KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Rabu bag1.

    TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Rabu bag1.

    BY 25 Agu 2024 Dilihat: 21 kali
    TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Selasa_alineaku

    Di Pulau Sumatera Tahun akhir Abad 19-an

    Hari Kedua, Rabu

    Rabu pagi, yang masih sepi. Dingin hari ini menusuk ke tulang. Suhu dingin  telah membalut kulit hingga aku sedikit menggigil. Kutarik jaketku  sebagai selimut. Namun tak berhasil membuatku lelap tertidur lagi. Suara berisik juga kian terasa menguat. Suara ocehan yang tak karuan. 

    “Wooi.. woi.. kembali. Came back !” teriakan itu terdengar berulang ulang. Hingga memaksa mataku yang mengantuk terbuka lebar. Rupanya suara itu teriakan Dharma di sudut teras. Setengah  melompat aku menghampirinya. “ Ada apa bang ?“

     “ Itu bule bule  pergi ke tengah rawa. brengsek mereka” upatnya

     “ Ya namanya juga bule, kalau pagi pasti cari kegiatan olahraga” 

    “ Iya olahraga, yang benar saja.. olah raga dayung. Disana bukan ada olahraga dayung  tapi olahraga pacu jantung” setengah berteriak. Aku sedikit menghindari tone suara itu yang sedikit memekakkan telinga. 

    “ Malah bagus tuh bang spot jantung..” setengah tertawa . 

    “Apa yang bagus. Iya kalau selamat, kalau setelah olah raga mati mengenaskan seperti daging cintang” suara Dharma sedikit mengejek. 

    “Kok bisa?” tanyaku jadi sedikit heran. Dharma malah tertawa melihat mimik mukaku. “ Itu bule sedang olah raga di sarang buaya  haa…ha” tertawa geli campur rasa kesenangan. “ Sarang buaya ?. dimana ?” 

    “Itu di tempat yang  didatangi “ Dharma menunjuk ke arah bule sedang bersampan ria. Dua sampan sedang dikayuh menuju tengah danau . tepatnya mereka sedang menuju ke tempat bunga teratai tadi malam. 

    “Disana sarang buaya ?” tanya ku lagi sambil menunjukan arahnya. 

    “ ehem…” dahrma mengangguk 

    “Buaya katak, dia bisa mengambang , merayap pelan seperti batang kayu yang hanyut. “ Dharma mengungkapkan pelan pelan sambil memberi gambaran cara buaya sedang berenang. 

    “Makanya di sini di namakan Lubuk Buaya, sarang nya buaya “ nada bicara dharma sedikit serius. “Bukan kah itu cuman nama saja ?. donggeng “ 

     “Lunang..Herman.. susul mereka sebelum mereka  dimutilasi “ Dharma seakan tak mendengarkan uangkapanku. Kedua anggotanya segera bergerak.  Lunang dan Edi  Menyeret sampan yang tertambat di tiang huma , lalu mengayunkan secepatnya . 

    “Woii jangan ada suara…ingat jangan pakai suara” peringatan Dharma sedikit meninggi. Aku hanya memperhatikan mereka  melaju kencang mengejar dua sampan di depannya. untuk sesaat  suasana huma ini sunyi. Tanpa suara. Hanya sesekali desisan nafas Herman yang sedang meniup bara api. Herman sibuk di tunggu dapurnya.  

    “ Woii, pakai piring “ Dharma memberi petunjuk. Herman segera beranjak. Mengambil piring plastik lalu dia menghembuskan nafasnya di atas piring  disamping tunggku api. Wus…uwus. uwus..“ hembusanya. Bara bara yang sedang berasap itu tak bergeming. Tak ada tanda memunculkan apinya. Hanya asap yang sedang menari mengikuti hembusan lembut tiupan herman. 

    “Ooh.. my God. “ sontak saja Dharma menyambar itu piring. 

    “Begini…” cepat tanggan Dharma mengibaskan piring plastik di depan tunggku. Kibasan piring itu menimbulkan angin yang mampu meniup  bara dengan kencang. Sebentar saja asap yang mengepul itu hilang dan berubah menyadi api. Api  api itu marak membakar potongan kayu yang masih basah. Sehingga masih mengikat asap pada kemunculannya. “  Ta xx lah “ upat Dharma seketika. 

    “ Dee ayok. Nanti orang itu kenapa kenapa “  ia segera menarik sampan yang tersisa di kolong Huma.  Mendorongnya hingga ke tepi sungai. Aku melompat ke atasnya lalu menuju ujung yang lain menyeimbangkan posisi sampan. Kuambil kayuh juga. 

    Putar arah duduk lalu bersiap mengayuhkan sisi yang berbeda. Laju kami memang lambat karena harus melawan arus surut. Untuk itu Dharma mengarahkan sampan melaju tak menjauhi pinggir sungai. Kepayahan kami juga di alami oleh Lunang dan Edi. Beberapa  kali sampan mereka harus melintang terbawa arus sungai. Tak berapa lama kami melampauin mereka. Ada raut engak enak di wajah Edi.  Mereka mulai tertinggal. Sehingga  Edi memaksa Lunang untuk melanju jalur di pinggir . jejak air kami mereka ikuti.  Didepan bule-bule itu sudah tak mengayuh lagi. Mereka sudah diam ditempat. “ ayo…ayo cepat” mungkin jaraknya tinggal lima puluhan meter lagi.  “Woii..woi. mereka ngapain” Dharma merasa geram. Karena Ramos dan Bernard sudah turun ke air. Mereka mulai berenang. Mendekati bunga teratai. Aku tak percaya mereka melakukan itu. Aku hanya mmepercepat kayuhan dayungku. “Huusss..husss” Dharma sedikit berteriak padaku. Aku menoleh kepadanya. Tanggan Dharma memberi aba aba untuk tak berisik. 

    “Jangan mendayung lagi….” suara dharma kini sedikit pelan. Lalu tanggan kanannya menunjukan sesuatu  sedang mengambang. Satu tual kayu glondongan terbawa arus. Tak ada beriak , namun sesuatu di ujung balok dibawah permukaan air sesuatu terlihat mengkilap.  Baru membuka selubungnya, lalu mencul kepermukaan secara berlahan. Ia mulai memisahkan diri dari balok yang hanyut. Ia merapat mencari suara berisik. Suara kecimplung kayuhan tanggan yang bergerak mendorong tubuh untuk tetap mengambang. 

    Suasana rawa yang damai tanpa suara gaduh, merasa terusik dengan celotehan manusia. Lembut ia mengerakkan kaki belakangnya mendorong tubuhnya meluncur mencari suara berisik. 

    “ Claude, alligator…. way out. Go.. go “ teriak Dharma tak bisa lagi menahan diri. Teriakan itu menyadarkan bahaya pada Claude dan Michel . Keduanya dengan cepat melihat arah bahaya.  Michel menyuruh Ramos dan Bernad untuk segera keluar dari air. “ go go..” teriaknya. Riakan mereka diatas air yang tak menentu membuat suara gaduh. Rupanya mengganggu binatang yang lain. “ Haa… itu lagi di sana “ teriakku menunjuk diarah yang berbeda. Cewek cewek itu segera mengayunkan dayungnya. Satu ekor sedang merayap mendekati mereka. 

    “ Lunang .. pasang tali disana “ perintah Dharma. Lunang dan Edi segera merapat pada pepohonan Pandan berdurui. Melilitkan tali dibeberapa batangnya hingga menyatu.  Sementara kami ke ujung yang lain menerima ujung tali  . Dharma melilit kan tali tersebut. “ Cepat…” teriaknya pada Michel dan Claudie. 

    “ Cepat …cepat.” dengan mulut yang terus cengap cenggap Michel mengayunkan dayungnya. Dengan sekuat tenaga mereka melaju . tak seperti binatang yang mengejar mereka . Buaya itu sangat tenang mengikuti arus air sunggai. Membututi jejak air sampan cewek tersebut.  Dengan sabar menunggu. Merenangi sampan Michel berlalu melintasi tali yang sudah kami bentang. Setelah  sampan itu lewat garis tali. Binatang itu masih terus mengikuti sambil membuka moncongnya yang panjang hidung dan mata nya yang mengkilap tempak jelas. Ia tak merelakan mangsanya lepas.  Ia ingin mencaplok ekor sampan cewek itu.  Dengan sangat kuat Dharma menarik ujung tali yang terlilit di pohon Pandan duri itu hingga tali yang sebesar cempol orang dewasa masuk dalam ruang mulutnya. Menyenyakkan si buaya hingga terjungkal. Untuk beberapa saat buaya itu berusaha melepaskan tali yang menyangkut di taringnya. Ia berguling hingga melintang dengan selruh kekuatannya. Tali itu lepas. Dengan beberapa kali hentakkan saja. Kami bersiap siap jika buaya itu menyerang balik. Lunang dan Edi juga sudah bersiap. Mereka seperti mematung. Tanpa gerak, agar tak menimbulkan suara. Binatang itu berbalik kebelakang kini giliran Ramos dan Bernadr yang terkepung  oleh sekawanan buaya. 

    Sekali gebrakan , saja sampan Mereka sudah terbalik. Keduanya jatuh ke air. Kawanan itu semngkin bersemangat ingin cepat menghabisi mangsanya. Kami berteriak teriak untuk mengalihkan perhatian. Sibuk memukul mukul air atau melemparkan sesuatu kearah kawanan yang sudah mulai bernafsu untuk makan. Ramos berhasil keluar dari kepungan dan dia segera mencari tepi sunggai. 

    “ Ramos… kesini !”, panggil Lunang. Dengan mengayuhkan kedua tangganya. Ia berenang menghampiri Lunang.  Tengah rawa tak terlihat lagi riuhnya. Mulai tenang kawanan buaya itu seakan  berpencar. Gerakan senyapnya membuat kami khawatir “Mana Bernad…?” semua pada melihat ketengah rawa. Untuk beberapa kali Ramos yang sudah diatas sampan memanggil temannya. Jeritan kami berenam seakan tak mampu menembus keheninggan. Bernad tak memberikan sinyal keberadaannya. Situasi di tengah rawa kini telah tenang . bentanggan daun daun tratai telah mengembang. Bulat menutupi setiap jengkal permukaan air yang cernih kecoklatan. Tak ada riak maupun gelombang gelombang arus. Tenang sekali. Beberapa ekor reptil yang mengerubuni tempat itu tak terlihat satu pun. Claude yang sedari tadi sudah menjauh dari kami, kini mulai memberanikan diri mendekat. Bersama Michel mereka mengyuhkan sampanya merapat. 

    “What rong . what happen  ?” ucapanya semangkin diperjelas dan bernada tinggi.  Mereka juga ikut menelisik setiap bibir rawa. Dingin pagi yang masih berembun tak lagi kami perdulikan. Sekejab kemudian ada rasa bersalah yang menyelinap di hatiku. Wajah yang lain juga seakan sama seperti ada penyesalan. 

    “Oke… menyebar. Tapi jangan terlalu berisik. Kalau ada gerakan seluncur cepat kembali kemari “ ucap dharma sedikit bergetar suaranya. Antar was was dan tak mau kehilangan membuat sebahagian kami memberanikan diri. Menyusuri  kumpulan rase rase. Tanaman pandan berduri itu seperti membentuk pulau pulau kecil di tengah danau rawa rawa. “ Jangan mendekati ke sana “ Claude menunjukan ke sekumpulan tanaman teratai di tengah rawa. Tak ada yag tanya kenapa kecuali aku. Dalam hatiku ,apa sebenarnya yang ia ketahui dengan tempat itu ?. tapi kulontarkan saja pertanyaan itu melalui tatapan mata. Cewek  itu menaggkap sorot mataku. Ia meresponnya. Sebuah kedipan kecil untuk memberi insyarat “ diam “. Ssiieett. Sebuah siulan terdengar. Suara yang tak biasa di tengah hutan. Lalu Dharma mengonggong beruk “ huuuhh”  dibalas lagi dengan siulan yang panjang lalu pendek dan panjang lagi.

    “Ayo kita kesana “ ucapnya bersemangat. Nadanya masih sedkit tertahan tahan, agar tak menimbulkan suara gaduh. Kami kearah suara diikuti Claude dan Michel. Disebuah kumpulan rase rase, sampan Ramos , Lunang dan Edi menepi. Sebuah batang pohon bercabang tersangkut di sana, diatas ranting yang diapit tanaman pandan berduri itu bertenger Bernad yang sedang meringkuk. Tampak ia mengigil. Beberapa duri telah menempel dibahu kirinya.  Darah seger mengalir. Dari tepi tepi duri yang menusuk. Namun Bernad seakan tak merasakannya. Ia hanya mengigil sambil memicingkan mata. Di atas dahan dengan kaki dirikkuk sedangkan bahunya bersandar ke pohon rase rase.  Jaraknya dari permukaan air hampir setinggi tongkat pramuka. Bersusah payah Ramos mendekatinya. Lunang menghilangkan duri duri di pohon rase rase. Dengan sepotong kayu iya pukul duri duri itu. Kemudian ia membantu menahan tubuh Bernad dari bawah. Ramos cepat menarik bernad. Tubuh yang sudah meringkuk itu ia peluk lalu membimbingnya untuk turun dari dahan pohon. Kami segera merapat. Untuk menerima lunang diatas sampan kami. Berangsur angsur Ramos dan Edi segera pergi. Menjauhi tempat itu. Kami mengikutinya dari belakang bersama sampan Claude. Tak  ada yang mencoba berbicara. Semua terdiam hanya tanggan saja yang terus bergerak mengayuh  dayung.  Sesekali Dharma melirik ke arah tengah rawa. Masih tersisa kekhawatiranya disana. 

    Satu persatu kami merapat di tangkahan. Diatas rakit bambu yang tertambat di tiang huma. Kami menjejakkan kaki. Ramos tetap membimbing Bernard hingga keatas teras pondok. Pria itu masih menggigil tanpa banyak bicara.  Tatapan ketakutan serta rasa cemas yang terlalu. Kami masih menunggu reaksi dari Bernard seteelah ia didudukkan. Secengkir air minum pun sudah diminumkan. Michel juga menggelap air yang menguyupi tubuhnya. Pakaian yang basah juga sudah di ganti. Namun pria itu masih belum bereaksi, pandangannya kosong. Ramos berapa kali memanggil namanya, tetap saja belum ada reaksi balasan. Bulatan hitam di matanya selalu bergerak tak tentu arah. “Sudahlah, jangan di paksa dulu. Biarkan dia tenang dulu” saran Dharma. 

    “Yaudah… yang lain pada sarapan. Biar  kita bisa berangkat “.sambung Dharma lagi sambil berlalu menuruni tangga.  Yang lain pun segera ikut menenangkan diri. Dharma duduk sendiri di tangkahan. Sesekali tanggannya menciduk air meembasuh wajah. Kelihatan dia enggan untuk mandi pagi ini. Aku ikut turun menghampiri. Tak berapa lama Claude juga meengekoriku turun dari tangga. 

    “ Bang..”

    “Haaa.’ Responya datar. Tak berapa lama  Claude juga menyapanya “ Bang “ ia duduk di sebelahnya. Cewek itu selonjoran. Membiarkan air sungai menengelamkan permukaan kakinya. Dharma hanya terdiam. Ia semangkin sibuk untuk membasuh tanggan serta menyikat gigi. Kelihatan cueknya. 

    “Untuk apa kalian kesana tadi malam ?” akhirnya Dharma mengajukan pertanyaan.

    “Apa yang kalian sembunyikan ?” sebelum kata kata Claude keluar, pertanyaan lanjutan datang.  “ Ehhheam, kami hanya melihat lihat bunga teratai. Sambil ngobrol ngobrol.” Ucapanya mengarang ke Dharma tapi tatapan mata mengarah padaku. Aku jadi serba salah. “ Mengapa harus senekat itu ?” 

    “Itu salah mereka berdua. Mereka terlalu bersemangat. Mereka tidak mendengarkan kata kata saya” Claude sedikit membela diri. “ Please, don’t angry. Give my …” belum selesai ucapan cewek itu, Dharma sudah beranjak pergi. 

    “What, apa salah saya ?” tanya Claude padaku. Aku tak mengerti, haya angkat bahu sajalah.

    Bernard tak mungkin untuk ditinggalkan. Dia harus terus dipapah. Fisiknya masih lemah. Lukanya masih mengeluarkan darah. Darah seger terus merembes di perban. Kabut yang nutupi pingiran sungai sudah mulai naik. Berlahan lahan hilang di gantikan sinar mentari yang masuk ke bumi. Tiga sampan dengan masing masing tiga awak. Sementara dua anggota yang lain tinggal di pondok nelayan itu. Pergerakkan kami tak banyak kesulitan. Karena arus pasang kini sudah berubah menjadi arus surut. Rawa rawa ini adalah kantung air  yang berasal dari laut selat malaka. Cukup mengarahkan lajunya sampan kami sudah meluncur cepat menelusuri sungai. Hampir satu jam diatas air, akhirnya kami menepi. Kini benar benar berhenti. Disebuh persimpangan bondar. Disisi parit besar itu kami  merapatkan sampan sampan. Dari sini kami menelusuri jalan setapak. Jalan itu bersisian dengan sebuah parit. Untuk beberapa saat kami melintasi hutan hutan muda. Tanaman belukaran yang menyemak di bawah pepohonan kayu muda. Hutan tersebut nampak padat walau tak terlalu menutup. Karena sinar matahari tampak jelas menerangi arah jalan setapak itu. Sejak berangkat hingga kini tak ada pembicaraan yang berarti semua seakan banyak diam. Dharma seakan banyak menghemat kata kata. Hanya Claude saja yang lebih aktif bertanya atau berkomentar. Hanya teriakan Lunang dan Edi sesekali bercanda di depan. Atau suara parangnya membabat ranting yang menghalangi jalan. Sementara aku juga tak tahu harus berbicara apa. Satu jam berjalan kami istirahat sejenak. Dharma sibuk dengan peta dan GPS nya. Untuk mengurangi kekakuan suasana Claude selalu di sisi Dharma. Mencoba mencari sesuatu yang baru. Tapi keacuhan Dharma masih kekal rasanya. Ia benar benar menghemat suaranya.

    Keletihan kami sedikit pulih. Beberapa kali meneguk air minum menghilangkan dahaga. Kemudian Dharma sudah  bersiap untuk melanjutkan perjalana. Ia bergerak saja tanpa memberikan arahan. Melihat itu Lunang dan Edi sudah segera menyusul dan mendahuluinya. Mereka tetap berjalan paling didepan. Mau tak mau yang lain juga mulai bergerak tak kecuali aku. Segera memeriksa tas pinggangku serta tempat minum. Lalu ikut menyusul mereka.  Untuk perjalanan dua puluh menit berlalu , jalur setapak itu seakan mensejajari arah sunggai. Sebab sinar matahari telah menantang kami dari depan. Belum berakhir rasa penasaranku tadi, Dharma sudah berhenti di depan. Akhirnya kami berkerumun untuk sesaat, setelahnya Dharma memberikan arahan pada Lunang dan Edi. Dengan pedoman dari GPS-nya kedua anggota itu disuruh merintis disisi kiri jalan setapak.  Kami pun menunggu giliran untuk memasuki rintisan itu. Belukaran yang padat membuat kami harus bersabar menunggu di belakang. “ Berapa jauh kita harus membuat rintisan ?” tanya  Claude. Dharma menoleh sebentar lalu memperhatikan GPS nya. “ Sekitar setengah kilo “ “Setengah kilo ?”  ulang Claude. Cewek itu sedikit bingung.  

    “Sekitar lima ratus meteran “ 

    “Butuh waktu berapa lama ?”

    “Lihat sajalah, merintis seperti ini. Lima menit untuk dua puluh meter. “ tanpa menghitung ulang Claude terus berkomentar, ” Lama juga ya “  Dharma kelihatan diam saja.  Sudah hampir limabelas menit berlalu. Hanya krisan serta tanaman yang merambat liar saja terlihat. Anak anak kayu lampasi setinggi tiang bendera satu satu mulai terlihat ke sisi jalur. Batang batang kayu  putih pada setengah batangnya. Pepohonan berkayu ringan itu tampak semangkin rapat. Tanaman hutan muda itu semangkin rapat dan mulai kelihatan lebih tinggi tinggi.

    Tiba tiba Lunang berteriak “ Huaa wa aa “ rintisan mereka telah tembus. Kelihatan di depan terang benderang tanda tak ada lagi belukaran. Aroma arang yang masih segar segera tercium. Sisa kayu kayu yang terbakar beserta dedaunan yang telah membusuk. Aromanya terasa pekat dan menyesakkan pernafasan. Asap CO dua beserta asap putih masih terlihat mengepul di beberapa titik. 

    “ Waoo…” terlihat hamparan yang luas. Rata seperti terbentang oleh hutan muda . Dharma terus saja berjalan lurus. Seperti arahan GPS-nya. Hampir ditenggah tengah hamparan yang terbakar itu, ia berhenti. Kami semua segera menyusulnya. Di carinya kayu sisa pepohonan yang tidak terbakar. Kayu tersebut ia tancapkan di atas gambut. “Dari sini ke kanan seratus meter, kekiri hampir  limapuluhan . lalu memanjang ke depannya kurang lebih dua ratus meter. Ini adalah perkiraan lokasi pengeboran tersebut “ penjelasan dharma ke Claude the team. Keempat orang itu lalu maju kedepan seakan ingin berbanjar. Melihat lalu memperkirakan luasan lokasi yang diarahkan Dharma. “ Di sana tempat tumpukan pipa baja. Saya pikir itu lokasi utamanya” Dharma menunjukan posisi sedikit arah kesudrut areal. 

    “Tunggu, “ tiba tiba aku merasa sesuatu. Ku melangkah menuju tempat yang ditunjuk Dharma. Yang lainpun seakan penasaran, mereka mengekoriku. Ada tujuh batang pipa berkarat bertumpuk dua tingkat. Pipa bagian bawahnya sudrah terbenam setengah diameter ke tanah gambut. 

    “Bukan , disini dekat Gudanng. “ ungkapku. Aku tiba tiba berbalikan badran. Meluruskan mata lalu mencari posisi. Berjalan lurus kedepan seperti agak berlari. Dengan perasaanku cukup aku melangkah hingga menjauhi tumpukan pipa baja tadi. Kini giliran aku berbalik kembali. Orang orang masih terlihaat di dekat tumpukan tadi. Mereka menunggu apa  yang aku ingin sampaikan. Ada perasaan kurang pas. Setelah memperkirakan posisi kekanan dan kekiri. Aku mengeser posisi berdiriku sepuluh meter kesamping. Diposisi ini aku sedikit membukuk lalu jongkok. , pas rasanya. Dengan segera aku melambaikan tanggan ke pada semua orang. Terlihat terburu buru mereka menuju tempatku berdiri. Sesekali kaki mereka terbenan di tanah gambut yang rawang. Abu hitam mengambang seiring langkah kaki mereka berjalan.

    ”Ada apa ? “ Lunang mencoba bertanya duluan. Sebab dia yang pertama sampai. “What heppen ?” tanya Michel. Aku tak buru buru menjawab. Kupandanggil Dharma, menunggu respon nya. Dia  terlihat tenang, juga menunggu. 

    “Disini pondok dapur, di arah jam sebelas, dari sana itu tempat sumurnya. Anjungan menara untuk pengeboran “, dengan penuh keyakinan kutunjukan yang ku lihat. Tapi kelihatan semua terheran heran. Aku meyakinkan diri . ku bergerak ke kiri

    “ ini di sini lobang sampah.” Kucari sepotong kayu. Ku donggkel bara bara gambut yng menutupi tumpukan botol botol minuman.  

    “Benar, botol botol wisky. Disana tempatnya genset “ setengah berteriak aku semangkin yakin lagi. Setengah berlari aku menunjuk kesebuah onggokan besi tua yang setengah nya telah tertimbun tanah gambut. 

    “Aku tahu, aku tahu. di situ tumpukan drum.” Tak jauh dari letak sisa mesin genset. Ada beberapa drum yang juga telah hampir separuh terbenam oleh akar akar pepohonan. “ di dekat tumpukan Pipa ada bantalan balok kayu penahan  menara pipa pengeboran. Ada membukit kecil tanah padat. Tanah tersebut berpostur kasar bercampur kerikitl dengan tanah liat. 

    “Itu tumpukan sisa tanah pengeborannya. Didekatnya ada pipa baja yang tebal dengan diameter lebih kecil. Semuanya kuutarakan seakan aku sudah tahu tempat itu. Dharma tampak bingung . sama juga dengan ketiga anggotanya.

    “Benar kau tahu tempat ini?.  Haw ?” tanya Claude.  Aku hanya mengelengkan kepala sambil meninggikan bahu. “Ini mimpiku semalam “ 

    “Mimpi, driaem ?” desak Michel. 

    “Yaaa” ucapku agak ragu.  “Aku bermimmpi, dari sana ada seorang wanita, lalu mereka lagi melakukan pengeboran. Malam itu mereka berhasil menemukan minyaknya. Yaa, ada cerobong kecil di sana yang mengeluarkan api dan gas” aku bersemangat menceritakan yang kulihat. 

    “Seorang lelaki  bule, sedikit jambang tanpa kumis. Dia  mencium wanita lalu tiba tiba dari arah sana ada yang menyerang “ aku menunjukan arah dari belakang tumpukan bekas drum. 

    “Apa yang menyerang mereka ?” tanya Dharma penasaran. Semua mata menatap ku. Mereka menunggu. Dengan sedikit manarik nafas panjang. “Sekumpulan harimau “

    “Harimau ?” 

    “Apa Datuk Belang ?” Lunang ikut membatah 

    “Bukan, itu bukan Harimau” sela edi sambil geleng geleng kepala. 

    “Iya mereka di serang sekelompok Harimau. Yang dari sana… ada harimau “ dengan meyakinkan aku mengatakan apa yang terlintas dalam ingatanku . 

    “Iya ada harimau “ kata kata ku sedikit tergagap sekan tak percaya dengan apa yang kulihat. 

    “woii, harimau “ ucapku tertahan pelan sambil mundur dua langkah dengan was was. Semuanya pun terkejut. Tersentak, melihat kearah dari balik tumpukan drum. Dengan merayap  gagahnya. Melangkah pelan beersikap posisi tegap. Terlihat tiga ekor binatang buas itu muncul dari belukaran. 

    “Tenang , jangan ada yang bergerak lari. Mundur pelan pelan.” Perintah Dharma dengan tenang. Kami berbaris membentuk tiga banjaran. Lalu berlahan mengikuti langkah binatang itu maju, kami melangkah mundur. Didepan Dharma bersama Lunang dan Edi. Bersiap 

    “Kalau ada yang melangkahi kayu ambil berlahan “ Dharma mengingatkan untuk jaga jaga. Semua pada melirik kesamping masing masing. Ramos sudah mendapatkan kayu sisa bakaran. Aku pun juga sudah memegang kayu. Dharma telah menimang nimang kayu namun langkahnya berhenti. 

    “Semuanya terus mundur, Ramos  masuk ketengah “ ucapnya mantap sementara Ramos tersadar ,segera tukar posisi dengan Bernad yang masih terus di papahnya. “Hai datuk, kami hanya numpang lewat. Kami tak menggangu “ sergah Dharma berbicara dengan sekumpulan hewan itu. Claude dan Michel saling berpandangan. Menunjukkan rasa ada yang aneh, tapi kaki mereka tetap mundur. Walau keduanya tak menemukan kayu atau apa saja untuk jaga jaga. 

    “Kami tak mengganggu, hanya numpang lewat “ Dharma mengangkat tangannya menunjukkan arah yang ingin kami tuju.  Tak berapa lama langkah  harimau yang di sisi kiri kanan berhenti. Keduanya menoleh ke pada harimau yang ditengah. Binatang itu masih terus maju. Mulutnya terlihat mengangga. Sambil mengerakkan hidungnya menyeringgai. Langkahnya pun semangkin sigap terus mendekati kami. 

    “Pak  !, pak !.” Suara Lunang bergetar. 

    “ Bang…..” bergetar suaraku, cemas tak terbayangkan. Suara Claudie terdengar pelan namun entah apa yang diucapkannya. 

    “Oke kalian agak kesamping jaga jarak “ Dharma semangkin siap untuk segala kemungkinan jika binatang buas itu benar benar menyerang. Aku sedikit bertahan lalu melangkah maju. “ Janggan, mundur saja terus “ Dharma menahanku. Tak di duga sebelumnya. Jarak kami dengan binatang itu masih cukup jauh namun tiba tiba hewan itu berlari kencang memburu. Dharma mengatur kuda kudanya. Bersiap menghadapi serangan. Lunang dan edi menjaga jarak “ kaalian jaga yang dua lagi kalau maju “ teriak Dharma untuk siap siaga. Tak sampai hitungan menit harimau itu sudah mendorong kaki belakangnya untuk terbang. Sergapan itu di hadang Dharma dengan menghunuskan tongkat kayunya. Kayu tersebut berhasil menhujam ke wajah dengan keras. Harimau itu terpental ke kiri. Dia membuat salto agar tak menyentuh  sisa bara yang masih berasap. Dengan cepat ia menyerang lagi dengan sifat buasnya. Sergapan kaliini membuat Dharma ikut terpental. Terguling guling dia diatas gambut yang telah terbakar. Sekujur pakaiannya menjadi hitam lekat. Binatang buas itu pun  terguling ke arah yang berlawanan. Ia menyibakkan abu abu hitam di tubuhnya. Kemudian bersiap sekali lagi . dengan auman yang sedikit keras. Siap menerkam kembali. Dharma sudah berdiri dengan tongkat kayunya. Benar benar siap. Kuda kudanya sudah kokoh jurus katak telah siap menerima serangan.

    “Oke, kalau itu mau mu. Ayo majulah “ teriak Dharma seakan berbicara bengan  lawan sesama manusia. Harimau itu melompat tinggi ingin menerkam mangsanya dengan satu gebrakan. Dharma malah maju kedepan dengan menunduk lalu menjolokkan tongkatnya hingga menusuk sisi tengah perut lawan. Sontak aja harimau yang melayang itu terpental ke samping. Jurus lilitan mawar berdurinya sangat sempurna.  Datuk Belang itu terjerebab di tanah. Ada goresan luka di tubuhnya. Terlihat garis yang mulai memerah. Melihat itu kedua kawanan yang lain mengaum kuat. Seakan tak perduli dengan peringatan tadi, Binatang itu masih menampakkan buasnya. Mengaum kuat tak terkalahkan. Lalu siap menyerang lagi. Dharma terlihat sedikit gugup karena jarak keduanya sangat dekat. Tak ada ruang gerak yang leluasa. Kaki belakangnya sudah mulai diayunkan untuk mendorong tubuhnya agar melayang. Sergapanya kini memang mematikan. Dengan mulut yang menggangga lebar sambil mengeluarkan auuman yang keras , harimau itu benar benar melayang di udara. “ Duorr, duorr “ dua kali letupan senjata  mengenai tubuh binatang itu. Kebuasanya mendadak hilang . tubuh binatang itu terjatuh disisi Dharma sambil meraung. Kebuasannya rontok seketika. Dengan susah payah ia bergulir menjauhi Dharma. Suara aumannya pun melemah. Tak ayal lagi kedua kawanan itu segera melompat ke sisi temanya. Dengan sikap ingin menyerang Claude. Gadis itu masih mengengam  senjatanya. Terlihat gugup  lalu begetar tanggannya. Keberanianya kini hilang. Gadis itu mundur dua langkah. Lalu menyiapkan lagi senjatanya. Kawanan harimau telah meng-auman keras dari keduanya. Kawanan itu mencoba maju dengan sikap siap menyerang. 

    “ Claude…”  teriak  Michel menginggatkan. “ Jangan lari, jangan takut…” teriak Dharma keras. Dharma mencoba bergerak kearah cewek itu. Tiba tiba sebuah auman dari arah yang berbeda terdengar sayup sayup. Dari atas tumpukan Pipa berdiri seekor binatang seperti harimau tapi berwarna putih. Kelihatan lebih besar perawakannya. Aumannya menyurutkan langkah harimau harimau yang menyerang kami. Keduanya pun tampak bergerak mundur teratur. Lalu menghampirin temannya yang terluka. Dengan sigap masih waspada mereka surut kebelakang. Melompati drum drum lalu menghilang di balik sisa belukaran. Kami melihat kemana ketiganya pergi. Namun binatang yang putih tadi,  kami tak tahu kemana arahnya. Kami kintarin melihat kemana dia pergi. Namun tak kelihatan. 

    Ada rasa penyesalan yang ingin diungkapkan Claude. Ia setengah berjongkok tanggannya bergetar dengan melepaskan senjatanya. Dharma menghampirinya. 

    “Its oke… thanks. “ ungkap Dharma pada gadis itu. Wajahnya sedih, ada suara terisak juga. “Its oke. Its over “ bujuk Dharma kemudian. Sementara Michel membantu Ramos memapah Bernard. Lunang dan Edi masih bersiaga penuh. Dharma menenangkan Claude, memeluknya erat lalu membibingnya menuju jalur rintisan tadi pagi. “ Tenang, terima kasih atas pertolonganmu tadi.” Dharma seakan meyakinkan Claude apa yang dilakukaknya adalah jalan terbaik. Namun isakkan gadis itu masih ada satu satu. Kami pun segera meninggalkan tempat itu. Menelusuri jalan kami datang tadi pagi. Lewat tengah hari kami baru sampai di pondok Nelayan. Belum ada yang membuka cerita. Masing masing masih memendam sendiri sendiri kisah hari ini. Hanya wajah wajah kelelahan dan lapar yang terlihat. Sambil menunggu makan siang siap, secara bergantian kami membersihkan diri. Debu debu gambut yang terbakar seakan lengket seperti Luotion. Menghitamkan pakainan hingga tembus ke badan. Hanya celoteh Herman saja yang terdengar. Kekonyolan lelaki itu terus  berulang kali. Bawaan lugunya kadang menjengkelkan sebagian orang, namun dia orangnya yang rajin. Ringan tanggan untuk membereskan dan memasak di dapur. Sehingga kadang kadang ocehan kocaknya di maklumi orang. 

     

    Menjelang sore hari kedua kami berada di Huma ini , di lubuk buaya.  Sebahagian orang masih tertidur siang. Perjalanan hari ini cukup menegangkan hingga kami tak yakin akan apa yang telah terjadi. Aku barusaja terbangun. Duduk disudutan teras menatap air yang mengalir kehulu. Air pasang mulai masuk ke rawa rawa. 

    Air hitam bergerak pulang lagi

    Menahan semua yang ingin pergi

    Menghalanggi, bahkan menyeret untuk kesini

    Bergumul dengan hasrat hati

    Mengusik mimpi dalam caci maki

     

    Meengoyak rindu

    Mengusir sepi tak tentu

    Kadang meronta, diatas tangkahan tanpa batu

    Terjerebab dalam langkah bias masa lalu.

    Bising , dalam senyap yang membelenggu.

    Sumpek , jenuh hidup yang selalu menghindar

    Sekaligus sunyi kata damai dan kasih

     

    Kuakhiri coretanku. Ku tutup lalu beralih menatap goyangan batang raso raso yang tersentuh arus air sungai.

    ”Mengapa aku tahu persisi tempat itu ?. aku hanya mimpi  sesaat. Aku berada di tempat yang belum pernah aku datangin. Aku belum pernah tahu tempat itu. Ini kali pertama aku belusukan ke hutan. Hari ini peristiwa di rawa Lubuk buaya, bagaiman kalau malam-nya ada reptil itu disana ?. dan  Bernad belum juga pulih, apa yang terjadi dengannya ?. keemudian siang tadi. Tempat itu benar benar aku merasakan keberadaanku di sana. Namun serangan dari kawanan buas itu. Claude baru saja bangkit dari duduknya. Beberapa menit yang lalu dia terbangun tidur. Wajahnya  sedikit kusut. Maklum baru bangun tidur siang. Gadis mana kalau bangun tidur masih kelihatan cantiknya. Sama juga dengan bule ini. Dengan langkah malas dia  menghampirin. “ hai, “ 

    “Heeaamm” aku menggangguk ditambah senyum tipis. Tapi kelihatanya ia acuh dengan senyuman itu. Ia memperhatikan yang mengalir lambat. Air itu terlihat bersih walau berbayang dasarnya yang menghitam kecoklatan. 

    “Apakah malam nanti , bunga teratai itu bersinar kembali ?” selidikku.

    ”I dont know “ pelan suaranya.  

    “Apakah kau tahu tentang buaya buaya itu ?” selidikku kembali. 

    “ yea,  I know, “

     “ what ?” seperti ada sesuatu dalam otakku yang terbakar.

    “ iya, aku tahu tentang alligator itu. Selagi orang orang yang mendekati bunga teratai itu memiliki niat yang baik, maka dia tak diganggu oleh penjaganya “

    “Jadi maksudmu Ramos dan Bernard memiliki niat jahat, begitu? Dan buaya buaya itu adalah penjaganya ?”  

    “Saya tak tahu  hati orang. Maksud saya, kita tak tahu ada apanya ?” menghelakan nafas panjang yang barusan ia tarik.  Pandangan dan wajahnya mengarah ke tengah rawa. Untuk sesaat kami tak bicara lagi. Saling menikmati alam yang kami rasakan masing masing.

    “Bang Dharma di mana ?” tiba tiba ia teringat sesuatu. 

    “Entahlah, mungkin di bawah “ jawabku menebak saja. Masih dengan langkah malasnya ia menuruni anak tangga. Mungkin dia memang mencari Dharma, tebakku. Baru sebentar dia berada dikolong huma, suaranya sedikit berteriak 

    “Oh my God, oh my God “  teriakan itu membuat ku ikut tersentak kaget. Aku melompat turun kebawah. Kulihat Claude sudah memengangi Dharma yang tak sadarkan diri. 

    “What ?” tanyaku sambil ikut menahan tubuh Dharma yang tergolek di tanah.  “Bang Lunang, bang edi .. wooi.. bang Herman “ panggilku sambil berteriak keras. Membuat  semua orang jadi terbangun. Mengerumuni kami. 

    “Ayo bawa ke atas , cepat “ mohonku pada mereka yang kupanggil. Membaringkan Dharma di tempat ia beristirahat. Herman mengambil air hangat membasuh tubuhnya. Aku periksa diatas pinggang sisi kanan, ada luka memanjang hampir sepanjang pena. Sepertinya itu adalah cakaran binatang, noda darahnya sudah kering “ kapan dia terluka ?” tanya ku sembanrangan. Tak ada yang menjawab. Mereka juga ikut heran., “Sepertinya tadi dia tak kena apa pun “ ungkap Lunang. “Dia baik baik saja saat bergumul dengnan harimau tadi “ lanjut Lunang menyambung keterangannya. 

    “Its oke, sekarang kita beri obat dulu ini. Nanti baru kita bicarakan lagi soal dimana dia terluka “ Claude segera merawatnya. Ia ambil air hangat yang dibawa Herman lalu membasuh luka tersebut. Membersihkan darah yang mengering serta debu sisa bakaran yang menghitam di tubuhnya. 

    “ Badannya tambah panas, demam “ kataku. Dari kuduk hingga kepala yang ku peganggi merasakan meningkatnya suhu badan Dharma. Setelah diberikan obat  lalu sebuah bubuk penutup luka kemudian di tutupi kain kassa dan di plasterkan. Tampak sebesar telapak tanggan perbanna itu.   Hanya degup jantung Dharma yang terdengar begitu kencang seakan ada sesuatu yang sedang memburunya. Keringat jagung keluar dari kening. Bahkan telapak tanggan-nya juga ikut basah. Tak berapa lama bibirnya pucat. Plateran yang putih itu kini berangsur angsur mulai memerah. Resapan darah atau obat anti septicnya yang membuat seperti itu. Kecemasan itu  rupanya bukan aku saja. Semua cemas. Bahkan Claude seperti kalang kabut. 

    “What “ katanya “ why…. why?. Bang Dharma .. bang Dharma ?“ panggilnya. Untuk memberinya kesadaran. Aku pun tak kalah reaksi. Ikut juga memanggil manggilnya. Namun Dharma tak bergeming. Malah tubuhnya kini seakan menggigil kedinginnan. Sementara suhu tubuhnya semangkin tinggi. Keringat jagungnya semangkin jelas diwajah. “ Cepat bang ambilkan air matang… air yang baru matang “ Claude tiba tiba bersemangat. Mengubah posisi tidurnya agar lebih leluasa. Lalu menbuka kembali perban yang dibuat tadi. Herman membawa air hanggat  yang di minta Claude. Diambinya air hangat itu setengah cangkir. Ia  meminta Ramos mengambilkan tas ranselnya. Dari dalam tas itu ia mengambil seuntai bunga Teratai. Bungga itu ia lumatkan. Setengahnya ia rendam di air hanggat. Lalu setengahnya ia tempelkan ke luka di tubuh Dharma.  Kemudian ia tutup kembali dengan kain kasa dan perban yang baru.  Kami hanya memperhatikan saja. Apa yang dilakukan cewek itu.  Sementara Michel sibuk dengan pena dan buku sakunya. Sibuk mencatat sambil memperhatikan kondisi Dharma. Aku baru tahu kalau Michel suka mencatat. Aku hanya memandangi perempuan itu. Ketika Claude sudah mengaduk seduan ramuan tadi. Ia meminta Herman untuk dicarikan kain bersih. Semua bergerak tapi tak menemukan kain yang di maksud. Aku meraba tas pakainku. Ku keluarkan kaus siglet. “ Kain ini sangat bagus untuk dibuat penyaringan “ kataku tercetus begitu saja. 

    “Oke “ cewek itu menyambarnya lalu diatas cangkir lain ia mulai menyaring ramuannya. Kemudian ia menggangkat kepala dan sebagian tubuh Dharma. Ia sandarka ke dadanya.  Dengan mengunakan sendok makan , Claude menyuapi Dharma dengan hati hati.  Berlahan lahan air itu masuk ke ketenggorokan Dharma.  Hingga habis seperdua nya. Untuk beberapa saat Claude membiarkan Dharma masih bersandar di dadanya. Sedikit terasa sesuatu dalam hatiku. Mau tersenyum atau apa tapi sedikit aku tersipu dengan perlakuan cewek itu. Sama juga reaksi dari Lunang dan Herman yang keliahatan terbesit rasa malu malu kucing.  Tiba tiba Dharma terbatuk, ia tersedak lalu mengeluarkan cairan yang mengental seperti dahak. Cairan itu berwana hitam menkilat. Claudi mengusap usap tengkuk Dharma  hingga mengeluarkan dahak dahak hitam itu beberapa kali. Cewek itu mengulangi lagi menyuapin ramuan hingga tersisa sepertiga.  Ia diamkan lagi tubuh Dharma yang masih bersandar di dadanya. Hingga beberapa menit kemudian Dharma terbatuk dan mengeluarkan cairan kembali. Kini benar benar darah yang berwarna merah.Walau mata nya masih terpejam dan belum ada respon motorik, dia masih belum sadarkan diri. Beberapa saat  setelah dia berhenti batuk, Claude membersihkan wajah dan mulut Dharma. Ia  ngelap sisa darah yang menempel. Kemudian merebahkan tubuh Dharma ke posisi tidur. Tak terlihat lagi ada keringat dikening. “Oke biarkan dia istirahat  “ akhirnya kami mulai bubar. 

    “Bang lunang tolong siapkan kayu ya. Kita buat api unggun disekitaran “ usulku.

    “Ooh iya . kita jaga jaga kalau sekawanan itu datang malam ini. Mungkin sekarang ia mengincar gadis itu “ kata Lunang sedikit bernada serius. Ia mengajak yang lain untuk mulai bergerak.  

    Sementara itu Michel menenangkan Claude, ia memberikan nasehat untuk tenang jangan terprovokasi. Ia berharap Sebelum matahari benar benar terbenam mereka sudah bisa membuat api unggun di sekitar tempat itu.  Aku pun menyegerakan membersihkan tubuhku.

    Makan malam dipercepat. Herman telah menyediakan santapan itu di teras. Menu Mie instan yang dibuat berkuah. Mie rasa Medan itu di temani sambal ikan hasil pancingan. Rezeki kedua teman yang tinggal di huma.

     Matahari belum benar benar tenggelam. Namun di arah Tenggara kelihatan awan mendung yang sudah sangat tua. Gumpalan hitam kian mndekat. Arah angin menuju timur mungkin akan menyeret hujan bersama guntur ke arah kami. Aku tak ingin membuang waktu, segera menghadapi jamuan itu. Beberapa orang sudah menggelilingi. Piring piring plastik sudah beredar. Claude dan michel juga sudah mulai duduk tapi belum menyenduk nasi. Masih ada yang mereka tunggu. Tak ada yang komentar tentang menu malam ini. Mereka menikmati dengan penuh lahapnya. “Man, tambahlah. Biar banyak  taekmu ,tidur bisa nyenyak “ goda Lunang. Si Herman cuek aja. Bahkan dia sangat menikmati kuah mieInstan yang dibuatnya. Kami tak menunggu Herman selesai makan. Semuanya pada bubar sendiri mencari tempat duduk bersandar. Sudah terbiasa buat teman itu dia pasti yang paling akhir saat makan. Menghabiskan lauk yanng masih, lalu membereskan piring piring plastik sisa makan. 

    Kuraih buku,  kuambil camera pocket, lalu mencari tempat nyaman di sudut teras. Kali ini dari sudut yang berbeda. Claude juga mencari duduk ditempat yang sama. Ia hampir disisiku. Tanggannya juga memegang buku catatan tapi kelihatan sudah usang. 

    “Hai, “ tegurnya. Aku hanya tersenyum kecil merespon sapanya.

     

     

    Kreator : Darmen Eka Susilo

    Bagikan ke

    Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Rabu bag1.

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021