Engkau sosok Ayah yang tangguh, pekerja keras, tanpa lelah, banting tulang untuk menghidupi keluarga kecilmu.
Setelah istrimu meninggal, engkau sendiri mencari nafkah untuk membiayai kedua anak-anakmu yang masih kecil. Anakmu yang pertama baru masuk pesantren, masih duduk di sekolah menengah pertama/MTs, sedangkan anakmu yang kedua baru kelas IV SD/MI.ketika istrimu dipanggil Sang Khalik.
Maka, selama menjalani kehidupan kau tak pernah mengeluh. Kau selalu bekerja keras demi bisa mencukupi kebutuhan anak-anakmu, sampai-sampai dirimu tak pernah memikirkan kebutuhanmu sendiri.
Pagi hari, engkau pergi ke sawah, mengolah sawah, kemudian pergi ke pasar untuk berjualan, sebagai ikhtiar untuk mendapatkan rezeki, demi anak-anakmu. Terkadang di sela-sela berjualan di pasar, kamu diminta tolong untuk mengantarkan orang atau rombongan, entah dengan tujuan silaturahmi, takziah, rekreasi, bahkan kebanyakan ada yang minta tolong untuk mengantarkan berobat, ke rumah sakit. Karena keikhlasanmu, kamu tidak pernah memasang tarif bagi siapapun yang membutuhkan jasa mobilmu, malah terkadang sekedar untuk ganti bensin pun tidak mencukupi, maka kamu harus mengeluarkan biaya dari kantongmu sendiri. Dan, ini kau lakukan dengan tulus, tak pernah sedikitpun mengeluh. Maka, tak heran banyak orang yang senang meminta bantuanmu,untuk mengantarkan kemana mereka pergi, dan kapanpun kamu dimintai tolong pasti selalu bilang bisa atau siap dan jarang mengatakan “tidak bisa” atau menolak jika dibutuhkan.Inilah rutinitas yang kau jalani selama dalam perjalanan hidupmu. Driver selalu menerima carteran, kapanpun, siapapun dan kemanapun, tanpa mengenal lelah. Kau jalani dengan ikhlas demi mencukupi kebutuhan kedua anakmu. Bahkan, suatu hari kau sudah merasakan sakit. Katanya, sudah tidak enak badan, namun ketika ada saudaramu yang meminta tolong untuk mengantarkan ke rumah besannya untuk silaturahmi yang jaraknya lumayan jauh, kau pun menyanggupi dengan alasan tidak enak kalau menolaknya. Padahal, kondisimu sendiri sangat lelah.
Sampai akhirnya, pola makanmu kau abaikan. Semenjak istrimu meninggal, sementara anak-anak sudah kau titipkan di pesantren, kau tak pernah memasak, makan seadanya, bahkan terkadang perutmu tak terisi nasi. Cuma minum kopi dan merokok. Kebiasaan ngopi dan merokok juga kurang istirahat ini kau lakukan bertahun-tahun sehingga badanmu kurus dan raut wajahmu kelihatan tua padahal usiamu masih muda. Banyak yang bilang aku adikmu, padahal akulah yang dilahirkan terlebih dulu.
Suatu hari aku melihatmu kesakitan, jalanmu agak lamban, nafasmu tersendat-sendat. Kau hanya tiduran. Aku paksa engkau berobat karena selama ini kamu tidak pernah mau jika diajak ke dokter dengan dalih tidak mau merepotkan keluarga. Sampai akhirnya, kami paksa engkau untuk berobat dan akhirnya dirimu mau dengan catatan tidak dibawa ke rumah sakit. Kami pun mengiyakan. Dan, sore itu, kami membawamu ke klinik yang menjadi langganan kami.
Setelah berobat di klinik tersebut, karena kondisimu masih sesak nafas, maka kami disarankan untuk ke dokter spesialis penyakit dalam. Akhirnya, kami membawamu ke salah seorang dokter penyakit dalam dan dari dokter penyakit dalam kami disarankan untuk ke dokter paru. Akhirnya, kami bawa ke rumah sakit paru-paru. Kata dokter, ini bukan paru-parunya yang kena, namun ada penyakit lainnya.
Sementara penyakitmu belum terdeteksi, kondisimu kian melemah, nilai hemoglobin dalam darahmu sangat rendah hingga akhirnya, mau tidak mau, kamu harus transfusi darah dan opname di rumah sakit. Di rumah sakit inilah akhirnya penyakitmu terdeteksi yaitu gagal ginjal.
Kami semua juga sempat syok mendengar vonis dokter, namun kami berupaya menguatkan dirimu. Kami selalu ada untukmu, selalu mendampingimu, walau selama ini memang kami merasa bersalah karena tidak pernah mempedulikanmu, hanya sibuk dengan urusan keluarga kami masing-masing. Maafkan kakak dan adik-adikmu yang selama ini tak peduli dengan masalah-masalahmu. Keadaanmu lah yang akhirnya menyadarkan kami semua. Sepanjang hidupmu selalu ada untuk kami, sewaktu-waktu memintamu untuk mengantarkan kami, kamu tak sekalipun menolak. Sementara kami terlalu egois, tanpa memperdulikanmu.
Setelah kamu di vonis gagal ginjal, maka kamu setidaknya dalam satu minggu dua kali harus menjalani cuci darah, dan Alhamdulillah setelah menjalani cuci darah, kondisimu semakin membaik. Namun, suatu ketika ada saudara yang menyarankan untuk berobat ke tabib agar penyakitmu bisa sembuh tanpa harus cuci darah dan dirimu pun mau menjalaninya, karena pada dasarnya kamu memang masih belum begitu ikhlas menjalani cuci darah.
Setelah memutuskan untuk tidak menjalani cuci darah, kondisimu semakin hari semakin melemah, tubuhmu semakin tak berdaya dan lemas.
Dan, pagi itu, belum masuk waktu subuh, kau menyuruh kami semua untuk segera menjalankan sholat subuh lalu segera mengantarkanmu ke rumah tabib. Sementara dirimu mengatakan, ”Saya sholat subuhnya Cuma lihurmatil wakti saja. Saya sudah tidak kuat.”
Akhirnya, setelah menjalankan sholat subuh, kami pun berangkat ke tabib. Setelah itu, sesampainya di rumah, kamu minta diantar ke kamar mandi untuk berwudhu dan melepaskan celana dan pakaian yang sudah dari kemarin dipakai. Baru kemudian kamu menjalankan sholat dhuhur dengan berbaring. Setelah itu kamu memanggil-manggil nama kedua anakmu yang masih di pesantren. Maka, aku pun meminta suamiku untuk menjemput anak-anaknya karena sejak kemarin kamu tak memperbolehkan kami memberitahukan keadaan sakitmu kepada mereka. Bahkan Ketika waktunya sambangan ke pondok dan kamu masih terbaring di rumah sakit, kamu mengatakan biar adikmu yang sambang ke pondok anakmu.
”Katakan pada mereka kalau Bapak mereka baru ada carteran, mengantarkan orang ke Kediri,” ujarmu saat itu.
Padahal, dirimu baru terbaring sakit di rumah sakit. Betapa kau sangat menjaga perasaan anak-anakmu agar mereka tetap semangat dalam belajar, tanpa harus terganggu dengan kondisi sakitmu. Bahkan ketika kamu dapat undangan dari pondok anakmu, kamu pun masih menyempatkan diri hadir walaupun kondisimu masih sakit, semata-mata kau lakukan agar anakmu tidak mengetahui keadaan Ayahnya yang sedang sakit.
Sebelum kau hembuskan nafas terakhirmu, kau masih memanggil-manggil nama kedua anakmu, yang kebetulan belum sampai rumah.
“Tunggu anak-anakmu dulu, ya.” kataku.
”Sak kersane Gusti Allah.” jawabmu lirih.
Itulah kata-kata terakhirmu, sebelum akhirnya kau dipanggil Sang Khalik.
Selamat jalan, Adikku. Mudah-mudahan kau ditempatkan di surganya Allah.
Kreator : Siti Nok Muslikhah
Comment Closed: Tugasmu Telah Selesai
Sorry, comment are closed for this post.