Di Pulau Sumatera Tahun akhir Abad 19-an
Hari Kedua, Rabu
“Its, my picture. My Ded.” Ada enam foto ia serahkan. Kulihat orang orang yang ada di foto itu.
“Foto ini dikirimkan tiap bulan di tahun pertamanya pada ibu saya” Claude menerangkan. Untuk beberapaa waktu aku memperhatikan orang orang di foto tersebut. Sepertinya aku pernah bertemu tapi dimana. Lalu aku mengurutkan foto tersebut. Sebuah helikopter jadi latar belakang enam orang team saat berangkat. Berkaca mata hitam bulat, serta memiliki jambang memikat. Pria pria itu senang sekali terlihat senyum yang terlukis diwajah masing masing. Saat aku menyusunkan foto yang lain, agak sulit. Aku tak bisa mencocokkan dengan nama bulan tekirimnya foto yang tertulis di belakang. “ Buku ini di kirim my Dad setelah bulan ke enam mereka disana. Saat itu mereka masih belum menemukan titik pengeboran yang tepat. Karena ada perbedaan informasi yang di dapat oleh kantor mereka. Waktu itu alat untuk mecari titik yang tepat masih belum secanggih sekarang. ada kesalah titik.” Cewek itu juga menyerahkan sebuah diary. Tulisannya bahasa enggris tok. Aku tak mengerti. Ada beberapa sket peta . lalu ada pertunjuk note dan tulisan angka angka.
“Hai, thanks ya “ tiba tiba Dharma muncul. Dia sudah ada dibelakang kami. Sambil ia memengangin balutan lukanya. Ia mencari tempat duduk. Menyamankan duduk di sampingku. Claude langsung bereaksi, ia pindah duduk membimbing Dharma duduk. “Its oke, saya yang mohon maaf tak mematuhi aturanmu. “ penuh rasa penyesalan. “Sebenarnya saya menyimpan juga senjata itu dalam ransel untuk jaga jaga. Tak ada niat untuk mengunakannya “ jelas Claude. Sementara Dharma hanya menyenggir menahan rasa perih lukanya.
“Saya yang berterima kasih. Kalau tidak, saya tidak akan hidup sekarang ini. “Heeammm” respon Claude pendek.
“Bagaimana pun kamu penolong saya, terima kasih sekali lagi. Aku berhutang nyawa.”
“Its, oke. Enggk seperti itu.” Claude merendah.
“Tapi kamu kapan kena cakaran itu. Sepertinya kami tak melihat kau tersentuhnya?” “Entahlah, tak ada yang kutahu, setelah kita kembali kesini baru ku tahu ada goresan itu. Rasanya panas sekali dan akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi “ ringkikan Dharma menahan sesuatu di pinggangnya.
”Namun sekarang rasanya sudah agak mendingan. Tidak panas lagi,” Dharma memberikan senyumnya sedikit ke gadis itu.
“Buku apaan tuh ?” tanyanya.
“Ini catatan jurnal bapaknya Claude “
“Jurnal apaan ?””
“Semacam catatan harian, kayak gitu.” Terangku sebisanya.
“Ooh, apa isinya. Rahasia…. ?”
“Enggak hanya catatan harian selama kegiatan My dad saat pengeboran “ sambut Claude memberi keterangan.
“Ooh, apa yang tertulis, berapa barel perkiraan dari tes geofisikanya ?”
“Enggak ada catatanya di sini “ cepat claude menanggapi.
“Loh, tapi catatan harian kerjanya?”
“Iya, ini catatan saat mereka belum mendapatkan titik pengeboran yang pasti”
“Lalu apa yang ia catat ?”
“Ini tentang Lubuk buaya dan Teratai putihnya” Claude menyambar saja buku ditangganku. Dia mulai sibuk membuka bebeerapa lembar di tenggah buku.
“ini “ ada secarik tulisan dan seket lokasi. Dharma melihatnya. Ia meraba sket lokasi. Ia paham karena dia seorang maping. Dengan meletakkan letak utara selatan yang di gambarkan sebuah segitiga lancip dengan gampang ia menuju dimana tempat yang di tandai.
Dibawah sket lokasi itu tertulis sesuatu. Tulisan cakar ayam berbahasa inggris. Dharma mengelengkan kepala. “what it mean ?. saya tidak familyar untuk tulisan seperti ini”.muncung Dharma sedikit monyong. Sekali lagi Claude menyambar buku itu seperti elang menagkap mangsa.
“Its oke. Disini tertulis. Malam yang lalu kami menemukan cahaya putih dikegelapan. Bersinar namun dijauhi kunang kunang. Sinarnya tidak terlalu terang. Namun kami menemukan cahaya itu. Siang hari ini kami menjumpainya kembali ternyata hanya ada sebuah bungga teratai putih dengan daun yang menutupi seluruh area rawa rawa. Di pinggirannya ada buaya buaya yang siap menjaga.” Claude merendahkan nada membacanya. Sebagai tanda catatan hari itu sudah selesai. Kemudian dia membuka puluhan lembar catatan dan meneruskan membacanya. Begitu finish lanjut ia translete “ Billy terluka, ada saran seorang penduduk untuk diobati dengan bunga teratai yang ajaib. Jadi kami kembali ke lubuk buaya. Sebelumnya kami membersihkan diri dulu hingga alligator menyingkir ke darat atau hilang. Mudah mudahan kami berhasil. “ tanggan claude membuka dua lembar lagi
“Hari ini Billy sudah tidak pucat, terlihat ia makin membaik “
“Tunggu dulu, jadi yang sekarang kamu berikan ini adalah ..?…” Dharma tak meneruskan tebakkannya. Cewek bule itu mengangguk kecil sambil membesarkan bola matanya. “ iyaap… its that”
“Apa lagi yang mereka temukan ?” sebenarnya pertanyaan Dharma itu sedikit menyepelekan. Namun Claude malah bersemangat. Kali ini di menyambar foto di tangganku. Sama seperti sambaran elang diawal tadi, cengramanya kuat menyambar mangsa.
“Ini urutan foto mereka ,“ keenam foto itu dia susun dari yang pertama.
“Ooke, ini pertama saat mau berangkat. Ini ketika dua bulan setelahnya. Lalu ini ketiga, sebulan kemudian. “ Dharma beberapa kali membolak balik belakang foto yang ada tulisan angka dan nama bulan pengiriman.
“Ini ke empat, oke dua bulan kemudian,” Dharma sedikit tertegun.
Lanjutnya, “Ini sebulan kemudian.” Sekali lagi dia terdiam sejenak. “ So yang terakhir tak tahu bulannya.” Untuk foto yang terakhir dimemperhatika seksama. Terlihat benar benar serius menatap wajah orang orang pada foto itu.
“Iya aku sudah tiga kali membandingkan tiga foto terakhir. Wajah mereka berenam terlihat lebih muda “ kuutarakan kesimpulan awalku.
“Iya, terlihat lebih muda mereka. Dengan latar view yang sama,“ sedikit bernada selidik. Dharma menatap wajah Claude. “Iya mereka memang bertambah muda.” Cewek itu bersemangat sekali menjawabnya.
“Semuanya ada di tulis my dad di catatanya setelah rekannya itu sembuh total. “ masih dengan semangatnya ia membukakan catatan itu lagi. Untuk beberapa lama Dharma membaca sesekali. Speet Reading-nya mempercepat baca sesekali juga ia memutar mutar posisi catatan untuk melihat seket atao goresan garis garis.
“Lalu bagaiman pengeboran itu ?. apa yang terjadi ?” kali ini Claude hanya menarik nafasnya lama sekali, lalu mehelakannya berlahan.
“ I dont know. “ kami pun terdiam masing masing.
“Apa sebenarnya yang terjadi ? benarkah peristiwa yang ada dalam mimpiku itu yang menimpa mereka ?. itu pertanyaan di kepalaku saat ini.
Lepas sholat isya, dua onggokan kayu disusun seperti piramide. Hampir setinggi pinggang orang dewasa. Lalu api mulai dinyalakan. Awalnya hanya asap saja yang terlihat. Lama kelamaan asap mulai banyak terbang lurus ke awan. Hingga setinggi pepohonan hutan. Gerak asap tersebut condong ke barat. Asap asap yang mulai terbawa anggin malam terlihat berangsur angsur terurai. Asap itu menyebar seakan ingin menyelubunggi hutan yang tersisa. Hampir sejaman api unggun itu mulai terlihat marak. Tumpukan tenggah dari piramide itu sudah terbakar habis. Lunang mulai menambah kayu kayu baru. Cepat sekali api itu meninggi, dan menerangi sekitarnya. Cahayanya bersamaan dengan rembulan yang juga sudah muncul. Dari atas teras Edi sedikit berteriak “ Bang Ramos cepat kemari naiklah,” ramos yang di panggil agak sedikit enggan. Namun Dharma memberikan aba aba untuk segera mendekati Edi di teras. Lunang pun segera mempercepat menambahkan kayu kayu kering dikedua unggunan itu. Lalu dia menarikku dengan lembut untuk naik mengikuti Ramos yang sudah duluan. Dharma tampak mengambil beberapa tongkat kayu, tak lupa senter besar yang tersangkut di atas sampan. Claude dan Michel hanya berdiri sambil bereaksi adanya pergerakan. Mereka memperhatikan para pria yang mulai mendekati huma. Ada rasa ketakutan mereka.
“Ada apa “ tanyaku sambil menaiki tangga.
“Sini , itu ada sinar sinar kecil di balik semak, “ ungkap Edi menunjuk dengan muncungnya. Ia tak berani mengangkat tanggan. Sinar sinar kecil yang berpasangan itu seakan terdiam di balik semak. Namun semangkin besarnya kobaran api unggun membuat bayangan terang api tersebut mulai mengintai sosok yang berada dibalik semak. Kian meninggi lidah api membuat cahayanya bermain main seperti sorot lampu mercusuar. Menyelisik kegelapan di sekitar. “Ada dua , ..” kata Lunang memperhatikan kegelapan.” Apa sih..?” bisikku. Nadaku bicara lembut sangat pelan menyeimbangkan dengan nada bicara mereka.
“Jangan ditunjuk. Dari api unggun ekitar sepuluh meter sebelah anak kayu lempisi. Nampak .?” kata Lunang memberi arahan.
“Opss, masyaallah . Bener ada dua ekor disana. Sedang menunggu sesuatu.
“Apa yang mereka perhatikan disana ?” tanyaku
“Pasti si orang yang melukai teman mereka tadi siang “ Herman menyeletuk. Claude yang merasa bersalah langsung merubah posisi berdirinya. Ia bergeser ke tenggah. Gadis itu mendekat di belakang Dharma. Dia benar benar merasa khawtir.
“Atau kita serahkan saja dia sebagai tumbal, “ tiba-tiba Dharma memprovokasi. Sepontan tanggan Claude menberi tinjuan kecil tanda kesal. Dengan cepat ia meraih siku Dharma dan bersembunyi di balik pinggulnya. Dharma terkejut mengetahui respon cewek itu. Sedikit tersenyum menang .
“Ahk… “ rintihnya kesakitan. Reflek kecil seakan lukanya tersenggol.
“Bang ngg “ renggek Claude manja.
“Iya sudah, tenang aja “ akhirnya dhrma ingin menenangkan. Kami mengumpul rapat. Sementara itu bayangan sinar yang berpasangan itu tak juga bergerak. Masih mematung di tempatnya. Sama juga dengan kami , masih mematung tanpa banyak suara. Masih sama sama memperhatikan dan menunggu. Purnama sudah berposisi di atas kepala. Gelap malam hanya di bawah pohon pohon yang tinggi. Sementara di hamparan rawa tampak jelas bermandikan sinar bulan. Goyanggan lidah api yang di permainkan angin malam mengerak gerakan bayangan disekitarnya. Bayangan binatang buas itu juga sesekali ter pantau. Namun “ no…no..” Claude sedikit was was. Ia melihat semaraknya api unggun mulai redup. Bunga bunga bara yang beterbangan menandakan kayu sudah mau jadi arang. Piramida yang tersusun mulai roboh terlalap sudah. Sisa kayu tak ada lagi. Lunang pun mulai tarik diri. Berlahan ia mundur mendekati tangga. Setelah yakin unggun itu meredup , Lunang mulai bersiap ke teras.
Seiring meredupnya api unggun, area sekitar berlahan remang. Cahaya unggun edup mulai tertular remang remang. Tiga ekor binatang buas itu telah keluar dari tempat tegaknya. Menerobos belukaran dan mendekati perapian. Asap putih tanda sisa jasat kayu yang masih ada sesekali mengepul. Namun tiba tiba sisa kayu itu pun tersambar api . sebentar aja kayu yang terakhir telah menyala menjadi bara. Masih menyala tatkala anggin malam meniupnya pelan. Dan terus menyala sepanjang angin malam itu menyentuhnya. Kini binatang buas itu mengintai kami, menunggu didekat hangatnya perapian. Tak ada yang merasa ngantuk malam ini. Semua sedang mawas diri.
Hanya sisi yang menghadap sungai saja yang tak dijaga. Ketiga penjuru di awasi masing masing. Binatang buas itu bisa saja melompat dan menerobos. Untung saja tidak ada gajah. Kalau ada binatang itu pasti sudah roboh huma ini di seruduknya. Syukurlah hanya binatang harimau saja yang ada. Ah, aku hanya menghibur diri . menghilangkan rasa ketakutanku terhadap situasi ini. Sebuah auuuman keras mengejutkan kami. Sontak kami berdiri, terjaga bahkan hampir setengah menjerit. Seekor harimau besar di dekat tangkahan. Dengan garang dia mendekati kumpulan itu di perapian. Ketiganya mencoba memberi perlawanan. Auuman mereka saling berjawab. Tak terduga harimau yang baru tiba langsung menerjang, kedua binatang roboh terbaring di tanah. Sisa bara api sudah bersamburan entah kemana. Tak ada lagi sisa cahaya baranya. Dalam keremang remangan itu hanya terdengar suara pekikkan auman yang silih berganti. Dan suara gemericik dari kayu kayu belukaran yang patah. Ranting ranting yang tertimpa pergulatan itu. Dari balik pohon terdengar auamman yang sedikit melonglong . sepertinya ingin perkelahian itu di hentikan. Lolongan seperti suara srigala, tapi bukan. Aku tak tahu ternyata ada dua pasang mata disana. Keduanya rupanya bagian dari sekawanan harimau. Ketiganya meraung sambil melangkah mundur. Tanpa menunggungin lawan mereka surut kebelakang.
“Ini binatang apa bang ?” tanya Claudia.
Herman keceplosan “Itu yang menjaga bang Dharma “
“Huusss” Herman menutup mulutnya, seakan menyesalin apa yang barusan ia ucapkan. Dharma hanya memandanginya, ada rasa tak enak. Dharma pun pergi ketempat ia beristirahat. Dengan masih diam. Sesekali ia meraba balutan lukanya. “Apa maksudnya” tanya Michel pada Herman.
“Embahnya pacar bang dharma “
“What ?” Herman tak menjawab. Pria itu ngacir ke bawah pergi ke dapur. Michel memandang Claude. Tak menemukan jawaban akhirnya kedua orang itu memandangku.
“ what…?. saya tak tahu apa apa” aku menghindari banyak pertanyaan, aku segera saja ke tangkahan , mensucikan diri. Lalu mencoba menenanggkan perasaan dengan tahajud sebentar.
Kreator : Darmen Eka Susilo
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Rabu bag2.
Sorry, comment are closed for this post.