KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Trielep dan Two-Ten (Chapter 9)

    Trielep dan Two-Ten (Chapter 9)

    BY 29 Jul 2025 Dilihat: 17 kali
    Trielep dan Two-Ten_alineaku

    Selain perkara sekolah tanpa jendela, tanpa semen, dan murid-murid yang datang ke sekolah naik motor tanpa helm, secara umum proses pembelajaran di sekolah ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain di luar sana. Anak-anak SD yang masih polos, baru pertama kali mengenal huruf-huruf asing, kata-kata asing, dan suara-suara aneh dari lidah gurunya.

    Mereka, anak-anak kecil dengan baju seragam kebesaran, lebih banyak pakai sandal jepit daripada sepatu, duduk di bangku kayu yang mulai miring, menatapku dengan mata penuh tanya. Bagi mereka, “Good morning, how are you?” terdengar seperti mantra asing yang dibacakan oleh makhluk dari planet lain. Dan aku, guru baru dengan suara cempreng, terasa seperti alien yang tiba-tiba mendarat di lapangan berdebu.

    Aku ingat betul pertemuan pertama kami. Saat aku memperkenalkan diri, menyebut nama, lalu mulai menulis di papan tulis, beberapa anak malah sibuk saling bisik, mencoba menirukan logatku. Ada yang terkikik, ada yang terang-terangan bertanya, “Bu, ngomong apa itu?”

    Namun begitulah, belajar bahasa asing di desa. Segalanya dimulai dari asing, bingung, merasa lucu, dan pelan-pelan menjadi biasa. Aku pun sadar, tak bisa berharap mereka langsung fasih atau langsung paham. Tugas utamaku saat itu bukan membuat mereka mahir, tapi membuat mereka senang dulu dengan pelajaran ini. Karena jika sudah senang, belajar itu akan terasa ringan.

    Aku malah lebih sering mengajak mereka bernyanyi daripada belajar yang lain. Lagu-lagu sederhana seperti “Good morning-and how are you?”, “If You’re Happy and You Know It”, “Head, Shoulders, Knees and Toes”, atau “Twinkle, Twinkle Little Star” menjadi andalan di setiap pertemuan. Kadang-kadang aku sertakan gerakan tangan, tepuk-tepuk, lompat-lompat, supaya suasana kelas lebih hidup.

    Di antara sekian banyak murid yang ikut bernyanyi dan tertawa itu, ada Tyson. Anak berbadan sintal di kelas enam yang lebih sering bengong daripada bicara. Setiap kali lagu dinyanyikan, Tyson hanya ikut gerakan tangan tanpa suara.

    Kalau teman-temannya menyanyi dengan semangat, dia cukup senyum-senyum kecil, lalu mengikuti gerakan sekenanya. Pernah sekali aku menunjuknya ke depan. 

    “Tyson, come here!” seruku. 

    Seketika kelas jadi heboh. Anak-anak bersorak. Tapi Tyson tetap di tempatnya, senyum-senyum malu, dan tak mau beranjak. Aku mendekat, menepuk pundaknya pelan, lalu mencoba memintanya menirukan kalimat yang sangat sederhana. 

    “How are you?” kataku.

    Dia diam. Hanya senyum, matanya menerawang ke luar, ke arah sawah dan pohon kelapa yang melambai pelan. Aku coba lagi, kali ini sedikit memaksa dengan nada halus. 

    “Ayo, Tyson. How are you?

    Dia menarik napas panjang, seolah mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya. Bibirnya terbuka sedikit, dan dengan suara pelan, nyaris tak terdengar, keluar satu suku kata itu. “…yu…”

    Hanya itu. Tapi aku langsung tepuk tangan. 

    “Bagus, Tyson!” seruku, diikuti sorakan teman-temannya. 

    Sejak saat itu, setiap kali aku mengucapkan “How are you?”, Tyson selalu menjawab dengan suara lirih, “Yu…”. Kadang sambil menahan senyum, kadang sambil menunduk malu. 

    Aku tahu, mungkin dia tak akan pernah lancar berbahasa Inggris. Tapi, keberaniannya untuk mencoba, meski hanya sepotong suara pelan, sudah lebih dari cukup. Karena belajar di sini bukan soal seberapa cepat mereka bisa bicara dalam bahasa asing, tapi seberapa besar keberanian mereka untuk mencoba sesuatu yang asing. Dan, bagi seorang guru di desa seperti aku, suara lirih Tyson adalah salah satu bentuk keberhasilan yang paling membahagiakan.

    Selain Tyson si pendiam, ada lagi satu murid yang selalu jadi bintang di kelas Bahasa Inggris. Namanya Kody. Kalau soal keberanian, anak ini tiada tandingannya. Dia tipe murid yang urusan bisa atau tidak itu belakangan. Yang penting gas dulu.

    Setiap aku tanya, “Siapa yang mau maju ke depan?” sebelum aku sempat mengedipkan mata, tangan Kody sudah teracung tinggi. Teman-temannya langsung bersorak dan bertepuk tangan, seolah sudah tahu apa yang bakal terjadi.

    Suatu ketika aku meminta anak-anak memperkenalkan diri satu per satu ke depan kelas. Biasanya kalau pelajaran seperti ini, anak-anak pura-pura sibuk buka buku atau mendadak haus minta izin ke belakang. Tapi tidak dengan Kody. Dia justru yang pertama angkat tangan, wajahnya penuh semangat, senyumnya lebar, seolah-olah dia sudah sangat siap tampil di hadapan presiden.

    “Baik, Kody. Silahkan!” kataku.

    Sorak-sorai teman-temannya makin riuh saat Kody maju ke depan. Dia berdiri tegap, membusungkan dada, lalu mulai membuka mulut.

    “Ma… maa… eee ne… nee… ne… m is… is… iss… Kody!”

    Kata-katanya terbata-bata, nadanya naik turun tak karuan. Mengucapkan kalimat sederhana “My name is Kody” saja bisa makan waktu hampir tiga menit. Tapi yang luar biasa, dia tidak menyerah. Sambil mengatur napas, dengan ekspresi penuh semangat, Kody lanjutkan perkenalannya.

    “I… I… I am… twe… twe… twelve years ooold…”

    Seluruh kelas sudah tertawa, tapi bukan karena mengejek. Mereka malah kagum karena Kody tetap maju terus meski lidahnya kepeleset berkali-kali. Bahkan Tyson yang biasanya hanya diam di pojok ikut tersenyum melihat aksi Kody.

    Aku pun tak bisa menahan tawa. Tapi lebih karena bangga. Bangga pada anak kecil di desa ini yang berani melawan rasa takutnya, melawan lidahnya yang masih kaku, demi bisa berdiri di depan kelas dan bicara dalam bahasa yang masih sangat asing baginya.

    Sejak hari itu, setiap ada tugas maju ke depan atau membaca kalimat bahasa Inggris, Kody selalu jadi yang pertama. Kadang salah ucap, kadang kalimatnya campur aduk antara Inggris, Bali, dan Indonesia. Tapi, semangatnya tidak pernah redup.

    Aku belajar banyak dari Kody. Bahwa keberanian bukan soal lancar atau tidak, tapi soal mau mencoba atau tidak. Dan di desa kecil ini, keberanian seperti Kody adalah sesuatu yang pantas diabadikan dalam cerita.

    Lain lagi ceritanya ketika aku meminta mereka untuk berhitung. Setiap kali aku masuk ke kelas, salah satu rutinitas yang selalu aku lakukan adalah meminta anak-anak berhitung dalam bahasa Inggris, satu per satu dari tempat duduk mereka. Mulai dari anak yang duduk di pojok kanan depan, lalu ke sebelahnya, lanjut ke bangku berikutnya, sampai anak yang duduk di pojok belakang.

    Selain untuk mengasah hafalan angka dalam bahasa Inggris, ini sekaligus jadi cara andalanku buat cek kehadiran. Biasanya, dari one, two, three sampai ten, semuanya aman. Anak-anak menyebut angkanya dengan suara lantang, kadang sambil senyum-senyum malu. Tapi petaka mulai muncul begitu masuk ke angka sebelas.

    Saat giliran murid ke sebelas, seharusnya dia menyebut eleven. Tapi yang keluar justru elepen. Suaranya mantap, percaya diri, tapi jelas-jelas salah. Anehnya, hampir semua anak di kelas itu kompak menyebut angka sebelas sebagai elepen. Aku sampai geli sendiri, karena pelafalannya lebih mirip suara orang memanggil gajah daripada angka sebelas.

    Aku coba perbaiki pelan-pelan. Tapi, ya begitulah, kebiasaan lidah desa lebih kuat daripada pelajaran di papan tulis.

    Keajaiban yang sebenarnya muncul justru di angka tiga belas.

    Saat giliran anak di urutan ketiga belas, aku sudah siap-siap karena penasaran. Dan benar saja, yang keluar adalah, “Trielep!”

    Aku bengong. Dari mana datangnya kata trielep? Aku minta dia untuk mengulangi perlahan, 

    Anak itu senyum-senyum, lalu diulang, “Trielep!!!”

    Aku baru sadar, mereka rupanya pakai logika sendiri. Karena dua belas itu twelve, maka tiga belas ya mestinya thrielve, atau versi lebih bebasnya trielep. Kreativitas lidah desa memang luar biasa.

    Yang lebih lucu lagi, ketika sampai angka dua puluh.

    Seharusnya twenty. Tapi, giliran anak di bangku ke dua puluh, dengan polosnya dia sebut, “Two-ten!”

    Aku hampir jatuh dari kursi.

    Aku tanya pelan, “Kok two-ten, Dek?”

    Dia jawab santai, “Kan dua itu two, sepuluh itu ten, jadi ya two-ten, Bu.”

    Aku langsung tepuk jidat, lalu ngakak bersama anak-anak. Sungguh, logika mereka itu jujur, sederhana, tapi ya benar juga kalau dipikir-pikir.

    Dari momen-momen kecil seperti itu, aku belajar banyak. Bahwa belajar bahasa asing bukan cuma soal hafal pelafalan, tapi tentang keberanian mencoba dan logika polos anak-anak yang kadang jauh lebih seru dari buku pelajaran.

    Dan, aku selalu menyimpan tawa-tawa itu dalam ingatan, karena di situlah letak keistimewaan mengajar di sekolah pinggiran seperti ini.

    Begitulah suasana kelas Bahasa Inggris di sekolah itu. Di balik bangku-bangku kayu reyot, papan tulis kusam, dan dinding tanpa jendela, aku menemukan cerita-cerita sederhana yang tak pernah habis untuk diceritakan.

    Dari Tyson yang perlahan berani mengucap “yu…”, dari Kody yang pantang mundur meski lidahnya tersangkut di “My name is Kody”, sampai anak-anak yang berhitung satu per satu, menciptakan istilah-istilah ajaib seperti trielep dan two-ten. Semua itu bukan sekadar kekonyolan yang mengundang tawa, tapi pelajaran tentang keberanian, kreativitas, dan cara mereka memaknai sesuatu yang baru dengan logika sederhana.

    Aku pun semakin sadar, tugasku di sini bukan semata-mata mengajari mereka jadi fasih berbahasa Inggris. Bukan juga tentang seberapa cepat mereka bisa menyebut thirteen dengan benar. Tapi, lebih tentang membuat mereka merasa bahwa belajar itu menyenangkan, bahwa tak apa-apa salah, asal berani mencoba. Karena dari keberanian kecil seperti itu, pelan-pelan lahir kepercayaan diri, dan di situ pula pendidikan yang sesungguhnya mulai berjalan.

    Dan hingga hari ini, tiap kali aku mengingat suara lirih Tyson, teriakan percaya diri Kody, atau tawa lepas saat ada yang menyebut trielep, aku tahu bahwa di sekolah itu, aku pernah punya cerita yang jauh lebih berharga dari sekadar angka di rapor atau nilai di buku absen.

     

     

    Kreator : kade Restika Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Trielep dan Two-Ten (Chapter 9)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021