KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Selasa bag1

    TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Selasa bag1

    BY 21 Agu 2024 Dilihat: 21 kali
    TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Selasa_alineaku

    Hari Pertama, Selasa.

    Masih seperti tadi malam, jalanan yang kami lalui masih bergelinjang gelinjang. Menembus kabut tebal. Hawa pagi yang masih dingin benar benar menusuk tulang. Jam telah menunjukkan  hampir pukul tujuh pagi tapi matahari belum muncul. Sinarnya  masih samar di belakang jalan kami. Di Ujung jalan yang semangkin kami tinggalkan. Walau  tampak terang tapi masih malu malu. Sementara hari dingin sisa dari malam masih bertahan. Setelah melewati pepohonan hutan muda kini seperti baru keluar dari sebuah lorong yang terasa lembab. Hamparan tanaman sawit yang masih muda. Hijau setengah membiru tua. Masih dipayungi kabut pagi yang menipis. Terlihat embun itu bergerak naik keatas bersamaan dengan sinar mentari yang menusuk tanah gambut kecoklatan. Dari kejauhan bayangan rumah papan dua tingkat sudah terlihat. Suara bising yang kemarin tak terdengar. Senyap dan  masih sunyi. Hanya dentuman mesin Genset yang menderu lembut di belakang rumah. Ketika kami sampai, cahaya Bolam baru padam. Dan tak berapa lama juga suara Deru Genset juga hilang berlahan. Sunyinya sangat sempurna.  Tepat jam Enam  lima puluh Lima menit rombongan Ramos beserta para Bule  tiba. Mobilnya menepi sembarangan di pinggir jalan. Anggota Dharma tak menunggu komando, mereka segera berkemas dengan bawaan masing masing. Logistic bagian  Herman dan Wawan. Siap mengikat perbekalan itu di sepeda motor mereka. Sebuah TS 125 kuning yang di temani oleh  YT  lanang, begitu mereka menamakannnya.  Setelah mendapat masing masing bebannya. Semua bersiap jam tujuh tiga puluh mereka melangkahkan kaki bergegas. Dua mobil dengan dua sepeda motor menuju patok Lima Ribu. Setelahnya untuk sepeda motor menuju arah Utara, sementara mobil berbelok ke kanan ke arah Selatan. Sesekali ban mobil terpuruk di antara lobang lobang gambut. Diantara patahan kayu gambangannya. Terbenam, walau masih terus mengasing. Pada saat tersebut sangat bergunalah mobil double gardan. Setengah jam sampai di persimpangan sebuah jalan yang masih berupa rintisan. 

    Awalnya dirintis team survey kemudian dibesarin oleh Excavator yang melakukan Rooling saja, begitu keterangan Dharma. Dharma segera menyuruh anggotanya bongkar semua muatan mobil, aku kebagian membawa sekardus mie instan. Yang lain sudah terbagi. Bahan makanan yang dibawa hanya untuk sekali makan aja. Jadwal makan siang nanti di centong satu. 

     “Oke sudah siap ?” Dharma memberi aba aba. Bule bule itu hanya mengangguk saja. Mereka menyiapkan kamera, loution moscquy dan tabir surya. Tiga anggota Dharma segera memenuhi punggungnya dengan barang bawaan. Dan menyiapkan Parang panjang  terhunus di tangan kanan. Sementara Dharma juga menyiapkan sajamnya, ia ikatkan di pinggang. Parang itu sedikit lebih pendek namun terlihat agak tebal. Ada kesan relief di gagangnya.  Tas pinggang, topi, tak lupa juga tempat air minum. 

    “Bang , jalan ini terus kemana ?” Tanyaku pada Dharma yang sedang menyiapkan bawaannya. 

    “ Itu ke Alur Rawa , ada Tangkahan di sana sekitar dua Kilo “ jelasnya. Ku menatap jalanan tanah yang masih di apit pepohonan. Seperti sebuah lorong. Namun di ujung sana seakan ada yang melambai lambai. Bayangan itu samar tertutup kabut yang masih awet.

    “ Oke ayo kita duluan “ ajaknya kemudian . aku tak menolak  segera mengikuti langkah Dharma. Berpijak dari akar ke akar, atau ranting ranting yang  ada di jalur jalan. Dua orang anggota yang bernama Edy dan Lunang lebih dulu di depan kami. Mereka bersiap sebagai perintis jalan.  Sedang  dua orang lagi ada di paling belakang membawa  terpal, tikar termasuk setok air mineral juga. Ku short Dharma lagi memeriksa peralatannya, merapikan sepatu boat.  Terlihat seperti terowongan yang lurus. Di kejauhan ujungnya terang.  Lebar tiga meteran diapit oleh pohon dan  belukaran. Baru beberapa langkah , Ramos yang sudah sibuk. Tangannya mulai memukul mukul nyamuk liar. Sesekali ia menempeleng di tangan.  Kelihatan loution anti nyamuknya tak mempan. Sementara Claodia terus berada di belakang Dharma, ia mengikuti setiap langkah nya. Tapak demi tapak ia jejaki di setiap punggungan akar akar pohon . Sesekali di atas batang kayu. Gerakan itu juga diikuti Mihcel dan Bernard. Mereka sepertinya sudah terbiasa berpetualang di alam bebas. Jeritan pukang yang saling berbalas tak mengusik keberanian mereka. Irama itu dinikmati sebagai alunan alam. “Berapa jauh yang kita tempuh ?” Claudia mendekat membuka suara. Dharma merespon cepat 

    “ Dua kilometer kita sampai di camp Centong satu “ ungkap Dharma tanpa menoleh. Matanya fokus pada langkah langkahnya. Konsentrasi untuk tidak menginjak gambut yang berwarna kecoklatan. 

    “ Biasanya kalau di dalam hutan seperti ini, jarak itu ditempuh sembilan puluh menit “ Lanjut Dharma lagi.  tiba tiba Claodie berpekik,  sepotong kayu yang dipijaknya bergulir. Hingga pijakannya tertumpu pada satu kaki. Namun karena tidak siap  posisi seperti itu, tubuhnya jadi terdorong ke depan. Gruubak… Gadis itu terjatuh cepat. Dharma hanya menoleh sesaat dan menghentikan langkahnya didepan. Michel yang mempercepat langkahnya. Ia menopang tubuh Claudia agar tak jatuh di gambut.  Ia cepat menyanggah dan mengangkat tubuh itu. “ you oke ?” “ oke “ jawab Claode dengan sedikit nerfausenya yang tersengal.  Kami yang jauh berjarak di belakang hanya benggong. Hanya memperhatikan saja.  “ you oke “ suara Bernad dan Ramos yang hampir bersamaan. Menanyakan situasi yang di depan. “ yaa… I am fine “ jawab Claudia setengah berteriak mengimbangi suara mereka. Dharma terus lagi melangkah kali ini gerakkannya lebih cepat.  Sementara Claudia dan Michel saling berpeganggan. Mereka seiring sekarang.  langkah kami juga ikut semangkin cepat. Namun Dharma kelihatan sedang mempercepat  posisinya merapat ke depan. Mendekati Edi dan Lunang yang semangkin gencar menebaskan parangnya. 

    Sejak berangkat tadi, mereka berdua tak pernah berhenti menggayunkan senjata tajam itu. Menebas kayu yang merintangi jalan, maupun tunggul kayu kecil yang ada di tenggah jalur. Sesekali mereka mengowaki kulit pohon hanya untuk sekedar memberi tanda tanda. Hampir sepuluh menit kami ngejar Dharma didepan. Hingga kami mendapati mereka bertiga lagi berjongkok. Mereka saling menatap tajam lalu membahas sesuatu  yang serius. Mata Dharma kelihatan liar mencari sesuatu diantara belukar. Micheal mengajukan pertanyaan. Lalu Dharma menunjukkan  sebatang kayu yang besar di samping  jalur perjalanan. Batang kayu yang berdiametr besar tercabik cabik. Lingkar tengah  batang pohon tampak bolong. Serat serat kayu yang menggangga.  Kami diam menunggu tebakkan mereka. Hembusan angin dari depan jalur itu sedikit kencang. Membawa hawa hangat menandakan hari sudah meninggi. 

    Dua anggota team yang paling belakang baru saja sampai menyusul kami. Dengan sedikit terengah mereka melemparkan punggung bersandar . Mengistrirahatkan tubuh masing masing.. 

    “ Beruang tu yang buat, dia cari madu lanceng.” Sekenanya sihendra ngomong.  

    “Eeh, asal ngomong kau, lihat ini “ Lunang merasa keberatan didahului. Lunang melihat di sekitaran. Beberapa anak anak kayu yang patah ia raba, dan memperhatikan akar akar pohon yang tampak terkupas .serta sebuah jejak seretan begitu mengkhawatirkan. Segarisan noda darah yang hampir menghitam tergurat mengikuti arah seretan. Ramos dan Bernard merapat . aku tak mau ketinggalan segera ikut merapat. Sama sama melihat sekitaran pohon yang besar itu. Ada dua kali ku ambil foto . satu pada pohon yang terkoyak setinggi dua meter. Berjarak dua meter diatasnya ada kerumunan lebah kecil yang hitam lagi bersarang. Foto yang kedua ku ambil mengikuti jejak geretan sesuatu yang mengarah ke kiri hutan. 

    “Darah orang ?” Clauode bertanya ke Dharma. Tiba tiba Lunang dan Edi mensiagakan parangnya . sejam itu terhunus mengikuti gerakan bayangan hitam dikanan jalur. Dhrma juga menghunus belatinya. Ia gengam sambil waspada mengikuti gerakkan wajah kedua anggotanya.  Hendro dan temanya segera melompat merapat ke tenggah rombongan. Karena kudukku ikut merinding, cepat aku mengikuti mereka.  Tak terasa lagi angin yang berhembus sejurusan  mengikuti jalur . Sinar matahari yang menyusup dari daun daun diatas hutan masih belum mampu membuat hutan itu benderang. Masih samar samar. Masih terasa batang pohon itu yang masih berwarna hitam. Seperti tonggak tonggak pancang yang hitam. 

    Serasa ada bayangan yang bergerak setinggi satu meter dari tanah.  “ aauuum “  lalu sebuah jeritan kucing yang menyambut suara itu. Saling gayung bersambut. Berbalas yang saling melengking. 

    “ Apa itu “ suara Claude pelan . Dharma yang didekatnya cepat menutup mulut gadis itu. Dan ia juga menutup mulutnya sendiri dengan jari telunjuk “ sssttt “  untuk beberapa saat Claudie membiarkan tanggan Dharma di mulutnya. Ia hanya menahan nafas sambil meliarkan bola matanya mengikuti arah suara raungan .  Lunang dan Edi memberi insyarat pada semua orang untuk menepi ke pingir kanan jalur. Hanya satu sisi tujuan mata yaitu ke sisi belakang dari batang kayu yang besar. Bayangan yang bergerak di belakangnya sudah ada tiga yang saling bergerak. Suara ringkik yang melengking ikut terdengar. Saling bersautan berbalas. Ketika suara pukang juga hilang. Pagi itu terasa mencekam.  Tiba tiba Ramos  melepaskan tembakan . rupanya ada pistol yang mendadak ia keluarkan dari pinggangnya. Namun suara letupan itu tak mendiamkan raungan. Pekiek ringkikan  semangkin mengencang. Dor, doorrr. Dua kali letupan itu menyusul hanya berjeda beberapa detik. Gerakan kabur dari bayanggan melesat hilang. Hanya suara sibakan belukar yang ter-setret sesuatu. Jantung seakan berhenti. Suara gaduh  10 meter di depan jalur , begitu berdesak. Wuuaaarrr, nggeek ngeekk. Segerombolan babi hutan menyeberang jalan. Keluar dari hutan masuk ke seberangnya. Sangat riuh, sesaat kemudian. Semua masih diam. Seakan menunggu sesuatu yang lewat. 

    “Bayangan itu apa ?”. semua tetap diam di tempat. Teguh seperti pepohonan. Hingga hanya suara desiran angin yang mengesek dedaunan yang terdengar. Dengan begitu emosi Dharma merampas Senpi di tanggan Ramos. Pria yang perawakanya lebih tinggi memberikan perlawanan. Ia ingin mempertahankan senjatanya. Dharma dengan cekatan menepis serangan balik  lalu mebalikkan telapak  tangan dan mengunci jari telunjuk Nya. Ramos merasakan tangannya tak berkutik. Jari itu seakan menjadi pusat gerakaknya. Ia harus berlutut. Namun Ramos tak habis akal , tanggannya yang lain meraih sepotong kayu. Ia siap menyerang  dengan pukulan mematikan. 

    “ Ramos, enough “ teriak Michen.  Padahal Dharma sudah siap sedia menerima pukulan itu. Lunang dan Edi juga sudah siaga. Siap untuk memukul  kayu tersebut. Seperti roket hoplin yang siap melumpuhkan setiap rudal yang datang. Namun Niat Ramos sepertinya tak dilanjutkan. ia hanya menghempaskan kayu nya. “ aaakkh.. “ teriaknya sambil menahan sakit jarinya yang semangkin ditengkuk Dharma. Kemudian  Dharma melepaskan kunciannya. Menghempaskan tanggan lawan begitu saja. Menguasai pistol , ia kunci pengamananya. Lalu dilemparkan ke Hendra. Dengan gelagapan  pria itu menangkap. Ia mampu menangkap senpi tapi barang bawaannya terhempas jatuh. “Untuk  apa ni Bang ?”  

    “ Pegang aja, kalau dia sekali lagi  betingkah , tembak kakinya “ tajam mata Dharma menatap Pria Timur itu. Bernad membantu temannya berdiri. “Came on “. Claudea hanya menatap Dharma dengan senyuman tipis di bibirnya.

    “ Kalian ngapain”, tanya Dharma , menyergah Lunang dan Edy. 

    Dharma menatap kayu yang dipegang masing masing orang itu. Menyadari hal tersebut keduanya melemparkan kayu di tanggannya sebarangan ke samping jalur. “Enggak bang , bersihkan jalan “ sepertinya mereka mencobacari dalil.  Keduanya pun sibuk menghunuskan parang lagi.

    “ Nang, coba cek ke samping , pergi berdua “,  keduanya melangkah cepat ke balik pohon meranti buaya. Sementara itu Dharma terus berjalan ke depan. Ia memeriksa tempat keluarnya babi babi hutan tadi.  “ huuu.. huu “ teriak Dharma dikesenyapan hutan. Resonansi suaranya ia arahkan ke Lunang dan Edi. Tarzan kayaknya, aku sedikit senyum senyum. Pipinya tampak kembang kempis  membantu suara yang keluar dari mulut membulat. Sekejap saja keduanya juga memberi suara sahutan “Huu ha.. huuha “  sementara yang lain , termasuk saya  hanya melebarkan mata sambil mengikuti gerakan suara tebasan di balik pohon meranti Buaya. Pohon itu menjulang . terlihat satu satunya yang  paling tinggi . di sekitaran itu. Beberapa daunnya yang menggering rontok diterpa angin. Sementara yang masih hijau hanya mengeluarkan gemerincik. Mengikuti alunan hembusan angin. Dharma dan dua yang lain keluar dari jejak babi hutan keluar. Lunang menenteng sesuatu. Berwarna kuning dengan beberapa bintik bintik coklat. Ada bulatan bola bola hitam sedikit lebih besar dari bintik.  Caudia menjerit  seakan tak percaya “ Cat… Kucing ?”  ia mendekati Lunang.  

    “ Ini yang tertembak, mantap bang “ ucap Lunang seperti mengejek Ramos.  Dharma hanya menatap dingin ke Ramos dan Claude lalu ia memeriksa selembaran peta kerjanya. 

     “Alfa Hotel Alfa sera monitor ?.  Hotel Kilo satu panggil. “  Suara Handl Talke terdengar berisik. Panggilan itu terrulang hingga tiga kali, baru Dharma memberi respon. “ Hotel Kilo Satu, disini Alfa Hotel Sera Bongkar. Dimana posisi ?”  

    “ Kami sudah merapat Di Titik Satu Pak, sudah siap meluncur ke lokasi Milk kilo. “ 

    “ Oke lanjut aja, ke Titik Dua, perjalanan di sepuluh  satukan “ tegas Dharma.

    “ Oke pak  Lapan Anam pak “,  “ oke “ 

    “ Ada yang mau di bongkar lagi  pak ?’”

    “ oke negative, Alfa Hotel Sera Out “ 

    “ oke pak Stand By “

    Dharma menyematkan HT nya ke pinggang. “ Kubur itu, agak dalam. “ perintah Dharma pada Lunang. “ ayo, cepat “ ajak Edi , ia menemani temannya.

    “ Apa itu, ?” ingin tahu Claude. 

    “ Kucing kan ? “ tanyanya kemudian dengan  sedikit ragu ragu. 

    “ Iya, Kucing hutan, kami menyebutnya Harimau akar “ terang Dharma 

    “ Yang melengking suaranya itu.  Dia bisa memanjat  pohon. Cakarnya Tajam ,giginya bertaring. Selalu hidup berkelompok. Pedendam. Jika ada yang melukai anggotanya mereka akan balas dendam mencari pelakunya “  jelas Dharma sambil melirik sinis ke Ramos. Mengidik lehar Claudie, “ Luka bayar luka, Nyawa balas nyawa “ Lunang menakut nakuti. “ Buas sekali mereka”,

    “ Hello neng, ini Hutan.  Binatang, binatang Buas lah. Kalau mau yang jinak  di Ragunan “. 

    “ Ragunan  ?“ ulang Claudei.  Sedikit Gaya berdiri Ramos  berubah. Seakan emosinya yang sedari tadi menyala,  sekarang tampak kendor. Bernad hanya menenangkan, ia menepuk pundak temanya. “ Apa akibatnya buat kita ?” potong Michel .  Dharma mengangkat bahunya, dengan wajah yang sedikit pesimis.

    “Yang pergi bisa saja mengumpulkan kawanan yang lain. Atau mengundang warga hutan yang masih terjaga. “ untuk sesaat Dharma menatap ke belakang. “ jalur kita lewati ini  adalah hutan terakhir yang masih tersisa” Dhama segera berlalu, ia melambaikan tangannya pada ku. Lambaian itu memberi aba aba, agar aku segera bersamanya di depan. “ ayok,  kita di depan, waspada ya “ aku hanya menggangguk. Bersiap. Claudia juga  masih berpeganggan dengan Michel membuntuti kami di belakang. Lunang yang sudah selesai menguburkan korban tembak tadi , meyegerakan menyusul kami. Hendra dan temanya malah hampir menyusul kami. Mereka sudah melampauin Claudia dan Michel.  

    “ Kalian ,nggapain , mau duluan ? “ sergah Dharma menyilakan ke depan. Hendra surut langkah. Ia mengeleng .ada sedikit kecut keberaniannya. Berhendi dan terdiam sedikit mengidik melihat ke sejurusan jalur yang akan dilewati. Seperti pelawak yang kehabisan humor. Diam mematung menunggu giliran di perintah. Ramos dan Bernat juga mencoba merapati . Tak mau berada di belakang. “ Bang kami banyak bawa makanan, nanti kami duluan yang di incar” renggek Herman. Wajah  memelasnya seperti wajah komedian, lagi apes. “ Ya enggak apa apa, sekalian aja kalian  kasih makan “ bentak Dharma tiba tiba.

    “ Bang…bang ” Herman dan temanya serentak. 

    “ Ngono waee, wedii , kayak bocah “ Edy nyeletuk. Dia segera pergi ke depan menemani Lunang yang sudah siap bergerak.  Dharma merogoh pinggang Herman “Nih,… kalau ada sesuatu yang mencurigakan , tembak “ Dharma menempelkan pistol tersebut di tanggan Herman. Lalu, di seakan memberi ucapan ke Ramos “ Sebaiknya kau punya izin  kepemilikan Senpi “ ancam Dharma sedikit geram.  

    “ Ayo , jalan”

    Pergerakan kali ini semangkin di percepat. Memburu waktu yang sudah terbuang . hingga beberapa menit saja kami sudah jauh di depan.  Lunang dan Edi hampir Dua puluh meter menerobos di depan. Sementara Claudi dan mIchel bejarak Lima meter bersama Ramos dan Bernatd. Herman dan temanya tetap di belakang. Berdua mereka bersusah payah memperpendek jarak agar tetap terlihat kami. 

    Kami sudah beberapa kali berhenti untuk istirahat sebentar, lalu bergerak lagi seakan tak memberi waktu berlama lama. Di atas kepala kami cahaya  matahati benar benar mengigit. Pundak dan sebahagian dada sudah pada basah karena keringat. Tiba tiba Lunang berteriak sekuatnya. “ Wouuhu, sampai “. Herman pun langsung menyambutya. Sedikit respec ke girangan. Tak menunggu lama mereka kian menambah cepat langkahnya. Sebuah  Gubug panggung. Lantainya diatas gambut sekitar semeteran.  “ Ini bekas Gubug siapa ? “ 

    “ Gubug Meggy Zeet. Gubuk Derita”, canda Dharma berlahan seakan tak ingin diketahui oleh yang lain. “ Sengsara banget, tinggal di tengah hutan.  “ Centong Satu “ di Papan depan tertulis jelas. Dengan Arang kayu, sebesar Font  48.  Kami menyandarkan punggung ke dinding pada posisi pilihan masing masing. 

    “ Mann, masaklah ,kita makan siang di sini “ 

    “ Jangan lupa kopi dulu ,” Lunang nyambar begitu saja.  

    “ Buat sendiriiii “ protes  Herman. Dia bergegas membongkar bawaannya. Melihat Herman merajuk, Lunang menyerah. 

    “ Yau udah aku buat dapurnya, “ Lunang menawarkan Solusi. Herman diam saja.  Sementara Edi ikut juga beranjak, “ Yok, cok . kita cari kayu nya “  mereka berdua masuk ke semak semak .  Sebentar kemudian terdengar  suara bacokkan besi ke batang kayu. Beberapa menit kemudian asap di tunggu kreatif itu membumbung. Bertebaran di sekitar, mengikuti arah angin yang berhembus tak terarah. 

    “ Kita baru dua kilo, masih ada dua kilo lagi sampai di camp centong dua “ Dharma membukakan peta lapangannya.  Sebuah garis lurus berjarak dua ribu meter. Lalu dia meneruskan garis tambahan sepanjang dua ribu meter lagi. Dengan skala satu berbanding sepuluh ribu garis tersebut hanya berjarak beberapa senti aja.  Setelahnya Dharma menyambung dua ribu meter lagi.

    “ Di sini Centong tiga. Dari sini sekitar Lima ratus meter kita dengan lokasi yang mereka cari. Tapi kita harus membuat rintisan .” ungkap Dharma sambil melihat ke Claude. Gadis itu pun seakan mendapat signal di perbolehkan medekat. Ia meringsut punggungnya merapat.  Sementara Bernat sambil dudukan ia memotret sekitaran , tanaman kantong semar serta, beberapa anggrek yang menempel dipohon ia poto dari jauh. Beberapa pinang botol yang menawan dengan garis merahnya, membuat bule itu berdecak. Ramos masih menjaga jarak. Entah apa yang ia pikirkan. Sorot matanya kadang terlihat sinis tapi sesekali terpancar rasa bersalah.

    ”Jadi jalur rintisan di sini ada persimpangan. Yang ini arah kemana ?” ku perhatikan ada semacam jejak rintisan yang memotong jalur kami. Sekitar sekiloan dari sini arah kesana menuju sungai, rawa rawa gambut “ Dharma menunjukan  arah.” Rawa rawa Lubuk Buaya “.   “ Berarti dari jalur sungai, lokasi ini dekat ?” 

    “ ya, dari sungai hanya sekiloan aja, jalurnya lebih jelas karena ada alur air yang bisa kita ikuti “ Dharma merunutkan mata penanya menunjukkan jalur Sungai lalu mengikuti garis 1 pt sebagai gambaran alur parit. “ Tapi kita tak memiliki Miskor “ “ Miskor, apa tuh “ tanya Claudei heran .

    ” Sampan dengan mesin kukuran kelapa “ terang Dharma. Akupun tak paham. “Whats? Mean…” ulang Claudei kian heran.

    “Perahu  kecil yang muat untuk empat orang, di beri ….” terputus sejenak ucapan Dharma. Matanya sekan berpikir mencari sesuatu. 

    “ Sampan tersebut di beri mesin jet, speed jet yang kecil “ terang Dharma. Ia menarik nafas. Aku mulai mengerti , sudah bisa ku bayangkan. Namun Aroma kopi sudah merusak penciuman hidung. Herman sudah membagikan cangkir cangkir plastik yang berisi black kopi. Serumit apa pun tantangannya aroma kopi pasti lebih mengoda.

    Claudei menyambut kopi yang disuguhkan, walau  agak enggan saat pertama ditawarin.  Kelihatan sedikit ragu, namun ia pastikan meraih cangkir plastik itu.  Michel dan Bernard menolak . sementara Ramos  hanya menunjukkan air mineralnya.   Ada dua kali Dharma mencoba menghirup kopinya. Kemudian meniup nya coba lagi untuk menyerumput. Begitu dapat, ia menarik nafas panjang seperti selebrasin sebuah kenikmatan. Caraku pun sama seperti itu jika menikmati kopi yang begitu nikmat. Claudie mencoba hal yang sama “ haaaa..” ia kepanasan. Ia beberapa kali mengusap usap bibirnya. “ masih Hot,… biar dingin sedikit dulu “ kata Dharma dengan senyum maklumnya. Gadis itu hanya meletakan kembali cangkirnya di lantai.  

    “ So, sebenarnya apa misinya ke lokasi bekas anjungan itu ?” tanya Dharma sedikit bernada iseng.  Bahkan  menyerumput kopinya sekali lagi.. Gadis itu menatap Dharma sesaat. Terlihat sorot mata bulenya fokus ke wajah Dharma. 

    “Oke…. saya percaya kamu orang yang baik, “ nada sedikit senang. Dharma hanya tersemyun kecil. “ Ya kamu orang bisa di percaya. Penuh tanggung jawab dan punya dedikasi “ Claude merubah arah duduknya.

    ” No,  no… saya orangnya tak seperti    yang kelihatan.  Saya bukan orang yang sempurna “ tolak Dharma. sedikit sinisnya. Ada penolakan  dibawah sadarnya. 

    “ Oke saya tidak bilang kamu   sempurna tapi , kamu orang yang baik. “ 

    Mendengar perkataan itu Dharma mengangkat bahunya kelihatan ia menyerahkan bagaiman orang lain menilai dirinya.  “ So, jadi apa sebenarnya yang ingin di lihat ?” ulang Dhama pada pertanyaan isengnya yang lalu. Sempat menarik nafas sekali , Claudie kelihatan ingin mengungkapkan maksud mereka. Ada sedikit canggung, terasa berat apa yang ingin ia ucapkan. 

    “ Begini …” akhirnya Claudie mengawali pembahasannya. “Lokasi yang ingin kami lihat itu adalah , lokasi bekas anjungan pertambangan minyak. “ 

    “ Kalian dari pertamina ?” potong Dharma. 

    “ Bukan, “ 

    “ Dari Perusahaan BUMN , Caltex, atau Chavron, ..” Dharma merentetkan tebakannya. Lalu mencoba mencari yang lain. 

    “ No.. no, bukan seperti itu “ ada sedikit kesal.  Dengan berlagak seorang reporter ketika tak menemukan jawaban dari Nara sumbernya. Ia mencari sesuatu yang terlewatkan.  Dharma terdiam .menunggu. ia  membiarkan angin berhembus berlahan membawa asap aroma kopinya. 

    “ Lokasi itu adalah tempat Ayah saya bekerja “‘  

    “ buurss,” Dharma menyemburkan kopinya. Air hitam itu menyemprot begitu saja. Dharma tersedak . “Napa ?, engggak salah ?“  

    “ Iya ayah saya , my dad. Sekitar tahun seribu sembilan ratus tujuh puluhan” Dharma  menatap ku, seakan mencari sesuatu. Aku hanya tersenyum dengan sedikit enggak percaya. Hutan Rawa gambut ada anjungan minyak bumi. Sekarang jamannya ngebor minyak itu di lepas pantai.  Tahun di zaman yang telah lebih dua dekade. “Oke dengar dulu, jangan di intrup dulu, please “ mohon Clauode.

    “ Dad  saya itu memimpin sebuah team eksplorasi. sebuah kontraktor dari Australia. Dengan tujuan nanti setelah  menemukan baru mereka jual ke perusahaan  Amerika” “ Wah, masak. Sesederhana seperti itu.?” 

    “ ya, begitulah simpel ya. Mereka melakukan Survei Geofisika untuk mengetahui indeks Hidrokarbon saja”

    “ Oke, orang Australia ke sini, ngebor. Setelah dapat jual ke Amerika. Gila betul . emang negara ini enggak ada yang punya apa ?’” jiwa orator ulungnya kumat. Dhrma kian bersemangat, 

    “ Hey Guyes,   of couse , well… “ dan entaah apa lagi kosa kata english yang di ucapkan Dharma sebagai ungkapannya. Ia benar benar binggung. It’s Imposible. Aku pun berpikir demikian. Bayangin ada kisah bagus yang sedaang aku ikuti. Seperti ini.  “ Oke Bang tenang dulu. Tenang. . ambil nafas dulu “ ajakku agar kondisi setabil lagi. “ Ngopi dulu sebentar “ lanjutku. Aku melirik ke gadis itu. Indah benar bola matanya.  Bersinar bagaibatu permata. Ku kedipkan mataku ,tersadar ah…ah. “ Bang kita dengar aja dulu. Mana tau ada yang bisa kita dapat.  Setidaknya kita dapat cerita bagus. Cerita horor. Atau banyolan ,“ senyumku mengajaknya untuk tenang. Apalagi ketika kulihat tiga pasang bola mata para turis itu yang menatap kami dengan tajam. Seakan ada rasa benci. Mungkin karena kami tak mempercayain cerita Claudie. Aku hanya menahan ludah sesaat, lalu menelanya lagi dalam dalam. Ku sibukkan tanggan dengan pena . sekejap kemudian aku mencoba mengoret oret buku notes.

    Ku ukir di sudut kanan, kalimat basmalah, lalu buat tanggal hari ini.

     Oke., ku buat judul Journey of Claudie. Ku beri garis bawah dua strip. Ku lihat Dharma  kembali. Dia mulai siap denngan situasi ini. Dua kali ia teguk kopinya. Masih ada setenggah cangkir lagi minuman itu. Menyamankan duduk, lalu bersiap beraudies dengan  gadis bule Australia itu. Gadis yang sedang mencari jejak ayahnya, Dad nya. “ Oke kita lanjutkan cerita ini “ wajah Dharma serius. Matanya fokus. 

    “ well. My Father. Dad bersama teamnya masuk ke lokasi ini secara sembunyi sembunyi, mereka melakukan ofservasi sampai pada survei Geofisika. Hanya beberapa bulan saja, mereka masih memberikan kabar di tahun itu. Hingga  setelah kelahiranku, my mom tidak dapat lagi beritanya.  Tiba tiba mendengar kabar bahwa anjungan mereka terbakar.  Tak ada kabar mereka masih hidup. Karena misi mereka ilegal, banyak pihak yang diam. Termasuk pihak kontraktor dari Australia sendiri. Insiden itu mereka rahasiakan dari pemerintah. ..jadi my Mom”

    “ Tunggu…, saya potong. Your Father dengan seluruh team terbakar. Karena masuk illiegal sehingga peristiwa tersebut di rahasiakan. Pemerintah tidak mengetahui sama sekali “ Nada bicara Dharma sudah seperti Jaksa Penuntut Umum di pengadilan. Claudie hanya mengikuti irama bicara Dharma dengan anggukanya. Menandakan ia sedang menelusuri kesepahaman. “ Tak ada kabar sudah sekian tahun ?. “

    ” Yap… “ angguk claudei pelan. Kerlingnya sedikit naik. 

    “ Berarti mereka semua telah mati “ cetusku sedikit nada tinggi. 

    “ No, no “ sanggahan claudie diikuti dengan tatapan ketiga orang yang lain. Mereka seakan tak setuju dengan resumeku. 

    “ Jadi, mereka masih hidup ?”  

    “ Ya, apa mungkin mereka masih hidup ? “ tanya Dharma mengulangi ucapan ku.  Tiba tiba suara raungan sinsaw terdengar . angin berlahan lahan berhembus dan semangkin kencang. Deru Sinsaw itu bergelombang seperti suara Radio SW yang kadang menghilang dan munul kembali. Berlahan tapi kian terasa hembusannya. Dedaunan kering ikut terbang terhempas dibatang batang pohon . suara sinsaw semanggin meraung. Suara gaduh diatas kian mendekat. 

    Huuuu Ha. Huuu ha. Lintang pukang segerombolan monyet. Saling berlomba meraih ujung ujung dahan untuk bergelayutan di atas. Menjauh dari suara mesin.  Karena begitu riuhnya, keempat anggota yang sedang membuat menu makan siang ikut besorak. Sambil tertawa tawa, monyet moyet itu terjebak dan kaget. Beberapa ada yang sempat terjatuh dari pohon. Yang lain ada yang berputar putar di atas seperti sedang bergantungan. Seekor indukan yang sedang mengendong monyet kecil berhenti sejanak. Lalu memberi pekikan. Lalu disambut sebuah pekikkan yang lebih tinggi dari monyet yang lebih besar. Kemudian beberapa ekor lain mengubah arah. Mereka kelihatan menjauh dari suara mesin juga ingin menjauh dari posisi kami. Beberapa saat kemudian Herman yang kaget. Dia  tiba tiba melompat sambil menjerit. Lari sedapatnya  menuju kami. Yang lainnya ikut berhamburan juga . dua orang sudah naik kepohon sedangkan Edi terus saja berlari mengikuti jalur. Ringkikan yang melenggking mengalahkan teriakan para monyet. Warna hitam dari jalur rintisan bergerak cepat. Seperti suara mobil molen semen yang bergemuruh . Sekawanan babi  hutan berlari kearah kami. Larinya cepat membabi buta. Lurus dan  seperti pesawat jet mengalahkan suara yang gaduh. Tonggak kayu camp sisi kiri di tabrak gerombolan itu. Ramos dan Bernad diatasnya hampir terjatuh. Tangan  Michel reflek menarik mereka . Selang satu menit, gemuruh gaduh itu berlalu. Suara ngidik yang melengking semangkin menjauh. Sepertinya mereka dihalau oleh angin yang masih tetap kencang. “Uuu waa ooo”, suara Lunang baru saja terdengar. Ia berteriak lepas. Seperti orang sedang melepas stresnya. Sementara Edy hanya tertawa. Dia mentertawakan dirinya sendiri yang sudah berada dua meter diatas pohon dengan berpeganggan batang rotan. Beberapa durinya menancap di telapak tanggan. Dia semangkin tertawa  seakan ingin menangis menahan pedih dari duri duri . Namun aku hanya melonggo, karena memandang Claude sudah di peluk Dharma di sudut Camp. “ Bang…Bang “ teriakku agak pelan ingin menyadarkannya. Seperti orang ternujum ia tersentak. Melirik sambil  bertanya ada apa dengan insyarat mataku.  Ku tunjuk si Claudie yang sedang di dekapnya. Haa..ha. sepontan di tolak tubuh gadis itu. Gadis bulek itu tentu saja melayang dan terhempas di lantai camp. Tubuhnya yang ramping seperti nangka masak jatuh ke tanah, suaranga ngedebum. Karena lantai nya sudah miring , gadis itu pun bergulir  ke kiri. Dharma pun kaget juga, cepat ia meraih tanggan dan menariknya kembali.  Claude menarik nafas panjang, lalu ia mengangkat tanggannya . Satu tinjunya menghantam wajah Dharma.  “Youuuuu “ kesalnya. Kemudian ia meringgis menahan rasa sakit dipinggul. Dharma pun  hanya mengusap pipinya yang tertonjok Claudie. 

    “ Ohhh… sakit kali “ ringgis nya. Aku hanya tersenyum sambil tertawa. Namun tawa itu tak sangup ku tahan akhirnya meledak juga. Tawaku terbahak bahak.  

    “ Masih untung banyak tu pak …” ketawa juga si Edi. Dharma hanya mengerak gerakkan rahangnya yang tertinju. Sementra Claudie yang sudah jadi atlit tinju tersenyum senyum malu. Beberapa kali dia coba mengepal ngepakan tanggannya. Lalu mempraktekkan pukulan Huuk. 

    Angin semangkin kencang bertiup. Lunang mencoba bantu Edi untuk turun dari pohon. Kami  segera turun dari camp yang telah doyong. Memeriksa keadaan masing masing , lalu sekeliling baru lah kami saling memerikasa yang lain. Ternyata si Herman tak ada. “ Herman…”  teriak Lunang. 

    Dharma pun ikut memanggilnya beberapa kali. Lalu menggarah ke jalur  tempat Herman tadi berlari. Hampir dua puluh meter dari  TKP, kami melihat Herman duduk diatas kubangan gambut. Kondisinya mematung dengan lumpur gambut di sekujur Tubuhnya. “ Herman… , kau enggak apa apa?” 

    “ Herman  “ ulang Dharma lagi.  Tiba tiba Herman tertawa. Galaknya lepas  sekuat kuatnya. Ia tersenyum “ Baru sekali ini aku di injak injak babi .. haa hhaaa” walau kami terkejut dan mengkhawatirkannya.

    ” Dasar babi….”

    Kami jadi ikut juga tertawa geli.  Lunang dan Edi sempat mengambil beberapa gengam lumpur ganbut dan melemparkanya. Herman tak menghindar. Sambil terus tertawa. Mereka menolong kemudian memapahnya untuk dibawa ke camp.   

    “ Oke, tenang dulu. Semua waspada. “ ucap Dharma serius. Bahkan ia memberi isyarat ke aku untuk benar benar mawas diri.  Angin kian kencang hembusannya mulai memutar mutarkan pucuk pepohonan yang tinggi. Daun daun keringnya terus berguguran. Sementara pohon yang lebih rendah bergemericik . Daun daunnya saling bergesekan di terjang angin. Hembusan itu semangkin bertambah saja. Kelihatannya memang demikian. Kejutan hari ini belum berakhir. tepatnya saat ini kian berbahaya. Aku hanya menahan nafas  sebisaku tak berteriak. Tak terkejut. Dharma sudah memberi siaga waspada dan jangan terkejut. Sosok  itu mendekat. Dua bola matanya yang hitam bersinar. 

    “ Semuanya tenang , jangan ada yang terkejut. Diam di tempat jangan bergerak sedikit pun “ suara Dharma benar benar lirih setengah berbisik. Di tangan Dharma telah siaga sebuah tongkat kayu. Tongkat itu terhunus berlahan dengan sasaran di depanya. Yang datang kemudian hanya menatap dan semangkin mendekat. Menyeringai. Bola matanya yang hitam semangkin di perbesar. 

    Seringaian itu mengangkat bibirnya mengagah, kelihatan taring tajam. Sebuah erangan dengan suara yang berat. Sikap ke enpat kakinya siap dengan sebuah terjangan. Siap menerkam mangsa maupun penyerangnya. Namun Binatang itu hanya berhenti dengan tatapan tajamnya. Menatap hunusan Tombak kayuu  Dharma. “ Wahai Datuk, Kami tidak mengganggu mu, pergilah. Kami hanya beristirahat saja…” Dharma  berlahan lahan menurunkan tongkat kayunya. Untuk menyakinkan dia tak punya niat untuk menyerang. 

    “ Huuaaaaauww “ sebuah aumman yang keras.  Datuk Blang itu mengangkat kepalanya.  kelihatan lehernya memanjang. Kaki depannya telah melompat, sementara kedua kaki belakang memberi dorongan yang kuat. Sehingga binatang hutan itu melompati belukaran dan mendarat di atas sebatang kau yang melinyang. Dengan gerakan yang anggun sembari mengeluarka aumamannya sekali lagi, kami melihat lompatan itu. Begitu gagah dan menyeramkan. Hanya gemericik pelan yang terdengar. Setelahnya tak ada lagi yang bergerak. Tak juga sehelai daun. Semua sudah diam dan mematung.

    “ Bang Dharma, yang ini bagaimana ?” tiba tiba Ramos  merenggek.  Mungkin jaraknya hanya dua kali lompatan saja. “ Yaa Allah, besar kali…” Dharma sedikit terkejut. “ Claude…” Michel mendekati gadis itu. 

    “ Oke tenang, kau lihat punggungnya berdarah. “ Dharma mulai menarik kakinya berlahan  memutar badan. Berangsur ia menghadap ke arah Harimau yang berwarna Putih. “Ooh bukan putih,  tapi sedikit bercorak gading, tanpa belang dan bintik intik besar.”

    “ Ramos, ini yang kau tembak tadi. Berlahan lahan kau merunduk “  tanggan dharma memberikan aba aba sitdown.   “ Bagai mana ?” tanya Ramos seakan ingin kepastian. “ Merunduklah, jangan kau tinggikan punggung mu, mohon maaflah…” perintah Dharma. 

    “Aauuummmm, “ suara itu terasa berat, dan berlahan.

    ”Cepat lah…” suara Dharma semangkin mendesak. Tapi Ramos masih belum melakukannya. “ ayo Ramos..” Michel an Claudei ikut mendesak.  Sementara Dharma mencoba menunjukkan posisi bersahabat. Damai. Tak menunjukkan rasa takut sedekit pun tapi tidak juga meampakkan ingin menyerang lawan, 

    “ Datuk, kami hanya numpang istiraha disini, maaf kami tak ingin menggangu “  ucap Dharma mantap.  Namun harimau itu tak bergeming. Matanya terus saja menatap Ramos tajam. Dan kini mulai mengeser kaki depanya merengang. Dia siaga untuk menyergap. “ Ohh.. sheeet …” celetuk Bernad. Ia melihat ada gelagat berbahaya. “Come on Ramos “ Renggek Michele semangkin khawatir. Sementara Dharma sudah memberi aba aba pada Lunang dan Edi untuk bersiap siaga jika binatang itu menyerang. Mulut Ramos belum juga bersuara, memohon maaf. Tapi tengggorokannya mencoba mengeluarkan kata kata. Dengan mimik meringkik ia paksa untuk membuka mulutnya tapi sia sia. Binatang itu telah maju satu langkah dengan sikap kuda kuda penyergapan. Sebuah auman mengeras , dan sebuah bayangan dari balik belukaran hutan muda. Dua ekor binatang buas melayang diatas Ramos. Jatuh di sisi kiri yang berjarak beberata meter saja. Saling bergumul. Sambil mengeluarkan raunganya yang menghiasi hutan siang itu. Suara seram itu mengidikakn bulu kuduk. Keduanya terus begumul dan saling menerkam lumatkan semak semak yang tergilas tuhuh mereka. Ramos mengigil, dia pasrah. Hanya terdenga isakanya penuh penyesalan. Terdengar sebuah rintihan yang panjang. Kemudian bergerak menjauhi. Tempat itu. 

    “Ayo,  “ teriak Dharma mengajak kami. Meninggalkan tempat itu segera dan melupakan makan siang kami. Menunda lapar.  Nasi dengan Mie Instan yang sudah siap saji tak mampu lagi menahan kami untuk tinggal sebentar. Nafsu makan siang ini biarlah di tunda sebentar. Semua bergerak melanjutkan perjalanan. Dengan formasi semula kami bergerak cepat. Walau kini agak lebih rapat. Tak ada yang berani untuk menjauh dari rombongan.

    Dengan tenaga yang tanpa makan siang, kami terus bergerak menjelajahi jalur itu. Hanya semangat yang penuh ketakutan dan was-was ,  membuat kami terus bergerak. Namun rasa dahaga jua yang membuat kami berhenti sejenak. Termos termos air pinggang kami sudah pada kosong, membuat kami memangdang si Herman. Melihat semua orang yang kehausan memandangnya, ia sigap membongkar bawaanya, sekotak air mineral. Tak ada. Yang di carinya tak kunjung di temuka. “Herman, dimana air Aquanya?” 

    “Tadi di sini ku masukkan “ ucap Herman menjawab tanya Dharma. “ tapi kok enggak ada ,..” lanjut Herman dengan setengah binggung.  

    “ Berarti tidak ada …” kesal Lunang .  

    “ Edi, ambil itu “ Perintah Dharma. Edi keluar dari jalur masuk ke kanan hutan. Ditariknya sedikit. Kemudian ia potong ujungnya. Setelah itu dipotong pangkalnya. Diserahkan di Dharma. Akar besar itu di potong dua , satu di serahnkanya ke aku. “Pernah minum air ini ?” liriknya. Aku mengeleng sambil binggung. Dikikis pangkalnya lalu ia pukulkan ke batang pohon beberapa kali. Setelah itu ia usap usap hingga air keluar. Ia biarkan beberapa tetes mengalir percuma. Baru ia anggkat tinggi dan langsung ditampung dengan mulutnya. Sekejap saja mulut itu sudah penuh dengan air mineral. Ia lepaskan dahaganya. Beberapa kali ia tengguk air itu hingga tetesan terakhir . Setelah benar benar tak lagi meneteskan air, akar besar itu ia buang. Aku juga sudah menikmati air akar itu begitu segar dan berasa sedikit manis manisnya.  Secara merata semua kebagian . kami minum air akar . 

    “Awas kalau tak tau, jangan sembarangan minum air akar ini. Akar ini mirip akar Tuba, beracun. Maka tetesan pertama harus dirasa dan diperhatikan. Tak berwarna putih kental dan lengket berarti dia aman untuk diminum. Tapi jangan terlalu sering. Kita nanti akan  mengalami hidrasi. “ jelas dharma. Mendengar itu Ramos segera membuang batang yang keduanya. Dengan sedikit mengidik.

    “Dah ayo kita lanjut lagi “ walau sinar matahari sudah menerobos dari arah punggung kami. Tenaga kami seakan tidak kendor. 

    “Kita jangan sampai kemalaman di jalur ini. Kawanan Datuk itu biasanya bergerombol “ ungkap Dharma tanpa menghentikan langkahnya. Bahkan jika angin kembali berhengus kencang kami semangin mempercepat langkah. 

    “Alfa Hotel, Alfa sera monitor, Hotel Kilo satu Panggil “ Suara dari HT Alinggo terdengar berisik. 

    Dharma membalas panggilan itu “ Ya Alfa Kilo Satu di sini Alfa sera “ 

    “ Personil Kilo satu sudah di posisi. “ 

    “Oke untuk info posisi kita lagi putar putar di Centong satu,  ubah jadwal untuk kopi darat di centong Dua, ganti” 

    “ Siap pak, kami segera meluncur ke hold lanjutan “ 

    “Oke  jangan lupa gendong Alfa milk kilo ya “ 

    “siap pak, Kilo satu Out “ 

    “Oke Stand by “  Dharma mengakhiri pembicaraan radio ORARInya. 

    “ Kita istirahat di sini “ mendengar itu Ramos dan Bernad segera masuk ke belukaran. Herman juga diikuti Lunang.  Kami menyamankan posisi badan. Dharma hanya memperhatikan sekeliling.  Bahkan sesekali ia menatap langgit. Bernad dan Ramos terlihat sedikit terengah. Ada kesal di wajah mereka. Dharma memakluminya. Ada senyum tipis yang lucu di wajah Dharma.

    “ Iya disini memang sudah tak ada lagi akar itu. Disini sudah banyak yang di Imas hutannya jadi tinggal kayu kayu besar yang akan di Tumbang”  ucap Dharma sedikit acuh. “ Kalau mau minum itu di sana, ada sumur” tunjuk Dharma kearah  Herman. Michel melirik sekecap. Kemudian mengindik gemetar . Ada merasa risih. Aku ikut penasaran. Sumur itu berwarna coklat kehitam hitaman. Serasa haus ku hilang. Tak jadi ku niatkan untuk minum. Agar hilang dahagaku..  Namun melihat cara Herman dan Lunang menengak air gambut itu dengan lahap, Ramos dan Bernatd ikut juga mencicipin. Awalnya mereka hanya ambil segengam . di ecap ecap seperti merasakan MSG lalu menelannya secara berlahan. Walau kelihatan mata mereka tiba tiba membesar namun mereka mencoba meraup segenggam lagi.  Anggota lang lain pun tersenyum lucu. Mereka segera ikut bergabung menikmati air gambut tersebut “ kalian boleh juga mencobanya,” its good” saran Dharma pada kedua wanita itu. Mereka sepertinya bertahan untuk tak ikut menikmati air itu.  Aku tertahan juga. Goyah pendirian ini. Ketakutan kalah dengan dahaga tenggorokanku. Aku coba mengambil air tersebut dengan cangkir. Walau sempat menunggu beberapa saat , antrian . Karena yang lain begitu nikmatya menghilangkan haus mereka, aku langsung meminum air coklat  gambut tersebut. Wuuuiih,  kuludahkan secepat kilat, “ Pahit,… “ yang lain malah tertawa. 

    “Ini benar benar pahit “ ulangku lagi. Kutatap tajam ke arah sumur itu. Lobang segi empat ukuran  kotak mie instan dengn berisi air gambut. Namun pelan pelan ada air yang merambat sedikit lebih kental berwana hitam, air resapan dari sebuah lekukkan alur . cepat ku ciduk air itu. Kucium , aromanya tidak lagi seperti jamu seribu akar.  Ku berlari ke Dharma “ Bang coba perhatikan…” tunjukku pada Dharma. Cepat ia ambil dan menganalisa untuk sesaat.  Ia hisap telunjuknya yang baru saja ia cellupkan .  “ eSoO empat, aromanya seperti kentut “ cetus dharma sedikit heran. Ia lalu menuju sumur itu. Air di dalam nya kini telah hitam pekat. Alur yang membawa air resapan itu juga mulai kelihatan menghitam.  Berdnat menurunkan tas punggungnya. Membongkar lalu mecari sesuatu.  Sebuah gelas ukur dan alat mengu ukur PH air. “ yap…. ini sudah bercampur belerang. Semua merasa ada sesuatu akan terjadi. Bernat dengan cepat memasukan kembali barang barang yang ia bongkar dari tasnya.  Dharma malah menatapnya curiga. Lalu ia melirik Claudei. Seakan Lelaki itu sedang mencari  Validasi dari sang pimpinan team bule. Claude hanya terdiam ia seakan membuang pandangannya kelain arah. Ada sesuatu yang belum di bicarakan.  Air di sumur itu kini telah penuh, air hitam itu sudah mulai mengalir kearah yang lebih rendah. Alur yang berada di hulu semangkin hitam dan mulai menyebar. Bluuus suara desiran keluar dari lapisan gambut . desiran itu tepat duapuluh meter di depan mereka.  Sesuatu yang hitam mendesak keluar. Seperti air macur tinggi menjulang lebih dari setengan pohon.  Semburan itu berlahan lahan terus meninggi beberapa saaat, lalu merendah. Tiba tba pepohonan di dekat semburan itu menyala. Ada sinar kemerahan dari batang batangnya. Warna kuning kemerahan itu menyambar daun dan ranting kering.

     

     

    Kreator : Darmen Eka Susilo

    Bagikan ke

    Comment Closed: TERATAI PUTIH LUBUK BUAYA-Selasa bag1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021