Di ujung Papua, di balik bukit-bukit hijau yang menjulang tinggi dan sungai-sungai yang mengalir deras, terletak Desa Ingkal, Distrik Gome, Kabupaten Puncak Papua Tengah. Sebuah tempat yang begitu terpencil, seakan terasing dari gemerlap modernitas. Di sana, di antara rumah-rumah kayu sederhana dan jalan setapak yang berliku, hiduplah seorang gadis bernama Darsy. Sejak kecil, Darsy bercita-cita menjadi guru, bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memerdekakan sukunya dari belenggu buta huruf.
Desa Ingkal adalah tempat yang sulit dijangkau. Sekolah yang ada hanya bangunan sederhana dengan atap bocor dan dinding kayu yang lapuk. Guru-guru jarang datang, dan jika pun ada, tak ada yang betah tinggal lama. Anak-anak di desa itu tumbuh tanpa akses pendidikan yang layak. Namun, Darsy beruntung. Di tengah keterbatasan itu, dua gadis misionari datang sebagai Tenaga Sukarela Pengembangan Masyarakat (TSPM), khusus di bidang Pendidikan dan Kesehatan. Mereka adalah Guru Riana dan Dokter Milya, dua perempuan tangguh yang membawa secercah harapan bagi Desa Ingkal.
Dari kedua misionari inilah Darsy belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mereka mengajarinya dengan sabar, membuka dunia baru yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya. Darsy, yang semangatnya tak pernah padam, berhasil mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) Paket A, meski usianya sudah bukan lagi anak-anak. Kelulusannya menjadi titik balik dalam hidupnya. Berkat usaha Guru Riana dan Dokter Milya, Darsy mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di kota, bahkan di pulau yang berbeda.
Dengan hati berdebar, Darsy meninggalkan Desa Ingkal, meninggalkan mamanya yang ia cintai. Ia pergi dengan tekad bulat: meraih mimpinya menjadi guru dan suatu hari nanti kembali untuk membawa perubahan bagi sukunya. Di perantauan, Darsy menghadapi banyak tantangan. Hidup di kota yang asing, jauh dari keluarga, dan harus berjuang sendiri. Namun, semangatnya tak pernah luntur. Ia berhasil diterima di Universitas Negeri Manado, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Bertahun-tahun Darsy merantau, menuntut ilmu dengan gigih. Setiap bulan, ia rutin mengirim surat kepada mamanya di Desa Ingkal. Surat-surat itu berisi cerita tentang pelajarannya, usaha bertahan hidup di rantau, suka-duka yang ia alami, orang-orang yang menolongnya, dan bahkan mereka yang berusaha mematahkan semangatnya. Darsy menulis dengan hati, meski ia tahu mamanya tak bisa membaca. Tapi baginya, surat-surat itu adalah cara ia tetap terhubung dengan akar dan cinta yang ia tinggalkan.
Mama Darsy, seorang wanita kuat yang buta huruf, menyimpan setiap surat dari anaknya dengan rapi. Ia melipatnya satu per satu, menyusunnya seperti diary berharga. Meski tak bisa membaca, mama Darsy selalu memegang surat-surat itu, membayangkan betapa bangganya ia pada anaknya yang berjuang begitu keras. Suatu hari, mama Darsy memutuskan untuk belajar membaca dan menulis. Ia tak ingin terus menjadi penonton bisu dalam perjalanan hidup anaknya. Dengan bantuan Guru Riana dan Dokter Milya, mama Darsy mulai mengenal huruf demi huruf, kata demi kata. Prosesnya lambat dan penuh kesulitan, tetapi tekadnya tak pernah goyah.
Hingga suatu hari, saat Darsy menulis surat tentang penamatannya, ia menerima kejutan yang tak terduga. Sebuah surat balasan datang, ditulis dengan tangan mama Darsy sendiri. Surat itu singkat, tetapi penuh makna:
“Anakku Darsy, mama bangga padamu. Mama akan datang ke wisudamu.”
Darsy tak bisa menahan air matanya. Ia terharu, bahagia, dan tak percaya. Mama, yang dulu buta huruf, kini bisa menulis surat untuknya. Mama, yang selama ini hanya bisa menunggu di Desa Ingkal, akan datang ke Manado untuk menyaksikan momen terpenting dalam hidupnya.
Di hari wisuda, Darsy berdiri di atas panggung dengan toga dan topi kebanggaan. Matanya terus mencari di antara kerumunan tamu undangan. Hingga akhirnya, ia melihatnya: mama Darsy, dengan baju tradisional Papua, berdiri di antara kerumunan, tersenyum bangga. Darsy turun dari panggung, berlari memeluk mamanya erat. Air mata bahagia mengalir deras.
“Mama, terima kasih,” bisik Darsy, suaranya bergetar.
“Kau sudah membuat Mama bangga, anakku. Kau adalah cahaya bagi sukumu,” jawab Mama Darsy, menahan isakannya.
Di malam itu, Darsy dan mamanya duduk bersama, membaca surat-surat yang telah mereka tulis selama bertahun-tahun. Setiap kata, setiap kalimat, adalah bukti perjuangan, cinta, dan harapan yang tak pernah padam. Mama Darsy bercerita tentang usahanya belajar membaca, tentang betapa ia ingin mengerti setiap kata yang Darsy tulis. Darsy pun menceritakan segala perjuangannya di rantau, tentang mimpinya yang kini semakin dekat.
“Mama, aku akan pulang ke Ingkal. Aku akan menjadi guru di sana, mengajar anak-anak seperti dulu Guru Riana dan Dokter Milya mengajariku,” ucap Darsy dengan tekad bulat. Mama Darsy tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Mama selalu percaya padamu, anakku. Kau adalah harapan bagi kita semua.”
Dan di bawah langit Manado yang cerah, Darsy dan mamanya berjanji untuk terus menulis surat-surat cinta mereka, mengabadikan setiap langkah perjuangan, dan merajut mimpi-mimpi baru untuk Desa Ingkal. Karena bagi mereka, surat-surat itu bukan sekadar tulisan, melainkan tinta merdeka yang membebaskan hati dan pikiran dari belenggu keterbatasan.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Tinta Merdeka di Antara Huruf yang Diam; antara Ingkal dan Tataaran
Sorry, comment are closed for this post.