Bulan berganti. Lamandau tak lagi terasa seasing dulu. Jalan tanah berlumpur yang dulu sering membuat Hutama mengeluh, kini menjadi jalur yang ia lewati dengan tenang. Suara jangkrik di malam hari yang dulu membuatnya susah tidur, kini menjadi lagu nina bobo yang akrab di telinga.
Setelah badai kabar tentang sakitnya ibu dan kekacauan batinnya, Hutama mulai memasuki masa baru. Masa di mana badai belum benar-benar berlalu, tapi langit mulai memberi cahaya samar,tanda bahwa hari esok akan datang dengan lebih ramah.
Hutama masih bekerja keras, tapi kali ini dengan hati yang lebih lapang. Ia telah belajar untuk tidak memaksakan semuanya sempurna, tapi tetap bergerak, satu langkah dalam satu waktu. Ia mulai mampu membedakan mana yang bisa ia ubah, dan mana yang harus ia terima.
Sikapnya yang tenang dan penuh rasa tanggung jawab perlahan-lahan membuat rekan-rekannya lebih terbuka. Ia mulai diajak berdiskusi, dimintai pendapat, bahkan mulai dianggap sebagai “anak muda yang bisa diandalkan”. Di lingkungan kerja yang awalnya dingin, kini ia menemukan kehangatan.
Pak Surya, atasannya, bahkan suatu siang menepuk bahunya dan berkata, “Saya bangga padamu, Mas. Banyak orang datang ke sini dan mengeluh, tapi kamu justru belajar mencintai tempat ini.”
Hutama hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu itu bukan sekadar pujian. Itu adalah pengakuan bahwa keteguhannya mulai membuahkan hasil.
Uang masih menjadi masalah, tapi bukan lagi sumber ketakutan. Kini, ia menghadapinya dengan perencanaan dan tekad. Pekerjaan sampingan yang dulu ia lakukan dengan terburu-buru, kini ia kelola lebih rapi.
Ia mulai menawarkan jasa desain dan penulisan untuk UMKM lokal melalui media sosial. Ia juga membantu membuat proposal dan laporan kegiatan untuk kantor desa yang kekurangan tenaga. Beberapa proyek kecil mulai datang silih berganti, memberi pemasukan tambahan yang cukup untuk dikirim pulang.
Hutama juga membuka kelas daring sederhana untuk anak-anak SMA yang ingin belajar membuat CV atau menulis surat lamaran kerja. Ia tidak mematok biaya tinggi, hanya cukup untuk membantu biaya hidup dan pengobatan ibunya.
Tak hanya sekadar pemasukan, pekerjaan tambahan itu membuatnya merasa berguna. Ia bukan lagi orang yang hanya menunggu gaji, tapi menjadi bagian dari perubahan,sekecil apa pun itu.
Kabar dari Jogjakarta juga makin membaik. Ibunya sudah bisa beraktivitas ringan, bahkan mulai memasak meski hanya sesekali. Ayahnya kembali bekerja sebagai kuli tinta (penulis berita) di surat kabar milik teman lama. Mereka tidak lagi meminta bantuan, tapi tetap memberi kabar hangat.
Setiap malam, Hutama menelepon rumah. Kini bukan lagi sambungan suara penuh tangis dan kecemasan, tapi tawa ringan dan cerita harian. Kadang mereka membahas tanaman yang ditanam di halaman, atau tetangga yang baru punya cucu.
“Mas, kapan pulang?” tanya adiknya suatu malam.
“Sabar ya, Dek. Kalau libur panjang, Mas pulang. Tapi dari sini, Mas kerja keras buat kalian juga,” jawab Hutama, menahan haru.
Ia tahu, rumah itu selalu menunggunya. Tapi untuk bisa pulang dengan kepala tegak, ia harus bertahan sedikit lebih lama.
Yang paling besar berubah bukan hanya kondisi keuangan atau lingkungan kerja. Yang paling kuat berubah adalah hatinya. Ia tidak lagi hidup dengan perasaan duka atau keterasingan, tapi dengan kesadaran bahwa perjuangan ini bukan beban, melainkan proses pembentukan diri.
Hutama mulai punya rutinitas kecil yang menyenangkan. Ia menulis jurnal setiap akhir pekan, membaca buku sebelum tidur, dan kadang berjalan ke pasar hanya untuk sekedar menyapa warga. Anak-anak di sekitar kos memanggilnya Mas Tama, dan sering duduk di beranda sambil meminta dia bercerita tentang kota besar.
Pada titik itu, Hutama menyadari: ia tak lagi sekadar bertahan. Ia sudah mulai tumbuh.
Di penghujung bulan ketiga, Hutama mendapat kabar dari bendahara kantor: honor tambahan untuk pengelola keuangan yang ia bantu sudah bisa dicairkan. Jumlahnya tak besar, tapi cukup untuk satu hal yang sudah lama ingin ia lakukan.
Malam itu, ia memesan tiket Pesawat pulang untuk bulan depan,di hari libur nasional yang memungkinkan cuti beberapa hari. Bukan karena ingin lari, tapi karena ingin kembali sebagai seseorang yang lebih kuat.
Hutama tersenyum saat memandangi layar ponselnya. Dalam perjalanan panjang ini, ia tidak kehilangan arah. Ia hanya sedang membuat lingkaran yang lebih luas. Ia sadar, pulang bukan hanya soal tubuh kembali ke rumah, tapi hati yang tak pernah benar-benar pergi.
Dari tanah rantau yang dulu penuh sunyi dan gundah, kini Hutama menapaki harinya dengan langkah yang lebih tenang. Ujian hidup belum usai, tapi ia sudah melewati bagian paling berat: melawan dirinya sendiri.
Dengan hati yang lebih lapang dan kehidupan yang perlahan membaik, Hutama bersiap menghadapi bab berikutnya dalam hidupnya dengan semangat baru, harapan yang tumbuh, dan cinta yang tetap ia bawa dalam setiap helaan napas.
Dan dari tanah Lamandau yang dulu asing, kini suara hatinya berbisik,
“Aku tidak hanya datang untuk bekerja. Aku datang untuk tumbuh. Untuk belajar mencintai hidup dalam segala bentuknya.”
Kreator : Galih Satria Hutama
Comment Closed: Titik Terang dari Hati yang Bertahan
Sorry, comment are closed for this post.