Waktu menjelang siang, di gedung JICA FPMIPA UPI, lantai 4. Bu Sri Mulyani, dosen pembimbing akademik saya saat itu, memberikan nasehat kepada mahasiswa yang dibimbingnya ini. Mahasiswa S1 kimia yang hampir saja tidak lulus kuliah karena merasa tidak perlu untuk lulus kuliah. Dengan alasan dirinya yang merasa idealis bahwa yang penting adalah dapat ilmunya, tidak perlu gelarnya. Mahasiswa yang saat itu hanya memikirkan dirinya sendiri dan lupa dengan pikiran dan perasaan orang lain disekitarnya. Mahasiswa yang sedang lupa dengan perasaan orang tuanya yang telah membiayainya kuliah dan sangat mengharapkan kelulusan anaknya itu.
Bu Sri Mulyani, memberikan nasehat yang benar-benar membuat perasaan saya terhenyak, seolah saya baru teringat hal itu. Saya baru teringatkan dengan adanya orang tua saya yang tentunya sangat berharap anaknya ini untuk bisa lulus kuliah. Dengan nasehat itu, nasehat yang singkat tapi sangat menggerakkan perasaan. Nasehat yang kemudian menjadi motivasi besar agar saya bersungguh-sungguh dalam berusaha untuk bisa lulus kuliah. Nasehat yang singkat tapi penuh dengan muatan makna yang menjadikan saya berubah. Inilah nasehatnya:
“ya udah, Iman lulus untuk orangtua Iman, bukan untuk Iman..”
Nasehat itu sedikit kalimatnya tapi sangat besar daya motivasinya. Selama ini, saya menjalani aktivitas hanya mengikuti keinginan pribadi saja. Kesana kemari, beraktivitas apa dan dimana,hanya melakukan apa yang ingin dilakukan, tanpa memperhatikan bagaimana harapan orang lain. Bahkan lupa, tidak memikirkan bagaimana perasaan orang tua yang telah membiayai dan ternyata sangat mengharapkan anaknya ini bisa segera lulus kuliah. Kalau hanya menurut pikiran diri sendiri saja, iya bisa saja lulus kuliah dianggap tidak penting, tapi kalau mau menengok bagaimana perasaan orang tua? Di saat itulah, saya tersadarkan, saya harus segera berjuang menjalankan usaha-usaha agar bisa lulus kuliah.
Ini adalah sepenggal episode kisah yang saya alami, di masa kuliah S1. Saat itu saya nyaris tidak lulus kuliah. Masa toleransi waktu kuliah saat itu sudah mau habis, yaitu sudah mau tujuh tahun. Saya lupa bahwa orang tua sedang terus menanti agar anaknya ini bisa segera lulus kuliah. Setelah mendapatkan pesan itu, barulah saya teringat dengan bagaimana ibu saya menanti kelulusan saya. Saya teringat pada beberapa waktu kebelakang, ibu saya menyampaikan informasi tentang teman saya yang seangkatan kuliahnya yang sudah lulus kuliah. Saya benar-benar tidak berempati perasaan, oh berarti maksud informasi itu adalah suatu isyarat pertanyaan kenapa saya belum lulus kuliah sedangkan teman saya yang seangkatan kuliahnya sudah lulus kuliah. Itu artinya adalah orang tua saya sedang menanti kelulusan kuliah saya.
Ya, bagi sebagian orang, bisa jadi tidak lulus kuliah bukan soal yang besar. Tidak sedikit orang diluar sana yang justru dengan bangga mengatakan kuliah tidak penting. Lulus kuliah tidak penting. Banyak orang yang tidak kuliah tapi sukses dalam karirnya. Tidak sedikit orang yang bahkan tidak mengecap bangku kuliah, hanya lulus SMA, tapi bisa sukses karirnya.
Jika ukuran penting tidak pentingnya adalah sekedar kesuksesan karir, mungkin bisa jadi iya. Akan tetapi, ada hal yang lebih utama dari itu, yakni: amanah. Untuk menjalankan amanah itulah maka lulus kuliah itu menjadi sangat dan teramat penting. Amanah untuk bisa menuntaskan belajar karena sudah dibiayai orang tua. Amanah untuk bisa menyelesaikan proses kuliah dengan proses terbaik yang bisa dilakukan. Amanah untuk bisa membahagiakan orang tua. Orang tua sangat bangga jika melihat anaknya lulus dan berhasil wisuda. Jangan dilihat dari sudut pandang diri kita saja yang merasa hal itu tidak perlu, akan tetapi harus dilihat dari bagaimana orang yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Bagaimana kita bisa memberikan usaha terbaik untuk mewujudkan harapan orang yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Apalagi jika yang memberikan kepercayaan itu, adalah orang tua kandung kita sendiri.
Pada episode ini, saya nyaris mengecewakan orangtua dan kakak yang telah usaha jerih payah menyekolahkan saya. Saya saat itu lupa memikirkan dan lupa berempati perasaan kepada orang lain, lupa kepada orang terbaik sekitar kita yang telah menaruh kepercayaan tetapi kepercayaan itu tidak dilakukan dengan sebaiknya. Saya saat itu hanya memikirkan kesenangan diri sendiri saja.
Catatan dari perjalanan ini adalah: jangan egois, jangan hanya memerhatikan kesenangan diri sendiri tapi tengoklah juga, rabalah juga, berempatilah juga kepada pikiran dan perasaan orang lain di sekitar kita terutama orang terdekat yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Lakukan keseimbangan antara berusaha memotivasi diri, melakukan pengembangan diri dan memberikan yang terbaik untuk sekitar. Lakukan ikhtiar terbaik untuk melaksanakan peran yang kita jalani, sebagaimana hadits Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wasallam)
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ َ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu.
(Hadits ke-17 dalam arba’in Nawawiyah)
Ini adalah catatan pembuka, salah satu catatan dari sekian banyak catatan yang saya ingin bagikan kepada pembaca. Catatan-catatan selama kuliah S1, yang nyaris tidak lulus kuliah. Tujuh tahun setengah berada di kampus, dengan setengah tahunnya cuti. Masuk kuliah bulan Agustus tahun 2002, lulus kuliah bulan November 2009. Dengan harapan semoga catatan yang dibagikan ini bisa memberikan kemanfaatan yang positif, bisa memberikan motivasi untuk selalu berjuang memberikan yang terbaik dalam setiap peran yang sedang dijalankan. Bisa menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dan bahagia karena ada syukur dan sabar serta iman dan takwa dalam dada. Amiin..
Kreator : Iman Salman
Comment Closed: Ya udah, Iman lulus untuk orang tua Iman, bukan untuk Iman
Sorry, comment are closed for this post.