Tulang-tulangku rasanya mau patah, terutama di bagian pinggang. Semenjak aku melahirkan anak keempat ku ini, rasanya tubuh ini semakin tidak bisa diajak bekerjasama. Malam ini, dengan setengah kekuatan yang kupunya, aku bangkit dari ranjangku. Aku lirik jam yang menempel di dinding kamar, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 dini hari.
Aku berteriak karena aku telah terlambat satu jam ke Pasar Bulu untuk membeli dagangan sayur mayur. Bergegas aku mencuci muka, dengan pakaian seadanya aku berangkat dengan mengendarai Tossa menuju Pasar Bulu. Sebelum berangkat, sempat kulirik suamiku yang tidur mendengkur di depan TV.
Dalam hatiku sangat kesal, karena semenjak aku melahirkan, dia sama sekali tidak pernah peduli dengan kondisiku, apakah aku sehat atau tidak. Apakah aku baik-baik saja atau tidak. Jangankan memijit punggung atau pundakku, sekedar memegang tanganku saja tidak pernah.
Kadang aku berpikir, apakah suamiku sudah tidak mencintaiku lagi? Apakah suamiku punya wanita idaman lain? Apakah tubuhku sudah tidak menarik lagi? Ahhh… Berbagai pikiran negatif berkelebat dalam kepalaku. Pikiran-pikiran tersebut terus menghantuiku setiap kali aku melihat sikap cuek dan egois dari suamiku.
Aku mengusap wajah kucelku dan segera menutup kepalaku dengan hijab. Malam masih terasa dingin menusuk tulang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengengkol tossa-ku, namun tiba-tiba rasa sakit di bagian bawah perut yang kemudian merembet ke bagian kewanitaanku, terasa nyeri setiap kali aku melakukan sesuatu yang berat atau mengangkat barang yang berat.
Aku berhenti sebentar untuk menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan, untuk menghilangkan rasa nyeri. Rasa sakit ini aku telan sendiri, karena percuma mengeluh kepada suami, tapi tidak pernah dipedulikan.
Ya Allah, rasanya sakit sekali ulu hatiku, ketika tahu suamiku mempunyai hubungan dengan salah satu rekan kerjanya di pabrik. Seketika duniaku runtuh. Aku rela dia tidak peduli atau cuek denganku, tapi untuk hal satu itu aku sungguh tidak rela. Dia begitu tidak adil memperlakukanku, ketika aku chatting dengan pria lain, dia cemburu. Aku buat story atau status tentang hal yang menyindir perilakunya, dia marah. Bahkan semua sosial mediaku, dihapusnya supaya aku tidak punya akses untuk mengutarakan keluh kesahku.
Benar- benar egois! Permintaannya harus selalu dituruti. Jika tidak dituruti, maka seluruh benda-benda di dalam rumah akan melayang. Seringkali yang aku masak dengan susah payah, tidak disentuhnya sama sekali. Malah dia memintaku untuk membeli makanan di luar yang harus sesuai permintaannya. Jika tidak sesuai, maka makanan itu dia cela, dia buang, karena menurutnya tidak enak.
Menghadapi sikap suamiku, rasanya aku ingin marah dan teriak sekencang-kencangnya. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa menangis sesenggukan dalam kegelapan. Aku punya suami tapi rasanya seperti tidak punya suami. Apa-apa aku lakukan sendiri. Mungkin akan lebih baik jika memang tidak punya suami sekalian, begitu rutukku dalam hati.
Seringkali, ketika aku mulai lemah dan ingin menyerah, kupandang lagi wajah-wajah polos dan tak berdosa dari anak-anakku. Air mataku seketika menetes. Anak-anakku adalah sumber kekuatanku. Mereka adalah alasanku untuk terus semangat menjalani hidup. Dalam setiap sujud panjangku di malam hari, aku tumpahkan seluruh keluh kesahku kepada Sang Illahi, penggenggam ruhku ini.
Ya Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran untuk bisa menghadapi sikap dan perilaku suamiku. Sadarkanlah ia, berikan hidayah untuknya, agar ia bisa menyayangi dan mencintai hamba dan anak-anak dengan tulus.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Tuhan, Ingin Rasanya Aku Menyerah
Sorry, comment are closed for this post.