KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Aksi » Terbaik Di Akademi

    Terbaik Di Akademi

    BY 29 Jun 2024 Dilihat: 54 kali
    Terbaik Di Akademi_alineaku

    Izka dan Sybil kembali ke akademi setelah menyelesaikan sebuah misi yang menguji keberanian dan kemampuan mereka. Ini adalah semester terakhir mereka di tingkat lanjutan. Izka, meski berusia 11 tahun, dengan kecerdasannya berhasil menyusul Sybil dan Walter yang berusia 14 tahun dalam waktu singkat sejak ia mulai memasuki akademi.

     

    Langit berwarna kelabu dan kabut tipis menyelimuti tanah saat mereka melangkah melalui gerbang besar akademi. Bangunan megah dengan arsitektur kuno menjulang tinggi, menambah nuansa misterius di sekelilingnya. Izka, dengan kain putih khasnya yang menutupi mata, berjalan di samping Sybil.

     

    Sybil menepuk bahu Izka dengan lembut. “Sudah siap menghadapi ujian terakhir?”

     

    Izka mengangguk, kain putih yang menutupi matanya bergerak mengikuti gerakannya. “Aku selalu siap, Kak Sybil. Kita di sini untuk belajar dan membuktikan diri.”

     

    Mereka melangkah masuk ke aula utama, di mana para siswa lain berkumpul dan berbicara dengan suara rendah. Desas-desus tentang keluarga Videnbe dan misi terakhir mereka tersebar luas.

     

    “Aku dengar mereka dari keluarga Videnbe,” bisik seorang siswa kepada temannya. “Mereka selalu menyelesaikan tugas dengan sempurna.”

     

    Tiba-tiba, seorang siswa dari keluarga utama, Viktor Hraniteli, mendekati Izka dengan sikap menantang. Wajahnya menunjukkan arogansi yang khas dari keturunan keluarga utama.

     

    “Izka, Kau pikir bisa sembunyi di balik keluarga Videnbe yang kesuciannya telah ternodai?” ejek Viktor, suaranya penuh kebencian.

     

    Izka tetap tenang, membalas dengan sarkasme halus. “Siapa yang menyebutkan hal tersebut. Viktor, ingatlah bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang bertindak, bukan oleh mereka yang berkata-kata.”

     

    Beberapa siswa tertawa kecil, tetapi Viktor tidak menyerah. “Kau pikir hanya karena bakatmu yang aneh itu, kau bisa menyamai kami? Kau hanyalah pion dalam permainan keluargamu.”

     

    Sybil, yang berdiri di sebelah Izka, menatap Viktor dengan tajam. “Sudah cukup, Viktor. Kita di sini untuk belajar, bukan untuk bertengkar.”

     

    Viktor tertawa sinis. “Hanya karena dia anak berbakat bukan berarti dia setara denganku. Naik tingkat karena nilai? Hah, itu semua hanyalah akal-akalan keluarga Videnbe, bukan!”

     

    Izka menatap Viktor dengan senyum kecil. “Aku melakukannya dengan adil dan bukti nyata, setidaknya tidak merasa perlu merendahkan orang lain untuk merasa lebih baik tentang diri kami sendiri.”

     

    Senyum tipis muncul di bibir Izka, membuat beberapa siswa di sekitar mereka terdiam dan memperhatikan. Sybil tersenyum kecil melihat adiknya mampu menghadapi situasi dengan tenang dan penuh percaya diri.

     

    Viktor tampak semakin marah dan mulai kehilangan kendali. “Kau pikir bisa melawanku dengan kata-kata, Izka? Kita lihat saja nanti di latihan tanding berikutnya!”

     

    Izka hanya mengangguk pelan. “Kita lihat nanti, Viktor. Jangan sampai kecewa jika hasilnya tidak sesuai dengan harapanmu.”

     

    Saat ketegangan mencapai puncaknya, Walter muncul dari balik kerumunan. Dengan langkah lemah, dia mendekati Viktor dan berkata, “Viktor, jika kau merasa perlu membuktikan dirimu, lakukan itu dengan cara yang benar. Jangan merendahkan orang lain hanya karena asal-usul mereka. Apakah keluargamu tidak mengajarkan sopan santun?”

     

    Viktor mendengus dan melangkah mundur, meskipun matanya masih penuh dengan kebencian. “Ini belum selesai,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan aula.

     

    Sybil menghela nafas lega dan merangkul Izka. “Kamu baik-baik saja?”

     

    Izka mengangguk. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Kak Sybil, Kak Walter.”

     

    Walter tersenyum, menepuk bahu Izka. “Kita adalah keluarga. Kita akan selalu bersama-sama menghadapi semua ini.”

     

    Mereka bertiga duduk kembali, melanjutkan kegiatan mereka dengan perasaan campur aduk. Ketegangan di akademi semakin nyata, tetapi mereka tahu bahwa selama mereka bersatu, tidak ada yang tidak bisa mereka hadapi.

     

    Pembuktian diri

    Keesokan harinya, suasana di lapangan latihan akademi terasa tegang. Para siswa berkumpul, penasaran dengan tantangan yang dilontarkan Viktor kepada Izka. Angin berhembus lembut, membawa aroma rumput yang terinjak di bawah kaki para penonton.

     

    Viktor melangkah ke tengah lapangan dengan percaya diri, tubuhnya yang tegap dan otot-ototnya yang terlihat jelas menegaskan kekuatannya. Di hadapannya, Izka berdiri tenang, kain putih khas masih menutupi matanya, menambah aura misterius di sekelilingnya.

     

    “Izka,” Viktor memanggil dengan suara lantang, “mari kita lihat apakah kau tidak lebih dari sekadar kata-kata. Bagaimana kalau kita bertanding bela diri?”

     

    Izka mengangguk pelan. “Tentu, Viktor. Mari kita lihat apakah ototmu bisa mengikuti lidahmu.”

     

    Sorak-sorai kecil terdengar dari para siswa yang menonton. Mereka tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang siapa yang memiliki kendali diri dan strategi terbaik.

     

    Viktor mengawali dengan serangan langsung. Dia melompat maju, tinjunya diarahkan ke wajah Izka dengan kecepatan tinggi. Izka dengan cekatan menggeser tubuhnya ke samping, menghindari pukulan itu dengan mudah. Gerakan Izka terlihat seolah dia bisa melihat gerakan, meskipun matanya tertutup kain putih.

     

    Viktor tidak menyerah. Dia meluncurkan serangan bertubi-tubi, tinju dan tendangan mengarah ke berbagai bagian tubuh Izka. Namun, Izka tetap tenang, menghindari setiap serangan dengan langkah-langkah lincah dan gerakan memutar yang elegan.

     

    Viktor mencoba mengubah taktik. Dia mendekat dengan cepat, berusaha mengunci pergelangan tangan Izka dalam genggaman besinya. Izka merespon dengan memanfaatkan momentum Viktor. Dia memutar tubuhnya, menggunakan kekuatan lawan untuk menyeimbangkan dirinya sendiri, dan dalam satu gerakan cepat, dia menjatuhkan Viktor ke tanah dengan menggunakan teknik pengungkit yang elegan.

     

    Viktor terjatuh keras di tanah, wajahnya merah karena malu dan marah. “Kau hanya beruntung,” gerutunya sambil berdiri kembali.

     

    Izka hanya tersenyum tipis. “Keberuntungan hanya untuk yang tidak siap, Viktor. Aku selalu siap.”

     

    Marah karena malu, Viktor mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia melompat tinggi, mencoba menendang kepala Izka dari atas. Izka merunduk, menghindari tendangan tersebut, lalu dengan cepat meluncurkan serangan balik. Dia menggunakan siku dan lututnya untuk memukul Viktor di titik-titik vital.

     

    Viktor terhuyung mundur, terkejut dengan serangan cepat Izka. Izka tidak memberi kesempatan. Dia meluncur ke depan, mengunci lengan Viktor dan menjatuhkannya sekali lagi dengan teknik yang lebih keras. Kali ini, Viktor terjatuh dengan bunyi yang lebih keras, membuat kerumunan penonton terdiam.

     

    Viktor berdiri kembali, meskipun dengan lebih lambat. Napasnya terengah-engah, menunjukkan kelelahan yang mulai menguasai tubuhnya. Sementara itu, Izka tetap tenang dan fokus.

     

    “Sudah cukup, Viktor,” kata Izka dengan suara tenang namun tegas. “Kita bisa menyelesaikan ini dengan damai.”

     

    Tapi Viktor, dengan sisa-sisa kebanggaannya, meluncurkan serangan terakhir. Dia mencoba meninju perut Izka, tapi Izka menangkap tinjunya dengan satu tangan. Dengan gerakan cepat, Izka memutar tangan Viktor, menguncinya di belakang punggung dan menekan Viktor ke tanah.

     

    Viktor menggerutu kesakitan, tidak bisa melawan lagi. “Aku… mengaku kalah,” katanya dengan suara tersendat.

     

    Izka melepaskan kunciannya dan berdiri. Dia menatap Viktor yang masih terbaring di tanah, lalu berkata, “Pertarungan ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tapi tentang siapa yang lebih bijaksana. Semoga kita semua bisa belajar dari ini.”

     

    Para siswa yang menonton memberikan tepuk tangan meriah. Sybil dan Walter, yang berada di antara penonton, tersenyum bangga melihat kehebatan dan kedewasaan Izka. Izka mengulurkan tangan kepada Viktor, membantu lawannya berdiri kembali.

     

    Viktor menerima bantuan itu dengan enggan, tapi ada sedikit perubahan di matanya. “Mungkin aku bisa belajar sesuatu darimu, Izka,” katanya dengan suara lebih tenang.

     

    Izka hanya mengangguk. “Kita semua di sini untuk belajar, Viktor. Semoga kita bisa saling membantu.”

     

    Dengan begitu, pertarungan yang dimulai dengan kebencian berakhir dengan rasa hormat. Izka, dengan kecerdasannya dan ketenangannya, sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah salah satu yang terbaik di akademi tersebut.

     

    Sore itu di asrama, Sybil duduk bersama Izka, berbicara tentang kejadian hari itu. “Kamu tahu, mereka hanya iri padamu. Jangan biarkan mereka mempengaruhimu.”

     

    Izka tersenyum kecil. “Aku tahu, Kak Sybil. Mereka hanya mencoba membuatku marah dengan menghina keluarga kita. Tapi aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu. Aku hanya membalas mereka untuk tidak lagi mengganggu.”

     

    Sybil mengangguk, bangga dengan sikap adik angkatnya. “Kau memang luar biasa, Izka. Tapi ingatlah agar tidak melewati batas, ya.”

     

    Izka mengangguk pelan, memberikan senyuman hangat pada kakak angkatnya. Mereka beristirahat sebentar sebelum bersiap untuk makan malam.

     

    Hujan rintik-rintik mengiringi malam itu, membasahi taman akademi dan menambah kesan mistis pada bangunan tua yang megah. Akademi Kerajaan Zima, tempat para bangsawan muda ditempa menjadi pemimpin masa depan, terlihat lebih tenang dari biasanya. Sebuah perubahan besar baru saja terjadi, mengguncang dinamika di antara murid-muridnya.

     

    Izka berjalan melewati lorong-lorong akademi dengan langkah mantap. Mata tertutup oleh kain putih khasnya, namun setiap gerakannya penuh dengan kepercayaan diri dan ketenangan. Sybil berjalan di sampingnya, tampak anggun dan tegas sebagai kakak angkat yang selalu mendukungnya.

     

    “Sungguh, Izka,” ujar Sybil dengan senyum kecil, “kamu benar-benar membuat mereka berpikir dua kali sebelum merendahkan kita lagi.”

     

    Izka hanya mengangguk pelan. “Kebenaran selalu menemukan jalannya, Sybil. Mereka hanya butuh waktu untuk menyadari.”

     

    Saat mereka melangkah ke ruang makan besar, tempat murid-murid biasanya berkumpul untuk makan malam, suasana yang berbeda terasa. Tidak ada lagi bisikan-bisikan merendahkan atau tatapan sinis yang dulu kerap mereka rasakan. Sebaliknya, ada tatapan hormat dan bahkan senyum ramah yang dilemparkan ke arah mereka.

     

    Viktor, yang sebelumnya selalu bersikap arogan, berdiri dari mejanya dan menghampiri Izka. “Izka,” panggilnya dengan nada yang lebih rendah hati dari sebelumnya, “Bolehkah aku berbicara sebentar?”

     

    Sybil dan Izka saling bertukar pandang. Izka mengangguk dan mereka melangkah ke sudut ruangan yang lebih sepi. Viktor tampak ragu sejenak sebelum berbicara.

     

    “Aku ingin meminta maaf atas sikapku sebelumnya,” katanya dengan tulus. “Aku telah mendengar banyak hal tentang keluargamu yang ternyata tidak benar. Kau telah membuktikan bahwa kami salah.”

     

    Izka tersenyum tipis, “Terima kasih, Viktor. Yang penting adalah kita belajar dari kesalahan kita dan menjadi lebih baik.”

     

    Percakapan itu diakhiri dengan jabat tangan yang erat, simbol dari sebuah perdamaian baru yang terjalin di antara mereka.

     

    Ujian akhir

    Hari ujian akhir tiba, dan Izka harus menunjukkan semua keterampilannya dalam ujian tertulis dan praktek. Ujian tertulis penuh dengan teka-teki dan strategi, menguji pengetahuan dan kecerdasan Izka. Dia menyelesaikan setiap soal dengan ketenangan dan ketelitian, memastikan semua jawabannya tepat sasaran.

     

    Ujian praktek lebih menantang, dengan duel bela diri dan teknik energi yang menguji keterampilan tempurnya. Selama ujian praktek, Izka menghadapi berbagai tantangan yang menguji keterampilan bela diri, teknik senjata, dan teknik energi alam. Ujian ini terdiri dari beberapa tahap, masing-masing dirancang untuk menguji kemampuan spesifik para peserta.

     

    Arena duel dipenuhi semangat dan sorak-sorai dari para siswa dan pengajar yang menyaksikan ujian praktek ini. Lingkaran besar arena dikelilingi oleh tribun penonton yang menantikan aksi spektakuler dari para peserta. Izka berdiri di tengah arena, mengenakan seragam latihan dengan kain putih yang tetap menutupi matanya, memancarkan aura tenang dan penuh percaya diri.

     

    Di seberang arena, Mikhail Sovetniki berdiri dengan tubuh besar dan berotot, otot-ototnya terlihat tegang, siap meluncurkan serangan. Mikhail dikenal sebagai petarung yang mengandalkan kekuatan fisik yang luar biasa. Senyum sinis terpancar dari wajahnya, menunjukkan keyakinan diri yang tinggi.

     

    “Siap untuk dihabisi, Videnbe?” tantang Mikhail dengan nada mengejek, tinjunya yang besar mengepal erat.

     

    Izka tidak terpengaruh oleh provokasi itu. Dia berdiri dengan tenang, mendengarkan deru langkah kaki Mikhail yang mendekat dengan cepat. Arena menjadi sunyi sesaat, hanya terdengar desahan napas para penonton yang menantikan aksi.

     

    Mikhail meluncurkan serangan frontal, tinjunya yang besar mengarah langsung ke wajah Izka dengan kecepatan dan kekuatan yang mematikan. Izka, dengan indera yang terlatih, mendengar deru langkah kaki lawannya mendekat. Dia menundukkan kepalanya sedikit, mendengarkan dengan seksama setiap gerakan Mikhail.

     

    Saat tinju Mikhail hampir mencapai wajahnya, Izka menghindar ke samping dengan gerakan lincah, membuat serangan lawannya meleset dengan mudah. Mikhail kehilangan keseimbangan sesaat karena momentum serangannya sendiri. Izka memanfaatkan momen ini dengan cepat. Dia menangkap lengan Mikhail, memutar tubuhnya dengan gesit, dan menggunakan kuncian cepat pada lengan dan kaki lawan.

     

    Mikhail terkejut oleh kecepatan dan ketepatan gerakan Izka. Sebelum dia bisa bereaksi, Izka sudah menguasai situasi. Dengan satu gerakan yang cepat dan presisi, Izka memutar lengan Mikhail, menggunakan kekuatan lawan untuk menjatuhkannya. Mikhail jatuh dengan keras ke tanah, terhempas oleh teknik kuncian yang sempurna.

     

    Penonton terdiam sesaat, kemudian meledak dalam sorak-sorai dan tepuk tangan meriah. Mereka kagum melihat betapa cepat dan efisien Izka mengalahkan lawan yang jauh lebih besar dan kuat.

     

    “Hebat sekali!” seru seorang pengajar dari tribun. “Izka menunjukkan teknik yang luar biasa!”

     

    Mikhail, yang terbaring di tanah, mengangguk dengan lemah, mengakui kekalahannya. “Kau menang, Videnbe,” katanya dengan nada hormat, meskipun dengan rasa frustasi yang jelas terlihat di wajahnya.

     

    Izka hanya mengangguk, menunjukkan sikap tenang dan rendah hati. Dia membantu Mikhail bangkit, menunjukkan bahwa meskipun dia adalah lawan yang tangguh, dia tetap menghormati setiap petarung di arena ini. Sorak-sorai penonton terus menggema, menandakan kemenangan Izka yang luar biasa di tahap pertama ujian praktek.

     

    “Duel yang menakjubkan,” kata seorang pengajar kepada rekannya. “Izka benar-benar menunjukkan penguasaan bela diri yang luar biasa.”

     

    “Dia bukan hanya kuat, tapi juga cerdas,” jawab rekannya. “Dia tahu bagaimana menggunakan kekuatan lawannya untuk keuntungannya sendiri.”

     

    Di tribun, siswa-siswa lainnya berbicara dengan kagum tentang Izka. “Dia begitu cepat dan lincah,” kata seorang siswa. “Bagaimana dia bisa mengalahkan Mikhail dengan mudah seperti itu?”

     

    “Ini baru tahap pertama,” kata siswa lainnya. “Aku tidak sabar melihat bagaimana Izka menghadapi lawan-lawan berikutnya.”

     

    Dengan kemenangan di tahap pertama ini, Izka semakin memperkuat posisinya sebagai petarung yang tangguh dan tidak tergoyahkan di Akademi. Penonton dan pengajar menantikan aksi berikutnya dengan penuh antusiasme, yakin bahwa setiap duel yang dihadapi Izka akan memberikan pertunjukan yang spektakuler.

     

    Izka melanjutkan perjalanannya melalui serangkaian duel yang menantang. Arena yang dipenuhi semangat dan sorak-sorai dari para siswa dan pengajar terus menjadi saksi kehebatan Izka.

     

    Setiap lawan yang dihadapi Izka memberikan tantangan yang unik, namun dia selalu menunjukkan sikap hormat dan penguasaan teknik yang tak tertandingi.

     ***

     

    Izka berdiri di tengah arena, mengenakan seragam latihan dengan kain putih yang tetap menutupi matanya, memancarkan aura tenang dan penuh percaya diri.

     

    Di seberang arena, Dasse Hraniteli berdiri dengan pedang panjang yang berkilauan di bawah sinar matahari. Dasse adalah petarung yang dikenal dengan kekuatan dan teknik pedangnya yang mematikan. Dia mengayunkan pedangnya ke depan, memamerkan keahliannya kepada penonton.

     

    “Kau banyak mendapatkan dukungan, benarkan, Videnbe?” kata Dasse dengan nada jengkel, senyum sinis menghiasi wajahnya.

     

    Izka tidak menanggapi. Dia hanya mengangkat belatinya, satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri, siap menghadapi serangan. Kedua belati itu adalah senjata yang memerlukan presisi dan kecepatan tinggi, sempurna untuk gaya bertarung Izka.

     

    Dasse melangkah maju dengan percaya diri, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh. Serangan pertama datang dengan cepat, pedang panjang itu membelah udara dengan kecepatan yang mengancam.

     

    Izka, mendengarkan setiap gerakan Dasse, menangkis serangan pertama dengan salah satu belatinya. Dia mendorong pedang lawannya ke samping, membuat Dasse kehilangan keseimbangannya untuk sesaat. Memanfaatkan momen itu, Izka melompat ke depan, melakukan serangkaian serangan cepat dengan belati yang lain.

     

    Belatinya bergerak seperti kilat, setiap serangan diarahkan ke titik-titik vital Dasse. Dasse mencoba bertahan, menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan-serangan itu, tetapi gerakan cepat dan terlatih Izka tidak memberi celah untuk serangan balik.

     

    Penonton menyaksikan dengan napas tertahan, mata mereka tertuju pada setiap gerakan cepat kedua petarung. Sorak-sorai dan tepuk tangan mengiringi setiap serangan dan pertahanan. Izka melompat, berputar, dan menyerang dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Dasse terus-menerus mundur.

     

    “Dia begitu cepat,” gumam seorang siswa di tribun, kagum melihat kecepatan dan ketepatan serangan Izka.

     

    Dasse mencoba mengubah taktik. Dia melakukan ayunan horizontal yang lebar, berusaha memaksa Izka untuk mundur. Namun, Izka melompat ke atas, menghindari serangan itu dengan mudah. Ketika dia mendarat, dia segera menyerang lagi, belatinya bergerak seperti angin yang berhembus.

     

    Dasse, terpojok, mencoba serangan terakhirnya dengan dispersi. Dia mengayunkan pedangnya dengan semua kekuatan yang tersisa, berharap bisa menjatuhkan Izka dalam satu serangan kuat. Namun, Izka sudah memprediksi gerakan itu. Dia membelokkan arah pedang Dasse dengan salah satu belatinya, lalu menggunakan belati yang lain untuk menyerang titik vital di lengan Dasse.

     

    Dengan satu gerakan memutar, Izka memutar tubuhnya dan menjatuhkan lawannya. Dasse terhempas ke tanah, pedangnya terlepas dari genggamannya. Penonton berdiri, memberikan tepuk tangan meriah atas pertarungan yang luar biasa ini.

     

    “Pertarungan yang hebat,” kata seorang pengajar dengan kagum. “Izka benar-benar menunjukkan keahliannya.”

     

    Dasse, yang terbaring di tanah, mengangguk dengan lemah. “Kau menang… Videnbe,” katanya, mengakui kekalahan dengan sedikit jengkel.

     

    Izka hanya mengangguk, menyimpan kembali belatinya. Sorak-sorai penonton terus menggema di arena, menandakan kemenangan Izka yang luar biasa. Dengan setiap duel yang dimenangkannya, Izka semakin memperkuat posisinya sebagai petarung yang tangguh dan tak tergoyahkan di Akademi.

    ***

     

    Arena bergetar dengan antisipasi saat Izka dan Elena Issledovanbe melangkah ke tengah panggung. Di sekeliling mereka, penonton menahan napas, menunggu pertempuran terakhir ini. Izka berdiri tegak, sementara Elena, dengan rambut tergerai yang berkilau di bawah sinar matahari, menyiapkan diri untuk menyerang.

     

    Elena memulai dengan gerakan tangan yang elegan, mengendalikan angin di sekitar dirinya. Angin berputar-putar, semakin kuat, membentuk tornado kecil yang dengan cepat mengarah ke Izka. Angin menerjang, berusaha menjebaknya dalam pusaran yang mematikan.

     

    Izka tetap tenang, merasakan perubahan energi di sekelilingnya. Dia memanggil kekuatan bumi, merasakan alirannya melalui kakinya yang berpijak di tanah. Dengan gerakan tangan yang mantap, dia mengarahkan energi tersebut ke permukaan, menciptakan dinding batu besar yang menjulang di depannya. Dinding itu membentang tinggi, melindungi Izka dari angin yang berputar-putar.

     

    Tornado menghantam dinding batu dengan kekuatan dahsyat, namun dinding itu kokoh dan tak tergoyahkan. Elena, teralihkan oleh usahanya mengendalikan angin, tidak menyadari bahwa Izka sedang mempersiapkan langkah berikutnya.

     

    Izka merasakan saat yang tepat. Dengan satu gerakan tangan yang kuat, dia mengarahkan dinding batu itu maju, seperti gelombang yang menghantam pantai. Dinding batu meluncur ke arah Elena dengan kecepatan tinggi.

     

    Elena terkejut, matanya melebar saat dia menyadari bahaya yang mendekat. Dia mencoba mengendalikan angin untuk melompat keluar dari bahaya, tetapi terlambat. Dinding batu menghantamnya dengan keras, menjatuhkannya ke tanah.

     

    Elena tergeletak, terengah-engah, sementara Izka berdiri di atasnya, mengarahkan pandangan yang tetap tenang meskipun kain putih menutupi matanya. Pertarungan berakhir dengan cepat dan kemenangan diberikan pada Izka, menunjukkan penguasaan luar biasa atas teknik energi alam. Penonton meledak dalam sorak-sorai, mengakui kehebatan Izka yang tak terbantahkan.

     

    Setelah mengalahkan semua lawannya, Izka berdiri di tengah arena dengan nafas teratur, wajahnya tetap tenang di balik kain putihnya. Sorak-sorai penonton memenuhi arena, menghargai kemampuan dan ketenangan Izka dalam menghadapi setiap tantangan.

     

    “Ini adalah pertunjukan yang luar biasa,” kata salah satu pengajar dengan kagum. “Izka benar-benar menunjukkan bahwa dia yang terbaik di sini.”

     

    Sejak itu, tidak ada lagi yang berani mengganggu dan menghina keluarga Videnbe. Bahkan beberapa murid dari keluarga utama tampak menunjukkan rasa hormat kepada Izka, mereka perlahan mulai menyadari bahwa rumor-rumor buruk selama ini tidaklah benar. Izka, dengan segala keahliannya, telah memenangkan lebih dari sekedar duel; dia telah memenangkan kehormatan dan rasa hormat dari semua yang menyaksikan.

     

    Hasil Akhir

    Hari telah beranjak senja ketika semua siswa berkumpul di aula utama akademi. Langit yang sebelumnya cerah kini berubah menjadi jingga kemerahan, menambah suasana dramatis saat pengumuman hasil ujian akan segera dimulai. Aula itu megah, dengan pilar-pilar tinggi yang menjulang dan ukiran-ukiran indah di dindingnya. Sorotan mata para siswa terpusat pada panggung utama, di mana Mateka Videnbe, berdiri dengan wibawa yang tak tergoyahkan.

     

    Mateka melangkah maju, wajahnya serius namun memancarkan kebijaksanaan. “Para siswa tingkat lanjutan,” suaranya bergema di aula, “hari ini adalah saat yang telah kita tunggu-tunggu. Ujian ini tidak hanya mengukur kemampuan kalian, tetapi juga semangat dan ketekunan yang telah kalian tunjukkan.”

     

    Jantung Izka berdebar kencang, meskipun dia berdiri dengan tenang di barisan depan. Di sampingnya, Sybil dan Walter memberikan senyuman penyemangat. Mereka tahu seberapa keras Izka telah berlatih dan betapa gigihnya dia menghadapi setiap tantangan.

     

    Mateka melanjutkan, “Setelah mempertimbangkan semua aspek penilaian, kami akhirnya mendapatkan hasilnya. Izinkan saya mengumumkan bahwa peringkat terbaik di antara semua murid tingkat lanjutan… diraih oleh Izka Videnbe!”

     

    Sorakan dan tepuk tangan meriah memenuhi aula. Izka sedikit terkejut, namun dia segera tersenyum, menghargai pengakuan atas kerja kerasnya. Dia melangkah maju ke panggung, diiringi tatapan kagum dari rekan-rekannya.

     

    Mateka menatap Izka dengan bangga. “Izka, prestasimu luar biasa. Kamu telah menunjukkan kombinasi sempurna antara kekuatan, kecerdasan, dan kedewasaan dalam setiap ujian. Teruslah menjadi inspirasi bagi yang lain.”

     

    Sybil dan Walter berdiri tidak jauh dari panggung, tersenyum lebar. Meskipun mereka berada di belakang Izka dalam peringkat, tidak ada sedikitpun rasa iri di hati mereka. Sebaliknya, mereka merasa bangga dan bahagia melihat adik angkat mereka meraih kesuksesan.

     

    Setelah menerima penghargaan, Izka turun dari panggung dan langsung disambut oleh Sybil dan Walter. “Kau hebat, Izka!” seru Sybil sambil memeluknya.

     

    Walter menepuk bahu Izka dengan bangga. “Kami selalu tahu kau memiliki potensi besar. Ini baru permulaan, adikku.”

     

    Izka tersenyum lebar, merasa terharu dengan dukungan kakak-kakak angkatnya. “Terima kasih, Kak Sybil, Kak Walter. Aku tidak akan bisa sampai di sini tanpa kalian.”

     

    Malam itu, aula dipenuhi kegembiraan dan semangat. Para siswa merayakan pencapaian mereka, tetapi perhatian utama tetap tertuju pada Izka, yang telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad, segala sesuatu mungkin tercapai. Di tengah keramaian, Mateka mengamati dari kejauhan, merasa bangga melihat masa depan yang cerah bagi akademi dan para siswanya.

     

     

    Kreator : Ry Intco

    Bagikan ke

    Comment Closed: Terbaik Di Akademi

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021