Umma terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya terbungkus selimut putih, kontras dengan wajahnya yang semakin pucat. Selang oksigen melingkar di hidungnya. Perutnya yang sedikit membuncit menandakan ada kehidupan baru yang sedang tumbuh, dan jika Allah meridhai, adikku akan bertambah satu lagi. Di sisi ranjang, aku, Abi dan Rina, adik saya duduk dengan mata sembab. Lisan kami terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, ada gemuruh di hati. Satu dua bulir air mata jatuh membasahi mushaf yang kami pegang. Baru kemarin Umma membangunkanku untuk shalat tahajud bersama. Setelah saya dan Abi pulang shalat subuh di masjid, kami sempat mengaji bersama sebelum sesak nafas Umma kumat dan mengharuskannya dilarikan kerumah sakit. Tangan Umma bergerak, mengusap lembut kepalaku-bergantian dengan kepala adikku, seperti ribuan kali sebelumnya, namun kali ini gerakannya lambat, begitu lemah. Jemarinya yang biasanya penuh kehangatan kini terasa dingin, seperti embun yang menggigil di pagi buta. Perlahan, usapannya terhenti. Tak ada lagi gerakan. Umma tak sadarkan diri lagi. Hanya tersisa embusan oksigen dari alat bantu pernafasan dan lantunan ayat suci yang terputus-putus.
Dua jam berlalu…
“Umma?” bisik Abi, menahan napas. Netra kami menatap wajah Umma yang pucat, bibirnya yang setengah tersenyum, seolah masih ingin berbisik sesuatu. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Abi berlari ke luar kamar perawatan. “Suster! Tolong selamatkan istri saya!” jeritnya, napasnya tercekat di tenggorokan. Suaranya melengking, menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Seorang perawat tergopoh-gopoh menghampiri, diikuti seorang dokter. Mereka masuk ke ruangan, sementara aku berdiri di ambang pintu, berusaha menahan air mata yang sudah membanjir. Hatiku seakan terkoyak. Apakah ini nyata?
Pagi tadi, sebelum aku berangkat sekolah, Umma masih sempat memaksaku untuk tetap masuk.
“Umma baik-baik saja,” katanya, suaranya tenang meski napasnya tersengal. “Ini hanya sesak napas biasa. Kamu harus masuk sekolah. Biarkan Abi yang menjaga Umma di sini.”
Aku ingin membantah, tapi tatapan Umma selalu sulit kutolak. Tatapan penuh kasih, penuh keyakinan. Seakan tak ada yang perlu dikhawatirkan, meski nyatanya hatiku penuh kecemasan. Dan kini, hanya beberapa jam setelah itu, aku berdiri di sini, menunggu vonis yang tak ingin kudengar.
Lima menit berlalu. Lima menit yang terasa seperti seribu tahun. Seorang dokter keluar dari ruangan, wajahnya kaku, ekspresi yang sudah sering kulihat di film-film, tapi kali ini terasa begitu nyata, begitu dekat.
“Maaf…..” katanya pelan, menundukkan kepala. “Beliau sudah pergi.” Lanjutnya lagi.
Dunia terasa berhenti. Kata-katanya bergema di kepalaku. Umma sudah pergi. Umma sudah tiada. Kakiku lemas, lututku hampir menyerah, tapi entah bagaimana aku masih berdiri, menatap pintu kamar yang terbuka, tempat tubuh Umma terbaring kaku.
Semuanya terjadi begitu cepat. Perawat menutup wajahnya dengan kain putih, menyisakan bayangan terakhir dari seseorang yang kucintai lebih dari apapun di dunia ini.
“Umma jangan tinggalkan saya….jangan…”kata Rina berulang-ulang menggema seperti bisikan putus asa. Mulutnya terus memanggil, merintih, memohon dengan suara serak. Tetapi yang dipanggil tetap membisu. Akupun begitu terpukul dengan kepergian Umma. Bukan menolak takdir, tetapi aku dan adikku masih membutuhkan dia. Usia kami masih kecil.
Raungan sirine ambulans yang membelah jalanan kota tak mampu mengusir kesunyian di jiwaku. Di sampingku, Abi duduk dengan wajah kosong, matanya menatap lurus ke depan, tapi aku tahu, pikirannya sedang berkelana ke masa-masa yang tak akan pernah kembali. Aku menatap jalanan kota yang ramai, tapi semuanya terasa hampa. Sepertinya Umma telah membawa separuh jiwa kami pergi. Senja hari ini tak lagi seindah senja-senja sebelumnya.
Aku ingin menangis, tapi air mataku seolah beku. Ingin menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi, tapi untaian nasihat Umma agar ridha dengan ketetapan Allah terus terngiang. Kisah Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha yang sering Umma ceritakan menjelang tidur kembali menguatkanku. Bahwa di balik setiap musibah, selalu ada hikmah yang tersembunyi. Namun, hatiku masih terlampau sakit untuk bisa menerima kenyataan ini.
Kupandangi tubuh Umma yang terbaring kaku, wajahnya tenang, seperti sedang tersenyum. Seolah Umma bahagia bertemu Rabbnya. “Tidakkah Umma ingin menemaniku tumbuh dewasa? Aku masih butuh sosok Umma,” bisikku, suaraku bergetar, serak oleh duka yang terlalu dalam untuk diungkapkan.
Di atas gundukan tanah, rumah terakhir Umma, aku adikku dan Abi hanya bisa menangis meratapi kepergiannya. Udara terasa berat, seolah setiap helaan napas menuntut lebih banyak tenaga dari biasanya. Aku hanya ingin menemani Umma untuk terakhir kalinya. Di kejauhan, sayup-sayup kudengar adzan Maghrib berkumandang, mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan, meski separuh hatiku tertinggal di sini, bersama tanah yang baru saja kubasahi dengan air mataku.
Aku berbalik, melangkah pulang ke rumah yang tak lagi sama. Ke dunia yang seakan kehilangan warnanya. Namun aku tahu, meski waktu terus bergulir dan miliaran senja akan kulewati, aku akan tetap merindukanmu, Umma.
Dan, untuk itu, aku akan tetap kuat. Karena itulah yang selalu Umma ajarkan padaku.
Kehilangan orang yang kita cintai adalah ujian berat dalam hidup. Air mata mungkin mengalir tanpa henti, dan rasa rindu tak pernah pudar. Namun, kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Sebab, doa adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan mereka yang telah pergi. Berdoalah, kirimkan kebaikan kepada mereka. Yakinlah bahwa mereka bahagia di sisi Allah. Dan pada akhirnya, ikhlaslah menerima ketetapan-Nya, karena cinta Allah lebih besar dari cinta manusia.
Kreator : Maimunah
Comment Closed: Umma
Sorry, comment are closed for this post.