Tukang sayur itu datang tepat pukul tujuh. Aku bersiap keluar dan berbelanja.
Ibu-ibu kompleks sudah ramai mengerumuni Mang Dadang, si tukang sayur. Dengan ceria Mang Dadang melayani ibu-ibu yang sudah berisik memilah-milah sayuran Mang Dadang. Aku segera bergabung. Seorang ibu menoleh ke arahku dengan pandangan sadis.
“Tumben, pagi, Neng,” sapa ibu itu. Aku hanya tersenyum.
“Iya, bu,” jawabku pendek.
“Suaminya sudah berangkat, neng?” tanya ibu yang lain. Aku mengangguk.
“Kerjanya di mana, Neng?”
“Di kota, bu.”
“Oh, di kota. Jauh amat rumahnya?”
Aku berusaha sabar. Pertanyaan itu selalu diajukan setiap hari, sudah kujawab dan besoknya ditanyakan oleh orang lainnya.
“Iya, bu. Kebetulan ditakdirkan Allah rumahnya di sini,” jawabku malas. Biar saja. Setelah ini ibu-ibu ini pasti akan ribut membicarakanku.
Aku selesai memilih sayurku.
“Semua jadi berapa, mang?” Tanyaku. Mang Dadang menyebutkan sejumlah nominal. Aku segera membayarnya dan masuk ke rumah tanpa berpamitan lagi. Sudah bosan dengan kebawelan dan kejulidan tetangga-tetanggaku.
Sore harinya aku berjalan-jalan di sekeliling kompleks sendirian. Maklum aku belum punya anak. Tak kupedulikan bisikan orang-orang tentangku. Aku hanya tersenyum dan berbisik lirih.
“Nanti malam, cari uang di rumah yang itu, ya! Ambil uangnya yang warna merah.”
“Ambil di warung itu, ya. Ambil yang warna biru atau hijau. Kalau bisa jangan selembar.”
Dan, acara jalan-jalan itu pun selesai. Malam harinya aku menyiapkan perlengkapan yang biasa. Menyan yang sudah kunyalakan sejak sore, secawan kembang tujuh rupa, dan minyak wangi pemanggil mahluk astral. Aku sudah siap.
**
Seminggu kemudian terjadi kegegeran di kompleksku. Banyak ibu-ibu yang mengeluh uangnya hilang, walaupun hanya selembar.
“Iya, nih. Setiap hari pasti ada uang yang hilang di dompetku.”
“Mang Dadang uangnya hilang, nggak, mang?”
Mang Dadang Dadang menggelengkan kepalanya.
“Saya kan, rumahnya tidak di sini, bu,” jawab Mang Dadang, “Didoain bu uangnya! Apa diberi cermin di deket uangnya.”
“Buat apa, mang, cerminnya?”
“Kalau denger cerita ibu-ibu kayaknya itu kasus tuyul, Bu. Katanya tuyul suka mainan cermin. Nanti kalau sudah mainan cermin nanti tuyulnya lupa ngambil uangnya.”
Ibu-ibu berseru terkejut. Aku mulai dag dig dug. Buru-buru kubayar belanjaanku dan masuk ke dalam rumah.
**
Berita itu sampai ke telingaku dua hari kemudian. Berita yang menyatakan bahwa aku lah si pemilik tuyul itu, karena hanya aku yang tidak mengeluh kehilangan uang. Aku menggertakkan gigi karena murka.
“Dasar tetangga bawel!” teriakku, “Coba kalau kalian tidak ikut campir urusan orang lain, pasti tidak akan kukeluarkan tuyulku! Sekarang tunggu pembalasanku!”
Malam harinya kukeluarkan boneka andalanku. Boneka kesukaanku. Boneka santet yang dibawakan neneku sejak aku masih kecil dulu. Aku menyiapkan foto tetangga-tetanggaku, yang dulu sempat kuambil fotonya ketika sedang berbelanja sayur di Mang Dadang.
Aku membayangkan wajah salah satu dari mereka, dan pelan-pelan menusukkan jarum ke perut boneka itu berulang-ulang.
“Mati kamu!” desisku penuh kemarahan. Keesokan harinya terdengar kabar bahwa salah seorang tetanggaku meninggal karena serangan jantung. Dan, minggu berikutnya, dan minggu berikutnya lagi dan lagi dan lagi. Kematian beruntun orang-orang bawel itu membuat hidupku tenang dan sepi.
“Sekarang yang belanja di Mang Dadang dikit, ya, Neng,” kata seorang ibu kompleks yang masih selamat. Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku berbisik lirih : ‘makanya jangan bawel!’
Comment Closed: TETANGGA BAWEL
Sorry, comment are closed for this post.