Ketika duka menekan, maka air mata pun bertetesan
Ketika tangis deras melegakan dada, semua nestapa terhenti di sana
Bagai hujan atas pucuk-pucuk kering harapan
Begitulah deras airmata menumbuhkan kembali sang asa
Bertumbuhanlah banyak harap akan pencapaian kemudian
Harusnya melangkah, mulai tapaki jalan setapak harapan yang singgah
Bukan sekedar menjadi rencana, dan tetap disana, tidak kemana-mana
Hanya karena dada sudah lega dari tekanan yang membuat merana sang jiwa
Ketika jiwa jadi sengsara, akal sehat seperti terpenjara
Menjadi wajar tak apa, kalau jiwa menjadi gila
Lalu jiwa tersungkur di ujung penatnya, merangkai doa ditemani air mata
Merenda berjuta kata, yang tumpah ruah di kepala
Laksana mencipta selembar sajadah, mengalas segala pinta
Hingga Semesta menyimak semuanya,
karena gema deritanya menggaung di gua-gua dunia.
Bermunculan lah segala cara-cara mulia,
yang sayangnya berhenti di sana.
Seharusnya bergeraklah, jangan hanya di dalam kepala, tidak kemana-mana.
Hanya karena jiwa sudah lega, dan tidak menjadi gila
Semestinya, petakanlah jalan setapaknya
Tentu karena setuju, ada berkah indah diujung bertudung langit biru
Tentu karena terdengar sendu, Semesta berbicara memandu
Persiapkanlah perjalanannya, dengan sebaik-baik bekal yang ada
Bergeraklah, mulailah melangkah, tapakilah jalan setapak itu
Hingga kelak tiba disana, mungkin diujung senja
Kala mentari merona, diujung perjalanan nya
Memeluk jiwa dalam harap yang mewujud nyata
Ah, andai saja …
Menjelang akhir Oktober yang gelisah.
Kreator : E.B. Mustafa
Comment Closed: Wacana
Sorry, comment are closed for this post.