Bab 3. Festival Rock Pertama
Siang itu cuaca terasa panas. Aku sedang mengajar pelajaran Seni Musik di kelas 5. Kira-kira kurang setengah jam lagi pelajaran selesai. Anak-anak terlihat kurang antusias ketika aku mengajarkan cara menyanyikan lagu daerah yang berjudul Soleram.
“Bu Nina, jangan menyanyi lagu Soleram, Bu,” protes Mamat.
“Iya, Bu. Sekali-sekali lagu yang kekinian, Bu,” sambung Ali.
“Iya Bu, nyanyi lagunya Doni Cakran gitu lho,” ujar Mamat lagi.
“Iyaaa, Buuu,” sambung anak-anak yang lain.
“Tenang-tenang, semuanya. Bu Nina tahu kalau kalian suka lagunya Doni Cakran. Tapi, kalian jangan lupa untuk mempelajari lagu-lagu daerah,” ujarku.
“Tapi kan kuno, Bu,” protes Mamat lagi.
“Anak-anakku semua, lagu daerah itu adalah kekayaan budaya Indonesia. Kalau tidak kalian yang mempelajari, lalu siapa lagi?” tanyaku pada mereka.
“Dan apa tadi? Kata siapa, kalau lagu daerah itu kuno? Jika kita membawakannya dengan baik dan sesuai dengan perkembangan jaman, lagu daerah bisa saja menjadi bagus dan menarik. Baiklah, sekarang coba saya minta tolong, Wahyu, tolong ambilkan gitar di kantor guru ya,” pintaku pada Wahyu, Si Ketua Kelas.
“Jangan lupa minta izin sama bu guru yang ada di kantor,” tambahku.
“Baik, Bu,” kata Wahyu sambil beranjak keluar kelas.
Tak lama kemudian, Wahyu kembali ke kelas dengan membawa sebuah gitar di tangannya. Anak-anak memperhatikanku dengan rasa penasaran.
“Wah, Bu Nina mau main gitar,” kata Sahwa.
Aku tersenyum mendengarnya.
“Wah, iya, Bu? Bu Nina bisa main gitar,” tanya Dino sambil terheran-heran.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan menerima gitar dari tangan Wahyu. Aku pun berdiri di depan kelas. Semua anak kelas 5 memandangku dengan rasa penasaran. Tak lama kemudian, aku mulai memainkan gitarku sambil bernyanyi. Suara alunan gitar yang merdu membuat wajah anak-anak berubah. Mereka dengan antusias memperhatikanku. Mereka bahkan mengikutiku bernyanyi dan bertepuk tangan. Suasana kelas 5 menjadi ceria dan riuh rendah.
Ketika melihat keceriaan anak-anak kelas 5, tak terasa ingatanku melayang pada saat aku masih duduk di bangku kuliah. Waktu itu, aku punya grup band bernama The Virgin. Aku sebagai vokal. Andi sebagai gitaris. Aan sebagai bassis. Whempy drummer. Dan Toni pada keyboard. Berlima kami pernah bermimpi untuk menjadi salah satu band yang bisa masuk dapur rekaman. Waktu itu, kami rajin mengikuti festival-festival musik rock yang banyak diadakan di kota-kota di Jawa Tengah. Dengan harapan, jika kita bisa memenangkan festival, maka impian untuk masuk ke dapur rekaman akan terbuka lebar.
Aku masih ingat sekali saat pertama kali kami mengikuti festival music rock. Waktu itu, kami sedang berkumpul di studio musik tempat kami biasa latihan setelah selesai kuliah.
“Mau ikutan ini nggak?” ujar Toni sambil mengeluarkan sebuah selebaran dari saku bajunya.
“Apaan, itu?” sambung Aan.
“Festival Rock di Solo, Ndes,” jawab Toni.
Sontak saja, kami berempat mendekati Toni dan melihat selebaran yang dibawanya.
“Nah, ini, kesempatan yang kita tunggu-tunggu,” ujarku.
“Lagu wajibe apa e?” sahut Andi.
“Banyak sih, ada beberapa. Tapi kayaknya kita pilih Bara Timur aja dari Gong 2000,” jawab Toni lagi.
“Oke, siapa takut? Lagu pilihannya gimana kalo kita bawain Metropolis Part1, Dream Theater yaa, Ndes?” kata Aan.
“Setujuuu,” sahut kami semua.
“Trus uang pendaftarannya gimana?” tanyaku.
“Ini pendaftarannya Rp. 50.000,-. Biar aku aja yang bayarin. Kebetulan aku baru dapat kiriman dari Babeku,” jawab Toni.
Di antara kami berlima, Toni memang termasuk anak orang berada. Dia berasal dari Jakarta dan kuliah di Semarang. Bapaknya adalah seorang pengusaha tekstil dan memiliki perusahaan sendiri.
“Asyiiik.. Gitu dong, Bos,” sahut kami.
“Tapi untuk transport dan makan, kalian iuran lho yaa,” sambung Toni lagi.
“Oke-oke, aja kuatir, Bos. Paling-paling kita ini makannya cuma nasi kucing aja sudah cukup,” kata Andi.
Kami semua tertawa mendengar kata-kata Andi.
“Kalau untuk transportnya, biar aku pinjam mobil Scarrynya kakakku,” ujar Whempy.
“Bensinnya kita bayar rame-rame,” ujarku.
“Yah, begitu aja. Deal yaa,” tanya Toni.
“DEAAAL,” sambung kami.
Dan hari-hari setelah itu, kami sibuk berlatih selama 1 bulan. Setiap selesai kuliah, kami langsung tancap gas latihan 2 lagu yang akan kita tampilkan di Festival Musik Rock di Solo. Kami semua sangat bersemangat dan bertekad untuk menampilkan yang terbaik. Maklum kami berlima adalah anak-anak muda yang merasa passion kami adalah musik. Dan ingin menjadikan musik sebagai jalan hidup kami.
Jangan dibilang perjalanan pilihan bermusik kami ini mulus-mulus saja. Banyak perjuangan dan pertentangan yang kami hadapi. Terutama dengan keluarga. Tidak semua anggota keluarga kami mendukung apa yang kami lakukan. Dari kami berlima yang jelas-jelas mendapatkan dukungan dari keluarga hanya Toni saja. Itu karena, ayah Toni punya hobi musik, ditambah dia berasal dari keluarga berada, sehingga Toni mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Sedangkan Aan dan Andi dua kakak beradik yang pegang gitar dan bass, mereka berdua diharapkan setelah selesai kuliah bisa menjadi Pegawai Negeri. Kalau Whempy, keluarganya tidak ambil pusing. Dia anak bungsu dari dua bersaudara yang hidupnya sangat santai. Orang tuanya hanya berpikir dia punya kegiatan yang positif. Sedangkan aku, sebagai satu-satunya anak perempuan di grup band ini, keluargaku tidak setuju aku memilih musik sebagai jalan hidup. Entah apa alasannya. Tapi dengan berbagai kesulitan yang ada tidak membuat kami patah semangat. Justru menjadi pemicu untuk membuktikan pada semua orang, terutama keluarga, bahwa kami mampu eksis di jalur musik.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, dengan menumpang mobil Scarry milik kakak Whempy, kami menuju Stadion Manahan Solo. Kami tiba di stadion kira-kira jam 08.00 pagi. Jujur saja, melihat grup band yang lain, kami merasa agak minder. Maklum saja, waktu itu adalah pertama kalinya kami ikut Festival Musik Rock di kota lain. Dan jumlah pesertanya lumayan banyak, yaitu 65 peserta. Tapi walaupun begitu, kami tetap berusaha menampilkan yang terbaik.
Grup band kami mendapatkan nomor undi 46. Untuk pakaian, seperti biasa penampilan grup band rock saat itu, memakai celana jins yang robek lututnya, kaos hitam, sepatu kets dan juga ikat kepala. Dengan percaya diri aku sebagai vokalis memperkenalkan diri dan mulai menyanyikan lagu wajib Bara Timur dari Gong 2000. Dengan aksi panggungku, aku berusaha menarik perhatian juri. Ditambah dengan aksi gitar dari Aan dan permainan bass Andi. Dan juga permainan keyboard Toni yang ciamik. Whempy juga tak kalah keren. Dengan aksi drumnya dia berhasil menyita perhatian juri.
Permainan kami semakin seru di lagu pilihan. Materi yang kami pilih yaitu lagu Metropolis Part 1 dari grup band Dream Theater. Dengan raungan gitar yang dahsyat, dan betotan bass yang penuh energi, serta permainan keyboard yang dinamis, masih ditambah dengan permainan drum yang bertenaga, penampilan kami berhasil menarik perhatian para juri dan meraih juara 2. Kami juga mendapatkan uang pembinaan sebesar Rp. 500.000,-. Hasil ini tentu saja membuat kami semakin bersemangat untuk melanjutkan perjuangan di bidang musik. Di sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya kami bercanda dan tertawa-tawa menceritakan pengalaman seru yang kami alami. Dan ketika lapar, tak lupa kami juga makan nasi kucing sepuasnya. Hehe..
Keterangan:
- Ndes : panggilan akrab sesama teman dalam Bahasa Jawa
- Lagu wajibe apa e? : Lagu wajibnya apa ya?
- Aja kuwatir, Bos. : Jangan kuatir, Bos.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Kreator : Klara Rosita
Comment Closed: Tersesat di Jalan Yang Benar Bab 3
Sorry, comment are closed for this post.