Bu Heni, guru BP di salah satu sekolah menengah bercirikan Islam terbesar di Kabupaten Bogor, mendapatkan laporan bahwa di kelas XI MIPA 8 terjadi kehilangan uang sebesar satu juta rupiah.
Sebagai langkah awal penyelesaian masalah tersebut, dia memanggil beberapa pengurus kelas ke ruang kerjanya. Salah satu diantaranya adalah Suryani, selaku seksi keamanan di kelasnya.
Mendapatkan giliran masuk ke ruang BP, Suryani terlihat agak kikuk. Dia berdiri cukup lama di depan pintu ruang BP, seolah-olah ada yang sedang dia pikirkan.
“Assalamu alaikum!” Ucapnya setelah tangannya mengetuk pintu ruang BP.
“Wa alaikum salam,” Ucap Bu Heni dari dalam. “Silahkan masuk.” Lanjutnya.
“Ibu memanggil saya?” Tanya Suryani sambil menatap wajah bu Heni.
“Iya….” Jawab Bu Heni. “Silahkan duduk.”
“Ada apa ya, Bu?” Tanya Suryani, dengan roman gugup.
“Hm…. Begini Yani…. Saya dengar, di kelas kamu ada yang kehilangan uang.” Ucap Bu Heni.
“Betul, Bu.” Suryani membenarkan perkataan Bu Heni sambil menganggukan kepala.
“Berapa?” Tanya Bu Heni
“Satu juta rupiah, Bu.” Jawab Suryani sambil menundukan kepalanya.
“Uang siapa?”
“Uang kas, Bu.”
“Kapan kejadiannya?”
“Kemarin pagi, Bu. Saat pelajaran olahraga.”
“Di antara teman-temanmu, ada tidak yang kamu curigai sebagai pelakunya?” Pertanyaan Bu Heni mulai pada penyelidikan.
“Saya tidak berani nunjuk, Bu,” Jawab Suryani. “Saya takut salah.” Lanjutnya.
Pembicaraan baru sampai di situ, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Silahkan.” Ucap Bu Heni kepada orang yang berada di balik pintu.
“Assalamu alaikum.” Ucap Pak Arif selaku wali kelas XI MIPA 8 setelah membukakan pintu. Dia didampingi oleh pak Hasan guru mata pelajaran Aqidah Akhlak.
“Wa alaikum salam. Pak Arif, Pak Hasan, Silahkan duduk.” Ucap Bu Heni sambil berdiri, dan mempersilahkan Pak Arif dan Pak Hasan untuk duduk di banggu khusus untuk tamu.
“E… Suryani…., sekarang kamu masuk kelas lagi, ya.” Pintanya kepada Suryani.
“Baik Bu…,” Jawab Suryani sambil bersalaman ke Bu Heni, lalu ke Pak Arif dan Pak Hasan. “Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam.” Jawab Bu Heni, Pak Arif, dan Pak Hasan berbarengan.
“Pak Arif, kita harus menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin.” Ucap Bu Heni pada Pak Arif.
“Iya, Bu. Dan, saya mau minta bantuan Pak Hasan untuk membantu menemukan pelaku pencurian itu.” Jawab Pak Arif sambil menunjuk pak Hasan dengan jempolnya.
“Bagaimana Pak Hasan, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Bu Heni.
“Baiklah. Kita coba teknis menebak apa yang ditulis siswa. Ibu sebagai pengantar, saya sebagai penebak, dan Pak Arif sebagai saksi.” Jawab Pak Hasan, yang selanjutnya uraikan teknik dan tata caranya.
“Bagaimana, apa bisa dipahami?” Tanya Pak Hasan setelah selesai memberikan penjelasan.
“Jadi yang Bapak tebak dulu itu tulisan Bu Heni?” Tanya Pak Arif.
“Betul, dan Bu Heni harus membenarkan apa yang saya katakan. Setelah itu lintingan saya buka. Dan yang dibuka itu adalah tulisan anak yang akan ditebak berikutnya.” Jelas Pak Hasan.
“Ok, Bismillah. Mari kita mulai.” Ajak Bu Heni
Tanpa basa basi lagi, ketiga guru itu keluar meninggalkan ruang BP menuju ruang kelas XI MIPA 8.
Suasana kelas XI MIPA 8 yang sedang gaduh, karena baru saja pergantian jam pelajaran langsung berlarian ke meja masing-masing. Suasana pun mendadak sepi. Tidak ada pembicaraan satu sama lain.
“Assalamu alaikum.” Ucap Pak Hasan setelah membuka pintu.
“Wa alaikum salam.” Jawab seluruh siswa kelas XI MIPA 8.
“Anak-anakku, selaku wali kelas kalian, saya merasa sangat kecewa dan merasa malu terhadap teman-teman guru yang ada di sekolah ini atas apa yang terjadi di kelas kita. Saya ingin masalah ini dapat segera dapat dituntaskan. Untuk itu, saya meminta bantuan pada Pak Hasan dan Bu Heni untuk menyelesaikan masalah ini.” Ucap Pak Arif, sambil menunjuk Pak Hasan dan Bu Heni.
“Kepada Bu Heni…., dipersilahkan,” Lanjutnya kepada Bu Heni.
“Assalamualaikum, anak-anak.” Ucap Bu Heni/
“Wa alaikum salam, Bu.” Jawab mereka.
“Anak-anakku, mencuri adalah salah satu perbuatan yang sangat tercela. Saya mohon kepada siapapun yang telah melakukannya, sadar dan mengembalikan uang yang pada dasarnya milik kalian semua. Di sini ada Pak Hasan. Dengan ilmu yang dimilikinya beliau bisa menebak siapa sebenarnya yang telah melakukan pencurian di kelas kalian.” Bu Heni membuka pembicaraan.
“Mau bukti?” Tanyanya setelah melihat beberapa anak yang kelihatan tidak percaya.
“Mauuuuuu.” Ucap mereka serempak.
“Kalau begitu, silahkan kalian menulis nama kalian dan nama buah yang kalian sukai di kertas ini. Saya dan Pak Arif selaku wali kelas kalian, akan ikut menulis pula. Suryani, tolong bagikan kertas ini.” Ucap Bu Heni sambil menyerahkan kertas yang sudah dipotong kecil-kecil.
“Siap, Bu.” Jawab Suryani.
Setelah menerima kertas yang dibagikan oleh Suryani, semua siswa menuliskan nama dan buah kesukaan mereka pada kertas tersebut, termasuk Pak Arif dan Bu Heni, lalu mereka linting, dan diserahkan kembali pada Suryani.
“Kertas sudah terkumpul.” Kata Bu Heni setelah menerima seluruh lintingan kertas dari Suryani.
“Sekarang kalian bisa saksikan apa yang akan dilakukan oleh pak Hasan.” Lanjut Bu Heni.
“Pak Hasan sudah siap, Pak ?” Tanyanya pada Pak Hasan.
“Insya Allah, siap, Bu.” Jawab Pak Hasan.
“Mohon maaf, saya duduk di meja guru.” Lanjutnya
“Silahkan.” Ucap Pak Arif dan Bu Heni
Pak Hasan duduk di kursi guru. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan kedua matanya. Mulutnya terlihat melafalkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, setelah itu dia mengangkat satu lintingan kertas. “Kertas ini, ditulis oleh Bu Heni. Dia menulis buah kesukaannya, nangka. Betul kan, Bu?” Kata Pak Hasan sambil mengarahkan pandangannya kepada Bu Heni.
“Betul, saya menulis buah kesukaan saya, nangka.” Jawab Bu Heni.
“Sekarang lintingan kertas ini akan saya buka.” Ucap Pak Hasan, yang selanjutnya dia membuka lintingan kertas yang ada di tangan.
“Pak Arif, coba lihat! Betul tidak dalam kertas ini tertulis nama Bu Heni, dan nama buah kesukaannya, nangka?” Tanya Pak Hasan sambil memperlihatkan lintingan kerta ke Pak Arif
“Iya, betul.” Jawab Pak Hasan sambil menganggukkan kepalanya.
“Bu Heni, coba ibu lihat! Betul tidak ini tulisan Ibu?”
Tanya Pak Hasan kepada Bu Heni.
Bu Heni mendekat pada Pak Hasan, lalu melihat kertas kecil yang diperlihatkan Pak Hasan.
“Betul, itu tulisan saya.” Jawabnya.
“Huuuuhh…. ini mah settingan.” Celetuk seorang siswa yang kemudian celotehan siswa yang lainya sehingga suasana menjadi sedikit ramai.
“Tenang, tenang!” Bu Heni berusaha menenangkan suasana. “Sekarang…., kita lihat lintingan berikutnya. Silahkan, pak !” Kata Bu Heni ke Pak Hasan.
Pak Hasan kembali mengambil lintingan kertas secara acak. Setelah beberapa saat dia kembali mengacungkan satu lintingan kertas.
“Apakah di kelas ini ada yang bernama Wardah?” Tanya Pak Hasan dengan tangan masih mengacungkan lintingan kertas.
“Saya, Pak.” Jawab Wardah sambil mengacungkan tangan.
“Kamu menuliskan buah naga, kan?” Tanya Pak Hasan
“I…. iya, Pak.” Jawab Wardah gugup, dia tidak menyangka kalau tulisannya ketebak oleh Pak Hasan.
Selanjutnya, Pak Hasan membuka lintingan kertas yang ada di tangan.
“Pak Arif sebagai saksi, betul kan ini tulisan Wardah?” Tanyanya pada Pak Arif.
“Betul, Pak.” Jawab Pak Arif setelah melihat kertas yang dilihatkan oleh Pak Hasan.
Semua siswa mendadak diam, mereka saling pandang satu sama lain dengan pandangan penuh keheranan.
“Sekarang, coba salah seorang diantara kalian ambil satu lintingan kertas ini, lalu berikan kepada Pak Hasan.” Kata Bu Heni memberikan tantangan.
Bani salah seorang siswa yang tadi nyeletuk langsung ke depan, lalu mengambil satu lintingan kertas, lalu diberikan kepada Pak Hasan.
Pak Hasan langsung mengangkat lintingan kertas yang diberikan oleh Bani, lalu ditempelkan di keningnya.
“Di dalam kertas ini, tertulis nama Irfan, Ada yang bernama Irfan di sini?”
“Saya, Pak!” Anak yang bernama Irfan menjawab sambil mengacungkan tangan.
“Kamu menulis buah semangka, kan?” Tanya Pak Hasan.
“Betul, Pak.” Jawan Irfan dengan roman muka penuh keheranan.
Pak Hasan membuka lintingan kertas di tangan lalu diperlihatkan kepada Pak Arif. Pak Arif pun langsung mengiyakan.
Beberapa saat kemudian, Pak Hasan kembali mengambil lintingan kertas secara acak. Diangkatnya satu lintingan lalu memandang ke seluruh siswa, seolah-olah dia sedang membaca isi hati mereka. Tidak seorangpun diantara mereka yang berani mengangkat kepala apalagi mengeluarkan kata-kata.
“Yang merasa menulis buah kesukaan buah salak, silahkan maju ke depan.” Pinta Pak Hasan..
Satu per satu siswa yang menulis buah kesukaan salak maju. Jumlah mereka ada tujuh orang.
“Betul kalian menuliskan buah salak?” Tanya Pak Hasan kepada tujuh siswa yang maju ke depan.
“Betul, pak.” Jawab mereka.
“Diantara kalian, ada yang menulisnya dengan tinta merah.” Ucap Pak Hasan. “Siapa diantara kalian yang bernama Fikri?” Tanyanya.
“Saya, Pak.” Jawab siswa yang bernama Fikri.
“Betul, kamu menulisnya dengan tinta merah?” Tanya Pak Hasan
“Betul, Pak.” Jawab Fikri.
Setelah Fikri membenarkan apa yang disampaikan, Pak Hasan mempersilahkan ketujuh siswa tersebut untuk duduk di tempatnya kembali.
“Tepuk tangan buat Pak Hasan !” Bu Heni mencoba memecahkan keheningan. Anak-anak pun bertepuk tangan dengan meriah.
“Mungkin ada yang ingin disampaikan oleh Pak Hasan, dipersilahkan.” Ucap Bu Heni pada Pak Hasan setelah anak-anak tenang kembali.
“Anak-anakku, saya sebenarnya bisa saja menunjuk batang hidung pencuri itu. Tapi, bagaimanapun pencuri itu adalah anak kami. Kami tidak ingin mempermalukannya di depan kalian semua. Kami yakin apa yang dilakukannya itu karena terpaksa. Untuk itu, kami menghimbau, wahai pencuri yang masih punya hati, kami menunggu kejujuranmu, kirimkan pengakuanmu pada WA-nya Ibu Heni. Insya Allah, tak seorang pun teman kalian di kelas ini yang akan tahu kalau kamu pencurinya.” Ucap Pak Hasan dengan nada puitis.
“Terima kasih pak Hasan. Dan saya tambahkan sedikit, kejujuran adalah sebuah jembatan menuju kesuksesan. Saya tunggu pengakuan kamu baik lewat WA atau lewat telepon, atau langsung menemui saya. Assalamu alaikum.” Ucap Bu Heni sambil menutup pembicaraan dengan salam.
Ibu HEni, Pak Arif, dan Pak Hasan, keluar dari ruang kelas 11 MIPA 2 menuju ruang BP lagi.
“Terima kasih Pak Hasan, Bapak telah membantu tugas kami !” Ucap Bu Heni setelah sampai di ruang BP.
“Sama-sama, Bu.” Jawab Pak Hasan.
“Akting Pak Hasan, luar biasa.” Puji Pak Arif.
“Ah, biasa saja kali, Pak.” Kata Pak Hasan
“Silahkan diminum airnya, Pak.” Ucap Bu Heni sambil menyodorkan botol air mineral ke Pak Arif dan Pak Hasan.
Ketiga guru tersebut selanjutnya merencanakan langkah-langkah lanjutan jika cara yang tadi dilaksanakan tidak menemui hasil. Pembicaraan mereka berlangsung sampai jam terakhir. Ketika mereka bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Silahkan masuk.” Ucap Bu Heni
Perlahan-lahan pintu di buka, perlahan-lahan pula Suryani masuk. Lalu berdiri di depan ketiga guru yang tadi masuk ke ruang kelasnya.
“Suryani?” Ucap Bu Heni.
Suryani tidak menjawab, dia langsung menjatuhkan dirinya ke pangkuan Bu Heni. Tangisannya pun mulai pecah.
“Ada apa?” Tanya Bu Heni
“Saya pelakunya, Bu.”
“Kamu?”
“Iya, Bu.”
“Coba duduk dulu dengan tenang.” Ucap Bu Heni sambil mendudukan Suryani disampingnya.
“Terima kasih, kamu sudah berkata jujur kepada kami.” Ucap Pak Hasan.
“Yani, kenapa kamu lakukan ini, Nak?” Tanya Pak Arif.
“Maafkan Yani, Pak. Terpaksa ini Yani lakukan. Ibu Yani sakit, Pak. Sudah dua bulan tidak bekerja.” Jelas Suryani.
Selanjutnya, Suryani menceritakan kejadian saat dia pulang dari sekolah, didapatinya Bu Darmi pemilik kontrakan sedang menagih uang kontrakan rumah kepada ibunya.
***
“Ini sudah bulan ketiga, Ibu belum bayar kontrakan.” Kata Bu Darmi.
“Iya, Bu. Mohon maaf, saya belum bisa bayar.”
“Kalau begitu, silahkan kosongkan kontrakan ini, karena besok sudah ada yang mau ngisi lagi !”
“Tapi, Bu ….”
“Tidak ada tapi-tapian, saya sudah bosan alasan-alasan yang tak masuk akal.”
“Assalamu alaikum.” Yani memberanikan diri mendekati Bu Darmi.
“Wa alaikum salam”
“Nah, kebetulan kamu datang. Bantu Ibu kamu membereskan barang-barang karena besok sudah ada orang lain yang akan mengisi kontrakan ini.” Pinta Bu Darmi
“Apa nggak ada kebijakan, Bu? Ibu saya baru saja sembuh dari sakit.”
“Kebijakan apa lagi? Saya sudah membiarkan kamu menunggak selama dua bulan, apa masih kurang?”
“Tapi selama dua bulan itu Ibu saya sakit, Bu.”
“Oooh, jadi kalau sakit, kontrakan harus gratis? Gitu?”
“Kami tidak minta gratis Bu, kami mau bayar… Kami hanya meminta sedikit pengertian dari Ibu…Tunggulah satu atau dua bulan ke depan.”
“Eh, lu mau ngatur gua? Ngaca lu! Orang miskin mau mengatur-ngatur gua.”
“Kami memang orang miskin, tapi kami punya harga diri, Bu.”
“Kalau kamu ingin dikatakan punya harga diri, bayar kontrakan ini! Ayo bayar!”
“Sudah Nak, sudah !” Ibu Yani mencoba melerai.
“Besok sore uang itu akan saya antarkan ke rumah Ibu, Ibu tidak perlu repot-repot ke sini.” Spontan Yani mengucapkan kata-kata itu. Padahal Yani tidak punya uang sama sekali.
“Baik, aku pegang ucapanmu. Kalau tidak, besok sore kalian harus angkat kaki dari sini.” Ancam Bu Darmi
***
“Jadi, kamu mengambil uang itu untuk membayar kontrakan?” Tanya Bu Heni setelah Suryani mengakhiri cerita yang menimpa diri dan keluarganya.
“Iya, Bu. Delapan ratus ribu untuk bayar kontrakan, dan dua ratus ribu untuk modal dagang Ibu saya. Maafkan saya Pak. Maafkan saya, Bu. Terpaksa saya melakukan ini.” Kembali Suryani menangis.
“Yani, maafkan Bapak, Nak. Sebagai wali kelas, Bapak tidak mengetahui keadaan kamu selama ini. Sebagai penebus kesalahan Bapak, Bapak bersedia mengembalikan uang itu ke bendahara kelas kamu. Sekarang kamu pulang saja. Uang itu akan saya serahkan ke Ibu Heni. Biar beliau nanti yang mengurusnya.” Pinta Pak Arif
“Terima kasih, Pak. Insya Allah, suatu saat nanti saya akan mengembalikan kepada Bapak.” Ucap Suryani.
“Bapak tidak menghutangkan kepada kamu, jadi kamu tidak usah memikirkan untuk mengembalikannya.” Jelas Pak Arif.
“Baik, Pak.”Jawab Suryani. Dia berdiri, lalu menyalami ketiga gurunya.
“Assalamu alaikum.” Ucapnya, kemudian pergi meninggalkan Bu Heni, Pak Hasan, dan Pak Arif.
“Wa alaikum salam.” Jawab ketiganya.
Sembilan tahun telah berlalu. Suasana sekolah masih seperti dulu. Guru-gurunya belum banyak yang baru. Hanya Kepala Sekolah-nya saja yang berganti berkali-kali. Siang menjelang sore, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu gerbang sekolah,
“Mau ketemu siapa, Mbak?” Tanya Bang Ayub, satpam yang sudah belasan tahun bekerja di situ.
“Bang Ayub, sudah lupa sama saya?” Tanya pengendara mobil itu sambil membuka kacamatanya.
“Suryani?” Tanya Bang Ayub.
“Iya, Bang. Saya Suryani.”
“Masya Allah…. Sampai nggak kenal.” Ucap Bang Ayub, kaget dengan perubahan Suryani.
“Bu Heni ada, Pak ? Tanya Suryani
“Ada….. Mau ke Bu Heni?”
“Iya, Bang.”
“Ayo parkirin dulu mobilnya, ntar Abang antar.” Pinta Bang Ayub.
Setelah memarkir mobilnya, Suryani diantar Bang Ayub ke ruang kerjanya Bu Heni
“Assalamu alaikum.” Ucap Bang Ayub.
“Wa alaikum salam.” Jawab Bu Heni dari dalam. “Silahkan masuk.” Pintanya.
“Assalamu alaikum, Bu.” Ucap Suryani setelah pintu dibuka oleh Bang Ayub.
“Wa alaikum salam. Yani?” Bu Heni terperanjat melihat Suryani tiba-tiba ada di depannya.
“Ibu…” Ucap Suryani dan tanpa ragu lagi dia memeluk guru idolanya.
“Apa kabar?”
“Baik, Bu.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu.” Ucap Bang Ayub pamit.
“Iya, Pak.” Jawab Bu Heni
“Bang, bisa minta tolong panggilin Pak Arif dan Pak Hasan nggak?” Kata Suryani.
“Bisa, Bisa… Tunggu sebentar, ya.” Kata Bang Ayub sambil melangkahkan kakinya meninggalkan mereka berdua.
“Ayo…. duduk dulu.” Ucap Bu Heni setelah beberapa saat.
“Kabar baik apa yang kamu bawa buat Ibu?” Tanyanya setelah Suryani duduk.
“Ibu, pernah dengar Sop Kepala Putri Tunggal?” Suryani balik bertanya.
“Sop kepala yang lagi viral itu?”
“Iya, Bu. Itu milik Ibu saya. Dan, saya pengelolanya. Ahamdulillah, kemarin baru pembukaan cabang yang ke tujuh di Kota Medan.” Jelas Suryani.
“Alhamdulillah…, Ibu senang mendengarnya.” Ucap Bu Heni.
Saat itu Pak Arif dan Pak Hasan datang.
“Assalamu alaikum.” Ucap keduanya berbarengan.
“Wa alaikum salam.” Jawab Bu Heni dan Suryani berbarengan pula.
“Silahkan masuk Bapak.” Bu Heni mempersilahkan.
“Pak Arif, Pak Hasan.” Ucap Suryani sambil menyalami kedua gurunya.
“Ini Suryani?” Tanya Pak Arif.
“Iya, Pak. Suryani yang dulu ngerepotin Bapak.”
“Gimana kabar kamu sekarang?” Tanya Pak Hasan.
“Alhamdulillah, Pak. Baik.”
“Bapak, ada kabar baik dari anak kita yang satu ini. Dia pemilik kedai Sop Kepala Kambing Putri Tunggal, loh.” Ucap Bu Heni.
“Kedai sop kepala yang lagi viral itu?” Tanya Pak Hasan.
“Iya, Pak. Dan, Yani kesini ingin menawarkan sesuatu pada Ibu Heni, Pak Arif, dan Pak Hasan.” Suryani mulai menyampaikan maksud kedatangannya.
“Apa itu?” Tanya Pak Arif.
“Umroh.” Jawab Suryani pendek.
“Umroh sih sudah jadi impian Ibu dari dulu.” Kata Bu Heni.
“Insya Allah, tahun ini Ibu, Pak Arif, dan Pak Hasan berangkat umroh bersama-sama. Ini, sudah saya siapkan berkas yang harus diisi. Semua biaya dan uang sakunya sudah saya siapkan. Ibu Bapak tinggal berangkat saja.” Kata Suryani sambil mengeluarkan berkas dari dalam tasnya.
“Ibu tidak sedang mimpi, kan?” Tanya Bu Heni kaget.
“Insya Allah, ini bukan mimpi, Bu. Ini kenyataan.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Terima kasih.” Bu Heni memeluk Suryani. Tak terasa air mata bahagia mengucur deras di pipinya.
“Terima kasih, Nak.” Kata Pak Hasan.
“Semoga usahamu, tambah maju dan tambah barokah.” Pak Arif menambahkan.
“Aamiin.” Suryani mengaminkan.
Kreator : Baenuri
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Terpaksa
Sorry, comment are closed for this post.