CHAPTER ONE
DIA, SI MONSTER PERUSAK
Gob***!! Anj***!!!
Ta*!! Tol**!!
Aaaaarrggghhhh! Ungkapan-ungkapan semacam itu sudah menjadi makanan setiap saat di telingaku. Teriakan kebun binatang pun keluar dari mulut laki-laki itu! Aku dan anak-anakku sudah amat terbiasa dengan sumpah serapahnya. Apapun situasinya, kami harus siap mendengar dia mengomel panjang lebar dengan segala jenis kata-kata kasar, hinaan, bahkan kutukan. Ya, kutukan. Dia sering mengutuk orang-orang yang tidak dia sukai. Sebut saja nama Ketua RT depan rumah kami, suami istri di rumah sebelah, bos pemilik perusahaan tempat dia bekerja, manager, rekan kerjanya, ya, siapapun bisa dia kutuk termasuk para polisi, TNI, Menteri, pemimpin agama sampai Presiden. Di matanya semua orang itu gob***, dan tak punya otak. Baginya, tidak ada yang benar, semua orang salah. Siapapun itu, baik keluarga, polisi, pemerintah, pemimpin apapun, ketua RT di lingkungan rumah kami, para pemuka agama, para pemimpin ibadah, gereja-gereja, sekolah, menteri, walikota, gubernur, presiden di manapun di dunia ini, semuanya bodoh dan salah! Tentu saja hanya dia yang benar.
Dia memang raja dan penguasa di rumah kami. Seorang diktator, tepatnya. Apapun perkataannya, tindakannya, dan keputusannya, termasuk prasangka, amarah dan tuduhannya yang mengada-ada tanpa alasanpun, itulah yang menjadi hukum yang berlaku di dalam keluarga kami. Apapun!
“Kalau gua udah bilang A, ya A! Elu ga bisa robah keputusan gua! Gua kepala keluarga di sini! Gua yang berhak atur rumah tangga gua, bukan keluarga elu, bukan gereja elu, bukan pendeta! Gua ga takut sama papa elu! Gua ga takut sama polisi!” bentaknya.
Aneh kan kalau dia tersinggung dan marah dia akan segera bawa-bawa keluargaku, komunitas-komunitasku, bosku di sekolah, hingga para teman, tetangga dan aparat pemerintahan. Padahal yang dia ungkit-ungkit hanyalah masalah umum seperti air PDAM yang tak mengucur sehingga kami harus menghemat air. Dia akan sangat mudah emosional lalu menyalahkan pihak PDAM, RT, pemerintahan dan lain-lain. Tentu saja di awal dan di akhir amarahnya dia akan menyalahkan aku, terutama saat anak-anak masih kecil. Siapa lagi orang dewasa di rumah itu selain aku dan dia sendiri? Tapi, Anda mulai hafal kan? Dia tak pernah salah!
Kadang-kadang aku mencoba menenangkannya dan mengingatkan, “Pah, udah ga usah marah, ga usah emosi. Semua tetangga di lingkungan kita emang ngalamin yang sama. Aku mah hemat banget pake air, mandi 2 gayung juga bisa.” Percuma saja, dia akan menambah-nambah kalimat amarahnya dengan rentetan kalimat seperti di atas. Lalu dia akan memutuskan sesuatu yang kurang masuk akal dan memaksa aku, istrinya, bekerja mencari solusi supaya air tetap ada dan kami semua harus tunduk pada keputusannya, tetap dengan pola kalimat amarah yang sama.
“Gua ga mau tau, pokoknya air kudu ada! Terserah gimana caranya! Gua ga mau beli air, mahal! Emangnya kita orang kaya? Gua ga mau keluar duit!”
Ancamannya mulai terlontar, seraya dia pergi meninggalkan aku yang harus berjuang mencari cara supaya tong-tong air terisi. Dia dengan amarahnya akan pergi, entah ke tempat kerjanya entah ke rumah sobatnya, aku tak tahu dan tak pernah bertanya. Di saat-saat lainnya, terutama saat dia menganggur tanpa penghasilan, dia akan duduk di ruang tengah atau di kasur lantai atas dengan handphone di tangannya. Tak butuh waktu lama, dia akan segera tersenyum-senyum sendiri bahkan tertawa terbahak-bahak menonton tayangan favoritnya, seolah-olah tidak pernah ada peristiwa menegangkan di rumah kami sebelumnya.
Di momen-momen lainnya, perkataannya yang sangat dihafal termasuk oleh anak-anak adalah:
“Gua kepala keluarga di sini! Ini aturan gua! Gua yang berhak atur rumah tangga gua! Elu ga suka keputusan gua? Elu ga terima pendapat gua? Cerai aja! Cerai! Cari laki-laki lain!”
“Kalian ga suka omongan papa? Kalian ga terima keputusan papa? Cari papa lain! Sana cari papa lain yang mau jadi papa kalian!”
Bentaknya pada anak-anak jika anak-anakku yang mampu berpikir kritis dan lebih rasional mulai mempertanyakan pemikiran aneh papanya.
Di banyak momen seperti itu, aku tak mampu melakukan apapun selain terdiam, menundukkan wajahku, menunggu emosinya reda. Dia akan langsung memegang dada kirinya dan kepalanya yang katanya sakit, serta lehernya yang tegang karena emosi. Ya, aku, istrinya, yang akan mencoba memegang tangannya, mengelus punggungnya, memeluknya, menenangkan dia dan memijat leher, pundaknya supaya dia tak lagi marah-marah. Aku sering mengingatkan dia untuk tidak perlu emosi, tidak perlu marah-marah, cukup dengan komunikasi yang wajar saja, masalah PDAM atau hal lainnya tentu bisa dicari solusinya.
“Pah, udah ga usah marah-marah. Tuh, elu yang sakit tiap kali elu marah. Udah atuh, masalah gini mah ada terus, kita cari solusinya bukan pake marah-marah.” Saya selalu berkata dengan lembut, tenang, tanpa tekanan dan teriakan.
Tapi, jangan salah, dia berperilaku begitu hanya saat bersama aku atau anak-anak, terutama di dalam rumah, di balik pintu rumah dan kamar kami yang tertutup. Saat dia bersama orang lain terutama orang-orang berduit dan menguntungkan baginya, dia akan sangat manis, sopan dan diplomatis. Bahkan di depan orang-orang yang namanya dia kutuk habis-habisan, dia tidak berani berkata-kata, jangan berharap dia bisa protes atau berkata kasar, memasang muka kesal pun tidak. Dia akan tersenyum manis, bersikap ramah atau paling mungkin adalah menghindar dari orang yang dihina itu. Akhirnya sekarang aku sanggup berkata:
“Pengecut! Penjilat!”
Aku memang sudah sangat terbiasa dengan karakternya yang seperti itu, dengan bentakan, teriakan dan amarahnya sejak anak pertama lahir. Namun, sejujurnya, sebiasa-biasanya aku, hatiku serasa disayat, telingaku bagai ditusuk ujung pisau setiap kali aku mendengar perkataan kasar dan bentakannya. Aku hanya mampu berdoa dalam hatiku, “Tuhan, ampuni aku, istri yang tak mampu menahan emosi suamiku. Aku butuh cinta yang banyak dari-Mu, Tuhan, untuk aku bisa terus menghargai, menghormati, dan mengasihi suamiku.”
Aku sudah bosan, sangat bosan dengan perilakunya yang tak kunjung berubah hingga usia paruh baya pun. Aku sangat hafal dengan kalimat-kalimat yang dilontarkannya , bahkan gestur tubuh dan ekspresi wajahnya itu. Jangan berharap dia menyadarinya, karena dia tidak pernah merasa bersalah. Jika Anda membayangkan sosoknya yang tinggi besar, berkumis dan berjambang, berotot besar serta kekar, Anda salah besar! Dia laki-laki 172 cm dengan berat badan sekitar 75 kg yang sangat dia jaga kelangsingannya. Dia sangat benci perut buncit sehingga dia akan terus berupaya semaksimal mungkin supaya perutnya tidak besar. Rambutnya dia rawat siang dan malam dengan berbagai minyak penumbuh rambut karena dia sangat takut kepalanya botak. Akupun dilarang menyentuh rambutnya. Dia akan membentakku jika aku diminta memijat kepalanya tapi aku tak boleh menyentuh rambutnya dengan keras. Cara berpikirnya sangat tidak masuk akal!
Ah, itu hanyalah setitik kisah dari sekian banyak kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Semua orang pun akan berkata, “Sabar aja. Namanya juga laki-laki. Suami-suami emang gitu, manja, nyebelin, rese, ga mau diatur.” Dan lain-lain, dan lain-lain. Semua nasihat terdengar sama dan tetap mewajarkan perilaku laki-laki kasar itu. Tunggu saja peristiwa-peristiwa berikutnya …
Apa yang harus kulakukan setiap kali dia kehilangan kendali emosinya? Itu bisa terjadi kapan saja, bahkan di saat yang tak terduga. Aku merasa tinggal di dalam rumah yang penuh dengan ranjau dan bom waktu yang bisa meledak kapanpun tanpa aku bisa deteksi di mana letak ranjau dan bomnya. Walking on An Eggshell!
Kreator : dd Ezer Zoya
Comment Closed: Why Are We, the Victims, Often (Being) Silenced?
Sorry, comment are closed for this post.