Neng mengenal dunia pendidikan jauh sebelum ia masuk sekolah dasar. Neng diajarkan mengaji, membaca dan menulis oleh Bapak di rumah. Neng telat masuk sekolah dasar karena harus menunggu sembuh.
“Mak, Pak, mau sekolah. Tuh lihat, teman main Neng pada berangkat sekolah. Neng juga mau sekolah.” rengek Neng kepada Emak dan Bapak.
“Iya, sabar ya. Neng masuk sekolah kalo sudah bisa jalan ya.” Jawab emak sambil meleos ke dapur. Neng yang masih kecil terus merengek dan menangis ingin berangkat sekolah.
Sederhana saja keinginan Neng agar bisa seperti teman-temannya bisa bersekolah dan Neng ingin tahu bagaimana rasanya sekolah. Itu saja, tidak lebih.
Akhirnya, karena tidak tega mendengar rengekan Neng yang setiap hari ketika melihat teman sebayanya berangkat sekolah, Neng mulai sekolah di usia delapan tahun dan masuk mengaji di TPA. Neng didaftarkan ke sekolah umum dimana disana anak-anak yang normal fisiknya. Meskipun mendapatkan penolakan dari Kepala Sekolah, Emak tetap yakin Neng bisa bersaing dengan anak – anak yang normal secara fisik.
“Bu. Mohon maaf. Seharusnya kondisi anak Ibu disekolahkan di SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada di kota.” Ucap Pak Edy sebagai Kepala Sekolah setelah melihat kondisi Neng yang saat itu dipangku Emak ke sekolah dengan rambutnya pendek di atas leher dan masih sangat polos.
“Mohon maaf, Pak. Kami tidak mampu untuk membayar sekolah jika bukan sekolah negeri pasti mahal, Pak. Lagian jauh di kota, saya tidak mampu, Pak. Saya yakin anak saya bisa beradaptasi dengan teman-temannya, Pak. Kalo anak saya sampai tidak naik kelas karena kepintarannya di bawah rata-rata anak normal, saya berjanji akan menarik anak saya dari sekolah ini.” Jawab Emak meyakinkan sambil berlinang air mata dan membelalakkan matanya ke Pak Edy meyakinkan.
Pak Edy akhirnya menyanggupi dan memproses pendaftaran sekolah Neng. Neng pun sangat bahagia. Jam lima subuh Neng sudah bangun dan ingin segera mengenakan seragam sekolahnya yang baru. Emak mengantar Neng ke sekolah dan mengaji dengan sepeda, menggendongnya ke kelas, ke toilet dan kembali pulang ke rumah. Sedangkan keseharian Neng di rumah bermain dengan kawan-kawan seperti umumnya. Bedanya Neng pergi dengan merangkak. Sering sekali Neng merasakan luka tusukan benda-benda dan bebatuan yang tajam menancap di lututnya saat merangkak. Namun, Neng tidak terlalu merasakan kesakitan luka pada kakinya, justru Neng malah melanjutkan merangkak dengan lutut dan kedua tangannya yang mengenakan sandal agar tidak kotor tangannya. Hari hari Neng jalani dengan semangat belajar. Namun, karena Neng berbeda dengan teman-temannya, seringkali neng merasa dicampakkan oleh teman-temannya, baik di sekolah maupun di tempat mengajinya. Misalnya, saat Neng tidak memiliki buku paket pelajaran sains dan harus menyalin dari buku temannya, Neng tidak diberikan pinjam. Paling membekas di hatinya adalah saat upacara dan olahraga dimana Neng hanya bisa mendengarkan suaranya dari balik pintu kelas yang tertutup. Neng hanya bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya di balik tembok kelas dan terkadang mengikuti gerakan senam yang ia intip di jendela kelas.
Neng selalu yakin Allah Maha Baik. Neng terus menjalani hari harinya di sekolah meskipun neng sangat bergantung kepada Emak dan Kakak. Ketika Neng kelas 3 SD, ia diantar oleh kakak perempuannya, meskipun Teteh juga kekurangan dalam hal pemikiran dimana tingkah dan dandanannya seperti anak kecil. Selama kurang lebih lima tahun, Neng digendong oleh Teteh. Beliau selalu mengeluh capek dan berat.
“Berat banget sih neng. Teteh capek.” Keluhnya.
“Maaf ya, teteh” Jawab Neng sambil merasakan perihnya cubitan tangan Teteh sebab kukunya sangat panjang dan Neng memakluminya. Teteh suka mencubit kaki bagian lutut belakang Neng dengan kukunya yang tajam sampai terluka. Neng tidak bilang ke Emak dan Bapak karena maklum dengan kondisi Teteh.
Qodarullah .. Neng diberikan tongkat ketiak oleh Kepala Sekolah saat itu.
“Mak, Neng mau dikasih alat bantu agar tidak digendong terus, Mak. Mau pakai tongkat ketiak atau kursi roda, ya?” Tanya guru Wali Kelas yang saat itu datang ke rumah.
“Terima kasih sebelumnya, Bapak. Sepertinya tongkat saja, Pak. Agar Neng bisa mandiri.” Jawab Emak saat itu duduk di bale (kursi seperti meja yang disimpan depan rumah) .
Kemudian, Neng mulai sekolah di kelas enam menggunakan tongkat. Neng diantar sampai pagar sekolah saja, selebihnya Neng jalan sendiri menggunakan tongkat. Saat itu yang Neng rasakan adalah rasa bahagia bercampur sedih. Neng bahagia karena sudah tidak merepotkan Teteh. Neng juga bahagia karena lebih mudah bergerak atau berpindah tempat. Namun, Neng sedih karena setiap orang selalu memperhatikan ketika ia berjalan. Neng juga sedih karena belum sembuh sampai Neng sudah mau lulus sekolah dasar.
Kreator : Eliswati
Comment Closed: Tidak Boleh Sekolah
Sorry, comment are closed for this post.