Temaram senja menembus tirai kamar, membangunkan Ibu Nifa dari tidur siangnya. Diliriknya jam dinding yang tergantung di ujung kamar. Hampir pukul 17.30 sore, alamat malam ini tidak bisa tidur lagi, pikirnya. Tangannya memencet bel di meja kecil sisi kiri pembaringan. Tak lama pintu terbuka, Riani masuk membawa secangkir teh dan pisang rebus.
“Tadi Pak Rafli datang, Bu.” Riani melaporkan kedatangan anak Ibu Nifa yang paling tua.
“Oh ya, jam berapa?” matanya berbinar sambil menyeruput tehnya.
“Tidak lama setelah Ibu tidur, mungkin jam 4 lewat, sempat menengok sebentar ke kamar Ibu lalu pergi lagi.”
Ah sayang sekali! Pikir Ibu Nifa, karena di sisa usianya ini tak ada lagi yang menarik minatnya selain bercengkrama dengan anak-anak. “Apa berpesan akan ke sini lagi?”
“Tidak Bu.”
“Ya sudah, tolong siapkan air hangat, saya mau mandi sebentar lagi.”
Malam itu sehabis makan malam, Ibu Nifa menghabiskan waktunya di depan televisi ruang duduk keluarga, seorang diri. Melamun. Pikirannya melanglang buana, biasanya ke masa lalu. Matanya menatap potret keluarga berbingkai emas yang diambil tiga puluh tahun lalu. Ada rasa rindu akan masa-masa itu. Ketiga anaknya masih usia sekolah dan suaminya masih aktif bekerja. Ia bangkit dari duduknya, membuka pintu ruang tamu dan berjalan menuju teras.
Udara Jakarta di malam hari terasa gerah, langitnya hitam tak berbintang hanya tampak bulan sendiri, kesepian seperti dirinya. Ibu Nifa membuka pintu pagar dan perlahan menyusuri jalan menuju pemakaman umum yang hanya sekitar dua blok dari tempat tinggalnya. Sebagai pemilik rumah, ia lebih pandai dari satpam yang tak menyadari bos perempuannya baru saja menyelinap pergi. Hati-hati kaki tua itu melangkah. Sudah 50 tahun tinggal di kawasan ini, kalau terjadi apa-apa, semua orang pasti mengenalnya dan mengabari orang rumah. Tanpa ragu ia berjalan terus dan memasuki pekarangan makam menuju peristirahatan terakhir suaminya.
Meski malam pemakaman tak tampak mengerikan bagi Ibu Nifa. Sebuah makam yang terletak persis di tepi jalan kecil di bawah pohon Batavia malah memberikan rasa damai di relung hatinya. Perlahan ia duduk di bangku semen yang sengaja dibuat untuk dirinya jika berziarah. Ibu Nifa menarik nafas panjang. Ditatapnya nama yang tertera di nisan dan waktu wafat yang tepat sesuai dengan tanggal hari ini. Tangannya mencabuti rumput liar yang satu dua tumbuh di antara rumput manila serta memunguti daun kering yang berjatuhan.
“Papa..,” tangan Ibu Nifa menyentuh nisan dan menopangkan kepalanya di sana. Samar-samar terbaca tulisan emas yang sengaja dipahat di atasnya Tunggu kami di surga Papa yang mencintai keluarga. Ibu Nifa masih merasakan kehangatan cinta suaminya sampai saat ini. Hidupnya tak pernah sedikitpun merasa kekurangan. Ia pernah berseloroh kepada sahabat terdekat mereka sekitar setahun setelah suaminya meninggal, “Aku tahu suamiku kaya Fit, tapi setelah dia meninggal ternyata aku baru tahu bahwa dia lebih kaya dari yang aku duga selama ini.” Tawa keduanya pun berderai.
Yang mengenal keluarga ini pasti paham peninggalan Bianto dari usaha farmasinya cukup membuat anak cucu cicit canggah dan seterusnya hidup mapan sepeninggal dirinya. Di luar itu ternyata almarhum memiliki saham di beberapa perusahaan luar negeri yang membuat ahli warisnya tak menyangka akan terus dihujani dividen ribuan dolar setiap tahun. Ibu Nifa menjadi janda kaya yang dilirik banyak duda. Bahkan kalau dia mau pun pria yang lebih muda 20 tahun bersedia mendampinginya demi hidup terjamin. Tapi wanita ini tetap setia pada suami yang dinikahinya sejak tidak memiliki apa-apa.
Selesai berdoa, Ibu Nifa bangkit bermaksud meninggalkan pemakaman. Lega hatinya “telah menemui suami” yang selalu dikenang hangat di dalam hati sebagai pria yang setia, sabar dan penuh kasih. Sejak suaminya dimakamkan, setiap hari selama 18 tahun Ibu Nifa selalu mengunjungi makamnya. Namun sepanjang hari ini ia merasa kurang sehat dan selalu terngiang-ngiang bahwa sekarang adalah hari kematian suaminya. Ada perasaan bersalah jika tak mendatangi makam untuk sekedar menjenguk orang yang paling dikasihi, tempat ia memperoleh segala kenikmatan dunia sampai usia senja ini.
Ketika akan keluar menuju gerbang pemakaman Ibu Nifa melihat beberapa orang sedang duduk seperti membersihkan nisan.
“Aneh,” pikirnya. “Mengapa bekerja malam-malam.”
Semakin lama orang yang membersihkan nisan semakin banyak, bahkan hampir di setiap makam ada seseorang yang sedang duduk di sana. Terheran-heran Ibu Nifa menghampiri makam yang terdekat dengannya untuk menegur seseorang yang tampak sibuk. Ternyata orang-orang ini sedang menulis di batu nisan: Aku ingin kembali ke dunia untuk berbuat baik, berbakti pada kedua orang tua yang selama ini tak cukup mendapat perhatianku. Di makam sebelah seseorang menulis: Hidupku penuh dengan maksiat yang selalu tertutup rapi sehingga tak seorang pun tahu. Tapi kini semua terbuka dengan jelas dan aku tak bisa lagi memperbaikinya.
Ibu Nifa tercekat, mungkinkan jenazah yang ada di dalam kubur bangkit kembali. Ia melayangkan pandangan ke seluruh makam dan tampak aktifitas yang sama. Pandangan segera dialihkan ke makam yang baru ditinggalkan, matanya terpaku pada sosok yang amat dikenalnya. Penuh kerinduan Ibu Nifa kembali menuju tempat itu.
“Papa,” panggilnya. Sosok di hadapannya tak bergeming, terus saja menulis di atas nisan. Wanita ini penasaran dan tanpa takut bergerak lebih dekat untuk membaca tulisan yang tertera: Suami yang tidak mencintai anak karena menafkahi mereka dengan uang haram. Tidak jujur kepada istri sehingga memiliki anak dari nikah siri bernama Riani.
Ibu Nifa terpana.
Tiba-tiba pemakaman menjadi kosong seperti semula seiring alunan azan subuh dan guncangan ringan di bahunya. “Ibu, kenapa tidur di sini?” Seorang perempuan berseragam orange membangunkan Bu Nifa yang bersandar di nisan suaminya. Ia bangkit dibantu petugas kebersihan yang masih terbengong-bengong melihat wanita sepuh berada di makam sepagi ini. “Tidak apa-apa Dik, maaf saya mengagetkan,” dirogohnya kantong baju untuk mengeluarkan uang 300 ribu rupiah. Ia berlalu sambil menyelipkan lembaran merah ke tangan si petugas yang berdiri terpaku.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Ibu Nifa kembali pada kejadian semalam. Pagi ini ia harus menghubungi dokter keluarga untuk melakukan tes DNA kepada Riani. Jika terbukti perawat ini adalah anak suaminya, maka notaris harus merubah surat waris untuk anak-anaknya. Mungkin akan ada penambahan satu ahli waris lagi dalam keluarga. Tak ada rasa benci pada Riani ataupun mendiang suaminya.
“Mungkin dia adalah hadiah dari Mas Bianto untuk merawatku di masa tua,” batin Ibu Nifa sambil membuka pintu pagar rumahnya.
***
Biodata Narasi
Dini Masitah sangat menikmati karya sastra. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris Universitas Nasional, Jakarta dan master di Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Inggris di Universitas Indonesia. Pernah mengajar di LBPP LIA Ciputat dan UIN Jakarta Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Tes DNA
Sorry, comment are closed for this post.