Kenangan Terindah Bersama Keluarga
Jacky dan komplotannya yang masih mendapat bantuan dari jaringan negara Seberang memperbanyak peralatan senjata api yang rencananya akan dipergunakan untuk melawan para penegak hukum yang masih mencari keberadaannya. Foto mereka telah disebar di segala penjuru Nusantara, sehingga mereka tidak bisa keluar kemana pun. Ini menyebabkan mereka kerepotan keluar dari tempat persembunyiannya, jika mau membeli keperluannya dengan terpaksa menyamar supaya tidak dikenali oleh orang lain.
Benar perkiraan mereka yang mengantisipasi diri sendiri untuk selalu waspada terhadap setiap orang, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Justru orang yang mengenalnya akan menunjukkan persembunyian mereka. Makanya anggota komplotan ini rela berpisah dari anak dan istrinya demi mempertahankan persembunyian mereka. Kalau bukan komplotan sendiri, tidak akan pernah diberitahukan keberadaan mereka termasuk keluarganya. Saat anggota polisi yang menyamar menggali informasi dari beberapa orang terdekat dari komplotan ini, mereka tidak mendapatkan jawaban yang pasti mengenai keberadaan anggota keluarganya yang sedang dicari oleh aparat. Mereka memilih diam karena tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan saudaranya. Alhasil polisi gagal mencari keberadaan komplotan Jacky hingga berbulan-bulan.
******
Silvi yang sudah sehat, kembali bersama ibu dan adik-adiknya. Di dalam kamarnya dia hanya diam terpaku merenungi nasibnya yang kini telah ditinggal pergi ayahnya yang selalu melindunginya. Dulu dengan segala kemewahan dan kekuasaan yang dimiliki ayahnya, dia diperlakukan seolah seorang putri dari kerajaan khayalan. Apapun yang dia inginkan pasti mudah didapatkannya, hingga lamunannya melayang pada pertemuannya dengan Jacky. Dengan ketampanannya dan ketangkasannya membuat dirinya semakin jatuh hati pada lelaki itu dan susah pindah ke lain hati. Ingatannya saat masa-masa berdua, terasa dunia milik berdua dengan belaian dari tangan suaminya yang membuatnya bertekuk lutut padanya. Kepiawaiannya menaklukkan dunia tak jauh beda dari ayahnya, saat mereka sedang berada di puncak semua terasa indah. Namun, keberuntungan suaminya tidak bisa bertahan lama, kini dia hanya bisa pasrah bila ke depannya ada sesuatu yang memisahkan mereka.
Kini dia terpisah dari suaminya yang masih dicintai dan dirindukannya, entah di mana keberadaan suaminya sekarang, karena pernah diberikan pesan jika ada keadaan yang membahayakan, dirinya tidak boleh menghubunginya terlebih dulu, sampai suaminya sendiri yang akan menghubunginya. Beberapa minggu di rumah, mendadak ibunya yang sudah lama sakit stroke dan hanya berbaring di tempat tidur, kondisinya mulai melemah. Hanya Silvi yang merawat ibunya, namun adik iparnya istri dari adik laki-lakinya tidak mau merawatnya. Alasannya sibuk bekerja tidak punya waktu untuk mengurus mertuanya. Padahal alasan sebenarnya dia tidak mau, karena badan mertuanya sudah bau dan lama berbaring di tempat tidur. Sejak ditinggal ayah mereka, ibunya yang menyimpan kesedihan yang mendalam menyebabkan pikirannya mempengaruhi tubuhnya yang mulai melemah. Fisiknya menurun dari tiga hari yang lalu, dan dokter yang memeriksanya menyatakan ibunya telah tiada dan menghembuskan nafas terakhirnya menyusul pasangan sejatinya.
Silvi semakin terpuruk setelah perlahan-lahan semuanya hilang dari genggamannya. Setelah beberapa hari meninggalnya ibu mereka, pihak bank menyampaikan akan menyita rumah yang ditempati beserta aset pribadi karena sudah beberapa bulan nunggak tidak melakukan pembayaran pajak tanah dan bangunan. Silvi dan adik-adiknya sudah tidak bisa apa-apa lagi, mereka merelakan dan menyerahkan semua yang dulu dimiliki. Air mata mereka tak bisa dibendung lagi, ada kenangan terindah di rumah itu. Dari sini adik laki-lakinya meninggalkan dirinya dengan alasan ada pekerjaan di luar kota, dan adik perempuannya beralasan ikut suami. Semua pergi meninggalkannya sendirian, adik-adiknya yang sudah berumah tangga tidak memperdulikannya lagi. Kini, dia harus mengubur kenangan itu bersama kepahitan dalam hidupnya. Kakinya terus melangkah sambil menggandeng tangan anaknya, tak tahu harus kemana, hingga akhirnya sampai di sebuah masjid yang cukup besar. Di sanalah dia berhenti sejenak sambil matanya memandangi bangunan tempat ibadah itu yang berwarna hijau dengan kubahnya yang dilapisi emas, pinggir bangunannya diberikan pagar teralis tapi masih bisa dibuka dan ditutup bila ada yang mau melaksanakan shalat. Ada beberapa orang yang menuju masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslim, tak lama terdengarlah adzan ashar dikumandangkan. Anaknya menarik tangan ibunya, “Bu, kita istirahat sebentar di sini, ya!”
“Ya, Dio.
Silvi tidak tahu harus apa, tubuhnya mematung sementara anaknya berlari menuju toilet. Ada seorang ibu yang melihatnya keheranan dan menyapanya, “Neng, ayo masuk, mari shalat berjamaah!”
Dia bingung harus apa, karena dia sendiri tidak pernah shalat. Terakhir kali melakukannya saat dirinya masih kecil ketika masih di kota Semarang, diajari mengaji dan shalat oleh guru mengaji di rumah. Itu pun dia sudah lupa bacaan setiap rakaatnya. Dia hanya menangis sedih tak tahu harus apa. “Maaf, Bu. Saya sudah lupa shalat. Saya telah lalai kepada kewajiban saya selama ini. Tuhan telah menghukum saya.”
Ibu itu mengajaknya masuk, “Tidak apa, Neng. Nanti ikuti gerakan saya, ya!”
“Baik, Bu.” Jawabnya lega, dan mengajak Dio masuk untuk ikut shalat.
Selesai shalat, Silvi menceritakan masalah yang menimpanya, dan menumpahkan semua air matanya yang dipendam selama ini. Rasa sesak yang mengganjal dikeluarkan melalui sharing terhadap ibu jamaah di masjid ini yang bernama Bu Sari , yang ternyata istri dari pengurus masjid. Beliau lalu membimbingnya, ”Tidak apa, Neng. Tetaplah mendekat kepada Allah dan mintalah tuntunannya supaya hati bisa lebih bersabar dan mengikhlaskan semua yang menimpa Neng dan keluarga. Bisa jadi ini salah satu cara Allah menegur dan menyadarkan Neng dan keluarga supaya kembali dan mengingatnya ke jalan yang diridhoi. Bila dijalani dengan sepenuh hati, Insya Allah akan merasakan ketenangan lahir dan batin.”
Silvi yang mendengarnya menangis sesenggukan, “Terima kasih, Bu Sari.”
“Neng Silvi tujuannya mau ke mana?”
“Saya belum tahu, Bu.”
“Begini saja, kalau Neng mau ikutlah ke rumah saya. Meskipun tidak bagus, tapi bisa buat berteduh.” Ajak bu Sari yang juga memiliki warung makan yang berada di pinggir jalan, yang saat itu memang membutuhkan orang yang membantu di warungnya. Silvi merasa Allah masih sayang padanya, karena dipertemukan dengan orang baik yang menolong dirinya dan Dio berteduh, sambil mencari tempat tinggal lainnya. Dirinya merasa sungkan bila merepotkan bu Sari terus menerus.
Saat senja datang, Dio bertanya padanya, “Ma, Papa kemana ya, kenapa tidak mencari kita?”
Pertanyaan anaknya membuatnya menangis, “Jangan nangis, Ma. Dio tidak akan bertanya lagi. Dengan berlinangan air mata Silvi mencoba memberikan pengertian pada anaknya.
“Dio sayang sama Papa, kan?” Dio mengangguk. Lanjut Silvi, “Kita doakan Papa sehat dan aman di tempat sana. Semoga Papa akan segera menghubungi kita dan bisa berkumpul kembali.
“Ya, Ma.
Kreator : Sri Setyowati
Comment Closed: Terjerumus ke Lembah Hitam (Bab 12)
Sorry, comment are closed for this post.