Hari ini adalah hari ulang tahunku yang kelima. Sejak pagi sebelum subuh, rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua orang di rumahku sibuk menyiapkan pernak pernik pesta kecil untukku di sekolah. Aku adalah si anak tengah dari tiga bersaudara. Sekarang ini aku masih sekolah di TK Bhayangkari kelas nol besar. Mas Rudi, kakakku, sudah kelas 5 SD, dan Amin, adikku, masih bayi. Pagi – pagi sekali, Ibu sudah memasak nasi kuning lengkap yang diletakkan dalam wadah – wadah plastik mika kecil. Bapak juga menyiapkan tentengan tas kertas lucu yang isinya berbagai snack kecil kegemaran anak-anak saat itu. Ibu juga sudah menyiapkan kue tart ulang tahun mungil untukku. Aku ikut membantu dengan semangat, membayangkan betapa serunya nanti meniup lilin, berbagi kue, dan bermain bersama teman-teman.
Namun, saat semuanya hampir siap, langit tiba-tiba berubah makin gelap. Dari pagi memang sudah mendung, dan matahari tampak sedang enggan menyapa bumi. Angin berhembus kencang, dan suara gemuruh terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Aku berlari ke jendela, melihat tetesan air menghantam tanah dengan begitu kuat. Hujan ini bukan rintik biasa, melainkan hujan lebat yang seakan enggan berhenti. Jalanan mulai basah, dan genangan kecil terbentuk di halaman depan.
“Ibu, bagaimana kalau kita tidak bisa ke sekolah?” tanyaku dengan wajah cemas.
Ibu menatap ke luar dengan raut khawatir. “Hujannya deras sekali, Nduk.” katanya sambil melirik Bapak. Aku merasa sedih. Aku sudah membayangkan betapa menyenangkannya hari ini, tetapi hujan sepertinya akan menggagalkan rencana kami. Apakah ulang tahunku akan batal?
Bapak yang sejak tadi diam, tiba-tiba tersenyum.
“Tenang saja, pesta ulang tahun ini tetap berjalan. Hujan tidak akan menghentikannya.” katanya dengan yakin.
Aku menatap Bapak dengan bingung. Bagaimana caranya? Jalanan sudah tergenang, dan aku pasti akan basah kuyup jika berjalan ke sekolah.
Lalu, Bapak mengambil jas hujan besarnya dan mendekatiku. Ia juga mengeluarkan jas hujan kecil berwarna kuning dan memakaikannya padaku. Setelah itu, ia jongkok, lalu tersenyum lebar.
“Naik ke punggung Bapak. Bapak akan mengantarkanmu ke sekolah supaya tidak basah.”
Bapak sudah memanggil Pak Amat, tukang becak langganan kami, untuk membawa makanan dan barang-barang ulang tahunku ke sekolah. Bapak dan ibu izin datang dinas ke tempat kerja agak siang pada hari itu untuk mengurus ulang tahunku. Bapak melangkah keluar rumah, menembus hujan deras dengan langkah tegap, dan aku digendong di punggungnya sementara salah satu tangannya juga memegang payung memastikan kepala kami tidak basah oleh hujan. Ibu berjalan di samping Bapak sambil menenteng kue tart ulang tahunku di dalam kotak plastik dan memakai payung untuk melindunginya dari hujan. Pak Amat dengan becaknya sudah mendahului kami menuju sekolah.
Jarak sekolah dari rumah sebenarnya hanya sekitar 500 meter, namun hujan begitu deras membuat jalanan licin, dan genangan air semakin tinggi di beberapa tempat. Aku menggigit bibir, sedikit takut kalau-kalau Bapak terpeleset. Namun, langkah Bapak tetap kokoh. Aku merasa aman di punggungnya. Sesekali, Bapak menoleh ke belakang dan berkata, “Sudah hampir sampai, Nduk. Jangan khawatir.” Aku mengangguk dan tersenyum.
Setelah beberapa menit yang terasa lama, akhirnya kami tiba di sekolah. Dari gerbang, aku melihat teman-temanku berkerumun di depan kelas. Begitu mereka melihatku, mereka langsung bersorak.
“Ayo, ayo, dia sudah datang!” seru salah satu teman.
Bu Guru tersenyum hangat melihat kedatanganku.
“Wah, hebat sekali! Kamu tetap datang meskipun hujan deras.” katanya sambil membantuku turun dari punggung Bapak dan melepas jas hujan yang aku pakai.
Bapak juga segera melepas jas hujannya. Saat sampai di sekolah, aku melihat ujung bagian bawah celana Bapak tampak basah walaupun tadi saat jalan kaki bagian itu sudah digulung. Bapak hanya memakai sandal jepit karena hujan, namun semangatnya tetap tidak surut, begitu besar kasih sayangnya yang membuat segala tantangan menjadi ringan.
Di dalam kelas, semuanya sudah siap. Balon-balon yang dibawa masih utuh dan sudah ditata Bu Guru. Makanan di kardus yang dibawa Pak Amat juga sudah tersedia di meja besar, dan kue ulang tahunku yang dibawa ibu tetap aman. Ibu dibantu Bu Guru menyiapkan lilin di atas kue itu dan siap dinyalakan. Aku berdiri di tengah-tengah teman-temanku, merasa sangat bahagia. Ketika lilin dinyalakan, semua orang bernyanyi untukku.
“Selamat ulang tahun dan bahagia, selamat panjang umur, kita kan doakan…” suara mereka menggema di ruangan.
Aku menoleh ke pintu kelas, melihat Bapak berdiri di sana dengan senyum lega. Aku tahu, tanpa Bapak, aku tidak akan bisa sampai ke sini hari ini.
Aku meniup lilin dengan penuh semangat, lalu bertepuk tangan bersama teman-teman. Pesta kecil ini terasa begitu istimewa, bukan hanya karena perayaannya, tetapi karena aku merasakan betapa besar kasih sayang Bapak dan Ibu kepadaku.
Setelah acara selesai, Bapak dan Ibu berpamitan untuk kembali ke rumah. Sebelum pergi, Bapak mengelus kepalaku dengan lembut. “Selamat ulang tahun, Nduk. Semoga selalu Bahagia dan sehat.” Aku mengangguk dan tersenyum lebar. “Terima kasih, Pak.”
Hari itu, aku mendapat hadiah ulang tahun yang paling berharga. Bukan hanya kue, balon, atau pesta kecil di sekolah, tetapi juga perjalanan penuh kasih di punggung Bapak, menembus hujan lebat demi membuat hariku tetap istimewa. Hujan ternyata bukan penghalang, justru menjadi bagian dari kenangan yang akan selalu kuingat sepanjang hidupku. Bertahun – tahun sudah beliau meninggal, aku masih tetap terkenang momen itu di setiap hari ulang tahunku. Al Fatihah selalu untuk almarhum Bapak.
Kreator : Indriyati Rodjan
Comment Closed: Ulang Tahun di Punggung Bapak
Sorry, comment are closed for this post.