Aku memulai karyaku sebagai seorang guru kontrak propinsi di sebuah sekolah swasta di salah satu desa wilayah timur Indonesia. Pertama kali aku melangkahkan kaki di sekolah itu tiba-tiba aku tersadar bahwa mimpi masa kecilku ternyata sungguh terjadi.
Sekolah tempat aku bekerja hanya terdiri atas tiga ruang kelas dan satu ruang kantor. Walaupun pagarnya masih pagar hidup (pagar tanaman), namun dinding sekolah tidak sepenuhnya terbuat dari papan. Masih ada tembok penyekat walaupun hanya setengah.
Tibalah hari pertama aku berdiri di depan kelas. Semua mata memandangku penuh tanya yang tak bisa diungkapkan. Aku mulai gugup. Mampukah aku mengajar mereka seperti pesan dan bekal yang diberikan dosenku ? Bisakah mereka memahami apa yang aku sampaikan nanti ?
Kepala sekolah rupanya membaca kecemasan dalam diriku. Beliau mulai memperkenalkan aku di depan murid kelas satu, bahwa sejak saat itu mereka akan belajar bahasa Inggris bersama guru baru. Ada yang mengeluarkan ungkapan kecewa karena harus berpisah dengan guru favorit mereka. Namun banyak juga yang merasa penasaran ingin belajar bersama guru baru.
Aku teringat kembali pada Bu Lilik, guru TK yang selalu menghipnotis dan telah menjadi inspirasiku. Dengan percaya diri aku memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Sebagian murid tertawa, yang lain tersenyum dan ada yang tetap diam seolah menjaga perasaanku. Entah kenapa aku tidak tersinggung atau bahkan marah atas sikap mereka. Aku menyadari, anak-anak bereaksi seperti itu karena mereka tidak mengerti apa yang aku sampaikan.
Mengajar di wilayah pelosok ternyata tidak semudah yang aku lihat di TV, bahkan bisa dikatakan sangat jauh dari pesan idealis para dosen di kampus. Aku harus banyak merubah strategi pendekatan agar muridku bisa mengerti.
Berbeda dari murid privat di kota kelahiranku yang telah hidup dikelilingi oleh faktor pendukung pengenalan bahasa asing, murid di tempatku bertugas, bahasa daerah masih menjadi bahasa pergaulan sehari-hari. Kadang aku berpikir, apakah faktor ini pernah menjadi bahan pembahasan mereka kaum akademisi di kampus atau bahkan penyusun sistem pendidikan di negeri ini ? Ahh sudahlah, aku bersyukur menghadapi kenyataan berbanding terbalik yang tidak pernah mereka temui. Aku ingin berarti bagi anak-anak di tempat tugasku.
Satu hari berinteraksi dengan muridku sudah cukup menjadi masa orientasi kilat bagiku. Keterbatasan referensi bahasa asing di sekolah tidak menyurutkan semangat untuk membuat muridku menjadi tahu. Dengan bekal buku-buku mata pelajaran bahasa Inggris yang sempat aku bawa dari kota kelahiranku, aku mulai menyiapkan handout untuk membantu muridku memahami materi saat aku menjelaskan di kelas. Agar kelihatan menarik ku goreskan sedikit gambar ilustrasi, karena melalui gambar sering anak-anak menjadi lebih cepat belajar. Dan jadilah handout sederhana karyaku. Mungkin tidak terlalu sempurna, tapi setidaknya bisa dibawa pulang.
Tibalah saatnya aku harus berpikir bagaimana caranya memperbanyak handout yang telah aku siapkan agar bisa dimanfaatkan oleh murid-muridku di sekolah. Di desa tempatku bertugas saat itu belum ada tempat fotokopi. Awalnya aku menumpang ojek untuk mencari tempat fotokopi di pusat kota. Namun setelah itu ojek langgananku menawarkan diri untuk membawa dan memperbanyak master handout agar aku tak perlu setiap saat pergi ke pusat kota. Hidup di desa tak selamanya menyedihkan. Ikatan emosional penduduk yang selalu peduli dan siap menolong sangat banyak meringankan tugasku sebagai guru. Dengan sedikit dana yang aku miliki aku memperbanyak handout agar anak-anak lebih semangat dan bisa belajar bahasa Inggris di rumah.
Hari demi hari semakin banyak ku temui kenyataan yang jauh berbeda dengan teori kampus. Banyak rencana idealis yang harus ku turunkan porsinya demi anak-anak bisa mengerti dan memahami. Membuat alat peraga dari bahan-bahan sederhana yang ada di sekitarku menjadi kegiatan baru yang wajib dilakukan tiap hari. Anak-anak begitu antusias ketika aku datang dengan membawa media untuk kami belajar. “ Ibu sebentar kita belajar apa ?” “ Ibu bawa apa tu ?” “Ibu buat sendiri ?” “Wah bagus ibu. “ demikianlah mereka menyambutku sambil takut-takut memegang alat peraga buatanku.
Membimbing dengan sangat perlahan demi membuat anak-anak percaya diri untuk belajar bahasa Inggris adalah satu prinsip utama yang menjadi rel yang tak boleh dilanggar. Memotivasi anak-anak baik secara umum di depan kelas maupun saat membimbing secara pribadi , meyakinkan bahwa mereka bisa, selalu ku lakukan untuk mendorong mereka tetap berusaha belajar dan berani mencoba. Tidak jarang aku menyelipkan bahasa daerah demi membuat mereka semakin memahami materi yang diajarkan.
Menghargai setiap usaha dan jerih payah anak didik ku menjadi satu aturan wajib setiap kali aku memberikan penilaian. Sekecil apapun kemajuan yang mereka tunjukkan adalah kepuasan bagiku. Dengan keterbatasan waktu dan lingkungan pendukung belajar yang kurang memadai menuntut nilai sempurna dalam arti sesungguhnya hanya akan menyurutkan semangat mereka bahkan bukan tidak mungkin justru akan memadamkan pelita minat belajar bahasa Inggris yang baru saja menyala.
“ Ibu, kenapa kemarin tidak masuk ? Kami menunggu ibu “ satu kalimat lugas yang sering kali membuat aku terharu. Aku tak menyangka, usahaku mendampingi mereka belajar bahasa Inggris ternyata bisa diterima. Aku bahagia akhirnya aku bisa mengabdikan tenaga dan pikiranku demi membantu anak-anak. Semoga semua yang ku lakukan bisa bermanfaat bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Kreator : UC Wind
Comment Closed: Terbatas Bukan Tidak Bisa
Sorry, comment are closed for this post.