Aku berdiri sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Bapak dan Ibu, yang sekarang duduk di ruang tamu tempat kos.
“Kamu kok berdiri di depan pintu begitu, toh, Nduk.” kata Ibu lembut.
“Duduk sini. Nanti kalau ada yang lihat, dikira kamu lagi dimarahi sama Bapak dan Ibu.” sambungnya lagi.
“Nggih, Bu.” jawabku sambil duduk di kursi yang ada di depan mereka.
“Kok baru pulang sekarang? Dari mana saja?” tanya Bapak.
“Dari…em.. latihan band, Pak.” jawabku. Aku tahu aku tidak akan bisa berbohong pada kedua orang tuaku, karena itu kukatakan saja dengan jujur.
Bapak menghela nafas.
“Nin, coba Bapak tanya, sekarang kamu semester berapa?” tanya Bapak lagi. Walaupun pertanyaan Bapak biasa saja, tapi aku bisa merasakan penekanan pada suaranya.
“Delapan, Pak.” sahutku pelan.
“Bapak sangat mengharapkan kamu bisa fokus pada kuliahmu. Bukan saatnya bermain-main. Tahun ini kamu harus lulus kuliah. Setelah itu, bekerja.” tandas Bapak.
“Iya, Nduk. Bapak kan sudah pensiun. Kalau terus membiayai kuliahmu, Bapak dan Ibu tidak sanggup. Jadi, mulai sekarang kamu harus konsentrasi sama kuliahmu, ya,” sambung Ibu.
“Jangan seperti Masmu.” sergah Bapak.
“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah mengingat Dimas lagi. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri.” potong Ibu.
Aku tahu Bapak sangat kecewa pada Mas Dimas, kakak laki-lakiku satu-satunya. Sebagai anak tertua, Bapak sangat mengharapkan masku bisa membanggakan keluarga dengan menjadi arsitek. Tapi, Mas justru memilih untuk menekuni hobinya menjadi pelukis dan putus kuliah.
“Nggih, Pak, Bu. Nina akan fokus kuliah dan berusaha untuk lulus tahun ini.” jawabku.
“Bagus. Kamu jangan sampai membuat Bapak dan Ibu kecewa sekali lagi.” kata Bapak.
“Nggih.” ujarku sambil menganggukkan kepala.
“Bapak sama Ibu nginep, kan?” tanyaku.
“Nggak, Nduk. Bapak sama Ibu langsung pulang. Mumpung ini masih sore. Masih ada jadwal bus Nusantara, jadi masih bisa pulang.” jawab Ibu.
“Ke terminalnya pripun, Bu?” ujarku.
“Bapak kosmu tadi sudah memesankan taksi.” sambung Bapak.
Tak lama kemudian tampak sebuah taksi berhenti di depan tempat kos.
“Nah, itu taksinya sudah datang.” kata Ibu.
“Sudah ya, Nduk. Bapak dan Ibu pulang dulu. Kamu kuliahnya hati-hati,” sambung Ibu lagi.
“Dan ingat ya, Nin. Fokus kuliah,” tambah Bapak sekali lagi. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Bapak dan Ibu kemudian berdiri dan keluar dari ruang tamu tempat kos. Tak lama kemudian tampak Bapak Kos menghampiri Bapak dan Ibu.
“Mangga, Pak, Bu Hardiman. Itu taksinya sudah siap.” ujar Bapak Kos dengan ramah.
“Nggih, Pak Ripto. Terima kasih sekali atas bantuannya, lho.” sahut Ibu.
“Sami-sami. Jangan sungkan-sungkan. Kita ini kan, bisa dibilang sudah seperti keluarga,” jawab Bapak Kos.
“Nggih, Pak Ripto. Saya pamit dulu. Sekalian titip Nina, ya. Kalau anak itu bandel, bisa njenengan marahi saja.” ujar Bapak sambil menjabat tangan Bapak Kos.
“Bapak ini, lho. Aku kan nggak nakal.” kilahku sambil cemberut.
“Pokoknya beres, Pak Hardiman. Saya akan mengawasi Nina.” jawab Bapak Kosku sambil tersenyum.
“Pamit dulu nggih, Pak Ripto.” ujar Ibu sambil bersalaman dengan Bapak Kos. Setelah itu aku menyalami dan mencium tangan kedua orangtuaku.
“Hati-hati ya, Nduk.” pesan Ibu sebelum masuk ke dalam taksi.
Tak lama kemudian, taksi itu pun pergi meninggalkan aku yang berdiri sambil melambaikan tangan di depan tempat kos.
“Orang tua memang begitu, Mbak Nina. Di mata beliau Mbak Nina tetap anak-anak yang harus selalu diawasi.” kata Bapak Kosku.
“Nggih, Pak,” jawabku sambil berjalan kembali menuju kamarku.
Seminggu setelah kedatangan Bapak dan Ibu, aku fokus kuliah. Setiap hari kegiatanku hanya ke kampus dan belajar. Aku ingin menepati janjiku pada Bapak dan Ibu untuk lulus tahun ini. Sebenarnya, sebagai mahasiswa Fakultas Bahasa Inggris, nilaiku juga lumayan bagus. IPK ku pasti di atas 3. Ini semua kulakukan untuk membuktikan kepada kedua orang tuaku, bahwa walaupun aku ikut grup band, tapi aku tetap serius kuliah. Namun kenyataannya, kedua orang tuaku tetap saja tidak setuju aku menekuni bidang menyanyi.
Tentang The Virgin, karena aku tidak pernah ke studio, aku tidak tahu bagaimana perkembangan mereka. Apakah mereka jadi ikut festival ke Surabaya atau tidak. Dan, juga lagu apa yang akhirnya dipakai untuk festival. Entahlah, sampai saat ini aku masih kecewa pada Toni. Apalagi jika aku ingat dia mengubah lagu ciptaanku dengan tiba-tiba. Rasanya hatiku masih dongkol.
Hari itu, setelah pulang kuliah, aku tidur-tiduran di kamar kos sambil mendengarkan radio. Suara James Hetfield menyanyikan lagu One terdengar di telingaku. Sesekali aku ikut bernyanyi menirukan liriknya. Tiba-tiba, Lisa, teman sebelah kamar, mengetuk pintu sambil berteriak.
”Nina ada yang nyariin, tuh!”
“Iya.” ujarku sambil membuka pintu.
“Siapa, Lis?”
Lisa sedang mengoleskan masker di wajahnya. “Lihat aja sendiri. Aku nggak kenal.”
Aku segera bergegas menuju ruang tamu. Oh, ternyata Whempy. Dia duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat koran yang ada di atas meja.
“Kamu, Whem.” ujarku.
“Kamu gimana, Nin? Ke mana aja, sih, kok nggak pernah kelihatan?” tanyanya dengan wajah serius. Aku tertawa melihatnya.
“Kalau serius gitu, kamu malah aneh.” ujarku.
“Cah iki, piye sih? Malah diguyu.” sahutnya kesal.
“Tenang, Ndes. Tenaaang. Aku baik-baik saja. Masih hidup, masih bernafas.” ujarku tertawa.
“Kowe iki, dasar! Berminggu-minggu nggak nongol, nggak pernah ke studio.” gerutunya.
“Lha, terus aku kudu piye? Laguku diorak-arik, padahal dudu endog! Wong laguku jenise hard rock kok trus diubah jadi speed metal. Aku nggonduk, to, Whem.” sahutku berang.
“Iya, iya, aku paham. Toni ncen nggonduke.” timpalnya.
“Lha, terus sidane cah-cah, piye, Whem? Jadi festival ke Surabaya?” tanyaku.
“Jadi. Sudah tiga hari yang lalu. Tapi, kayaknya kalah.” sahutnya.
“Kok kayaknya? Kamu nggak ikut? Apa … jangan-jangan kamu diganti juga, Whem?” sergahku sambil menatap wajahnya ingin tahu.
“Iya.” sahutnya pelan.
“Wah, kebangetan ini Toni. Sudah berlagak jadi bos besar main ganti-ganti pemain. Padahal The Virgin kan komitmen bersama,” ujarku mulai emosi.
“Sebenarnya, waktu Diko mulai nempel ke Toni, aku sudah curiga, Nin. Tapi, daripada dikira menuduh yang nggak-nggak, aku diam saja.” katanya.
“Aku juga sudah curiga.” timpalku. “Trus, yang vokal siapa?”
“Riano, vokalisnya Rhombus.” jawab Whempy.
Aku benar-benar tidak percaya mendengarnya.
“Hmm, benar-benar keterlaluan! Ketahuan kan, sekarang tujuannya apa.” sahutku.
“Tujuannya yaa.. memecah The Virgin.” ujar Whempy.
“Ya, sudahlah , Whem. Memang itu yang diinginkan mereka, biarin aja. Dan lagi, sekarang ini aku mau fokus kuliah. Aku nggak ingin mengecewakan orang tuaku. Kedua orang tuaku ingin aku lulus tahun ini,” jawabku pelan.
“Kalau aku sekarang ini gabung sama band baru, Nin. Alirannya sama kayak The Virgin, hard rock dan progressive. Kamu mau gabung?” pintanya.
“Untuk sementara ini, nggak lah, Whem. Daripada aku dimarahi terus sama Bapak.” jawabku.
“Iya, terserah kamu aja sih. Yang penting apa pun yang kamu lakukan, kamu lakukan dengan senang.” lanjutnya.
“Siap, Ndes. Makasih ya, masih inget aku dan mau nawarin aku jadi vokalismu.” jawabku sambil tersenyum.
“Pastilah itu, Nin. Kita kan sudah sama-sama dari dulu. Sudah merasakan perjalanan susah dan senang bersama The Virgin.” sahutnya. Pandangan mata Whempy tampak menerawang.
“Iya. Sebenarnya, sayang sih ya, apa yang kita perjuangkan harus berakhir sampai di sini.” ujarku pelan.
“Mau bagaimana lagi, Nin. Itulah liku-liku cerita dalam kehidupan.” jawabnya.
“Eh, sudah. Kamu kok jadi sok dewasa, sih.” sergahku sambil tertawa.
“Lho, aku kan ncen dewasa to, Nin. Kowe wae, sing sering pecicilan karo aku.” jawabnya tidak terima. Kami berdua tertawa bersama.
Seiring dengan adzan sholat Maghrib,Whempy meninggalkan tempat kosku. Aku menatap sepeda motornya yang perlahan menghilang dari pandangan. Cerita perjuangan kami bersama The Virgin mungkin memang harus berakhir sampai di sini. Aku, Whempy dan yang lainnya akhirnya berpisah untuk mencari jalan hidup kami masing-masing.
Keterangan:
Kreator : Klara Rosita
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Tersesat di Jalan Yang Benar Bab 9
Sorry, comment are closed for this post.