilo jalan yang kebakaran. “ pria itu surut akan niatnya. Ia melihat yang lain juga tak ingin pergi. “ wan, kumpulin kaleng bekas sarden dan susu. Edi temani wawan, cepat lah “ . dharma masuk ke dalam ruangan, ketika keluar di membawa seutas tali. Potongin kita buat sensor gerak. Wawan dan Edi berhasil mengumpulkan selusinan kalengbekas. Setelah di lubangin mereka gantung paku di dalam kaleng tersebiu. Lalu dirangkai dengan dua kaleng yang lain. Diberi tali panjang kira kira dua hingga tiga meter. Dharma mengguncang, terdengar suara penturan dari dalam. Saling beradu paku dan diding kaleng sehingga menimbul kan suara. Mereka memebagi rangkaian rangkain itu untuk di pasang di beberapa tempat. Akhirnya kami mengumpul di tengah teras. Herman dan Bernad di sandarkan didinding . lelaki yang mengusulkan agar kami pergi tadi menemui Dharma, ia minta izin untuk pergi sendiri. Setlah beberapa langkah ada dua orang lagi yang ingin mengikutinya. Dengan sebuah obor kayu untuk menerangi perjalanan mereka. Obor kayu dengan lilitan kain ,yang harus di basahi minyak ketika apinya mulai redup. Stelah memandang dngan penuh haarap kami meengikuti nya. Mereka dengan lagkah yakin menyelusuri jalanan. Tiba tiba dari arah Barat ada suara gmuruh dan lengkingan lengkingan. Suara itu cepat sekali datangnya. Ketiga pria tadi berlari kencang, melewati pondok dan berhenti di dekat api unggun. Lengkingan itu bergerak cepat, sekawanan babi hutan lari tunggang langgang. Kecil besar bahkan yang babonan juga saling berlomba membabi buta jalanan. Kawnan itu telah berlalu, ketiganya mencoba mengulang lagi perjalanannya. Belum beberapa langkah suara gemuruh tadi kembali lagi dari arah timur. Ketiga lelaki tersebut tak sempat untuk kembali ke api unggun. Mereka terpaksa menyingkir ke pinggir jalan. Bahkan ada yang memepet pagar. Kali ini gerombolan itu banjaran pelariannya memenuhi lebar jalanan. Sehingga ada beberapa ekor harus bertunbrukan dengn orang orang itu. Setelah puluhan meter meleka berlalu kawanan tu kembali lagi. Mereka benar benar putus asa hilir mudik tak menemukan jalan lurus. Dharma memberi kode kepada kedua anggota scurity. “ Haaayoooo. “ Dharma mencoba mengaget kan kawanan itu secara mendadak. Dua letusan senjata berburu pun di tembakkan. Gerombolan itu terkejut. Sehingga beberapa ekor melompat menghindari . Parit itu mampu mereka lewati. Dharma mencoba mengejuti hewan hewan t agar mau melompati parit untuk bisa pergi kehutan yang aman. Namun banyak yang mencoba melompat dadakan juga tapi kecebur di barit. Denngan suara nya yang khas, yaang merenggek untuk minta di tolong sebab parit iitu kini berair penuh. Itu menjadi hiburan kami malam ini. Stres an rasa ketakutan kami berangsur angsung sirna. Tingkah polah babi hutan itu yang gemuk gemuk , lincah dengan suara kecil yang melengking. Wawan dan Edi mencoba membtu binatang yang terendam diparit agar bisa keseberang. Sementara ketiga pria yang kini sudang memanjat pagar masih terdiam disitu. Hingga akhirnya terdengar suara krak, pagai itu pun roboh tiba tiba.kami hanya tersenyum senyum sendir. Memang malam ini terasa sempurna. Tak tertahan lagi kami pun tertawa . kali ini taak tertawa sendiri sendir. Tapi beraamai ramai kami tertawa.
Kreator : Darmen Eka Susilo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA- Kamis bag2.
Sorry, comment are closed for this post.