KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Tuhan, Aku Bisa Redakan Badaiku Sendiri

    Tuhan, Aku Bisa Redakan Badaiku Sendiri

    BY 07 Agu 2025 Dilihat: 3 kali
    Tuhan, Aku Bisa Redakan Badaiku Sendiri_alineaku

    BAB 1 : Hari-Hari yang Tak Pernah Kusebut Badai

    Aku tak pernah benar benar menceritakan semuanya. Tentang hari-hari yang kujalani dengan dada yang sempit, namun tetap kututupi dengan senyum seadanya. Tentang suara-suara yang menghujani punggungku, yang tak bisa aku jawab karena aku terlalu sibuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja.

    Ada banyak luka yang kutelan dalam diam. Bukan karna aku kuat, tapi karena aku tahu… tidak semua orang ingin mendengarkan, apalagi memahami. Beberapa hanya ingin tahu untuk menghakimi. Beberapa hadir hanya untuk menambah beban. 

    Pernah aku bertanya, “Tuhan, kenapa aku harus merasakannya sendiri?” Tapi dalam diam yang Panjang itu, aku menyadari mungkin Tuhan sedang mengajarkanku cara bertahan, bukan dengan suara, tapi dengan iman.

    Aku tidak bisa lagi berharap pada manusia untuk tetap tinggal, sebab yang kupikir akan menuntunku keluar dari gelap, ternyata justru berjalan pergi paling dulu. Namun dari kehilagan itu, aku mulai mengerti, ada kekuatan yang hanya bisa lahir Ketika tidak ada siapa-siapa yang tersisa, selain diriku sendiri…. Dan Tuhanku.

    Dan disitulah aku mulai bisa meredakan badai. Bukan karna aku hebat, tapi karena aku tahu bahwa aku dijaga, meski tak selalu terlihat.

    Ada masa-masa di mana aku berjalan diantara orang-orang tertawa, tapi langkahku terasa kosong. Aku tidak menangis, tidak bicara, tapi ada bagian dari diriku yang mati rasa. Bukan karena aku ingin begitu, tapi karna kau Lelah mencari pegangan yang ternyata tak pernah benar-benar ada.

    Dan Ketika semuanya terasa asing, lingkungan, tatapan, bahkan cermin. Aku belajar satu hal: kadang, satu-satunya pelukan yang tersisa hanyalah dari Tuhan, dan dari diri sendiri yang tak menyerah untuk bangun esok hari.

    Aku tidak menulis ini untuk dikasihani. Aku menulis ini agar kamu tahu kalau kamu pernah merasa sepi, terasing, atau tak dimengerti… kamu tidak sendiri. Akupun pernah disana. Dan aku masih hidup, masih mencoba, masih bertahan. Dan itu cukup.

    Pernah aku terjebak di antara orang-orang yang sibuk tersenyum di depan, tapi menyimpan tajam di belakang. Aku tahu, bukan hanya aku yang pernah merasa seperti itu, dipeluk saat dibutuhkan, dijauhi saat disalahpahami. Dan itulah yang paling menyakitkan; Ketika yang lain memilih percaya pada cerita yang salah.

    Aku berdiri ditengah keramaian, tapi rasanya seperti bayangan tak dianggap, tak dihiraukan, hanya menjadi bagian latar. Sampai satu titik, aku berhenti menanti seseorang datang menyelamatkanku. Karena aku sadar, satu-satunya yang bisa menarikku dari dalam luka… adalah aku sendiri, yang perlahan mulai percaya bahwa aku layak diselamatkan.

     

    BAB 2. Doa dalam Diam

    Sering kali, kita berpikir bahwa doa harus disuarakan dengan lantang, seperti sebuah permohonan yang harus segera didengar oleh Tuhan. Padahal, dalam diam pun doa bisa tersampaikan. Keheningan adalah ruang tempat jiwa kita berbicara kepada Tuhan, di mana kata-kata tidak lagi dibutuhkan, hanya rasa yang dalam. Di Tengah sendirian, saat dunia terasa sepi dan tak ada seorang pun yang menemani, saat dunia terasa sepi dan tak ada seorang pun menemani, justru itulah waktu yang paling tepat untuk menemukan kedamaian dalam diri. Tidak ada keramaian yang bisa menggantikan ketenangan yang datang saat kita berbicara kepada Tuhan dalam diam. 

    Namun, meskipun kita berdoa dengan sepenuh hati, air mata tetap bisa bercucuran. Doa yang tulus tidak selalu berujung pada jawaban yang segera kita harapkan. Malah, sering kali kita merasa semakin jauh dari apa yang kita inginkan, dan pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa segala sesuatu terjadi menjadi semakin membebani hati. 

    Air mata yang jatuh seakan menjadi bukti bahwa kita belum sepenuhnya mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Kita merasa lemah, tidak mengerti, dan takut jika doa kita tidak didengar. Ada kalanya, hidup terasa begitu berat, seakan beban di pundak semakin menekan, dan tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang kita rasakan. 

    Dalam keadaan seperti ini, kesepian bukan hanya datang dari tidak adanya mereka yang menemani, tapi dari rasa terasing yang mendalam dengan diri kita sendiri. Kita mulai mempertanyakan semuanya… mengapa ini terjadi, apakah ada yang peduli, atau bahkan apakah tuhan mendengar doa kita?, Namun sesungguhnya, Tuhan tidak pernah membiarkan kita menangis tanpa alasan. Air mata yang jatuh adalah proses pembersihan hati, sebuah cara bagi tuhan untuk menguatkan kita dalam kesabaran. Mungkin jawaban-Nya belum datang, namun itu bukan berarti Tuhan mengabaikan kita. Tuhan hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk memberikan apa yang kita butuhkan saat kita benar-benar siap menerima-Nya. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap detik kesedihan kita; bahkan dalam diam dan tangisan, Tuhan sedang mendekatkan kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan tentang kasih-Nya.

    Tuhan mencintai kita bukan karena kesempurnaan kita, tetapi karena usaha kita untuk berubah menjadi lebih baik. Dia mencintai orang yang bersalah, tetapi sadar akan kesalahan tersebut dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Tuhan mengerti bahwa kita hanyalah manusia yang tidak sempurna, namun yang terpenting adalah keinginan untuk bangkit, memperbaiki diri, dan Kembali kepada-Nya dengan hati yang penuh penyesalan dan niat baik. Inilah yang tuhan inginkan dari kita; bukan kesempurnaan, tetapi sebuah usaha yang tulus untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Doa bukan sekadar permohonan yang harus cepat dijawab. Doa adalah perjalanan Panjang yang melibatkan kepercayaan, sabar, dan kesediaan untuk menerima bahwa meskipun air mata masih mengalir, kita tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Tuhan selalu ada, dalam setiap tetes air mata, dalam setiap doa yang kita ucapkan dalam diam.

     

    BAB 3 Luka Tak Selalu Butuh Penonton

    Ada luka yang tumbuh sunyi, tidak berteriak, tidak memohon untuk diperhatikan. Ia menetap seperti bayangan menyertai Langkah, tapi tak benar-benar kita genggam.

    Luka seperti itu tidak haus sorortan. Ia tidak ingin dipamerkan dalam bentuk air mata atau cerita Panjang yang dibumbui harapan akan empati.

    Tidak semua luka ingin disembuhkan oleh kata-kata. Beberapa luka hanya ingin dibiarkan mengering dalam kesendirian, seperti daun gugur yang tahu diri untuk tidak meminta musim Kembali.

    Kita pernah percaya, bahwa dengan membuka diri, akan ada dada yang siap menampung segala beban. Tapi nyatanya, tidak semua pelukan datang tanpa penilaian. Tidak semua telinga layak dijadikan rumah dari rahasia yang genting.

    Dan dari sana kita belajar… bahwa tidak semua rasa haus dibagi. Ada luka yang terlalu sakral untuk diceritakan. Terlalu suci untuk dijadikan bahan bicara. Terlalu dalam untuk dipahami oleh yang hanya datang untuk tahu, bukan untuk tinggal.

    Maka diam menjadi ruang ibadah. Kesunyian menjadi altar bagi jiwa yang letih. Dan Tuhan… tetap menjadi satu-satunya saksi yang tidak pernah salah tafsir.

    aku pernah jadi tokoh yang tak diinginkan dalam cerita orang lain, 

    dituding dalam senyap, dijatuhkan tanpa suara. Mereka tak benar-benar tahu kisahnya, tapi telah menuliskan Kesimpulan seolah mereka saksinya.

    Aku tak membela diri

    Karena di hadapan banyak mulut yang lebih suka menggonggong daripada mendengar, diamku jadi cara paling tenang untuk bertahan

    Ada hari-hari Dimana dunia terasa terlalu bising, dan aku hanya ingin memeluk diriku sendiri disudut yang sunyi.

    Bukan karena lemah, 

    Tapi karena hanya disitu aku merasa aman.

    Yang tetap tinggal bukan mereka yang paling vocal, melainkan yang diam-diam hadir tanpa banyak kata.

    Tak selalu mengerti, tapi cukup untuk membuatku tak merasa benar-benar sendiri.

    Dan meski luka itu belum sepenuhnya pudar, aku mulai bisa menatap pagi tanpa merasa ingin Kembali bersembunyi.

    Luka yang kugenggam…
aku pun tak tahu sampai kapan akan sembuh.

    Aku mencoba kuat, sekuat tenaga.
Tapi kadang, saat bercermin,
yang kulihat hanyalah bekas tusukan yang tidak bisa kututupi satu per satu.
Ada luka yang dalamnya tak bisa dijelaskan.
Ada sakit yang diam-diam menetes setiap malam,
tanpa siapa pun tahu bahwa aku sedang nyaris hancur.

    Dan di momen-momen sepi itu… aku bertanya:
“Apa aku pantas dapatkan semua ini?”
Kenapa hidupku harus seperti ini?
Apa karena aku pernah salah?

    Tapi aku juga tahu…
Kesalahan yang pernah kubuat tidak membenarkan perlakuan seperti ini.
Aku sudah cukup dihukum oleh penyesalanku sendiri.
Dan sering kali, rasa sakit itu seperti berkata,
”Kamu layak terluka.”
Padahal hatiku hanya ingin dimaafkan, dipeluk, dipahami.

    Lalu…
di tengah kebisuan itu, aku merasakan Tuhan berbicara lirih dalam hatiku:

    “Hey… sakitmu, rawatlah sendiri.
Tapi jika kamu lelah dan ingin menyerah,
Aku Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu
atas pengakuan dan kejujuranmu.”

    Dan kalimat itu… menjadi tempatku pulang.

    Tidak semua rasa sakit bisa diceritakan.
Bukan karena aku tidak percaya pada orang lain,
tapi karena terlalu sering saat aku mencoba bicara,
aku justru merasa semakin tidak dimengerti.

    Aku pernah ingin bercerita,
tapi dunia terlalu sibuk menyuruhku kuat.
Jadi aku diam.

    Aku bertahan dalam senyum yang tipis,
dalam langkah yang tetap berjalan meski gemetar,
dalam tawa kecil yang kubagi meski hatiku tak ikut tertawa.

    Kadang aku duduk lama di depan jendela…
berpura-pura menikmati langit, padahal aku sedang menahan tangis.
Aku sujud, bukan karena aku sedang kuat iman,
tapi karena aku tidak tahu lagi harus bicara pada siapa.

    Dan di situ, dalam diam yang panjang,
aku belajar satu hal:

    Bertahan itu tidak selalu keras.
Kadang bertahan adalah bangun pagi dengan hati hancur tapi tetap menyeduh teh,
tetap menyisir rambut, tetap tersenyum saat dipanggil, meski suaramu serak oleh tangis yang belum tuntas.

    Aku tidak pernah tampil sebagai orang yang paling menderita,
karena aku juga tidak ingin dikasihani.
Aku hanya ingin ruang. Ruang untuk merasa, tanpa dinilai.
Ruang untuk sembuh, tanpa ditanya “kapan kamu pulih?”

    Aku mencari-cari pelarian.
Kupenuhi hari-hariku dengan kesibukan yang tak selalu kusukai.
Kucoba hal-hal baru, hanya agar hatiku tidak sempat diam
karena diam berarti rasa sakit itu kembali bicara.
Dan setiap kali aku berhasil menipunya sebentar,
rasa itu datang lagi… mengendap dalam dada, menatapku tanpa kata.

    Malam adalah waktu yang paling jujur.
Saat semua suara meredup,
dan hanya aku dan hatiku yang masih terjaga.

    Aku sujud dengan tubuh lelah dan hati yang lebih lelah.
Aku tumpahkan segalanya pada-Nya, tanpa satu pun kata indah.
Kadang hanya tangis yang terdengar di sajadah.
Kadang hanya napas berat yang mengisi hening malam.

    Tapi Dia ada.
Dalam setiap kalimat yang tak sempat terucap.
Dalam doa-doa yang kutulis dengan air mata.
Dan meski aku kembali lagi dan lagi dengan luka yang sama…
Dia tidak pernah jenuh mendengarkan.

    “Tuhan, aku kembali lagi… dengan rasa yang belum sembuh,
tapi aku tahu, Engkau selalu ada.”

     

    Bab 4. Tuhan, Aku Bertahan Meski Sendiri

    Ada masa di mana aku benar-bena sendiri. Bukan sekedar kesepian karena tidak ada orang disekitar, tapis epi yang datang karena tidak ada yang benar-benar mengerti.

    Aku melihat orang-orang berjalan bersama, tertawa, saling menepuk bahu. Sementara aku hanya bisa diam, menggenggam sia-sisa semangat yang bahkan sudah mulai goyah.

    Tidak ada pelukan. Tidak ada suara yang bertanya, “kamu capek ya?” 

    Hanya aku dan pikiranku yang saling beradu, siapa yang dulu menyerah hari ini? 

    Aku tetap bangun pagi. Tetap berpakaian rapi. Tetap keluar rumah. Tetap menjawab “baik” saat ditanya kabar.

    Padahal hatiku bergetar. Padahal setiap langkahku rasanya seperti sedang melawan badai sendirian, tanpa paying, tanpa pelindung. Tapi aku bertahan. 

    Aku bertahan meski sendiri. Dan saat aku tak lagi sanggup bicara pada siapapun, aku mulai berbicara lebih sering pada Tuhan. Aku belum bisa bilang bahwa aku sudah kuat.

    Yang aku tahu… aku masih disini. Masih bangun setiap pagi meski rasanya ingin tetap bersembunyi.

    Masih berjalan, meski kadang langkahku diseret, bukan dilangkahkan. Masih menjawab tanya, meski yang aku ingin aku lakukan hanya diam.

    Aku belum bisa menyebut ini kekuatan, karena yang aku rasakan masih luka. Masih ada tangis yang kutahan di balik senyum. Masih ada tangis yang kutahan di balik senyum. Masih ada rasa takut yang belum kutemukan sumbernya.

    Tapi mungkin… ini awalnya. Bukan awal untuk bangkit dengan lantang, tapi awal untuk mengenali diriku sendiri, untuk melihat bahwa aku masih ada. Dan bahwa “masih ada” saja sudah cukup luar biasa untuk hari ini. 

    Aku sering duduk sendirian dan bertanya…
“Kalau memang aku kuat, kenapa rasanya masih begini?”
Lalu aku sadar, mungkin aku belum kuat.
Dan itu tidak apa-apa.

    Karena aku tidak harus selalu kuat.
Kadang, cukup dengan tidak menyerah hari ini pun sudah layak dihargai.

    Aku belum menemukan kekuatan itu sepenuhnya.
Tapi aku mulai mengenali bahwa bertahan pun bentuk dari keberanian,
meski tanpa sorakan, tanpa pelukan, tanpa siapa-siapa.

    Dan setiap kali aku kembali kepada-Nya,
aku tidak membawa semangat… aku membawa luka.
Aku tidak membawa rencana… aku hanya membawa tangis.
Tapi ternyata itu cukup.
Cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih hidup,
cukup untuk membuatku merasa tidak sepenuhnya sendiri.

    Aku ingin sekali berkata,
“Sudahlah, bodo amat dengan semua ini.”
Tapi ternyata tidak semudah itu.
Karena perasaan tak bisa dimatikan hanya dengan kalimat keras.

    Aku ingin sekali berhenti peduli.
Tapi aku masih menyimpan luka yang belum selesai.
Masih ada bekas-bekas yang kadang berdarah lagi hanya karena sebuah ingatan kecil.

    Aku tahu aku harus sembuh.
Aku tahu aku nggak bisa hidup selamanya di bawah bayang-bayang ini.
Tapi aku juga tahu, sembuh tidak bisa dipaksa.
Sembuh perlu waktu, dan aku sedang mencoba memberikannya untuk diriku.

    Mungkin aku belum sampai di titik “bodo amat”.
Tapi aku sedang belajar untuk tidak selalu menyalahkan diriku sendiri
saat rasa itu muncul lagi… dan lagi.

     

    Kamu nggak harus buru-buru bisa berkata,
”Aku sudah kuat.”
Tapi cukup dengan berkata,
”Aku masih di sini, dan aku masih mencoba.”
Itu sudah sangat berarti.

    Aku kadang iri pada orang-orang yang bisa dengan mudah berkata,
“Lupakan saja.”
“Move on dong.”
“Jangan terlalu dipikirin.”
Padahal mereka tidak tahu…
bahwa aku sudah mencoba segala cara agar rasa ini pergi,
tapi setiap kali aku kira aku baik-baik saja,
selalu ada satu momen kecil yang membuatku kembali runtuh.

    Aku belum sembuh.
Dan mungkin, aku belum akan sembuh sepenuhnya dalam waktu dekat.
Tapi aku sedang berusaha, dengan cara yang paling lembut dan paling jujur yang aku bisa.

    Aku bangun pagi meski ingin terus tidur.
Aku makan meski tak ada nafsu.
Aku tertawa sedikit meski tidak lucu.
Aku berjalan perlahan, meski setiap langkahku seperti menyeret beban tak kasat mata.

    Dan entah bagaimana,
di tengah semua itu…
ada bisikan dalam hatiku yang berkata:

    “Lanjut saja. Pelan-pelan. Kamu nggak harus sembuh hari ini,
tapi jangan berhenti di sini.”

    Aku hidup dalam bayang-bayang luka,
tapi aku juga hidup dalam cahaya harapan yang datang dari dalam diriku sendiri,
dan dari Tuhan yang tak pernah pergi,
meski aku datang berkali-kali dengan luka yang sama.

    Dan di tengah semua perjuangan yang tak terlihat itu,
aku mulai belajar sesuatu:
aku tidak gagal hanya karena aku belum sembuh.
Aku tidak lemah hanya karena aku masih menangis.
Aku tidak kalah hanya karena hatiku masih bergetar saat mengingat masa lalu.

    Aku belajar bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak pernah jatuh.
Menjadi kuat adalah ketika aku jatuh berkali-kali,
tapi masih mau bangun walau perlahan.
Masih mau mencoba, meski hasilnya belum seperti yang kuharapkan.
Masih mau hidup walau kadang rasanya hanya untuk bertahan satu hari lagi.

    Aku tahu, suatu hari nanti, rasa ini akan mengecil.
Lukanya mungkin masih ada, tapi tidak lagi membuatku berhenti.
Dan ketika hari itu tiba,
aku ingin menatap diriku di cermin dan berkata:

    “Terima kasih, ya… sudah bertahan sejauh ini.”
”Terima kasih, karena kamu nggak menyerah.”
”Terima kasih, karena meski sendiri, kamu terus berjalan.”

    Karena ternyata…
aku tidak selemah yang kupikirkan.
Aku hanya sedang tumbuh.
Dan kadang, tumbuh itu menyakitkan. Tapi tetap berharga.

     

    Bab 5: Hari-Hari yang Tak Pernah Aku Ceritakan
(Penyembuhan yang Tak Pernah Aku Paksakan)

    Ada hari-hari yang tidak pernah kuceritakan,
Bukan karena aku melupakannya. Tapi karena aku belajar memaafkan tanpa perlu penonton.

    Di antara revisi yang menguras sabar,
Di sela waktu mengajar yang membuatku lupa makan,
Dan di tengah keheningan malam saat semua orang tidur,
Aku menyembuhkan diriku sendiri perlahan, tapi pasti.

    Aku belajar menutup notifikasi yang menyakitkan,
Aku belajar berkata “tidak apa-apa” bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri.
Aku belajar bahwa… sembuh tidak harus keras, cukup ikhlas.

    Ada hari-hari yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa pun.
Hari-hari di mana aku tetap tersenyum meski hatiku koyak.
Hari-hari di mana aku tetap hadir meski ingin menyerah.
Hari-hari di mana aku bangun dari tempat tidur bukan karena semangat,
Tapi karena tanggung jawab yang tak bisa kutinggalkan.

    Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku tidak punya pilihan selain bertahan.

    Aku menyimpan semuanya sendiri,
Bukan karena aku tak percaya orang lain,
Tapi karena aku tahu  tidak semua luka bisa diceritakan, dan tidak semua air mata pantas disaksikan.

    Ada tangis yang ku tahan di toilet kampus,
Ada gemetar tangan saat menjawab pesan yang bernada sinis,
Ada kepala yang kupaksa tetap tegak walau hati rasanya ingin rebah di lantai.

    Tapi aku tidak pernah absen dari peranku sebagai istri, guru, mahasiswa, dan manusia.
Karena aku tahu… jika aku tumbang, tak banyak yang akan benar-benar peduli.
Dan bukan salah siapa-siapa.
Mungkin memang begitu hidupnya perempuan yang diam-diam menanggung banyak peran.

    Diam… ternyata bukan bentuk kalah.
Diam adalah bentuk paling lembut dari sebuah doa panjang yang tak sempat diucapkan.
Dan di tengah malam yang sunyi, saat semua notifikasi berhenti dan lampu dipadamkan,
Aku memeluk diriku sendiri dan berkata lirih:
”Ya Allah, tolong kuatkan aku. Walau hanya untuk satu hari lagi.”

    Sembuh… ternyata bukan soal melupakan.
Aku tidak lupa siapa yang menyakiti.
Tapi aku tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang luka itu.
Karena semakin aku menyimpan dendam, semakin aku kehilangan bagian dari diriku sendiri.

    Maka aku mulai melepaskan.
Bukan karena mereka layak dimaafkan,
Tapi karena aku layak untuk hidup tanpa beban itu lagi.

    Aku berdamai… bukan karena semua luka sudah sembuh, tapi karena aku lelah membenci diriku sendiri atas hal-hal yang sudah berlalu.

    Aku belajar memaafkan diriku sendiri.
Dan itu, adalah proses paling panjang dari segalanya.
Karena aku pernah menyalahkan diri atas luka yang bukan salahku.
Aku pernah benci pada kelembutanku sendiri.
Aku pernah berharap bisa jadi orang lain, hanya agar tidak merasa selelah ini.

    Tapi kini aku sadar…
Aku tidak harus jadi versi sempurna dari siapa pun.
Aku hanya perlu jadi diriku sendiri yang terus mencoba, meski sering jatuh.

    Dan itu sudah cukup.

    Jika aku bisa kembali ke masa-masa tergelapku,
Aku akan duduk di samping diriku sendiri yang sedang menangis itu,
Mengusap punggungnya perlahan dan berkata:

    “Terima kasih ya… sudah bertahan sejauh ini.
Aku tahu kamu lelah, tapi kamu tidak menyerah.
Dan karena itu, kita sampai di sini hari ini dalam keadaan hidup, meski pernah nyaris hancur.”

    Kini aku lebih tenang.
Bukan karena semua baik-baik saja.
Tapi karena aku tahu, Tuhan tidak membiarkan air mataku sia-sia.
Mungkin Dia sedang menyempurnakan lukaku menjadi cahaya.

    Dan hari-hari yang dulu tidak pernah kuceritakan,
Hari ini kutuliskan…
Bukan untuk membuka luka,
Tapi untuk merayakan bahwa aku telah melewatinya.

     

     

    Kreator : Fateema Ibrahim

    Bagikan ke

    Comment Closed: Tuhan, Aku Bisa Redakan Badaiku Sendiri

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021