Penulis : Kurnia Widiastri (Member KMO Alineaku)
“Ya kalau di rumah, selesai pekerjaan rumah aku nonton drakor” ujar seorang kawan menceritakan aktifitas kesehariannya. Tak heran semua aktor drama korea hafal di luar kepala.
” Weekend waktunya ke mall lah atau jelong-jelong keluar kota. Kan kita udah kerja, jadi waktunya refreshing,” rekan sejawat menggebu dengan weekend asyiknya.
Terkadang terbesit rasa heran dan iri. Karena saya jarang merasakan hal tersebut saat ini. Tapi memang semua ada waktunya. Ada waktu untuk organisasi, keluarga, teman dll termasuk waktu untuk me time.
Setiap hari sudah full jadwal jaga di RS, klinik, terapi pasien PAZ, melatih renang di MSS dan pembinaan di organisasi keislaman.
Weekend justru lebih padat, pagi sampai malam yang membutuhkan tenaga extra. Family time selalu saya sempatkan walau harus di malam hari selain sabtu ahad, sekedar makan bersama atau mengajak anak-anak ke tempat bermain.
“Dok, mbok yo istirahat. Jenengan itu lho sibuk banget,” saran seorang perawat yang hanya begitu faham dengan aktivitas saya.
“Nanti istirahat itu kalau saya sudah wafat,” jawab saya singkat. Sebelum ini sudah banyak waktu yang saya sia-siakan. Semakin hari, amanah semakin banyak.
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR. Tirmidzi)
Maka setiap aktivitas kita akan ditanya.
Umur kemana dihabiskan, betapa malunya ketika di hadapan Allah kelak, bila kita jawab dalam keadaan lalai dan melupakan Allah dalam kesia-siaan.
Padahal kita tahu, surga dan neraka sesuatu yang tidak pasti bagi kita nantinya
Ilmu bagaimana mengamalkannya.
Betapa malu ketika kita menjawab, ilmu itu hanyalah menjadi segudang teori retorika tanpa amalan.
Saatnya ilmu itu digunakan untuk kemaslahatan umat, tidak untuk disimpan. Karena ada pahala jariyah di dalamnya.
Harta dari mana diperoleh dan untuk apa.
Hal yang sangat berat bahkan membuat sahabat Abdurrahman bin Auf merangkak karena menanggung beban ini. Maka harta sejatinya bukan milik kita. Hanya titipan dan sebagiannya adalah milik umat.
Maka islam jaya dengan sedekah, wakaf, infaq dll.
Maka Allah menitipkan harta sebagai wasilah pahala jariyah yang akan mengalir saat kelak kita tiada
Tubuh digunakan untuk apa?
Manusia tempatnya khilaf dan lupa.
Tetapi Allah memberi ruang taubat dan istighfar.
Karena kelak bukan lisan yang akan berbicara. Tapi berusahalah dengan sekuat tenaga, agar kelak saat tangan ditanya, dia akan bersaksi bahwa tangan ini untuk membantu umat bukan menyakiti.
Saat kaki ditanya, dia akan bersaksi bahwa langkah ini hanya berjalan untuk menuntut ilmu dan menyebarkan kebaikan.
Ketika mata ditanya, maka jawabnya pandangan ini hanya untuk belajar, melihat kebaikan umat dan tafakur atas ciptaan Allah.
Maka sudahkah kita memperhatikan setiap waktu yang tersisa? Karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput.
Dunia hanyalah waktunya untuk menanam, mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya. Sampai pada waktunya.
Tubuh tak lagi sanggup beramal, ringkih tak berdaya. Hingga ajal menjelang. Namun berharap ada pahala amalan yang senantiasa mengalir.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Waktu pun Akan Ditanya
Sorry, comment are closed for this post.