Hari Senin sore, kau nampak tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang akan kau kejar. Dengan mobil kuning kecilmu, kau memarkirnya tepat di depan perpustakaan tempatku bekerja.
“Ibu Cherry, mau kemana setelah ini?” tanyaku.
“Aku mau belanja kain seragam untuk wanita kaum ibu di Bendar Pusat Kota.” Sahut Ibu Cherry.
“Kenapa, Bu Dinaa? Mau numpang?”
“Eeh…iya, kalau tidak keberatan. Aku numpang yaa sampai depan Alfamidi bersama anakku, Ariel.”
“Okay, boleh, yuuuuk!!” jawab Ibu Cherry.
Dan, percakapan singkat pun terjadi hanya selang beberapa saat sampai aku dan anakku, Ariel, tiba di depan Alfamidi. Intinya Bu Cherry sangat antusias dan gembira kala menceritakan keinginannya untuk membuat baju barunya. Begitu ceria dan bersemangat, sampai aku hanya bisa tersenyum dan mengiyakan saja tanpa banyak kata yang kuucapkan karena Ibu Cherry begitu mendominasi, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih karena sudah tiba di tujuan. Lalu, Bu Cherry melanjutkan perjalanannya seorang diri. Aku dan Ariel hanya menatap perginya mobil kuning kecil itu. Lalu kami berdua pun melanjutkan perjalanan kami setelah mobil yang menjemput kami tiba.
Keesokan harinya, kala jam pulang kerja akupun melihat Bu Cherry dengan mobil kuning kecil sudah bersiap-siap untuk pulang. Dari balik jendela perpustakaan aku pun berteriak.
“Ibu Cherry, mau kemana setelah ini!?”
“Saya mau langsung pulang ke rumah, Bu Dina.” Jawab Ibu Cherry.
“Aku numpang yaa.” Kataku.
“Okay. Yuuk, naik.” Ibu Cherry membalas dengan senyuman khasnya.
Aku pun langsung bergegas naik mobil kuning kecil milik Ibu Cherry. Kebetulan rumahku searah dengan rumah Ibu Cherry. Dalam perjalanan ini Ibu Cherry banyak bercerita, tapi lebih mengungkapkan segala unek-uneknya. Akupun menjadi pendengar setia. Segala keluh kesahnya dicurahkan padaku. Termasuk sakit hatinya pada seseorang. Ku biarkan Ibu Cherry ungkapkan isi hatinya. Mungkin dengan begitu hatinya bisa plong. Terungkap seluas-luasnya padaku, tanpa ada beban lagi. Ada tangisan kecil yang kudengar. Sebegitu sakitnya kah hati Ibu Cherry? Aku hanya bisa menenangkannya, memberinya semangat dan dorongan serta mengatakan bahwa semua masalah ada jalan keluarnya. Seberat apapun masalahnya, sesulit apapun itu pasti semuanya akan berlalu asalkan kita menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Sang Penolong. Jangan lupa berdoa dan tetap semangat…itu ku sampaikan pada Bu Cherry tatkala kami berpisah, saat aku tiba didepan rumah dan Ibu Cherry melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang hanya berjarak sekitar 3 menit dari rumahku. (Dan inilah yang menjadi pertemuan terakhirku bersama Ibu Cherry).
Hari Rabu, seperti biasanya aku datang lebih pagi karena hari piketku bersama tiga rekan guru. Aku bekerja seperti biasanya walaupun tanpa riuh rendah suara siswa karena mereka sedang libur kenaikan kelas. Sampai di saat siang aku merasa ada kegelisahan yang merasuk hatiku yang entah apa. Akupun pergi menemui Ibu Titin diruang tata usaha, tapi kulihat di sibuk dengan pekerjaanya, dan sesekali mengangkat telepon genggamnya yang berdering. Aku mau bertanya tentang Ibu Cherry yang seruangan dengan Ibu Titin, karena sepertinya tak kulihat batang hidungnya sejak pagi. Hingga akhirnya aku samar-samar mendengar percakapan lewat handphone antara Ibu Titin dan seseorang di seberang yang ternyata Ibu Cherry. Ibu Cherry sedang dirawat dirumah sakit. Ibu Titin memberitahukan padaku bahwa Ibu Cherry sudah sejak pagi tadi masuk rumah sakit karena rasa pusing yang dialami ketika sedang membawa kendaraannya, langsung menepi untuk menghentikan mobilnya dan segera menelepon anaknya, lalu pingsan. Yaa Tuhan… Aku pun sampai kaget mendengar berita ini.
Sore itu, kala matahari hampir redup, aku di rumah sedang santai, tiba-tiba grup WA berdering. Tapi tak kuangkat (salah satu hal yang paling kusesali). Selang beberapa waktu kemudian, adikku, Septia, meneleponku yang mengatakan bahwa sahabat baikku Ibu Cherry telah tiada. Aku yang tak percaya langsung berteriak sekencang-kencangnya (mungkin adikku sampai menutup telinganya). Aku katakan pada adikku jika kemarin sore Ibu Cherry yang mengantarku pulang ke rumah. Aku menangis sejadi-jadinya sampai keponakanku masuk kamarku bertanya ada apa. Aku jelaskan dengan terisak kalau Ibu Cherry sudah tiada.
Kepergian Ibu Cherry begitu mengagetkan, tapi juga menyisakan kenangan yang tak terlupakan. Kebersamaan kami di tempat kerja yang hampir 20 tahun. Bukan waktu yang singkat memang. Ibu Cherry tempatku berbagi cerita baik suka maupun duka. Begitupun disaat aku sangat membutuhkan dana jika kantongku sudah kering, beliau tanpa segan membantuku (tapi aku tahu diri; saat gajian segera ku kembalikan). Hal manis yang selalu kau berikan saat Valentine Day, yaitu coklat Silver Queen tak pernah terlewatkan. Saat kau ulang tahun, tak lupa membawa makanan dan minuman yang enak-enak untuk kami makan siang bersama di tempat kerja.
Sudah enam bulan berlalu, tapi sepertinya belum hilang jejakmu dari pelupuk mataku ini. Tak pernah lagi kulihat kau dengan mobil kuning kecilmu. Apalagi saat tahun baru, biasanya Ibu Cherry mengajak kami teman-teman sekantornya untuk makan bersama di rumahnya kala penghujung bulan Januari tiba.
(Sekarang sudah tanggal 3 Januari 2025 saat kutulis cerpen ini. Itu artinya Ibu Cherry biasanya akan memanggil kami untuk makan bersama di penghujung bulan ini. Tapi, ternyata kau sudah pergi jauh. Dadaku terasa sesak mengingatmu, air mataku menetes lagi mengenangmu yang baik hati itu. Hampir tak selesai cerpenku ini, tapi aku kuatkan hati dengan selalu mengenang kebaikan Ibu Cherry padaku selama ini).
Kreator : Tuty S. Sukandis
Comment Closed: Ternyata Pergi Jauh
Sorry, comment are closed for this post.