Kali Pertama Menginap Bersama Anak Mapala
“Hey ngalamun aja dari tadi, masih sore juga. Maghribnya baru berhenti ini.” sapa salah satu teman anak mapala seangkatan juga saat menegur sambil menepuk bahuku. Seketika aku terkaget dari lamunan dan lambat menjawab sapaannya.
“Eh iya anu, ini barusan tadi ada ibu-ibu paruh baya yang datang dari halaman depan tampaknya mau masuk ke sini tapi ngga jadi.”
“Lha, kok nggak jadi? Emang ada ibu-ibu kesini ya? Siapa Te?” Tanya Faiq, anak laki-laki pemilik rumah yang kami tempati.
“Siapa sih, Lin? Perasaan aku baru tiga harian di sini, belum sempat berkenalan dengan tetangga kanan kiri kok. Malah belum pada kenal.” Ujar Mbak Hayun atau Mama Faiq.
Teman-teman lain ikut menimpali.
“Ibunya siapa ya, kira-kira, yang nyariin anaknya? Nggak pulang-pulang, padahal udah maghrib.” celetuk salah satu dari mereka sambil bercanda.
Aku membalas dengan senyum kecut, lalu berkata pelan, “Eh, iya, ya… Mungkin aku salah lihat tadi.”
Malam semakin larut dan obrolan kami semakin asyik saja rasanya karena mereka semua saling menimpali obrolan demi obrolan khas anak gunung yang renyah dan humoris, ditambah dengan lelucon Elang yang selalu di luar dugaan membuat kami tertawater pingkal-pingkal. Tak lagi kuhiraukan kejadian yang tadi kulihat bahkan aku sudah melupakannya, hingga larut malam kami pun lelah dan memutuskan untuk beristirahat dan tidur beberapa di ruang tamu, ruang tengah dan kamar tidur yang tersisa.
Menjelang pagi tetap ku sempatkan buru-buru beranjak dari kamar untuk shalat subuh. Biarpun aku tidak mengenakan hijab saat awal masuk kuliah, namun aku masih selalu rutin menyempatkan diri untuk tidak ketinggalan lima waktu. Hal ini dikarenakan lingkunganku semasa SLTA wajib mengenakan hijab dan sempat kos beberapa tahun di asrama perempuan yang lingkungannya cukup agamis, bahkan kakak kelas yang satu kamar denganku rajin banget puasa Senin-Kamis dan tahajud. Kabarnya, beliau sekarang menjadi Dosen di suatu Universitas Islam Negeri. Hebat bukan?! Yah karena aku memang tertinggal tiga tahun juga melanjutkan kuliahku karena memilih jalan untuk bekerja demi membiayai kuliahku sendiri yang bermula dari gengsi itu…
“Aghhh… aku masih saja merasa tak punya tujuan akhir untuk kuliahku.”
Menjelang berakhirnya KKN, pikiran itu terus menghantui. Terbersit dalam ingatanku nama Mbak Rufi, nama yang tak pernah benar-benar hilang dari benak, karena kekagumanku padanya.
Kala itu, nilai ujian nasionalnya hampir sempurna, rata-ratanya nyaris 100. Sementara aku hanya mendapatkan angka 80. Aku masih ingat bagaimana dia berjuang, bergelut dengan malam-malam larut, belajar tanpa kenal lelah hampir setiap hari.
Mungkin aku memang lelah sekarang. Lelah dengan pekerjaanku, lelah dengan studi yang sedang kutempuh. Hingga tanpa sadar, aku mengalihkan dengan bersenang-senang bersama teman-teman, berkelana di alam, mendaki puncak-puncak yang tinggi.
Lamunanku ini, entah sebuah keluhan, kebimbangan, atau justru ketakberdayaan, tak disertai permintaan doa apapun. Aku hanya diam. Tak juga beranjak berdiri, mukena ini masih membalut tubuhku, seolah enggan ku lepas.
Tak ada yang istimewa dan seseru malam tadi pagi ini, kuberanjak dari kamar dan hendak menghirup udara segar pagi ini dan pergi ke teras depan yang melewati ruang tamu yang kulihat sudah sepi, mungkinkah anak-anak sudah pulang atau ada kelas pagi ini, yah tentu saja pikirku kan mereka harus kuliah ngampus kembali jadwal di senin ini, sedang aku mah KKN yang nggak harus pagi jam 8 harus Sampai di POSKO. Jadi aman lah, masih ada sisa waktu untuk bersantai sejenak sebelum berkemas kembali ke Desa KKN tempatku. Aku belum melihat Elang keluar dari kamar beserta sekawanan cowok anak pecinta alam lainnya sejak aku duduk beberapa menit sambil memainkan ponsel di teras ini.
Karena asik fokus dengan ponsel, entah berapa lama aku duduk dan tak mendengar tuan rumah yang merupakan istri kawan akrab Elang memasak di dapur sebab sudah tercium aroma masakan yang cukup lezat di hidungku, yah mb Yuni memang terkenal enak masakannya tidak hanya cantik paras wajahnya tapi dia memang pandai memasak dan fashionable juga itu terlihat dari gayanya berpakaian dandanannya. Langsung kuhampiri ia ke dapur.
“Terpanggil ke dapur karena aroma masakanmu aku, Mbak Yun.”
Mbak Yuni menoleh dan tersenyum. “Baunya nggak menjamin enak apa tidak nih nanti, coba sambil dicicipi sini”Mb.Yuni mengambilkan semangkuk sup kecil yang sudah berisi kuah tumis sengaja memintaku untuk memakannya lalu kuambil dengan sergap dan melahapnya.
Kami mulai beres-beres dapur dan lalu menyajikan makanan sayur beserta lauk sederhana pagi itu untuk kawan-kawan yang sebenarnya sudah tidak sebanyak malam tadi dan tinggal beberapa orang saja saat ini.
“Yuk, yang di depan dan yang masih di lantai atas pada turun sarapan dulu ke bawah. Tadi Topan, Rudi, Erni dan yang lainnya beberapa sudah pamit ngampus dulu ada kuliah pagi katanya.” Teriak Mbak Yuni setengah lantang karena memang ada beberapa yang tidur di lantai atas. Kunikmati sarapan bersama yang lain sambil senda gurau dan seperti biasa ada candaan Elang yang membuatku semakin ingin saja mencubit dirinya karena gemas. Selesai sarapan, aku pun berpamitan pulang kembali lagi ke Posko KKN yang sudah menunjukkan hampir pukul 09.30 WIB. Aku bergegas diantar Elang untuk kembali. Memang, dunia terasa milik kita berdua jika berboncengan motor dengannya berduaan melintas melewati jalan setapak berkelok yang kanan kiri hanya bukit, jurang ditumbuhi pohon besar nan rindang ke lokasi area pegunungan menuju desa tempatku KKN.
Bersambung…
Kreator : Ika Rahmawati
Comment Closed: Tersesat di Jalan yang Benar (Part 7)
Sorry, comment are closed for this post.